Tous les chapitres de : Chapitre 171 - Chapitre 180

211

BAB 170: RAKAI WISESA MENYERAHKAN TAHTA

Di aula utama istana Gilingwesi, suasana tegang menyelimuti ruangan yang dipenuhi lilin-lilin berkedip lemah. Rakai Wisesa duduk di singgasananya, wajahnya tampak lelah namun penuh tekad. Di hadapannya, Raka berdiri dengan ekspresi bingung dan cemas. Cahaya bulan purnama yang menembus jendela ukir menciptakan pola bayangan yang bergerak pelan di lantai marmer, menambah nuansa magis dan dramatis.Angin malam berdesir pelan, membawa aroma dupa yang semakin kuat. Suara gemericik air dari sungai suci di bawah istana terdengar samar-samar, seolah mengiringi ketegangan yang memuncak di ruangan itu. Resi Agung Darmaja berdiri di sudut ruangan, matanya tertutup rapat, seolah tenggelam dalam meditasi mendalam."Aku telah memutuskan sesuatu yang penting," kata Rakai Wisesa dengan suara dalam namun lembut. "Dan aku ingin kau mendengarnya langsung dari mulutku."Raka menatap Rakai Wisesa dengan mata melebar. "Apa maksudmu, Yang Mulia?"Rakai Wisesa menghela napas panjang sebelum melanjutkan. "Aku
last updateDernière mise à jour : 2025-03-16
Read More

BAB 171: NAGA NISKALA MEMBERIKAN JAWABAN TERAKHIR

Di tepi sungai suci yang mengalir di bawah istana Gilingwesi, suasana malam terasa magis dan penuh misteri. Bulan purnama memantulkan cahayanya di permukaan air yang tenang, menciptakan kilauan seperti emas cair. Udara dingin membawa aroma tanah basah dan dupa yang menyelimuti seluruh area, seolah-olah alam sedang bersiap untuk sesuatu yang besar.Raka berdiri di tepi sungai, hatinya dipenuhi oleh kebingungan dan ketegangan setelah menerima tahta dari Rakai Wisesa. Di sampingnya, Dyah Sulastri menatap air dengan ekspresi khawatir, seolah ia tahu bahwa sesuatu yang penting akan terjadi malam ini. Tiba-tiba, air sungai mulai bergolak meskipun tidak ada angin atau hujan. Permukaan air terbelah pelan-pelan, dan dari dalamnya muncul Naga Niskala—makhluk mistis yang telah menjadi penjaga kerajaan selama berabad-abad.Matanya bersinar seperti emas cair, dan suaranya bergema lembut namun menggetarkan jiwa. "Kalian telah sampai pada titik akhir perjalanan kalian," katanya dengan nada yang menda
last updateDernière mise à jour : 2025-03-16
Read More

BAB 172: RAKA MENGGUNAKAN ARTEFAK

Di ruang bawah tanah istana Gilingwesi, tempat artefak perunggu disimpan dalam sebuah kotak kayu berukir kuno, suasana dipenuhi oleh ketegangan. Cahaya lilin yang redup memantul di permukaan artefak, menciptakan bayangan aneh di dinding batu. Udara dingin membawa aroma belerang yang semakin kuat, seolah-olah alam sedang bersiap untuk sesuatu yang besar.Raka berdiri di depan artefak itu, tangannya gemetar saat ia menggenggamnya. Ia tahu bahwa ini adalah momen penting—momen yang akan menentukan takdirnya dan kerajaan ini. Dyah Sulastri berdiri di pintu masuk, matanya penuh kekhawatiran. "Apakah kau yakin dengan ini, Raka?" tanyanya pelan, suaranya hampir tidak terdengar di tengah kesunyian malam.Raka mengangguk, meskipun hatinya dipenuhi oleh rasa ragu. "Ini satu-satunya cara," katanya, suaranya mantap namun bergetar. "Jika aku bisa membuka portal waktu permanen, mungkin ada harapan untuk menyelamatkan kerajaan ini."Namun, sebelum ia melanjutkan, artefak itu mulai bergetar lemah di ta
last updateDernière mise à jour : 2025-03-17
Read More

