Beranda / Romansa / Tuan, Aku Hamil! / Bab 81 - Bab 90

Semua Bab Tuan, Aku Hamil!: Bab 81 - Bab 90

94 Bab

Kelelahan

Pagi itu, Aku terbangun dengan tubuh yang terasa lemas, setiap otot seakan masih berdenyut, mengingatkan pada intensitas semalam. Rasanya seolah seluruh energiku telah terkuras, tapi ada sesuatu yang lain—sensasi kaku di tubuhku yang membuatku hampir tak bisa bergerak. Setiap kali aku mencoba menggerakkan tangan atau kakiku, rasa lelah yang membungkus tubuhku seolah melawan setiap gerakan.Aku menoleh perlahan, melihat Gavin yang masih tertidur dengan tenang. Wajahnya terlihat damai, tak ada tanda-tanda dari dominasi dan kekuasaan yang ia tunjukkan semalam. Namun, bayangan dari apa yang terjadi terus berputar dalam benakku. Gavin membuatku mencapai puncak berkali-kali, tanpa ampun, melebihi batas yang aku pikir bisa kutahan. Bahkan saat aku setengah sadar, tubuhku masih merespons setiap sentuhan, setiap desahan yang keluar dari bibirnya, seolah aku benar-benar berada di bawah kendalinya.Aku menarik napas panjang, mencoba mengatasi kelelahan yang masih terasa. Perlahan, aku mencoba me
last updateTerakhir Diperbarui : 2024-10-05
Baca selengkapnya

Rintangan

Gavin berjalan kembali ke arahku, mengambil tanganku dengan lembut, dan membawaku lebih dekat ke ibunya. “Ini Ratih, Mom, calon istriku,” katanya dengan nada tegas, tanpa ragu sedikit pun.Kata-kata itu seperti petir di ruangan. Sheila tampak terguncang, wajahnya berubah tegang seketika. Dia mengguncang tangan Mami Lydia dengan panik, seolah memohon dukungan.Mami Lydia, yang sudah berdiri dari kursinya, menatap Gavin dengan tatapan tak percaya, lalu beralih padaku. Amarah mulai membayangi wajahnya, dan dengan suara penuh ketegangan, dia berkata, "Kamu yang bener aja cari calon istri, Gavin!!! Mami tau semuanya tentang perempuan ini!"“Mommy,” Gavin berujar dengan nada rendah, mencoba menahan emosi yang jelas mulai membuncah. Namun, Mami Lydia tak menunjukkan tanda-tanda menurunkan tensi, tatapannya masih tajam menusuk ke arahku.“Mommy gak mau tau, Gavin! Mommy gak setuju! Jauh-jauh sekolah kerja ke luar negeri, dapet calon kayak begini? Ditaruh di mana otakmu, Gavin??” suaranya sema
last updateTerakhir Diperbarui : 2024-10-05
Baca selengkapnya

Pulang

Begitu tiba di apartemen, hatiku terasa semakin sesak. Pikiran dan emosiku bercampur aduk, sementara air mata masih terus mengalir tanpa henti. Aku langsung menuju kamar, membuka lemari dengan tangan gemetar. Tanpa berpikir panjang, aku menarik koper dari atas rak, menurunkan pakaian satu per satu dan mulai memasukkannya dengan terburu-buru. Setiap helai pakaian yang kusimpan terasa seolah membawa beban, bukan hanya fisik, tapi juga emosi.Di tengah kesibukanku yang penuh kesedihan, Gavin berdiri di ambang pintu kamar, menatapku dengan bingung dan gusar. “Ratih, kamu mau ke mana?” tanyanya, nadanya mulai meninggi seiring dengan kegelisahannya.Aku mengusap air mata yang tak henti-henti mengalir dari pipiku, tapi tanganku masih terus bekerja, merapikan barang-barang yang hendak kubawa. “Pulang,” jawabku singkat, tanpa menoleh padanya.“Pulang? Ke mana?” Gavin bertanya lagi, kali ini lebih mendesak, seolah tak mempercayai apa yang baru saja didengarnya.Aku menghela napas berat, menelan
last updateTerakhir Diperbarui : 2024-10-06
Baca selengkapnya

