Home / Rumah Tangga / 180 Hari Menuju Akad / 8. Pergolakan Batin

Share

8. Pergolakan Batin

Author: Asda Tan
last update Last Updated: 2023-05-07 20:40:55

Arya memang lelaki yang sangat tidak suka melihat wanita lebay, menye-menye dan manja sepertiku, karena menurutnya wanita itu harus kuat dan pantang menyerah, jangan lemah dengan keadaan. Tapi, sebagai seorang wanita, air mata merupakan salah satu penghapus kesedihan untukku, dimana aku akan merasa lebih tenang dan damai setelah menumpahkan seluruh air mata yang jatuh membasahi pipiku.

"A-aku ti-dak menangis!" ucap ku dengan nada suara terbata-bata.

"Bagaimana bisa tidak menangis, toh air mata mengalir membasahi pipi. Kamu ahli banget berbohong, belajar dimana?" ujar Arya sembari mencubit hidungku yang memang sangat jauh dari kata mancung.

"Ini mah kelilipan!"

Aku mencibir hingga lelaki tampan yang ada di depanku tersenyum. Ya, untuk sesaat aku merasa sangat terhibur dengan ocehan-ocehan ringan yang keluar dari lisan Arya, hingga rasa sakit yang kurasakan hilang walau untuk sesaat.

"Yuk berdiri!" ucap Arya sembari mengulurkan satu tangannya kepadaku.

Aku diam sembari menundukkan wajahku, bagaimana caranya diri ini untuk bangkit sementara tubuh ini tidak sanggup untuk berdiri.

"Kania, apakah kamu benar-benar tidak bisa berdiri?"

Arya mulai panik, dari wajahnya juga tergambar jelas sebuah penyesalan karena telah memarahi dan membentak ku, terlebih lagi aku tidak melakukan kesalahan apa-apa kepadanya.

"Kania, maaf!"

Arya menggendong tubuh mungilku seolah tanpa beban.

"Turunkan aku!" ucapku protes sembari menggoyang-goyangkan kedua kakiku yang menjuntai. Namun Arya tidak mempedulikan ku, ia terus melangkah maju, hingga kini yang bisa kulakukan hanya diam dan pasrah saja dengan perlakuan lelaki itu.

"Arya, apa yang kamu laku-,"

Belum selesai aku melanjutkan ucapanku, Arya sudah memotongnya.

"Kania, sudah, jangan banyak bicara!"

Aku terdiam, pasrah, karena mau tidak mau, suka tidak suka, aku harus menurut kepada Arya.

Ku lingkarkan kedua tanganku di leher Arya sembari terus menatap wajah tampan lelaki yang ada di depanku itu, sementara Arya hanya terus melangkah maju tanpa menatapku sedikitpun. Entah apa yang ia rasakan, hanya saja sikap berbeda itu terkesan cuek, namun penuh perhatian kepadaku.

"Kania, kita ke rumah sakit ya, sepertinya kamu terkilir," ujar Arya yang membuatku kikuk dan tidak bisa membantah lagi.

"I-iya."

Aku memalingkan wajahku dari Arya ketika mataku dan matanya saling bertemu untuk sesaat.

Dak, dik, duk ...

Jantungku berdetak luar biasa, seolah ada kelinci-kelinci kecil yang terperangkap hingga melompat-lompat disana. Perasaan berbeda yang tidak pernah kurasakan sebelumnya.

"Udah ah, jangan grogi, biasa aja!"

Arya benar-benar sangat ahli membuatku salah tingkah hingga merasa rendah.

"Iih, apaan sih!"

Satu tanganku meninju dada Arya yang bidang.

"Aw, sakit, Kania!"

Aku seperti manusia yang tidak tahu terima kasih, seperti anak ular, sudah ditolong malah menggigit.

"Kalau mau bantuin ya bantuin aja, jangan banyak gaya," ungkap ku dengan nada suara tinggi.

