Entah apa yang kupikirkan hingga terbesit di dalam hatiku untuk menanyakan isi hati Arya kepadaku. Aku penasaran apakah lelaki itu merasa bahagia atas rencana pernikahanku sehingga ia terlihat begitu antusias untuk menyuruhku menikah. "Mas, kenapa kamu diam? Apakah kamu senang melihat aku menikah dengan lelaki yang tidak aku cintai?" Dengan nada suara tinggi dan mata melotot, aku menatap dan menantang Arya. Namun, lelaki itu tidak berani menatap mataku, ia memalingkan pandangannya seolah tidak ingin menjawab pertanyaanku. "Mas, jawab aku!" bentak ku hingga membuat lelaki itu terpaksa menatap tajam ke arahku. "Kania, sebagai seorang kakak tentu saja Mas akan merasa sangat senang dan bahagia jika adik yang sangat Mas sayangi menikah dengan lelaki yang sangat baik ilmu agamanya." "Oke, Mas, jika itu yang membuat Mas bahagia maka aku akan menikah dengan lelaki itu, sekarang Mas silahkan pergi dari sini karena aku ingin istirahat!" Aku mengangkat tangan kananku, kemudian menunju
"Ma-, Mama menampar Kania?" ucapku dengan nada suara terisak dengan air mata yang kini mengalir membasahi pipiku. "Mama dan Papa tidak pernah mendidik mu menjadi anak yang kurang ajar seperti ini!" ucap mama Anita dengan nada suara lemah dan terdengar datar, namun sungguh kata-kata yang keluar dari lisan mama Anita terasa seperti anak panah yang menusukku tepat di jantungku. Dadaku terasa sangat sesak, aku kesulitan bernafas seolah nyawa ini akan meninggalkan jasadnya. Ya, ada rasa penyesalan di hati ini dan ingin rasanya aku meminta maaf kepada mama Anita atas sikapku yang durhaka, tapi mulut ini kaku dan kelu seolah tidak sanggup lagi mengucapkan apapun, bukan karena aku tidak mampu dan tidak bisa tapi karena hati ini telah membatu hingga tidak ada lagi kebaikan yang terlihat di wajahku, yang ada rada benci dan kecewa kepada mamaku sendiri. "Sekarang kita pulang!" ucap mama Anita tegas. Wanita separuh baya yang biasanya selalu bersikap lembut kepadaku kini telah berubah menja
Sejujurnya, keberadaan papa saat ini membuatku merasa tenang dan damai, beliau seperti salju putih bersih yang memadamkan panasnya gejolak api dalam diriku. Ya, papa mungkin belum tahu bagaimana aku dan mama bertengkar hebat, papa juga mungkin tidak tahu bagaimana anak gadis kesayangannya ini tidak ingin menikah dengan seorang lelaki yang kini berlabel sebagai tunanganku itu karena perihal perjodohan memang telah kuserahkan kepada mama dengan kata terserah yang kini menjadi bumerang dalam diriku. Ya, tidak salah jika agama islam menganjurkan untuk mengucapkan dan mengatakan kata-kata yang baik-baik saja karena kata-kata itu adalah doa, jadi ketidakyakinan ku membuat aku terjebak dalam perangkap yang ku buat sendiri. 'Ya Allah, apakah ini kehidupan terbaik dan terindah yang Engkau janjikan kepada hamba-hamba Mu yang bersabar?' ucapku di dalam hati. Huft ... Kutarik nafas panjang, kemudian ku pejamkan mataku, kubayangkan panjangnya ujianku hingga ketahap ini. Aku telah bersabar denga
