Home / Young Adult / Jodoh Dadakan Wasiat dari Ayah / Chapter 131 - Chapter 140

All Chapters of Jodoh Dadakan Wasiat dari Ayah: Chapter 131 - Chapter 140

141 Chapters

Bab 131 : Nama Baby

Di ruang keluarga yang hangat, Veline dan Hero duduk berdua di sofa, menikmati waktu bersama. Suara televisi yang menayangkan kartun mengisi keheningan, sesekali terdengar suara tawa dari karakter animasi di layar. Namun, perhatian Hero sepenuhnya tertuju pada Veline yang bersandar di bahunya, tangannya perlahan membelai lembut perut Veline yang masih datar. Veline tersenyum kecil, meski matanya tetap menatap layar. Sentuhan Hero di perutnya terasa menenangkan, seolah memberikan kehangatan yang tidak bisa ia jelaskan. "Sayang," ujar Veline pelan. "Hm?" Hero menjawab dengan gumaman, tanpa mengalihkan pandangannya dari perut Veline. Jari-jarinya masih bergerak perlahan, seperti sedang berkomunikasi dengan makhluk kecil yang mungkin ada di sana. "Kira-kira, kalau nanti anak kita lahir, namanya siapa ya?" tanya Veline sambil tersenyum, ada sedikit rona di pipinya. "Hmm, nama, ya? Kalau laki-laki, bagaimana kalau ... Vero?" usul Hero, matanya bersinar sedikit bangga. "Vero?"
last updateLast Updated : 2025-01-21
Read more

Bab 132 : Titipan Besar

Zahira memandangi alat itu lekat-lekat, matanya menyipit seolah mencoba memahami apa yang baru saja dilihatnya. "Alat ini … milikmu?" Veline yang tubuhnya sudah bergetar hebat, hanya bisa menunduk. Telapak tangannya dingin, dan ia tanpa sadar meremas ujung pakaiannya, mencoba mencari keberanian untuk menjawab. Napasnya terasa berat. Ia tahu, ini adalah saat yang selama ini ia takutkan. Bagaimana kalau Zahira marah besar? Bagaimana kalau beliau langsung mengusirnya dari rumah ini? pikirnya panik. "Mmm .…" Zahira mengangkat alis, tatapannya semakin tajam. "Kamu hamil?" Leher Veline terasa terkunci. Ia ingin bicara, tapi hanya bisa mengangguk pelan sambil terus menunduk. Dengan suara gemetar, ia akhirnya mengakui, "I ... iya, Tante .…" Zahira tidak langsung bereaksi. Ia hanya berdiri diam, menatap Veline tanpa ekspresi. Wajahnya sulit ditebak. Lalu, tanpa diduga, ia melangkah mendekat, membuat Veline semakin tegang. Jantungnya berdegup kencang, seakan ingin melompat keluar
last updateLast Updated : 2025-01-23
Read more

Bab 133 : Penyesalan Leona

Sejak kejadian itu, Leona mengurung dirinya di dalam kamar. Pintu kamarnya yang biasanya terbuka lebar kini tertutup rapat, seakan mencerminkan dinding yang ia bangun untuk memisahkan dirinya dari dunia luar. Tirai jendela pun tertutup, membiarkan kegelapan menguasai ruangannya. Suara tangis terkadang terdengar lirih dari balik pintu, tetapi tak ada yang cukup berani untuk mengetuk dan mencoba bicara dengannya. Veline yang mengetahui keadaan sahabatnya merasa dilematis. Meski hatinya masih dipenuhi amarah karena ulah Leona yang terus mencoba memisahkannya dari Hero, rasa iba perlahan merayap ke dalam hatinya. Ia mengingat bagaimana video yang memperlihatkan tindakan tidak terpuji Leona tersebar luas di media sosial. Video itu menjadi bahan cibiran dan ejekan. Orang-orang terus mencela Leona tanpa ampun, menghakimi tanpa memberi ruang untuk pembelaan. Akun media sosial Leona dipenuhi komentar pedas, seolah seluruh dunia bersekongkol untuk menjatuhkannya. "Kenapa dia harus sebodoh
last updateLast Updated : 2025-01-23
Read more