Aku kesal dan tidak suka dengan sikap Arya kepadaku, walaupun sejujurnya sikap kasar ku ini karena salah tingkahku terhadap lelaki itu.

"Sekarang duduk cantik ya!"

Arya membaringkan ku di mobilnya, memperlakukanku dengan sangat baik penuh dengan kasih sayang.

Hubunganku dan Arya memang tidak lebih dari sebatas sahabat, namun aku merasakan kasih sayang dan cinta yang tulus dari perlakuan Arya kepadaku, sikap manis yang membuatku merasa sangat nyaman sekali.

Sudah lama sekali diri ini membatasi dekat dengan lelaki, karena rasa sakit dan trauma di masa lalu membuatku tidak ingin lagi menggantungkan harapan kepada manusia, tapi entah mengapa dengan Arya diri ini selalu bergantung, aku selalu bersikap manja kepadanya, mengganggunya dengan ocehan-ocehan receh yang sebenarnya tidak penting, bahkan aku hanya ingin berbagi suka dan duka ku dengan Arya, lantas sehari saja tidak ada kabar dari Arya membuatku menjadi gila. Aku dan ia seperti sendal, tidak sama tapi saling melengkapi.

"Tunggu disini!"

Arya menutup pintu mobil kemudian menyelamatkan motorku yang juga sudah mencium aspal. Kulihat Arya tengah menyelamatkan motorku dan membawanya ke tepi jalan. Ia menitipkan motor itu di salah satu rumah masyarakat.

Arya kemudian berlari menghampiriku, membuka pintu mobil dengan gaya yang terlihat sangat cool, sungguh terlihat sangat tampan dan menawan.

"Nia, apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa kamu ugal-ugalan di jalan?" tanya Arya di sela-sela perjalanan kami menuju rumah sakit.

"Aku hanya lelah, aku hilang arah."

Dengan santainya aku berbicara sesuka hati karena sejujurnya aku tidak lagi memiliki semangat untuk melanjutkan hidupku lagi.

"Kania, siapakah lelaki itu?"

Arya menghentikan mobilnya secara mendadak, hingga membuatku terkejut.

"Apa-apain sih, Ya!"

Aku membentak Arya sembari membelalakkan mataku kepadanya.

Huft ...

Arya menarik nafas panjang, kemudian memasang wajah serius kepadaku.

"Kapan?" tanya Arya dengan pandangan tetap lurus ke depan, tapi aku memilih tetap diam sebab keadaan kami saat ini sangat tidak nyaman.

Aku sangat tahu kalau pertanyaan Arya tertuju pada waktu pernikahanku.

"Kapan, Kania?" tanya Arya sekali lagi.

Pertanyaan yang terdengar seperti sebuah bom yang siap meledak tepat di depan wajahku.

"Enam bulan lagi, setelah lebaran idul adha."

Aku menunduk, memasang wajah sedih karena membahas pernikahan yang tidak diinginkan membuat hidupku tidak bersemangat.

"Selamat, akhirnya kamu mendapatkan lelaki saleh seperti yang kamu inginkan, tidak seperti aku yang ilmu agamanya sangat dangkal."

Kini giliran Arya yang memasang wajah sedih. Entah apa maksud dari sikap yang ia tunjukkan, ia memberikan selamat namun membandingkan dirinya dengan tunangan yang tidak kuinginkan.

"Aku masih punya seratus delapan puluh hari lagi, bagaimana dengan rencana liburan kita ke Yogyakarta?"

"Kita tetap akan berangkat."

"Berangkat?"

"Iya, kita akan pergi seperti rencana sebelumnya," ucap Arya dengan nada yang sangat meyakinkan.

"Bisakah kita pergi dua bulan sebelum pernikahanku?"

"Kenapa?"

"Karena aku akan dipingit jika telah mendekati hari H."

Aku dan Arya memang pernah merencanakan jalan-jalan ke Yogyakarta karena aku sangat penasaran dengan tempat kuliah dan kehidupan Arya selama di Yogyakarta.