Ide

Gavin, yang sejak tadi tampak gelisah, menghela napas berat. Matanya menatapku sejenak sebelum akhirnya berbicara. “Aku pengen Ratih tetap di sini,” katanya dengan nada rendah, namun jelas terdengar dari keinginannya untuk tetap bersamaku.Devan langsung merespons, menatap Gavin dengan alis sedikit terangkat, nada suaranya tegas tapi penuh perhatian. “Kampret, nggak bisa lah, Vin! Lo nggak kasihan sama anak lo? Seenggaknya tunggu bapakmu pulang dari Ausy,” desaknya, mencoba membujuk adiknya agar berpikir lebih rasional.Gavin menatap Devan dengan tajam, tapi ada tanda-tanda keraguan di wajahnya. “Tapi ini hanya sementara. Nggak lama, cuma sebentar aja,” Gavin mencoba memberi alasan, meski aku tahu di dalam hatinya, ia sulit menerima perpisahan sementara ini.Talitha, yang sejak tadi mendengarkan dengan cermat, ikut angkat bicara, suaranya lebih tenang namun penuh keyakinan. “Cuma Kudus, Gavin. Flight sebentar juga sampai. Kamu bisa ke sana kapan aja kalau kamu mau.” Dia memberikan sen
last updateTerakhir Diperbarui : 2024-10-06
Baca selengkapnya

Uncle

Opa yang biasanya tenang tiba-tiba berbicara dengan nada tegas, membuat suasana di ruangan berubah drastis. “Talitha, hubungi Pak Basuki, suruh dia cari tembakau yang cocok untuk ini. Langsung buatkan beberapa sausnya,” perintah Opa sambil melirik Talitha dan aku. “Kamu dan Ratih urus yang lainnya. Lagian, kita sudah lama nggak keluarin produk baru. Nggak ada yang mikir. Sekalinya ada ide, terlalu banyak mulut,” tambahnya dengan tatapan tajam ke arah Mami Tere.Talitha langsung menanggapinya dengan semangat, “Okay, Opa!” Senyumnya meluas, merasa mendapatkan angin segar di tengah ketegangan yang baru saja terjadi.Tapi Mami Tere tak menyerah begitu saja. Dia mendesah dengan keras, lalu berkata, “Tapi Pih, kalau nggak jalan, kan sayang.” Suaranya jelas menunjukkan ketidaksetujuan, dan dia melirik Opa dengan ekspresi
last updateTerakhir Diperbarui : 2024-10-07
Baca selengkapnya

USG Lagi

Seperti yang sudah direncanakan, keesokan harinya, Gavin tiba di Kudus, ia langsung menuju pabrik untuk berbincang dengan Opa. Sementara itu, aku dan Talitha sibuk membicarakan tentang produk baru yang sedang kami rancang—rokok mini dengan varian rasa buah dan mentol yang terus kami kembangkan. Ada rasa puas di dalam hati karena kami sudah mulai melihat ide itu tumbuh menjadi sesuatu yang lebih konkret.Menjelang sore, aku dan Gavin bersiap untuk pergi ke dokter kandungan, sebuah kunjungan yang sudah lama dinantikan. Kami berkendara dalam diam sejenak, sebelum akhirnya Gavin membuka percakapan.“Gimana kabarnya?” Gavin bertanya dengan sedikit canggung, mungkin mencoba memecah kesunyian.Aku tersenyum kecil, mencoba meredakan ketegangan dengan godaan ringan. “Baik. Kamu dan Sheila gimana?” tanyaku dengan nada bercanda, meskipun ada sedikit rasa penasaran di dalamnya.Gavin mendesah pelan, tatapannya berubah serius. “Ratih, kamu tahu sendiri kan, aku dan Sheila nggak mungkin. Aku sudah
last updateTerakhir Diperbarui : 2024-10-07
Baca selengkapnya

