All Chapters of Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova: Chapter 121 - Chapter 130

133 Chapters

Bab 121: Tak Ada Lagi Tempat untuk Bersembunyi

Angin malam berembus lembut, menyelinap melalui celah balkon kamar Amara, membawa serta aroma hujan yang tertinggal di jalanan kota. Dari tempatnya berdiri, ia bisa melihat gemerlap lampu-lampu Jakarta yang terus berpendar, berkilauan seperti bintang-bintang yang jatuh ke bumi.Hiruk-pikuk metropolis itu seakan tidak peduli dengan kekacauan yang sedang melanda hatinya—sebuah ironi yang begitu nyata.Jari-jari Amara menggenggam pagar besi balkon, erat, seakan itu satu-satunya pegangan yang bisa menahannya agar tetap berdiri. Namun, genggaman itu sedikit bergetar. Bukan karena dingin, melainkan karena badai yang berkecamuk dalam dadanya sejak siang tadi."Aku mencintainya. Dan tidak ada kertas apa pun yang bisa membuktikan atau menghapus perasaan itu."Suara Laksha masih terngiang di telinganya, mengulang-ulang seperti gema yang enggan menghilang. Kata-kata itu nyata. Tidak ada paksaan. Tidak ada kepura-puraan.Dan justru itulah yang membuatnya
last updateLast Updated : 2025-04-10
Read more

Bab 122: Keputusan yang Mengubah Segalanya

Suasana di ruang kerja Aditya Wijanarko terasa berat, seolah setiap helaan napas membawa beban yang tak kasatmata. Senja di luar mewarnai langit dengan semburat jingga keemasan, cahayanya menembus jendela besar di belakang meja mahoni yang kokoh.Namun, kehangatan cahaya itu tak mampu mencairkan ketegangan yang mengisi udara.  Laksha berdiri tegak di tengah ruangan, rahangnya mengeras, bahunya tegang seperti busur yang siap dilepaskan. Sorot matanya tajam, terarah lurus pada sosok pria yang duduk di balik meja kerja yang megah itu—ayahnya.  Aditya Wijanarko menautkan jemarinya di atas meja, ekspresinya tetap datar, tetapi setiap garis di wajahnya menyiratkan ketegasan. Pria itu tampak seperti seorang hakim yang akan menjatuhkan vonis. Di sisinya, Indira berdiri diam.Tubuhnya tampak rileks, tetapi sorot matanya mengisyaratkan sesuatu yang lebih dalam—sebuah kegelisahan yang tak terucap, entah karena keraguan, entah karena ketakutan
last updateLast Updated : 2025-04-10
Read more

Bab 123: Jejak yang Kutinggalkan

Langit Jakarta masih menyisakan jejak senja, memulas cakrawala dengan warna jingga yang perlahan larut dalam kegelapan malam. Siluet gedung-gedung tinggi menjulang, membelah angkasa yang mulai dipenuhi titik-titik cahaya dari lampu-lampu kota.Dari atas apartemen di pusat kota, dunia di bawah sana tampak sibuk seperti biasa—deretan kendaraan merayap di jalanan, klakson bersahutan, dan lampu-lampu reklame berkedip dalam ritme yang terasa asing di tengah keheningan kamar ini.Amara berdiri di depan jendela besar, pandangannya kosong menatap keluar. Refleksi dirinya samar-samar terlihat di kaca—wajahnya pucat, matanya kehilangan sinarnya, dan bibirnya sedikit bergetar. Tangannya mengepal di sisi tubuh, berusaha meredam gemetar yang merayapi jemarinya."Aku memilihmu."Suara Laksha masih bergema di benaknya, mengalun berulang-ulang seperti melodi yang tak kunjung reda. Kata-kata itu seharusnya membahagiakannya. Seharusnya menjadi alasan u
last updateLast Updated : 2025-04-11
Read more