"Jika memang akan dipingit, pergilah dengan calon suamimu saja!"

Wajah Arya memerah, ia menyetir kembali mobilnya dengan kecepatan tinggi seperti seorang pembalap, seolah sedang melampiaskan emosinya.

"Arya, pelan-pelan, aku belum ingin mati!"

Aku menghardik Arya, namun lelaki tampan itu sama sekali tidak mempedulikanku, ia tetap melajukan mobil dengan kecepatan tinggi.

"Arya, apa kamu cemburu?"

Aku menatap wajah Arya dengan seksama, lelaki tampan itu terlihat salah tingkah dengan wajah memerah yang tertunduk. Arya adalah lelaki cuek yang tidak akan pernah mengungkapkan bagaimana perasaannya, tapi kali ini jelas ketara kalau saat ini Arya sedang menunjukkan sikap berbeda dari biasanya.

"Arya, kamu tidak cemburu 'kan?

Mobil yang melaju tiba-tiba berhenti di tepi jalan.

"Aku ingin mencari angin!"

Arya keluar dari mobil sembari membanting pintu mobil dengan sangat keras.

Related chapters

  • 180 Hari Menuju Akad   9. Sebatas Kakak Adik

    Bruk ... Tamparan keras pintu membuatku syok. Spontan tangan ini langsung memegang dada yang bergetar luar biasa, bukan karena jatuh cinta tapi karena terkejut, seolah akan kena serangan jantung mendadak. "Kenapa sih dia, marah-marah nggak jelas." Arya memang suka sekali marah-marah tidak jelas, emosinya memang masih tidak stabil bahkan dalam keadaan seperti ini akulah yang selalu minta maaf dan membujuknya agar tidak merajuk. Umur memang tidak menjadi tolak ukur kedewasaan seseorang, tapi umur juga mempengaruhi tingkat emosi seseorang, dan masalah kesenjangan usia beberapa tahun antara aku dan Arya membuat kami berdua sering kali saling salah paha karena pola pikir yang berbeda. "Arya tunggu!" Aku keluar dari mobil, berjalan pelan untuk mendekati lelaki yang sama sekali tidak ingin menoleh sedikitpun kepadaku. "Arya, kenapa sih sikapmu seperti anak-anak? Aku kesulitan berjalan." Dengan langkah kaki tertatih-tatih, aku terus berjalan menyusul lelaki yang egois itu. "A

    Last Updated : 2023-05-20
  • 180 Hari Menuju Akad   10. Tidak Sanggup Lagi

    Mataku terasa sudah tidak sanggup lagi untuk menyala, dan tanganku yang lemah terasa semakin lemah, hingga mata ini akhirnya tertutup. "Kania ...! Aku mendengar suara Arya tengah memanggil-manggil namaku dengan rasa khawatir yang teramat sangat, bahkan sebelum aku menutup mata ini, aku melihat wajah Arya terlihat teramat sangat panik sekali, ia seolah takut jika hal buruk terjadi kepadaku atau mungkin saja ia takut kehilangan ku. Ya, ada pancaran kekhawatiran yang berbeda dari sorot mata lelaki itu, perasaan yang berbeda dari sebelumnya. Mata itu terlihat berbeda melebihi rasa khawatir seorang sahabat. Sungguh, aku tidak ingin menyia-nyiakan momen seperti ini. Rasanya aku tidak ingin menutup mataku karena aku tidak ingin membuat Arya mengkhawatirkan ku, tapi apalah daya ku, aku sudah tidak lagi bertenaga untuk tetap membuka mata. Selain itu, kendali hidup dan mati ku sepenuhnya milik Allah, dan andai saja hari ini Tuhan mengambil nyawaku, aku tidak bisa berbuat apa-apa selain men