BAB 173: DYAH SULASTRI MENGHADAPI TAKDIRNYA

Matahari pagi mulai terbit di cakrawala, memancarkan cahaya lembut yang menyelimuti istana Gilingwesi. Namun, suasana di dalam istana jauh dari damai. Udara dipenuhi oleh ketegangan dan kecemasan. Ritual besar yang akan menentukan nasib kerajaan ini hanya tinggal beberapa jam lagi.Dyah Sulastri berdiri di tepi sungai suci, airnya yang tenang mencerminkan wajahnya yang penuh konflik batin. Ia tahu bahwa hari ini adalah akhir dari perjalanan panjangnya—akhir dari semua harapan dan impian yang ia bangun bersama Raka. Tangannya gemetar saat ia meraih liontin kecil yang selalu ia kenakan, sebuah simbol hubungannya dengan dunia gaib sejak lahir.Raka mendekatinya dari belakang, langkah kakinya hampir tidak terdengar di atas rerumputan basah. "Kau tidak harus melakukannya," katanya pelan, suaranya penuh emosi. "Ada cara lain untuk menyelamatkan kerajaan ini."Dyah Sulastri menoleh, matanya berkaca-kaca namun penuh tekad. "Tidak ada cara lain, Raka. Ini adalah takdirku—sejak aku dilahirkan, a
last updateDernière mise à jour : 2025-03-17
Read More

BAB 174: ARYA KERTAJAYA MENGUCAPKAN SELAMAT TINGGAL

Matahari mulai tenggelam di cakrawala, menyelimuti istana Gilingwesi dengan cahaya keemasan yang redup. Udara terasa lebih berat dari biasanya, seolah-olah alam pun menahan napasnya untuk menyaksikan momen perpisahan ini. Arya Kertajaya berdiri di tepi halaman istana, mengenakan jubah perang lusuhnya yang kini tampak lebih pudar daripada dulu. Wajahnya penuh kerutan—bukan hanya karena usia, tetapi juga beban emosional yang ia tanggung selama bertahun-tahun.Raka dan Dyah Sulastri mendekatinya bersama-sama, langkah mereka pelan namun pasti. Ada kesedihan dalam setiap gerakan tubuh mereka, meskipun mereka mencoba untuk tetap tegar. Arya Kertajaya memandang mereka bergantian, matanya penuh dengan rasa hormat, rindu, dan penyesalan."Aku tidak akan melupakan apa yang telah kita lalui bersama," kata Arya Kertajaya, suaranya rendah namun mantap. "Tapi aku tahu bahwa tempatku bukan lagi di sini."Raka mengangguk pelan, meskipun hatinya dipenuhi oleh rasa bersalah. Ia tahu bahwa kehadirannya t
last updateDernière mise à jour : 2025-03-17
Read More

BAB 175: PENGORBANAN DI TEPI TAKDIR

Matahari telah sepenuhnya tenggelam, meninggalkan langit malam yang gelap dengan bintang-bintang berkilauan seperti mata gaib yang mengamati. Udara dingin menyelimuti istana Gilingwesi, membawa aroma dupa dan tanah basah yang memperkuat suasana mistis. Di tepi sungai suci, portal waktu terbuka lebar, memancarkan cahaya biru kehijauan yang berdenyut seperti detak jantung. Portal itu adalah gerbang menuju masa depan Raka—tempat ia bisa kembali ke dunianya sendiri. Namun, di sisi lain, itu juga merupakan garis batas antara dua dunia, dua takdir, dan dua pilihan yang tidak mungkin dipertemukan.Raka dan Dyah Sulastri berdiri di depan portal itu, saling berpegangan tangan erat. Wajah mereka mencerminkan keteguhan hati, meskipun bayangan keraguan masih tersirat di kedalaman mata mereka. Mereka tahu bahwa ini adalah momen penentuan—akhir dari perjalanan panjang yang penuh konflik, pengorbanan, dan cinta terlarang."Kita sudah sampai di sini," kata Raka pelan, suaranya terdengar hampir seperti
last updateDernière mise à jour : 2025-03-17
Read More

BAB 176: MENGHADAPI DIRI SENDIRI

Malam semakin larut, dan udara di tepi sungai suci terasa semakin dingin. Portal waktu masih terbuka lebar, memancarkan cahaya biru kehijauan yang berdenyut seperti detak jantung. Raka berdiri sendirian di depan portal itu, tubuhnya tampak kaku namun pikirannya penuh dengan gejolak. Ia tidak lagi memegang tangan Dyah Sulastri—ia memilih untuk memberikan dirinya waktu sejenak untuk merenung, untuk mencoba memahami semua yang telah terjadi sejak ia pertama kali menemukan cermin perunggu di gua purba.Angin malam berdesir pelan, membawa aroma dupa dan tanah basah yang selalu mengingatkannya pada dunia mistis ini. Suara aliran sungai terdengar samar-samar, seolah-olah alam sedang berbisik padanya. Namun, dalam keheningan itu, pikiran Raka dipenuhi oleh serangkaian pertanyaan yang tak kunjung terjawab.Raka menatap portal waktu dengan mata kosong, seolah-olah ia sedang melihat bayangan masa lalunya sendiri di dalam cahaya biru itu. Pikirannya kembali ke hari-hari awal ketika ia pertama kali
last updateDernière mise à jour : 2025-03-17
Read More