Bab 124: Menjemput yang Pergi

Angin malam menyapu jalanan Jakarta yang tak pernah benar-benar tidur. Gedung-gedung tinggi menjulang dengan jendela-jendela yang masih menyala, sementara deretan lampu jalan memantulkan cahaya kekuningan di aspal yang basah oleh sisa gerimis.Di dalam taksi yang melaju di antara arus kendaraan, Amara duduk diam, pandangannya menerobos jendela, menatap tanpa benar-benar melihat. Kelap-kelip lampu kendaraan lain membentuk semburat warna yang samar, bercampur dengan bayangan pikirannya sendiri.Dadanya terasa sesak.Tangannya yang dingin menggenggam erat tepi koper kecil di pangkuannya, seolah benda itu adalah satu-satunya pegangan yang tersisa. Berulang kali ia mencoba mengatur napas, berusaha menenangkan dirinya dengan keyakinan bahwa ini adalah keputusan yang benar.Namun, semakin ia berusaha meyakinkan diri, semakin sakit perasaannya."Jangan bicara seolah kau tahu apa yang akan aku sesali!"Suara Laksha masih menggema di kepalany
last updateLast Updated : 2025-04-11
Read more

Bab 125: Saat Hujan Membawamu Kembali

Hujan gerimis mulai turun, menciptakan pola samar di kaca depan mobil saat Laksha membawa Amara keluar dari hiruk-pikuk jalanan Jakarta. Sorot lampu kendaraan lain menari di permukaan jalan yang basah, memantulkan cahaya ke dalam kabin yang hening.Di antara mereka, hanya ada suara napas dan detak jantung yang berdetak lebih cepat dari biasanya—entah karena udara yang terlalu sesak atau perasaan yang sulit diurai.Amara menatap keluar, matanya mengikuti butiran hujan yang mengalir perlahan di jendela. Tangannya menggenggam erat koper kecil di pangkuannya, seolah itu adalah jangkar terakhir yang bisa menahannya tetap teguh.Namun, ia tahu, sejak Laksha datang mengejarnya, pertahanannya mulai goyah. Ada sesuatu dalam tatapan pria itu yang menghancurkan tembok yang susah payah ia bangun.Sementara itu, Laksha tetap mengemudi dengan ekspresi yang sulit diterjemahkan. Rahangnya mengeras, garis wajahnya tampak lebih tegang dari biasanya. Matanya lurus men
last updateLast Updated : 2025-04-12
Read more

Bab 126: Tanpa Syarat, Tanpa Kebohongan

Senja menumpahkan cahaya keemasan ke seluruh sudut apartemen, membentuk bayangan lembut yang menari di dinding. Langit di luar bergradasi dari jingga pekat ke ungu tua, seolah alam sendiri sedang melukiskan peralihan hari dengan warna-warna paling indahnya.Angin sore menyelinap masuk melalui celah balkon, menggoyangkan gorden tipis yang melambai perlahan, menciptakan tarian sunyi yang nyaris melankolis.Di dalam ruangan, aroma kopi hitam yang masih mengepul bercampur dengan wangi maskulin khas Laksha—kombinasi yang selama ini terasa asing bagi Amara, tetapi kini menghadirkan kenyamanan yang tak ia duga.  Amara berdiri di dekat meja makan, jari-jarinya menggambar lingkaran tak beraturan di tepian gelas. Matanya tak sepenuhnya terfokus, seakan pikirannya melayang di antara kenyataan dan sesuatu yang lebih dalam—sesuatu yang tak ingin ia akui sepenuhnya.Di hadapannya, Laksha duduk dengan sikap santai, satu lengannya terlipat di atas meja
last updateLast Updated : 2025-04-12
Read more

Bab 127: Melawan Garis Takdir

Udara di ruang kerja Aditya Wijanarko terasa lebih berat dari biasanya, seolah-olah mengandung beban yang tak kasatmata. Lampu gantung kristal di langit-langit memancarkan cahaya keemasan, memantul lembut di permukaan meja kayu mahoni yang kokoh di tengah ruangan.Aroma kayu tua bercampur samar dengan wangi kertas lama dari rak-rak buku yang memenuhi dinding. Deretan jilid tebal dengan punggung berlapis emas berdiri tegak, seakan menjadi saksi bisu ketegangan yang merayap di antara dua pria yang saling berhadapan.  Laksha berdiri tegak di hadapan ayahnya, jarinya mencengkeram gagang cangkir kopi yang belum sempat ia teguk. Cairan hitam di dalamnya masih mengepulkan uap tipis, kontras dengan hawa dingin yang perlahan menjalar dari kata-kata yang belum terucap.Rahangnya mengeras, sorot matanya tajam, tetapi ada kilatan lain di sana—sesuatu yang tak mudah diartikan. Kemarahan? Kekecewaan? Atau hanya kesadaran bahwa perdebatan ini tak akan berakhir tanp
last updateLast Updated : 2025-04-13
Read more