    Last Updated : 2023-05-21
  • 180 Hari Menuju Akad   11. Rencana Kabur

    Akhirnya butiran kristal-kristal bening keluar juga dari bola mataku, sebuah ungkapan betapa aku tidak sanggup lagi menahan beban yang menyesakkan dadaku. "Nia, Allah tidak akan memberikan cobaan diluar batas kemampuan hamba-Nya. Allah yakin kamu bisa, dan Mas juga yakin kalau kamu sanggup menghadapi semua ini," ujar Arya menguatkan dan memberikan semangat kepadaku. "Mas, apakah aku kabur saja?" Aku tidak bisa berpikir jernih, karena otak ini terus saja memikirkan hal negatif yabg seharusnya tidak dilakukan, hingga kini yang terbayang olehku hanyalah menghilang dan kabur sejauh mungkin agar aku bisa menghindari masalah hidup yang kujalani saat ini. Bahkan, walaupun ke ujung dunia adalah tempat terbaik untuk menghindar maka aku akan diam-diam lari kesana agar tidak ada seorang pun yang menemukanku. Sungguh, dari dahulu hingga saat ini, impianku masih belum berubah. Aku ingin menikah dengan konsep mewah layaknya seorang putri kerajaan dalam cerita-cerita di negeri dongeng, dengan gau

    Last Updated : 2023-06-02
  • 180 Hari Menuju Akad   12. Perasaan Seorang Ibu

    Terbayang olehku kata-kata mamaku, kalau Arya bukanlah lelaki baik, ia tidak benar-benar tulus bersahabat denganku, ia hanya memanfaatkan kebaikan hatiku, ia hanya ingin bermain-main denganku. Parahnya lagi, mungkin lelaki itu hanya penasaran denganku. Sungguh, tidak ada penilaian dan kata-kata baik yang mama lontarkan untuk Arya. "HP-ku mana?" Karena tanganku sedang terluka, aku tidak bisa bergerak sesuka hatiku, jadi tidak ada yang bisa kulakukan selain bertanya kepada lelaki itu. "Kamu perlu diobati terlebih dahulu, nanti aku akan mengambilkan HP-nya," ucap Arya dengan nada suara datar. Sungguh, kepeduliannya saat ini terdengar seperti sebuah basa-basi yang mengandung toxic. Tapi, aku tidak ingin berpikir negatif karena akan menambah energi yang merusak mood dan perasaanku. "Aku ingin menelpon sekarang!" Dengan nada suara tinggi, aku membentak Arya, mengungkapkan isi hati dan amarahku karena sikapnya yang tidak peduli dengan perasaan orang tuaku. Sungguh, lelaki itu bersikap

    Last Updated : 2023-06-03
  • 180 Hari Menuju Akad   13. Emosi dan Amarah

    "Nia, Sayang, kamu tidak apa-apa, Nak?" Ternyata mama dan papa yang datang menghampiriku dengan sejuta kekhawatiran yang terlihat jelas di wajah keduanya. "Nia tidak apa-apa kok, Ma, Pa," ucapku dengan memberikan senyum terbaikku kepada mama dan papa. Mama langsung memelukku, kemudian memeriksa seluruh tubuhku, memastikan keadaanku baik-baik saja dan tidak terluka sedikitpun. "Nak, sebenarnya apa yang terjadi? Kenapa kamu ada di rumah sakit dan siapa yang membawa kamu kesini, Nak?" tanya papa dengan kegelisahan di hatinya. "Nia diantar sama Arya, Pa," jawabku dengan nada suara lemah, namun masih bisa terdengar jelas oleh mama dan papa. "Arya? Lelaki yang tidak punya nyali itu? Dimana dia sekarang?" ucap mama dengan wajah memerah penuh dengan amarah dan ketidaksukaan. Mama Anita terlihat emosi dan marah besar, matanya membelalak dengan rona wajah yang berubah masam ketika mendengar nama Arya disebut. Bahkan, ini kali pertamanya aku melihat mamaku semarah itu mendengarkan n

