All Chapters of Menjadi Istri Keponakan sang Mantan: Chapter 71 - Chapter 80

87 Chapters

Bab 71 : Janji yang Tak Dihiraukan

Sophia duduk di tepi ranjang, tangannya mengusap perutnya yang mulai sedikit membesar. Hari ini ia sudah memiliki janji dengan dokter kandungan untuk pemeriksaan rutin. Seharusnya, ini menjadi momen penting, tapi ternyata tidak bagi semua orang. Di depannya, David sedang merapikan dasinya, bersiap untuk pergi. "Kau bisa mengantarku ke rumah sakit, kan?" tanya Sophia dengan suara tenang, meskipun jauh di dalam hatinya, ia merasa ragu. David melirik sekilas ke arah wanita itu melalui pantulan cermin. Ia mendesah pelan sebelum melanjutkan merapikan penampilannya. "Aku ada meeting penting dengan klien hari ini," jawabnya singkat, seolah itu adalah alasan yang mutlak dan tak bisa diganggu gugat. Sophia menggigit bibirnya. Meeting penting? Apa itu lebih penting dari anak yang ada di dalam kandungannya? Ia ingin bertanya itu, tapi akhirnya ia hanya menunduk dan menggenggam tangannya sendiri di atas pangkuan. "Baiklah. Aku akan pergi sendiri." David menatapnya sebentar, lalu meraih
last updateLast Updated : 2025-03-25
Read more

Bab 72 : Kemarahan yang Tak Terbendung

Daniel baru saja membuka pintu apartemennya, saat itu juga, pemandangan di depannya membuat alisnya bertaut tajam. Ruangan itu berantakan, seperti baru saja diamuk badai. Sofa yang biasanya rapi kini bantal-bantalnya berserakan di lantai, benda-benda jatuh berantakan di ruang tamu, dan dapur terlihat kacau dengan peralatan makan yang tidak pada tempatnya. Rahangnya mengeras. Ia melangkah masuk dengan tatapan tajam menyapu sekeliling ruangan sebelum akhirnya mendengar suara sobekan kain dari dalam kamarnya. Langkahnya terhenti sejenak. Dengan cepat, ia berjalan menuju kamar dan begitu pintu terbuka, matanya langsung menangkap sosok Laura yang sedang duduk di lantai dengan gunting di tangannya. Beberapa potongan kain berserakan di sekelilingnya, sementara lemari pakaiannya tampak terbuka dan isinya terhambur ke mana-mana. "Laura, apa yang kau lakukan?" Suara Daniel terdengar dingin. Laura mendongak dengan wajah memerah karena marah. Ia lalu berdiri saat melihat Daniel sudah pu
last updateLast Updated : 2025-03-26
Read more

Bab 73 : Hadiah Terindah

Sophia menatap layar monitor di hadapannya dengan perasaan gugup dan haru. Gelombang hitam putih yang tampak di sana bergerak pelan, membentuk sosok mungil yang tengah tumbuh di dalam rahimnya. Perutnya kini sudah membesar, menginjak usia lima bulan lebih satu minggu. Di sampingnya, William duduk dengan ekspresi serius, namun kedua matanya berbinar dengan penuh perhatian. Tangan tuanya menggenggam tangan Sophia dengan hangat, memberikan dukungan tanpa kata. "Bayi Anda sudah berusia sekitar 21 minggu," ujar dokter sambil menggerakkan alat ultrasonografi di atas perut Sophia. "Dan … selamat, bayi ini berjenis kelamin perempuan." Sejenak, ruangan itu terasa begitu hening. Sophia terdiam. Perempuan … anak ini seorang anak perempuan … William yang sedari tadi fokus pada layar monitor tiba-tiba menegakkan tubuhnya. Sorot matanya langsung tertuju pada gambar bayi mungil yang terlihat jelas di layar. Jantungnya berdegup kencang. "Perempuan?" suaranya sedikit bergetar. Dokter menganggu
last updateLast Updated : 2025-03-27
Read more

