All Chapters of Tanah Larangan: Jangan Bawa Pulang Apa pun: Chapter 51 - Chapter 60

64 Chapters

"Malam Seribu Bayangan"

Malam itu, Desa Waringin Sepuh benar-benar seperti berada di ambang kiamat.Angin berhenti berhembus, seakan bumi sendiri menahan napas menunggu apa yang akan terjadi.Di langit, tidak ada bintang, tidak ada rembulan. Hanya hitam kelam tak bertepi, seolah dunia telah kehilangan semua cahaya harapan.Bu Darmi duduk bersila di tengah pendopo desa, dikelilingi lingkaran lilin dan dupa.Keringat dingin membasahi tubuh tuanya, tapi ia tetap bertahan.Matanya terpejam, bibirnya tak henti-henti melafalkan doa-doa kuno, mantra pelindung yang diwariskan turun-temurun oleh leluhurnya.Namun, dari kejauhan, dari batas hutan yang mengelilingi desa, datang suara gemuruh yang semakin lama semakin keras.Suara itu seperti ribuan langkah kaki, teratur dan penuh tekad.Tanah mulai bergetar, genting-genting rumah berderak pelan seolah akan runtuh.Dan akhirnya, mereka muncul.Bangsa lelembut—dalam berbagai wujud mengerikan—menyerbu desa.Dari hutan, rawa, dan kebun karet, mereka datang berbondong-bondo
last updateLast Updated : 2025-04-28
Read more

Pewaris yang Bangkit

Di sebuah sungai keramat di luar Desa Waringin Sepuh, di tengah kabut tebal yang membeku di atas air, Reza berlutut di atas batu datar. Tubuhnya gemetar hebat, bukan hanya karena dingin, tapi karena energi aneh yang mengalir dari sungai itu menembus daging dan tulangnya. Ki Harjo berdiri di belakangnya, menggenggam sebuah tongkat kayu tua yang ujungnya bersinar samar. Wajah Ki Harjo serius, lebih serius dari sebelumnya. Suasana begitu hening, bahkan suara serangga pun seolah takut berbunyi. "Dengarkan aku baik-baik, Reza," suara Ki Harjo berat, menggema di antara kabut. "Di sungai ini, semua warisan leluhur, semua kekuatan tanah dan darah desa ini akan menguji dirimu." Reza mengangguk perlahan, walau hatinya penuh kecemasan. "Jika kau layak," lanjut Ki Harjo, "kau akan diberi kekuatan untuk menantang bangsa lelembut itu. Tapi jika kau gagal..." Ki Harjo tidak melanjutkan kata-katanya. Ia hanya menatap Reza dalam-dalam, sorot matanya berkata lebih keras dari kata-kata: "Kau
last updateLast Updated : 2025-04-28
Read more

"Pertempuran di Gerbang Desa"

Malam itu, langit Desa Waringin Sepuh menggulung dalam warna hitam pekat. Awan bergemuruh seperti amarah dewa yang tak terbendung. Angin bertiup liar, membawa aroma anyir darah dan tanah basah. Di batas desa, di depan gerbang tua yang sudah retak-retak, Bu Darmi berdiri dengan tubuh gemetar. Sisa-sisa kekuatan yang ia gunakan untuk mempertahankan batas pelindung desa nyaris habis. Peluh membanjiri wajahnya, tapi sorot matanya tetap tajam. Di hadapannya, makhluk-makhluk kegelapan sudah berkumpul. Ada sosok-sosok berkulit abu-abu, bertaring panjang, berambut api, bertubuh raksasa, hingga rombongan siluman anjing bertaring hitam. Jumlah mereka tak terhitung, mendesak, meraung, menjerit. Mereka lapar... lapar akan jiwa manusia. Seketika, tanah bergetar keras. Bu Darmi hampir saja jatuh, ketika cahaya putih menyilaukan tiba-tiba meledak dari ujung jalan desa. Semua makhluk itu mendadak berhenti, tubuh mereka gemetar, mulut mereka menggeram ketakutan. Karena di sana, berdiri Re
last updateLast Updated : 2025-04-29
Read more