    Last Updated : 2023-06-04
  • 180 Hari Menuju Akad   14. Pergolakan Batin

    "Mama jangan egois, jangan memaksakan kehendak Mama. Kania ingin istirahat dan tidak ingin bertemu dengan siapapun sekarang!" Suara lantang dan jelas sekali melawan orang tua itu membuatku merasa bersalah dan berdosa. Namun ini adalah salah satu bentuk pembelaan diriku atas apa yang seharusnya aku perjuangkan. "Kania, kamu benar-benar kelewatan! Mama dan Papa tidak pernah mengajarkanmu menjadi anak yang kurang ajar seperti ini," ucap mama Anita tanpa menatapku sedikitpun. "Ma, sudah, sabar! Ini rumah sakit, jangan membuat keributan apalagi dengan anak sendiri," ucap papa menenangkan mama kembali. "Jika kamu ingin pergi silahkan!" ucap mama tegas. Beliau berjalan keluar dari kamarku disusul dengan papa dengan sejuta rasa sedih dan kecewa yang beliau bawa bersamanya. "Baik, kalau itu yang Mama dan Papa inginkan, Nia akan pergi selamanya!" Ketika kedua orang tuaku memaksakan kehendak sesuai dengan keinginan mereka, aku merasa sangat hancur, bahkan membuat separuh hatiku terl

    Last Updated : 2023-06-19
  • 180 Hari Menuju Akad   15. Merasa Muak

    [Nia, apa kamu sakit?] Terdengar olehku suara seseorang yang tidak kukenal namun terdengar tidak asing di telingaku. Aku melihat layar ponsel dan mendapati nomor tidak dikenal yang menghubungiku. Ya, aku langsung bisa menebak kalau panggilan ini adalah panggilan dari ustadz Fahri, tunangan yang tak kuharapkan. Sungguh, aku tidak ingin menyimpan nomor ponselnya dan sungguh aku tidak ingin berkomunikasi dengannya. Jangankan untuk bertemu atau mengobrol di telepon, sekedar membalas pesan singkatnya saja aku merasa tidak sudi. [Kania, kamu baik-baik saja 'kan?] ucap Fahri sekali lagi dengan suara yang terdengar penuh dengan kekhawatiran yang teramat sangat. 'Dasar lelaki sok perhatian banget lo!' ucapku di dalam hati sembari mematikan panggilan teleponnya. Wajahku mulai memerah, aku semakin muak dan kesal kepada lelaki itu. Sikapnya yang sok peduli dan sok perhatian membuatku ingin sekali mencabik-cabik mulutnya. Kring ..., kring ..., kring .... Kebal dan seperti tidak tah

    Last Updated : 2023-06-26
  • 180 Hari Menuju Akad   16. Bawaannya Emosi

    "Mas tidak melihat apapun sebelumnya, jadi kamu tidak usah khawatir," bujuk Arya. Arya meminimalisir rasa maluku kepadanya, dan sejujurnya kata-kata seperti itu benar-benar sangat ku butuhkan saat ini. Ya, walaupun berpura-pura, setidaknya Arya memilih untuk melupakan kejadian sebelumnya untuk menjaga hati dan perasaanku. "Kamu dari mana saja? Kenapa tiba-tiba menghilang saat Mama dan Papa datang?" tanyaku tanpa melihat Arya. "Aku mengurus administrasi dan menebus obat untukmu, tapi ketika kulihat kedua orang tuamu datang aku memilih pergi karena aku tidak ingin mengganggu privasimu dengan keluargamu." Alasan yang masuk akal karena Arya memang belum pernah aku kenalkan kepada kedua orang tuaku. Namun entah mengapa, hatiku merasa kalau Alex bersikap berbeda dari ia yang kukenal sebelumnya. "Aku takut!" Entah mengadu atau ingin dikasihani, tiba-tiba saja ku ungkapkan kekhawatiran diriku kepada Arya. Aku ingin lelaki itu melindungi dan menjagaku, aku ingin ia selalu ada untukku