Bab 74 : Kesunyian di Kamar Sophia

Cahaya matahari siang menembus kaca jendela kamar, menerangi ruangan yang dipenuhi nuansa lembut dengan tirai putih yang berkibar tipis tertiup angin dari celah jendela yang sedikit terbuka. Di atas ranjang berukuran besar, Sophia masih berbaring, tubuhnya sedikit menyamping menghadap ke arah luar jendela. Dari sini, ia bisa melihat pemandangan taman yang luas, rerumputan hijau, serta bunga-bunga yang tertata rapi. Namun, pemandangan itu tak cukup membuat hatinya tenang. Pikiran Sophia masih melayang-layang ke kejadian kemarin di rumah sakit. Bayangan Daniel yang menggenggam tangan Laura, suara lembut pria itu saat meminta maaf, serta pelukan yang mereka bagi—semuanya seolah terpahat jelas di dalam benaknya. Ketukan pelan di pintu membuyarkan lamunannya. "Nona Sophia?" Sebuah suara lembut terdengar dari balik pintu. Tak lama, seorang maid masuk ke dalam kamar dengan membawa nampan perak berisi makanan. Gadis itu mengenakan seragam maid berwarna hitam dengan celemek putih yang ter
last updateLast Updated : 2025-03-27
Read more

Bab 75 : Dilema

Tetesan air hujan mulai jatuh perlahan, membentuk pola-pola acak di jendela taksi. Sophia menyandarkan kepalanya, menatap kosong ke luar jendela, menyaksikan langit kelabu yang tampak begitu suram, seperti mencerminkan perasaannya saat ini. Hari ini, ia memutuskan menemui Jane. Ia butuh seseorang untuk diajak bicara, seseorang yang bisa mengalihkan pikirannya meski hanya sebentar. Tapi di dalam taksi ini, sendirian dengan pikirannya sendiri, kesedihan yang sejak tadi ia tahan mulai menyelusup masuk, perlahan tapi pasti. Perasaannya masih campur aduk. Setelah melihat Daniel dan Laura di rumah sakit kemarin, hatinya seperti dihujani ribuan duri tajam. Kenyataan itu seperti tamparan yang mengingatkannya bahwa ia bukan siapa-siapa lagi bagi pria itu. Bahwa ia benar-benar sendirian sekarang. Ia mengusap perutnya dengan lembut. Ada kehidupan yang tumbuh di dalam sana. Putrinya. Bayinya yang bahkan belum lahir, tapi sudah harus menanggung kesedihan ibunya. "Apa yang harus kulakukan?"
last updateLast Updated : 2025-03-28
Read more

Bab 76 : Jane dan Rencananya

Sophia menundukkan kepala, tatapannya kosong menatap cangkir kopi di hadapannya yang sejak tadi tak tersentuh. Uapnya mulai menghilang, sama seperti keberaniannya yang perlahan-lahan menguap. Jane masih menatapnya dengan sabar, menunggu jawaban yang tak kunjung keluar. "Aku tidak tahu." Akhirnya Sophia berbisik, suaranya hampir tenggelam oleh suara hujan di luar jendela. "Kamu ingin pergi, tapi kamu tahu kamu tidak bisa, kan?" Jane menghela napas. "Sophia, bukan cuma kamu yang terikat dengan keluarga Williams. Anak dalam kandunganmu juga." Sophia menggigit bibirnya. Itu yang paling menyakitkan. Ia ingin pergi, ingin benar-benar menghapus Daniel dari pikirannya. Tapi bagaimana bisa? Setiap detik, setiap tendangan kecil di perutnya, semuanya mengingatkan bahwa ia membawa darah lelaki itu. "Aku hanya ingin bebas, Jane …," bisiknya, matanya mulai berkaca-kaca. "Tapi kebebasan macam apa yang kamu cari?" Jane menyandarkan tubuhnya ke kursi, menatap Sophia dengan perhatian. "Kamu ingin
last updateLast Updated : 2025-03-29
Read more

Bab 77 : Kebenaran

Jane duduk di salah satu meja kafe dekat jendela, jemarinya mengetuk-ngetuk gelas kopi yang mulai mendingin. Matanya sesekali melirik ke arah pintu masuk, berharap melihat sosok pria yang ditunggunya. Sudah hampir setengah jam berlalu, tapi Daniel belum juga datang. Mencoba menahan rasa kesal dan gugup yang semakin menjadi, Jane hanya bisa menggigit bibir bawahnya. Sejak kemarin, ia sudah bertekad untuk memberitahu Daniel tentang kehamilan Sophia. Tapi jika pria itu tidak muncul, bagaimana ia bisa melakukannya? Ponselnya kembali menyala di meja. Dengan cepat, ia meraihnya, berharap itu pesan dari Daniel, tapi bukan. Hanya pemberitahuan dari media sosial. Jane menghela napas panjang, lalu mengusap wajahnya dengan kedua tangan. Apa dia tidak akan datang? Matanya melirik jam tangan di pergelangan tangannya. Jika Daniel tidak muncul dalam lima belas menit lagi, mungkin ia harus pergi. Tapi tepat saat ia hendak menyerah, suara bel pintu kafe berbunyi. Seorang pria berpostur te
last updateLast Updated : 2025-03-31
Read more