Bab 128: Menggenggammu di Bawah Langit Jakarta

Udara pagi di Jakarta terasa lebih segar dari biasanya, meskipun suara klakson mobil, deru mesin, dan gemuruh kota masih mendominasi. Dari balkon apartemen mereka di lantai dua puluh, Amara bersandar pada pagar besi yang dingin, membiarkan angin pagi membelai wajahnya yang masih sedikit mengantuk.Matanya mengembara ke hamparan gedung-gedung tinggi yang menjulang di bawah langit biru pucat, beberapa di antaranya masih berkedip-kedip dengan lampu-lampu yang belum dipadamkan.Jauh di bawah sana, jalanan mulai sibuk—mobil-mobil berdesakan di persimpangan, pejalan kaki melangkah tergesa, dan pedagang kaki lima mulai menggelar lapaknya di trotoar.Namun, semua itu hanya latar. Di kepalanya, pikiran Amara masih dipenuhi kejadian semalam—pertengkaran Laksha dengan ayahnya, suara tegas pria itu saat berhadapan dengan figur yang selama ini begitu dominan dalam hidupnya.Dan kemudian, Indira. Perempuan itu berdiri di pihak mereka, sesuatu yang tidak per
last updateLast Updated : 2025-04-13
Read more

Bab 129: Langkah Terakhir Lidya

Malam sudah larut ketika suara ketukan sepatu hak tinggi menggema di lantai marmer restoran eksklusif di jantung Jakarta. Setiap langkah yang diayunkan memancarkan ketegasan, penuh percaya diri, seolah dunia masih berputar sesuai kehendaknya.Lidya Pramesti bukan tipe wanita yang mudah menyerah—dan malam ini, ia datang bukan sekadar untuk berbasa-basi.Restoran itu diterangi cahaya temaram dari lampu gantung kristal yang menggantung anggun di langit-langit tinggi, memancarkan kilauan keemasan yang lembut. Aroma wine mahal dan hidangan mewah bercampur dalam udara, berpadu dengan alunan musik jazz pelan yang mengalir dari sudut ruangan.Meja-meja berlapis kain putih tertata rapi, dihiasi lilin-lilin kecil yang berkelap-kelip, menambah kesan intim di antara bisikan para tamu yang tengah menikmati malam mereka.Namun, kehadiran Lidya tak bisa diabaikan begitu saja. Beberapa pasang mata melirik ke arahnya, tertarik oleh aura dingin yang dibawanya.
last updateLast Updated : 2025-04-14
Read more

Bab 130: Menggenggam Bara di Tangan Musuh

Udara pagi masih terasa sejuk ketika Amara membuka matanya. Cahaya matahari mengintip dari celah gorden, menyinari ruangan dengan semburat keemasan yang lembut, menari di atas seprai kusut dan menyapu permukaan kayu di lantai kamar.Aroma kopi yang baru diseduh menyelinap masuk, berpadu dengan wangi maskulin yang sudah begitu lekat di inderanya—aroma yang selama ini selalu memberinya rasa nyaman tanpa ia sadari.  Ia menoleh ke samping. Laksha masih tertidur, napasnya teratur, dengan satu lengan terentang ke arah tempatnya berbaring, seolah mencari keberadaannya bahkan dalam lelap.Wajah pria itu tampak lebih damai dibanding biasanya, tanpa ekspresi arogan atau sorot mata dingin yang sering ia tunjukkan di hadapan dunia. Garis-garis tegas di wajahnya melunak, membuatnya terlihat jauh lebih muda—lebih manusiawi.  Amara tersenyum kecil sebelum pelan-pelan turun dari tempat tidur, membiarkan telapak kakinya menyentuh permukaan kayu yan
last updateLast Updated : 2025-04-14
Read more
PREV
1
...
91011121314
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status