    Last Updated : 2023-06-30

Latest chapter

  • 180 Hari Menuju Akad   Memulai Hari Baru

    "Kania, Mas yakin kamu akan mendapatkan lelaki terbaik dan terhebat seperti yang kamu harapkan selama ini. Ikhlaskan dia yang telah pergi dan buka hati untuk dia yang nantinya akan mengisi hari-harimu. Mas yakin, wanita baik sepertimu akan mendapatkan lelaki terbaik juga, karena jodoh adalah cermin diri, dan wanita baik-baik akan dipersatukan juga dengan lelaki baik-baik," ucap Arya menasihati ku.Kutatap lelaki itu dengan seksama, penuh kekaguman dan rasa syukur. Ya, akhirnya aku menyadari kalau Arya adalah sosok lelaki yang bisa mengayomiku, ia menasehatiku layaknya seorang kakak laki-laki kepada adiknya, melindungi dan menjagaku seperti saudaranya sendiri. Aku tahu, Arya adalah laki-laki. Ia memiliki naluriah laki-laki, sikap dan jiwa seorang lelaki yang mungkin saja mudah jatuh dan dimanfaatkan oleh wanita yang tidak benar-benar tulus mencintainya. Ia mungkin juga akan tergoda dengan wanita cantik dan seksi seperti sebelumnya, karena tantangan terbesar seorang lelaki yang telah su

  • 180 Hari Menuju Akad   Rencana Tuhan Adalah Yang Terbaik

    "Ma, Bella terkagum-kagum dengan agama islam. Islam begitu memuliakan kedua orang tua dan Mama adalah surganya Bella."Bella bersujud dan mencium telapak kaki mamanya dengan tulus dan ikhlas. "Sayang, apa yang kamu lakukan? Jangan seperti ini, Sayang!" Mama Ratna membantu putri kesayangannya untuk bangun dan bangkit. Beliau memeluk putri kesayanggannya itu. Rasa haru dan bahagia memenuhi hati dan fikiran mama Ratna, betapa ia sangat bahagia dan bersyukur karena memiliki putri yang teramat sangat baik dan berbakti seperti Bella."Nak, kamu benar-benar permata dalam kehidupan Mama dan Papa. Maaf karena selama ini kami membiarkanmu tumbuh sendiri tanpa perhatian dan kasih sayang."Mama Ratna membelai lembut rambut putrinya, matanya mengisyaratkan sebuah penyesalan yang teramat sangat dan keinginan untuk membalas sesuatu yang telah hilang menjadi senyum kebahagiaan untuk Bella."Ma, apa Bella boleh nggak usah ke kantor dulu? Bella ingin fokus di rumah dan belajar agama. Biar Lara saja y

  • 180 Hari Menuju Akad   Menerima Takdir

    "Tentu jadi, Sayang, nanti kita packing dan membereskan semua perlengkapan travelling," ujar mama Ratna bersemangat."Ma, emangnya Papa mau libur ngantor?" Papa Herman juga salah seorang manusia yang sangat gila dan mencintai pekerjaan, hingga Bella ragu papanya bisa ikut jalan-jalan dengan mereka atau tidak."Tenang, Sayang, perusahaannya 'kan punya kita, jadi tidak ada alasan bagi Papa untuk menolak," terang mana Ratna.Papa Herman menggeleng-gelengkan kepalanya sembari tersenyum melihat dua wanita yang sangat dicintainya itu terlihat bersangat untuk liburan di luar kota.Ya, memang benar, Bella dan keluarganya sudah lama sekali tidak liburan bersama. Setidaknya sakitnya Bella menjadi perekat hubungan keluarga Bella."Terima kasih, Papa." Bella tersenyum dan terlihat sangat bersemangat."Kalau begitu, sekarang Papa ke kantor dulu ya. Papa ingin menyiapkan semua berkas-berkas dan pekerjaan yang tertumpuk sekalian memberikan tugas untuk dikerjakan oleh sekretaris papa selama kita tid