Bab 78 : Harus Disingkirkan

Daniel membatu. Napasnya tercekat, udara di sekelilingnya menghilang begitu saja. Kata-kata Jane bergema di dalam kepalanya, berulang-ulang, memenuhi pikirannya dengan kemungkinan yang bahkan tak berani ia bayangkan sebelumnya. Anak itu ... anak yang dikandung Sophia ... adalah anaknya? Mata Daniel melebar, rahangnya menegang. Ia ingin menyangkal, ingin mengatakan bahwa Jane hanya mengada-ada. Tapi di sisi lain, ada sesuatu dalam dirinya yang berbisik bahwa ini mungkin benar. Bahwa selama ini, ia hanya melihat apa yang ingin ia lihat—memilih percaya pada apa yang lebih mudah diterima daripada menghadapi kebenaran yang sebenarnya. "Kau bercanda, kan?" tanyanya, suaranya lebih rendah dari biasanya. Jane tersenyum miring, tetapi ada kepedihan di matanya. "Apa aku terlihat sedang bercanda?" Daniel mengepalkan tangannya di atas meja, jemarinya bergetar. "Sophia tidak pernah mengatakan apa pun padaku ..." "Tentu saja dia tidak mengatakan apa-apa," potong Jane cepat. "Karena dia tahu k
last updateLast Updated : 2025-04-03
Read more

Bab 79 : Belum Siap

Pagi ini, aroma teh melati menguar dari dapur. Sophia menuangkan air panas ke dalam cangkir porselen dengan hati-hati, memastikan suhu dan takarannya pas. Ia tak pernah menambahkan gula dalam teh William. Bukan karena lelaki itu tidak menyukainya, tetapi karena kebiasaan yang sudah tertanam bertahun-tahun—William selalu menikmati tehnya pahit, hanya dengan sedikit perasan lemon untuk memberikan rasa segar. Ia mengangkat cangkir itu perlahan, untuk segera membawanya ke ruang kerja William. "Nona, mengapa Anda tidak meminta maid saja untuk membuat teh?" suara Lewis, kepala pelayan keluarga, terdengar tegas. Sophia berhenti sejenak, menoleh ke arah pria paruh baya itu dengan senyum tipis. "Aku ingin membuatnya sendiri." "Tapi—" "Tidak apa-apa, Lewis," potong Sophia sebelum pria itu bisa menyelesaikan kalimatnya. "Aku hanya ingin memastikan bahwa teh ini dibuat dengan tanganku sendiri." Lewis menatapnya beberapa saat, seolah ingin mengatakan sesuatu lagi, tapi akhirnya ia hanya men
last updateLast Updated : 2025-04-04
Read more

Bab 80 : Keadaan Sophia

Saat langkah Sophia menaiki anak tangga, ia bisa merasakan detak jantungnya masih belum kembali normal. Perasaan tidak nyaman itu terus menghantuinya, udara di dalam rumah ini terasa lebih berat sejak Daniel datang. Tangannya mencengkeram pegangan tangga lebih kuat, mencoba mengabaikan perasaan aneh yang menghantam dadanya. Ia harus pergi dari sini, menjauh dari tatapan Daniel, menjauh dari segala kegelisahan yang baru saja ia rasakan. Namun, saat baru saja mencapai lantai atas, ia tak bisa menahan diri untuk berhenti sejenak. Dari tempatnya berdiri, ia masih bisa mendengar samar suara William menyambut Daniel dan Laura di ruang kerja. "Nah, kalian akhirnya datang," suara William terdengar hangat. "Duduklah." "Maaf, Paman, kami sedikit terlambat," ujar Laura dengan nada lembutnya yang dibuat-buat. Sophia mengepalkan jemarinya tanpa sadar. Bahkan tanpa melihatnya pun, ia tahu Laura sedang bertingkah seolah menjadi tunangan sempurna bagi Daniel. Lalu, suara Daniel terdengar,
last updateLast Updated : 2025-04-06
Read more
PREV
1
...
456789
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status