"Pa, kita langsung pulang ke rumah saja, Mama capek, lagian kalau butuh apa-apa kita bisa meminta Bibi untuk mencarikannya keluar," ujar mama Anita yang tentu saja disetujui papa. Huft ... Kutarik nafas panjang dan aku memejamkan mataku kembali, berharap aku lelap tertidur dan terbangun ketika sampai di rumah, karena aku tidak ingin lagi mendengar ocehan dan omelan mama yang membuat kepalaku semakin sakit. Namun, bukannya malah tertidur, tapi kenangan akan Arya tergambar jelas dalam benakku. Aku ingat saat pertama kali lelaki itu hadir dalam kehidupanku, ia datang sebagai seorang malaikat baik yang memberikan janji-janji yang meyakinkanku. "Kania, jangan takut, ada aku di sisimu, apapun yang terjadi aku tetap akan selalu ada dalam kehidupanku dalam setiap suka dan dukamu. Aku akan menggenggam erat tanganmu dan tidak akan pernah melepaskan tangan itu walau sesaat kecuali jika kamu sendiri yang ingin melepaskan ikatan itu dariku," ucap Arya dengan wajah yang terlihat sangat serius kepa
"Suster, tolong bantuannya ya!" ucap mama Anita tanpa menatap ke arahku sedikitpun, seolah amarah dan kekecewaan yang beliau rasakan membuat beliau enggan untuk menatapku, putri kandungnya sendiri. "Biar Papa saja yang mendorong kursi rodanya, Ma. Mama dan Suster tunggulah di kamar Kania," ujar papa lembut. "Ah, terserah Papa aja lah!" Mama Anita berjalan memasuki rumah kami, meninggalkanku dan papa Gunawan dengan tumpukan barang yang kebetulan dibantu oleh suster membawakannya. Papa Gunawan terlihat mulai aneh dengan sikap mama Anita, namun sepertinya kali ini beliau mencoba mengabaikannya karena papa bukanlah orang yang mudah terpancing emosi dan amarah sesaat. Papa Gunawan mendorong kursi rodaku dengan sabar menuju kamarku. Kurasakan betapa hangat dan lembutnya cinta dan kasih sayang papa kepadaku, bahkan beliau memperlakukan aku seperti tuan putri yang sangat dimuliakan dan dimanjakan, hingga air mata tiba-tiba jatuh membasahi pipi bulat ku. Ya, bagaimana aku akan tega me
'Kamu dimana? Kenapa kamu selalu menghilang saat aku sedang membutuhkanmu? Kenapa kamu menghindar saat kita berdua bertengkar?' ucapku di dalam hati sembari membayangkan wajah Arya. Arya selalu menghindar dan kabur jika aku membicarakan hal serius dengannya. Ia menghilang dan tidak bisa dihubungi saat aku bertengkar dengannya. Ia tidak ingin berdebat denganku atau bahkan membahas semua yang ingin kutanyakan kepadanya, namun lebih memilih menghindar seperti seorang pengecut yang tidak punya nyali sama sekali. "Dasar buaya!" Rasa kesal ini membuatku membanting bantal guling yang ada di ranjangku hingga hampir mengenai wajah papa. "Kania, ada apa, Nak?" ucap papa sembari menangkap bantal guling yang ku lempar secara tiba-tiba tanpa tahu kalau papa akan masuk ke kamarku. "Ma-, maaf, Pa." Dengan wajah gugup dan rasa bersalah, aku menundukkan wajahku karena aku sama sekali tidak ada niat ingin melemparkan bantal ke wajah papaku. Sementara itu, papa Gunawan berjalan pelan mendeka
"Ma, ayo keluar!" ucap papa Gunawan sembari menggandeng tangan mama Anita untuk keluar dari kamarku. Sungguh, rasanya ingin sekali aku kabur dan keluar dari rumah ini dari pada setiap harinya aku terus-terusan menanggung perasaan yang membuatku harus membenci mamaku. Aku sangat tahu dan sangat paham sekali kalau dalam agamaku melawan kepada orang tua adalah dosa besar karena restu Allah ada pada restu kedua orang tua dan murka Allah ada pada murka orang tua. Aku juga merasa merasa sangat takut jika kesalahan dan hidup yang kujalani tanpa restu orang tua membuat hidupku tidak berkah, tentram dan damai, tapi bukan berarti kedua orang tuaku harus memaksakan kehendak yang membuatku tidak punya hak atas diriku sendiri. Ya, bagaimanapun juga aku harus bergerak cepat sekarang, aku tidak boleh lengah karena ini menyangkut masa depanku. Aku menghapus air mata yang mengalir di pipiku, aku bangkit dari pembaringanku, dan walaupun berat kakiku tetap berusaha melangkah menuju cermin yang terl