  • 180 Hari Menuju Akad   Menyembuhkan Luka

    Bella memeluk mama Ratna, ia tidak bisa berkata apa-apa karena saat ini yang bisa dilakukannya hanya menangis."Sayang, Mama ada untukmu."Mama Ratna menepuk-nepuk punggung putri kesayangannya sembari membelai rambut Bella dengan penuh cinta dan kasih sayang."Ma, apa kita boleh berjalan-jalan ke luar kota? Bella ingin sekali liburan dan menenangkan fikiran," ucap Bella lembut namun tersedu-sedu."Tentu boleh, Nak. Bella boleh pergi ke mana saja yang Bella inginkan. Apa kamu pengen ke luar negeri, Sayang?" Mama Ratna ingin mewujudkan semua keinginan anak kesayangannya karena yang terpenting baginya adalah Bella bisa kembali ceria lagi dan bisa tersenyum lagi seperti dulu."Ma, Bella ingin liburan sama Mama dan Papa, tapi Bella ingin di Indonesia saja," terang Bella.Bella menatap wajah mama dengan penuh harap.Mama Ratna kemudian menghapus air mata yang mengalir di pipi putri kesayangannya itu."Sayang, Bella ingin ke mana?" Mama Ratna bertanya dan mendengarkan keinginan putri kesay

  • 180 Hari Menuju Akad   Perpisahan Tersedih

    Bella tidak peduli dengan pertanyaan Rasya, mau tidur atau berpura-pura tidur saat ini yang ingin Bella lakukan hanya diam sembari menutup matanya."Bella, aku tahu kamu tidak tidur, tapi kalaupun kamu tidur maka beristirahatlah dengan tenang, aku akan membangunkanmu ketika kita telah sampai di rumah," ujar Rasya.Rasya terus melajukan mobilnya dengan hati yang berkecamuk, penuh dengan kegelisahan dan rasa bersalah. Hingga akhirnya mereka sampai di rumah Bella.Rasya menatap Bella, gadis cantik itupun terlihat sangat cantik saat menutup mata.Rasya kemudian menghapus air mata yang sedari tadi membasahi pipi Bella, hati Rasya terlihat sangat hancur karena melihat hal itu terjadi."Bella, kita sudah sampai di rumah." Rasya membangunkan Bella yang sebenarnya tidak tidur itu.Bella membuka matanya kemudian memaksakan dirinya untuk tersenyum. Bella tidak ingin melihatkan wajah murung qtau bersedih lagi kepada Rasya."Sya, kamu harus singgah di rumah, aku ingin membuatkanmu salad buah untu

  • 180 Hari Menuju Akad   Kebenaran Yang Menyakitkan

    Mama Rasya menatap Bella dengan lembut dan penuh kasih sayang. Beliau kemudian menggenggam tangan Bella dengan hangat, Bella merasakan ketulusan di sana."Sayang, Mama sangat merindukan Bella, maaf untuk banyak hal dan terima kasih banyak karena masih mau datang berkunjung ke sini."Ucapan tulus yang ke luar dari mulut mama Rasya membuat Bella terharu, hingga tanpa sadar air mata lagi-lagi membasahi pipi Bella.Kutatap mata mama Rasya dengan air mata yang tidak bisa berhenti ke luar dari mataku. Beliau juga melakukan hal yang sama."Tante, apa benar Tante merindukan Bella?"Dengan nada tersedu-sedu aku ingin memastikan tentang apa yang baru saja aku dengar bukanlah mimpi belaka."Tentu, Sayang, hanya kamu seorang gadis yang Tante anggap seperti anak sendiri dan Tante berharap kamu bisa menjadi istrinya Rasya." Secara terang-terangan mama Rasya mengungkapkan apa yang disimpannya di hatinya. Sementara Bella saat ini terlihat haru bercampur kaget."Bagaimana mungkin seseorang yang melar