Bab 134 : Ngidam Mangga Muda

Di ruang tamu yang diterangi lampu hangat, Veline duduk di sofa dengan Hero. Mereka baru saja selesai makan malam, dan suasana rumah terasa tenang, hanya terdengar suara jam dinding yang berdetak pelan. Veline menggigit bibir bawahnya, ragu untuk memulai pembicaraan. Ia menatap secangkir teh hangat di tangannya, mengaduknya perlahan meski tidak ada gula yang perlu larut di sana. "Sayang," ujar Veline, memecah keheningan. Suaranya lembut, tapi terdengar jelas di antara ketenangan malam. Hero yang sedang memainkan ponselnya menoleh, menatap Veline dengan alis sedikit terangkat. "Kenapa? Kamu kelihatan serius banget," katanya sambil meletakkan ponselnya di meja. Perhatiannya kini sepenuhnya terarah pada istrinya. Veline menghela napas panjang, menaruh cangkirnya di meja, lalu bersandar ke sofa. Matanya menatap ke arah jendela, meski yang terlihat hanya bayangan gelap malam. "Aku tadi habis ke rumah Leona," ucapnya. Hero terkejut, tapi ia tidak langsung menyela. Ia hanya mengan
last updateLast Updated : 2025-01-23
Read more

Bab 135 : Mengambil Mangga

Hero mengenakan jaket hitam tebalnya dengan tergesa-gesa. Malam ini udara terasa lebih dingin dari biasanya, dan hembusan angin yang menyapu wajahnya saat keluar dari rumah membuatnya merasa semakin terjaga. Ia menurunkan helm dari motor dan meletakkannya di atas jok, berencana untuk menelepon beberapa temannya sebelum melanjutkan perjalanan. Pikirannya terfokus pada satu hal saja—mendapatkan mangga muda yang diminta oleh Veline. Dengan tangan yang sedikit gemetar karena suhu udara yang dingin, Hero meraih ponselnya dan membuka kontak. Nama Raka muncul di layar, dan tanpa ragu ia menekan tombol telepon. "Raka, lo lagi di mana?" Tak lama kemudian, suara Raka terdengar dari ujung telepon. "Gue lagi di basecamp, sama Noval sama Adrian. Kenapa, Ro?" "Ke sekolah sekarang!" "Ngapain ke sekolah? Ini udah malam." "Pokoknya ke sekolah aja dulu, nanti gue jelasin. Ajak Noval sama Adrian juga." "Ya udah deh." Hero menutup telepon itu dengan cepat, menghela napas, dan mengam
last updateLast Updated : 2025-01-23
Read more

Bab 136 : Istri Kedua

Hero tiba di rumah dengan langkah berat, tangan kanannya memegang mangga muda yang sudah ia perjuangkan dari tengah malam hingga pagi. Ia memasukkan motor ke halaman depan rumah dengan pelan, berusaha tidak membuat suara berisik. Sesampainya di kamar, Hero membuka pintu dengan hati-hati, melihat Veline yang tampak sudah terlelap dengan nyenyak di tempat tidur. Ia memandangnya sejenak, senyumnya merekah meski ada rasa lelah yang menggelayuti tubuhnya. Namun, sesaat setelah melihat wajah Veline yang begitu tenang, semua rasa lelah itu terasa sedikit lebih ringan. Dengan hati-hati, Hero duduk di tepi ranjang, menggoyangkan bahu Veline dengan lembut. "Sayang, bangun ... nih, mangga mudanya." Veline yang masih terlelap hanya menggerakkan bibirnya sedikit. Namun, tidak membuka mata. "Apa sih, ganggu aja ...," jawabnya dengan suara serak, tapi suaranya jelas menunjukkan bahwa ia tidak tertarik untuk bangun. "Sayang, bangun ... ini mangga mudanya." Hero mengulangi, kali ini sedikit
last updateLast Updated : 2025-01-23
Read more

Bab 137 : Mengejar Zahira

Dimas berdiri mematung di tempatnya, tubuhnya terkulai lemas. Wajahnya yang biasanya tampak tegas kini terlihat kusut. Napasnya terdengar berat, dan matanya seakan kehilangan semangat. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukan, bagaimana ia bisa memperbaiki kesalahan yang telah dibuatnya. "Mas, kenapa kamu diam saja? Ayo, cepat kejar Zahira! Kamu mau dia pergi begitu saja?" Amanda mengguncang bahu Dimas, mencoba menyadarkannya. Namun, Dimas hanya berdiri diam, tidak bergerak sedikit pun. Ia tahu semuanya sudah terlambat. Amanda menghela napas frustrasi. "Aku yang harus mengejarnya?" gerutunya, lalu tanpa menunggu jawaban, ia berlari keluar dari rumah, berusaha mengejar Zahira yang sudah meninggalkan rumah itu dengan langkah cepat. Di dalam rumah, suasana menjadi semakin canggung. Veline dan Hero yang baru saja turun dari tangga, heran melihat Amanda berlari keluar dengan terburu-buru, seolah sedang mengejar seseorang. "Mama, kenapa itu?" tanya Veline dengan suara penasaran, ma
last updateLast Updated : 2025-01-23
Read more