Aku merasakan keberadaan papa Gunawan yang menguatkan ku. Papa Gunawan menatapku dengan seksama, tatapan yang penuh dengan sejuta tanda tanya. Sungguh, perasaan seorang ayah pasti akan sangat terluka melihat kondisi anaknya sedang tidak baik-baik saja, bahkan tanpa dikatakan dan dijelaskan saat ini papa Gunawan paham kalau putri kesayangannya ini sedang menanggung beban yang sangat berat sekali saat ini. "Aw, sakit! Pelan-pelan dong, Suster!" ucapku dengan nada suara membentak dan volume tinggi. Luka dan kekecewaan hidup yang kurasakan sekarang membuatku menjadi mudah emosi dan melampiaskan amarahku kepada orang lain. Ya, sebenarnya aku sangat sadar kalau sikapku sangat jauh dari kata sopan dan menghargai orang lain, namun tidak ada yang bisa kulakukan sekarang selain meluapkan emosiku lewat amarah. Sungguh, rasanya sedikit perasaan di hati ini begitu lega, seolah separoh beban berat yang saat ini ku junjung di kepalaku terlepaskan. "Apa yang terjadi? Kenapa berteriak-teriak?" sorak
"Kania, Mas yakin kamu akan mendapatkan lelaki terbaik dan terhebat seperti yang kamu harapkan selama ini. Ikhlaskan dia yang telah pergi dan buka hati untuk dia yang nantinya akan mengisi hari-harimu. Mas yakin, wanita baik sepertimu akan mendapatkan lelaki terbaik juga, karena jodoh adalah cermin diri, dan wanita baik-baik akan dipersatukan juga dengan lelaki baik-baik," ucap Arya menasihati ku.Kutatap lelaki itu dengan seksama, penuh kekaguman dan rasa syukur. Ya, akhirnya aku menyadari kalau Arya adalah sosok lelaki yang bisa mengayomiku, ia menasehatiku layaknya seorang kakak laki-laki kepada adiknya, melindungi dan menjagaku seperti saudaranya sendiri. Aku tahu, Arya adalah laki-laki. Ia memiliki naluriah laki-laki, sikap dan jiwa seorang lelaki yang mungkin saja mudah jatuh dan dimanfaatkan oleh wanita yang tidak benar-benar tulus mencintainya. Ia mungkin juga akan tergoda dengan wanita cantik dan seksi seperti sebelumnya, karena tantangan terbesar seorang lelaki yang telah su
"Ma, Bella terkagum-kagum dengan agama islam. Islam begitu memuliakan kedua orang tua dan Mama adalah surganya Bella."Bella bersujud dan mencium telapak kaki mamanya dengan tulus dan ikhlas. "Sayang, apa yang kamu lakukan? Jangan seperti ini, Sayang!" Mama Ratna membantu putri kesayangannya untuk bangun dan bangkit. Beliau memeluk putri kesayanggannya itu. Rasa haru dan bahagia memenuhi hati dan fikiran mama Ratna, betapa ia sangat bahagia dan bersyukur karena memiliki putri yang teramat sangat baik dan berbakti seperti Bella."Nak, kamu benar-benar permata dalam kehidupan Mama dan Papa. Maaf karena selama ini kami membiarkanmu tumbuh sendiri tanpa perhatian dan kasih sayang."Mama Ratna membelai lembut rambut putrinya, matanya mengisyaratkan sebuah penyesalan yang teramat sangat dan keinginan untuk membalas sesuatu yang telah hilang menjadi senyum kebahagiaan untuk Bella."Ma, apa Bella boleh nggak usah ke kantor dulu? Bella ingin fokus di rumah dan belajar agama. Biar Lara saja y