BAB 177: NASIHAT TERAKHIR DARI RESI AGUNG DARMAJA

Matahari mulai terbit di cakrawala, menyelimuti istana Gilingwesi dengan cahaya keemasan yang lembut. Namun, di balik keindahan pagi itu, atmosfer masih dipenuhi oleh ketegangan dan rasa tidak pasti. Raka duduk sendirian di tepi sungai suci, menatap air yang mengalir tenang. Portal waktu sudah tertutup, dan ia tahu bahwa keputusannya untuk tetap tinggal di masa lalu adalah langkah tanpa jalan kembali. Pikirannya masih dipenuhi oleh berbagai pertanyaan tentang apa yang harus ia lakukan selanjutnya.Tiba-tiba, langkah kaki pelan terdengar mendekat. Raka menoleh dan melihat Resi Agung Darmaja berjalan perlahan ke arahnya. Pendeta tua itu tampak lebih misterius dari biasanya, dengan jubah putihnya yang berkibar lembut ditiup angin. Matanya yang tajam namun penuh kebijaksanaan menatap Raka dengan intensitas yang membuat pemuda itu merasakan sesuatu yang tidak nyaman—seolah-olah Resi Agung Darmaja bisa membaca pikirannya."Kau telah membuat keputusan besar," kata Resi Agung Darmaja pelan, su
last updateDernière mise à jour : 2025-03-18
Read More

BAB 178: ARYA KERTAJAYA MEMOHON SEKALI LAGI

Matahari mulai tenggelam di cakrawala, menyelimuti istana Gilingwesi dengan cahaya jingga yang lembut. Namun, suasana di dalam istana masih dipenuhi ketegangan. Raka berjalan menyusuri koridor batu yang dingin, pikirannya penuh dengan keputusan besar yang telah ia buat—untuk tetap tinggal di masa lalu demi melindungi Dyah Sulastri dan kerajaan ini. Ia merasa damai dengan keputusannya, namun ia tahu bahwa tantangan baru akan segera datang.Tiba-tiba, langkahnya terhenti saat ia mendengar suara pelan dari balik salah satu tiang kayu ukiran. Arya Kertajaya berdiri di sana, wajahnya tampak murung namun penuh tekad. Panglima perang itu menatap Raka dengan mata yang sulit dibaca—ada rasa hormat, tapi juga kesedihan mendalam."Raka," kata Arya pelan, suaranya bergetar seperti angin malam. "Aku ingin bicara denganmu."Raka mengangguk, mencoba membaca ekspresi Arya. "Ada apa, Arya? Apakah ada masalah?"Arya tidak langsung menjawab. Ia mengambil napas panjang, seolah-olah sedang mempertimbangkan
last updateDernière mise à jour : 2025-03-18
Read More

BAB 179: RAKAI WISESA MENYAMPAIKAN PERMINTAAN TERAKHIR

Langit malam di atas istana Gilingwesi dipenuhi bintang-bintang yang berkilauan redup, seolah-olah mereka menyaksikan ketegangan yang masih menggelayuti udara. Di dalam ruang singgasana, api lilin berkedip-kedip lemah, menciptakan bayangan panjang di dinding batu. Rakai Wisesa duduk di singgasananya, wajahnya tampak lebih tua dari biasanya—garis-garis kerutan di dahinya semakin dalam, dan matanya yang tajam kini dipenuhi oleh kelelahan dan kekhawatiran.Raka berdiri di hadapannya, menundukkan kepala dengan hormat. Ia merasa tegang, meskipun ia sudah membuat keputusan untuk tetap tinggal di masa lalu. Namun, ada sesuatu dalam tatapan Rakai Wisesa yang membuatnya tidak bisa sepenuhnya tenang—seolah-olah raja ini memiliki permintaan terakhir yang belum terucapkan."Raka," kata Rakai Wisesa pelan, suaranya parau namun penuh otoritas. "Ada satu hal lagi yang harus kau lakukan sebelum segalanya benar-benar berakhir."Raka mengangkat kepala, menatap raja itu dengan mata penuh rasa penasaran.
last updateDernière mise à jour : 2025-03-18
Read More
Dernier
1
...
1617181920
...
22
Scanner le code pour lire sur l'application
DMCA.com Protection Status