Bab 138 : Keadaan Amanda

Amanda tergeletak di atas aspal, tubuhnya berlumuran darah yang terus mengalir, membasahi pakaian dan jalanan di sekitarnya. Matanya perlahan membuka, lemah, seolah mencoba menahan rasa sakit yang luar biasa. Di sisi lain, Dimas berdiri terpaku sebelum akhirnya teriakannya menggema. "Amanda!" Dimas berteriak dengan suara yang serak dan penuh kegelisahan. Kakinya melangkah cepat, lututnya hampir jatuh saat ia berlutut di samping tubuh Amanda. Dengan kedua tangannya yang bergetar, ia mengangkat kepala Amanda, memeluknya dengan erat meskipun darah terus mengalir di tangannya. "Amanda, kenapa kamu melakukan ini?" Amanda hanya tersenyum samar, bibirnya bergetar mencoba mengeluarkan kata-kata. Namun, tidak ada suara yang terdengar. Di dekat mereka, Veline berdiri terpaku, tubuhnya gemetar. Matanya tidak bisa lepas dari genangan darah di sekitar tubuh Amanda. Wajahnya pucat, sementara pikirannya penuh dengan kebingungan dan rasa syok. "Ma ... Mama ...." Hero yang tadinya diam
last updateLast Updated : 2025-01-23
Read more

Bab 139 : Perkelahian

Veline dan Yudha berjalan perlahan menuju parkiran rumah sakit. Udara malam terasa menusuk. Namun, langkah mereka tetap tenang di tengah suasana sunyi. Lampu-lampu jalan memancarkan cahaya temaram, menambah kesan hening di sekitar. Namun, langkah Veline tiba-tiba terhenti. Ia menoleh ke arah Yudha dan berkata, "Yud, gue mau beli minum dulu sebentar." Yudha menatapnya sejenak, lalu mengangguk tanpa banyak bicara. "Ya udah, kita ke minimarket aja. Itu ada di dekat sini," jawabnya sambil menunjuk ke arah sebuah minimarket kecil tak jauh dari parkiran. Mereka kemudian melangkah menuju minimarket tersebut. Saat sampai, Veline masuk ke dalam tanpa ragu, sementara Yudha memilih menunggu di luar. Ia bersandar pada salah satu tiang dekat pintu masuk, pandangannya mengawasi sekitar dengan santai, meski raut wajahnya masih terlihat tegang setelah kejadian di rumah sakit tadi. Namun, suasana hening itu tiba-tiba berubah ketika Yudha melihat sebuah mobil berhenti di depan rumah sakit. S
last updateLast Updated : 2025-01-23
Read more

Bab 140 : Saling Memaafkan

Pagi ini, Zahira melangkah pelan menyusuri lorong rumah sakit. Aroma antiseptik menusuk hidung, dan langkah sepatunya yang berderap di lantai mengkilap terdengar jelas di antara kesunyian. Matanya menatap nomor ruangan di depannya. Di balik pintu itu, Amanda, wanita yang selama ini ia anggap sebagai duri dalam rumah tangganya, kini terbaring lemah. Ada perasaan aneh yang menyelinap di hatinya. Setelah menghela napas panjang, Zahira mengetuk pintu dan masuk. Di dalam ruangan, Amanda terbaring dengan wajah pucat. Namun, ada senyum tipis di bibirnya saat melihat Zahira masuk. Dimas yang duduk di kursi di samping ranjang segera bangkit, memberikan ruang untuk mereka. "Zahira …," suara Amanda terdengar lemah. Zahira mendekat, menatap Amanda yang terbaring dengan infus terpasang di tangan kirinya. "Aku datang untuk menjengukmu," katanya dengan nada datar, tapi matanya menunjukkan keraguan yang dalam. Amanda tersenyum lemah. "Terima kasih … aku tahu ini pasti tidak mudah untukmu."
last updateLast Updated : 2025-01-23
Read more
PREV
1
...
101112131415
Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status