"Tentu jadi, Sayang, nanti kita packing dan membereskan semua perlengkapan travelling," ujar mama Ratna bersemangat."Ma, emangnya Papa mau libur ngantor?" Papa Herman juga salah seorang manusia yang sangat gila dan mencintai pekerjaan, hingga Bella ragu papanya bisa ikut jalan-jalan dengan mereka atau tidak."Tenang, Sayang, perusahaannya 'kan punya kita, jadi tidak ada alasan bagi Papa untuk menolak," terang mana Ratna.Papa Herman menggeleng-gelengkan kepalanya sembari tersenyum melihat dua wanita yang sangat dicintainya itu terlihat bersangat untuk liburan di luar kota.Ya, memang benar, Bella dan keluarganya sudah lama sekali tidak liburan bersama. Setidaknya sakitnya Bella menjadi perekat hubungan keluarga Bella."Terima kasih, Papa." Bella tersenyum dan terlihat sangat bersemangat."Kalau begitu, sekarang Papa ke kantor dulu ya. Papa ingin menyiapkan semua berkas-berkas dan pekerjaan yang tertumpuk sekalian memberikan tugas untuk dikerjakan oleh sekretaris papa selama kita tid
Bella memeluk mama Ratna, ia tidak bisa berkata apa-apa karena saat ini yang bisa dilakukannya hanya menangis."Sayang, Mama ada untukmu."Mama Ratna menepuk-nepuk punggung putri kesayangannya sembari membelai rambut Bella dengan penuh cinta dan kasih sayang."Ma, apa kita boleh berjalan-jalan ke luar kota? Bella ingin sekali liburan dan menenangkan fikiran," ucap Bella lembut namun tersedu-sedu."Tentu boleh, Nak. Bella boleh pergi ke mana saja yang Bella inginkan. Apa kamu pengen ke luar negeri, Sayang?" Mama Ratna ingin mewujudkan semua keinginan anak kesayangannya karena yang terpenting baginya adalah Bella bisa kembali ceria lagi dan bisa tersenyum lagi seperti dulu."Ma, Bella ingin liburan sama Mama dan Papa, tapi Bella ingin di Indonesia saja," terang Bella.Bella menatap wajah mama dengan penuh harap.Mama Ratna kemudian menghapus air mata yang mengalir di pipi putri kesayangannya itu."Sayang, Bella ingin ke mana?" Mama Ratna bertanya dan mendengarkan keinginan putri kesay
Bella tidak peduli dengan pertanyaan Rasya, mau tidur atau berpura-pura tidur saat ini yang ingin Bella lakukan hanya diam sembari menutup matanya."Bella, aku tahu kamu tidak tidur, tapi kalaupun kamu tidur maka beristirahatlah dengan tenang, aku akan membangunkanmu ketika kita telah sampai di rumah," ujar Rasya.Rasya terus melajukan mobilnya dengan hati yang berkecamuk, penuh dengan kegelisahan dan rasa bersalah. Hingga akhirnya mereka sampai di rumah Bella.Rasya menatap Bella, gadis cantik itupun terlihat sangat cantik saat menutup mata.Rasya kemudian menghapus air mata yang sedari tadi membasahi pipi Bella, hati Rasya terlihat sangat hancur karena melihat hal itu terjadi."Bella, kita sudah sampai di rumah." Rasya membangunkan Bella yang sebenarnya tidak tidur itu.Bella membuka matanya kemudian memaksakan dirinya untuk tersenyum. Bella tidak ingin melihatkan wajah murung qtau bersedih lagi kepada Rasya."Sya, kamu harus singgah di rumah, aku ingin membuatkanmu salad buah untu
Mama Rasya menatap Bella dengan lembut dan penuh kasih sayang. Beliau kemudian menggenggam tangan Bella dengan hangat, Bella merasakan ketulusan di sana."Sayang, Mama sangat merindukan Bella, maaf untuk banyak hal dan terima kasih banyak karena masih mau datang berkunjung ke sini."Ucapan tulus yang ke luar dari mulut mama Rasya membuat Bella terharu, hingga tanpa sadar air mata lagi-lagi membasahi pipi Bella.Kutatap mata mama Rasya dengan air mata yang tidak bisa berhenti ke luar dari mataku. Beliau juga melakukan hal yang sama."Tante, apa benar Tante merindukan Bella?"Dengan nada tersedu-sedu aku ingin memastikan tentang apa yang baru saja aku dengar bukanlah mimpi belaka."Tentu, Sayang, hanya kamu seorang gadis yang Tante anggap seperti anak sendiri dan Tante berharap kamu bisa menjadi istrinya Rasya." Secara terang-terangan mama Rasya mengungkapkan apa yang disimpannya di hatinya. Sementara Bella saat ini terlihat haru bercampur kaget."Bagaimana mungkin seseorang yang melar