  • 180 Hari Menuju Akad   Nostalgia Masa SMA

    Sahabat menjadi cinta, itulah hubungan yang dijalani oleh Bella dan Rasya pada awalnya. Jadi, hubungan percintaan mereka semasa SMA tidak lagi jaim-jaiman namun lebih menjurus kepada persahabatan. Saling menyayangi dan saling menjaga, saling mendukung dan selalu bersama dalam berbagai situasi dan kondisi, baik suka maupun duka. Begitulah hubungan Bella dan Rasya pada waktu itu. Hubungan yang membuat iri banyak mata ketika memandangnya."Bell, aku nggak nyangka ternyata kamu merindukan makanan buatanku."Rasya menatap mata Bella dengan takjub, ia tidak menyangka Bella merindukan masakannya. Ya, semasa SMA Bella dan Rasya memang sering bertukar makanan dan saling mencicipi makanan satu sama lain."Sya, tentu saja aku merindukan masakanmu, bahkan kamu membawakan aku makanan seriao hari, bagaimana mungkin aku melupakanny," ujar Bella dengan senyuman."Baiklah, kalau begitu kita kembali ke rumah sakit ya!" Rasya menghidupkan mesin mobilnya dan bersiap untuk melajukan mobilnya kembali ke r

  • 180 Hari Menuju Akad   Diusir Salsa

    Bella ingin sekali berdiri dan memeluk Adrian, menghapus air mata yang ada di pipi Adrian serta membelai lembut rambut Adrian. Namun apa daya, Bella tidak memiliki tenaga apa-apa untuk melakukan semua itu selain menangis menatapi lelaki yang terbaring lemah dengan banyaknya luka memar di tubuhnya."Bella, jangan menangis!" Adrian mencoba mengangkat tangannya, namun tangannya yang baru saja dioperasi itu tidak bisa digerakkan sama sekali. Hingga keinginannya untuk menghapus air mata Bella menjadi terurungkan. Adrian juga sangat ingin memeluk Bella, menghapus air mata yang ada di pipi Bella, membelai rambut gadis cantik itu dan memberikan semangat kepada Bella.Namun apa daya, Adrian tidak lagi mampu bergerak dan melakukan apa-apa selain berbaring, bahkan untuk berbicara saja Adrian sangat kesusahan."Adrian, cepatlah sembuh! Aku berjanji aku akan memperlakukanmu dengan baik jika kamu sembuh."Dengan membelai tangan Adrian, Bella menatap wajah yang penuh dengan perban itu dengan tangis

  • 180 Hari Menuju Akad   Ingin Berbahagia

    Mama Ratna penasaran dengan apa yang terjadi kepada Adrian, bagaimanapun juga Adrian adalah lelaki yang membantu Bella ketika Bella hancur ketika kehilangan kekasih hatinya. Walaupun mama Ratna sangat menyukai Rasya dan berharap dokter tampan itu yang akan menjadi menantunya, mama Ratna tetap tidak bisa melupakan hutang budinya kepada Adrian. Adrian adalah lelaki yang menjadi matahari saat bumi yang ditinggali oleh putri kesayangannya ditutupi oleh awan kelam."Adrian mengigau memanggil-manggil nama Bella."Papa Herma ln berhenti sejenak, beliau sepertinya juga teramat sangat mengkhawatirkan Bella."Bella?" Mata mama Ratna terbelalak, seolah ingin menanyakan sesuatu, namun beliau takut kalau suaminya marah."Kasihan Adrian, Tante, kedua orang tuanya masih berada di luar negeri. Namun, saat ini dia ditemani oleh tunangannya, tetapi Adrian sedikitpun tidak menyebut nama tunangannya," jelas Rasya.Penjelasan Rasya membuat mama Ratna paham, bahwa ada cinta yang tulus dari relung hati ter

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status