Kemenangan Semu

Tubuh Reza bergetar hebat.Bukan karena takut, melainkan karena kekuatan besar yang mulai bangkit dari dalam dirinya.Saat segel pusaka mencakar tanah, sebuah aura kuno yang selama ini tersegel dalam darahnya terlepas.Udara di sekitarnya bergetar, suara-suara gaib mengerang, seolah makhluk dari zaman purba bangkit bersama amarah Reza.Dari balik kegelapan, sosok samar seorang kakek renta bermantel putih muncul di belakang Reza.Itu adalah roh buyutnya — sang penjaga rahasia kuno keluarga.Wajahnya bijaksana, namun matanya memancarkan ketegasan luar biasa."Cucuku... kini saatnya. Ambil seluruh warisan darah kita. Jadilah perisai baru bagi tanah ini!"Reza mengepalkan tangannya, merasakan darah leluhurnya mendidih bagaikan lava.Tubuhnya perlahan diselimuti cahaya keemasan redup, membentuk pola-pola kuno di kulitnya.Setiap tarikan napasnya kini terasa berat, namun penuh kekuatan.Pemimpin bangsa lelembut itu meringis sinis."Tak peduli siapa leluhurmu, manusia! Semuanya akan berlutut
last updateLast Updated : 2025-04-29
Read more

Sang Putri Tanjung Biru

Malam itu, langit di atas desa tampak jernih. Bulan purnama menggantung utuh, sinarnya menghamparkan cahaya keperakan di atas tanah, seolah memberkati keberhasilan yang baru saja diraih Reza, Ki Harjo, dan Bu Darmi.Mereka bertiga duduk di serambi rumah Bu Darmi, menikmati malam yang damai, sesekali menyesap teh hangat dan berbincang ringan tentang harapan masa depan desa."Kita berhasil, Bu," ucap Reza sambil menghela napas lega.Ki Harjo mengangguk pelan. "Untuk sementara, Nak. Tapi ingat, tanah ini sudah lama dikunci oleh kekuatan-kekuatan yang lebih tua dari yang kau bayangkan."Bu Darmi hanya tersenyum tipis, meski dalam hatinya ada sebersit kekhawatiran yang belum sepenuhnya lenyap.Namun, ketika jarum jam hampir menunjuk ke pukul dua dini hari, angin kencang mendadak berhembus dari arah rawa. Bukan angin biasa — hembusannya dingin menggigit, membawa aroma anyir dan tanah basah.Bersamaan dengan itu, suara gamelan tua terdengar lirih dari kejauhan. Nada-nadanya ganjil, seperti l
last updateLast Updated : 2025-04-29
Read more

Amarah Sang Putri

Langit di atas desa semakin gelap. Putaran pusaran awan hitam yang terbentuk akibat ulah Putri Tanjung Biru makin membesar, seakan hendak menelan seluruh tanah di bawahnya. Kilatan-kilatan cahaya berwarna ungu tua sesekali menyambar di dalam pusaran, menggetarkan tanah dan membuat pohon-pohon tua berderak, daunnya luruh ke tanah.Di tengah lapangan desa, Putri Tanjung Biru berdiri dengan angkuh. Rambut panjangnya yang biru keperakan melayang liar tertiup angin badai. Matanya menyala, memancarkan cahaya kehijauan menyeramkan. Di belakangnya, sosok-sosok bangsa lelembut telah mengambil bentuk nyata — ada yang menyerupai manusia dengan tubuh membusuk, ada yang setengah hewan, ada pula yang hanya berupa kabut kelabu mengambang.Bu Darmi menggenggam rajahnya lebih erat, gemetar, namun tetap bertahan di sisi Reza dan Ki Harjo. Sementara itu, Ki Harjo menancapkan tongkat kayu pulosari ke tanah, membentuk lingkaran perlindungan samar yang berpendar lemah di bawah kaki mereka."Ki Harjo... kek
last updateLast Updated : 2025-04-29
Read more

Kebangkitan Sang Penguasa Rawa”

Angin malam itu menderu lebih kencang dari biasanya. Awan hitam menutupi rembulan, membuat seluruh desa tenggelam dalam kegelapan yang pekat. Pepohonan berderak keras seolah tengah berbisik satu sama lain, membawa kabar buruk yang sulit diterjemahkan.Bu Darmi yang menjaga desa malam itu merasakan firasat aneh. Ia memandangi langit gelap dari serambi rumahnya sambil memeluk erat selendang lusuh pemberian gurunya dahulu — satu-satunya benda yang membuatnya merasa sedikit aman.“Kenapa angin seperti ini...?” gumam Bu Darmi, matanya tajam memandang ke arah hutan kecil yang menjadi gerbang ke rawa terlarang.Suara gemuruh mendadak terdengar. Bukan gemuruh petir, melainkan seperti suara ribuan langkah kaki... dan di antaranya, suara genderang serta gemerincing gamelan.Dari kegelapan, kabut tebal mulai merayap perlahan, menyelimuti tanah, menelusup ke sela-sela rumah warga. Suasana desa mendadak berubah: sepi, namun terasa seperti ribuan pasang mata tengah mengintai dari kegelapan.Warga y
last updateLast Updated : 2025-04-29
Read more