Kontraksi

Pada bulan ke-8, Gavin benar-benar menepati janjinya. Dia tinggal di Kudus, menjaga dan memanjakanku setiap hari. Setiap pagi dan malam, dia selalu memastikan aku merasa nyaman. Bahkan, dia memaksaku untuk mengambil cuti melahirkan lebih awal, meskipun awalnya aku enggan karena merasa masih bisa bekerja. Tapi Gavin tak mau kompromi. Pada bulan ke-9, Opa sering datang ke rumah Talitha, terutama karena Talitha juga lebih sering menghabiskan waktu di Kudus akhir-akhir ini. Devan pun, meskipun sibuk, kadang terbang ke Kudus untuk bersama kami di akhir pekan.Suatu malam, ketika Opa datang ke rumah Talitha, kami semua makan malam bersama di meja besar. Rasanya hangat, penuh dengan canda dan tawa, dan Opa tampak senang melihat kami berlima berkumpul seperti keluarga besar yang harmonis.“Gimana, Ratih? Udah siap-siap jadi ibu nih?” tanya Devan sambil ters
last updateTerakhir Diperbarui : 2024-10-08
Baca selengkapnya

Pengungkapan - End

Dokter menarik napas panjang, menatap layar dengan seksama. “Janin posisinya sungsang,” kata dokter pelan, tapi suaranya penuh dengan kepastian. “Bayi Anda terbelit tali pusar. Ini situasi yang cukup serius.”Jantungku seakan berhenti. Kata-kata itu menusukku dengan rasa takut yang luar biasa. Aku menoleh ke Gavin, dan tatapannya langsung berubah. Wajahnya pucat, meskipun dia berusaha keras tidak menunjukkan kepanikan. Tangannya mencengkeram tanganku lebih erat, sementara tatapan Talitha dari sisi lain semakin cemas."Apa artinya, Dok?" Gavin bertanya lagi, suaranya sekarang terdengar tegang.Dokter menatap kami dengan tenang, tetapi jelas situasinya serius. "Bayi Anda terlilit tali pusar dan posisinya sungsang, artinya posisi kepalanya masih di atas, padahal seharusnya sudah di bawah. Ini berbahaya jika dilahirkan
last updateTerakhir Diperbarui : 2024-10-08
Baca selengkapnya

Extra Part 1

Ruangan langsung dipenuhi keheningan yang berat. Talitha, yang sebelumnya tersenyum bahagia, sekarang tampak kebingungan. Dia menoleh padaku, lalu ke arah Opa, dan kembali lagi ke aku, wajahnya menyiratkan ketidakpastian. “Bastian?” tanyanya sambil memandangiku, jelas terkejut.“Kenapa Bastian, Ratih?” Talitha akhirnya bertanya, suaranya terdengar ragu, tapi juga penuh rasa ingin tahu. Bastian adalah nama yang berat, nama yang memiliki makna besar dalam keluarga Talitha, namun tak pernah mereka duga akan kutautkan ke dalam hidupku.Aku menarik napas dalam-dalam, menyadari bahwa momen ini akan mengubah segalanya. Aku tersenyum kecil, meski dalam hati ada perasaan yang bercampur aduk. “Karena Bastian adalah nama papaku,” jawabku pelan, suaraku penuh emosi.Tatapan Talitha berubah seketika. Keheranan mulai tergambar je
last updateTerakhir Diperbarui : 2024-10-09
Baca selengkapnya

Extra Part 2

///BACK STORIES RINOA USIA 5 TAHUNSaat itu, di pemakaman ayahku, Bastian Hartanta, suasana begitu sunyi. Tidak ada yang datang, baik dari keluarga besar Hartanta maupun sanak saudara. Hanya ada aku dan ibu, berdiri di tepi makam, menatap tubuh papa yang perlahan-lahan diturunkan ke dalam tanah. Udara terasa dingin, meski sinar matahari menembus awan tipis di langit yang cerah. Aku, yang baru berusia 5 tahun, tidak sepenuhnya mengerti apa yang sedang terjadi.Dengan mata penuh kebingungan, aku menarik ujung rok ibu, yang terus terisak di sebelahku. "Ibu, papa kenapa?" tanyaku, suaraku kecil dan polos, berusaha memahami kenapa ayahku tidak lagi bersamaku.Ibu menoleh ke arahku, wajahnya basah oleh air mata yang terus mengalir. Namun, dia mencoba tersenyum, meskipun lelah dan sedih begitu tampak jelas di matanya. "Papamu... papamu naik ke
last updateTerakhir Diperbarui : 2024-10-09
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
5678910
DMCA.com Protection Status