Sahabat menjadi cinta, itulah hubungan yang dijalani oleh Bella dan Rasya pada awalnya. Jadi, hubungan percintaan mereka semasa SMA tidak lagi jaim-jaiman namun lebih menjurus kepada persahabatan. Saling menyayangi dan saling menjaga, saling mendukung dan selalu bersama dalam berbagai situasi dan kondisi, baik suka maupun duka. Begitulah hubungan Bella dan Rasya pada waktu itu. Hubungan yang membuat iri banyak mata ketika memandangnya."Bell, aku nggak nyangka ternyata kamu merindukan makanan buatanku."Rasya menatap mata Bella dengan takjub, ia tidak menyangka Bella merindukan masakannya. Ya, semasa SMA Bella dan Rasya memang sering bertukar makanan dan saling mencicipi makanan satu sama lain."Sya, tentu saja aku merindukan masakanmu, bahkan kamu membawakan aku makanan seriao hari, bagaimana mungkin aku melupakanny," ujar Bella dengan senyuman."Baiklah, kalau begitu kita kembali ke rumah sakit ya!" Rasya menghidupkan mesin mobilnya dan bersiap untuk melajukan mobilnya kembali ke r
Bella ingin sekali berdiri dan memeluk Adrian, menghapus air mata yang ada di pipi Adrian serta membelai lembut rambut Adrian. Namun apa daya, Bella tidak memiliki tenaga apa-apa untuk melakukan semua itu selain menangis menatapi lelaki yang terbaring lemah dengan banyaknya luka memar di tubuhnya."Bella, jangan menangis!" Adrian mencoba mengangkat tangannya, namun tangannya yang baru saja dioperasi itu tidak bisa digerakkan sama sekali. Hingga keinginannya untuk menghapus air mata Bella menjadi terurungkan. Adrian juga sangat ingin memeluk Bella, menghapus air mata yang ada di pipi Bella, membelai rambut gadis cantik itu dan memberikan semangat kepada Bella.Namun apa daya, Adrian tidak lagi mampu bergerak dan melakukan apa-apa selain berbaring, bahkan untuk berbicara saja Adrian sangat kesusahan."Adrian, cepatlah sembuh! Aku berjanji aku akan memperlakukanmu dengan baik jika kamu sembuh."Dengan membelai tangan Adrian, Bella menatap wajah yang penuh dengan perban itu dengan tangis
Mama Ratna penasaran dengan apa yang terjadi kepada Adrian, bagaimanapun juga Adrian adalah lelaki yang membantu Bella ketika Bella hancur ketika kehilangan kekasih hatinya. Walaupun mama Ratna sangat menyukai Rasya dan berharap dokter tampan itu yang akan menjadi menantunya, mama Ratna tetap tidak bisa melupakan hutang budinya kepada Adrian. Adrian adalah lelaki yang menjadi matahari saat bumi yang ditinggali oleh putri kesayangannya ditutupi oleh awan kelam."Adrian mengigau memanggil-manggil nama Bella."Papa Herma ln berhenti sejenak, beliau sepertinya juga teramat sangat mengkhawatirkan Bella."Bella?" Mata mama Ratna terbelalak, seolah ingin menanyakan sesuatu, namun beliau takut kalau suaminya marah."Kasihan Adrian, Tante, kedua orang tuanya masih berada di luar negeri. Namun, saat ini dia ditemani oleh tunangannya, tetapi Adrian sedikitpun tidak menyebut nama tunangannya," jelas Rasya.Penjelasan Rasya membuat mama Ratna paham, bahwa ada cinta yang tulus dari relung hati ter