Utusan dari Samudra

Kabut belum juga surut. Malam terasa semakin panjang, seolah waktu enggan bergerak maju. Langit kelam membisu tanpa bintang, seperti telah menutup matanya atas bencana yang sedang terjadi di desa itu. Suara gamelan yang sempat mereda, kini terdengar kembali—lebih lirih, namun jauh lebih menusuk hati. Dentingannya membawa perasaan gentar yang sulit dijelaskan. Di dalam rumah, Bu Darmi terduduk lemas. Dupa sudah habis, rajah sudah terbakar angin. Wajahnya pucat pasi, tubuhnya gemetar, dan nafasnya mulai terputus-putus. Pertahanan spiritualnya mulai runtuh. “Gusti... kuatna aku...” lirihnya, sambil berpegangan pada kendi yang hampir pecah. Di luar, para leluhur penjaga desa masih bertarung melawan pasukan lelembut yang tak ada habisnya. Sekali ditebas oleh cahaya tombak para leluhur, muncul dua makhluk baru menggantikan. Seakan-akan Putri Tanjung Biru sengaja membuka gerbang untuk membiarkan segala macam makhluk dari rawa berkeliaran di desa. Warga yang tak sadar, kini banyak yang k
last updateLast Updated : 2025-04-30
Read more

Duel Dua alam

Saat kabut mulai menipis dan udara kembali tenang, suara gamelan yang semula mencekam kini terdengar lirih, seperti sayup-sayup suara rintihan angin yang kelelahan. Sosok Putri Tanjung Biru perlahan kembali muncul dari bayang kabut, kali ini dalam wujud lamanya — sosok perempuan cantik berbalut gaun kabut biru yang telah sobek di beberapa bagian. Wajahnya pucat, penuh luka bercahaya, tapi matanya tak lagi menyala amarah, melainkan kelelahan dan… pengakuan.Ia menatap utusan dari Laut Kidul yang masih berdiri tegak, tak tersentuh sedikit pun.“Aku kalah…” bisiknya lirih, nyaris tak terdengar, tapi seluruh alam seperti ikut mendengar dan diam menyimak.Langkahnya gontai. Ia menunduk dengan hormat, memberi penghormatan pada kekuatan yang lebih tua dan lebih agung.“Aku... akan menghentikan semua ini. Tak akan ada lagi penyerangan. Tak akan ada lagi pemaksaan wilayah. Tapi…” ia menatap Reza, Ki Harjo, dan Bu Darmi yang kini berdiri di tepian rawa. “Aku punya satu syarat.”Utusan Laut Kidu
last updateLast Updated : 2025-04-30
Read more

Hari Pertama Perjanjian

Pagi itu, kabut masih belum sepenuhnya mengangkat dari permukaan tanah. Aroma embun dan tanah basah menyeruak di sepanjang jalan desa yang mulai dipenuhi bisik-bisik warga. Malam sebelumnya, sebagian dari mereka memang sudah mendengar gamelan misterius dan suara angin mendesir seperti ratapan. Tapi tak ada yang benar-benar berani bicara—hingga hari ini.Bu Darmi berdiri di pelataran balai desa, mengenakan kebaya cokelat tua dan selendang hitam, wajahnya serius namun tenang. Di sampingnya, Reza berdiri diam. Tatapannya tajam menembus kerumunan, seolah mencari wajah-wajah yang masih ragu untuk percaya.Pak RT, lelaki paruh baya yang biasanya dikenal santai, kali ini bersuara lantang dan tegas.“Saudara-saudara…!” serunya sambil mengetuk kentongan kecil.Warga mulai berkumpul, beberapa masih dengan sarung dan kain lusuh, sebagian lain tampak penasaran dan khawatir.“Kami memanggil kalian semua bukan tanpa sebab,” lanjut Pak RT. “Tadi malam, sesuatu terjadi… sesuatu yang melibatkan alam y
last updateLast Updated : 2025-04-30
Read more
PREV
1234567
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status