Home / CEO / The CEO's Baby Project / Chapter 51 - Chapter 60

All Chapters of The CEO's Baby Project: Chapter 51 - Chapter 60

76 Chapters

51. Perasaan Aneh

Davis duduk di kursi kerjanya, membolak-balik berkas-berkas yang dia bawa pulang dari kantor. Di atas meja, tumpukan dokumen bertumpuk rapi, seolah-olah menceritakan beban tanggung jawab yang ia pikul.Di balik keseriusannya, suasana ruangan itu terasa tenang, dilengkapi dengan cahaya lampu meja yang hangat dan aroma kayu dari perabotan yang berbaur dengan lembut di udara. Piyama tidur berbahan satin yang dikenakannya dibalut dengan jubah tidur hangat yang menjuntai hingga ke lututnya, menambah kesan rileks di tengah kesibukannya.Tok! Tok!Suara ketukan pelan di pintu memecah keheningan. Davis menoleh ke arah datangnya suara, dan di sana Tamara berdiri dengan senyum lembut menghiasi wajahnya. Di tangannya, ia membawa secangkir kopi yang mengepul, wangi kopi segar langsung memenuhi ruangan ketika ia melangkah masuk.
Read more

52. Mengigau

Davis akhirnya berhasil menutup semua berkas yang dikerjakannya malam itu. Layar komputer yang menyala terang kini menampilkan dokumen terakhir yang telah selesai dia cek. Ia menghela napas panjang, menyandarkan tubuhnya ke sandaran kursi, dan merasakan seluruh ototnya yang tegang mulai mengendur perlahan.Malam sudah larut, dan ruangan kerjanya kini sunyi, hanya terdengar detak jarum jam di dinding yang bersuara pelan.Perhatiannya kemudian beralih ke arah sofa di sudut ruangan. Di sana, Tamara—wanita yang menjadi istrinya—tertidur dengan posisi yang terlihat kurang nyaman. Wanita yang tadinya berniat untuk menemaninya itu kini malah terlelap di sofa dengan posisi tubuhnya terlipat di atas sofa yang sempit.Davis menatapnya sejenak, helaan napasnya terdengar pelan. "Kenapa kau tak tidur di kamar?" gumam
Read more

53. Ciuman Pagi

Tamara membuka kedua matanya perlahan. Cahaya pagi menembus tirai jendela, tapi hal pertama yang menangkap pandangannya bukan sinar matahari—melainkan wajah Davis, pria yang kini menjadi suaminya. Tamara terdiam, terpaku sejenak. Rasa hangat menjalar di tubuhnya saat ia menyadari satu hal: mereka tidur dalam posisi berpelukan. Bahkan, tangan Davis terjepit di bawah kepala Tamara, menjadi bantalan yang ia gunakan sepanjang malam.Tamara kaget. Ia tak pernah membayangkan akan terbangun dalam kondisi sedekat ini dengan Davis. Otaknya berusaha keras mengingat kembali kejadian semalam. Sesaat ia bingung, namun kemudian ingatannya mulai merangkai potongan-potongan yang hilang. Ia ingat semalam dirinya menemani Davis di ruang kerjanya. Ketika itu Davis masih sibuk menyelesaikan beberapa berkas, sementara Tamara perlahan terlelap di sofa, menunggu suaminya menyelesaikan pekerjaannya. Namun, ia tidak ingat bagaimana ia bisa berpindah dari ruang kerja ke kamar, apalagi dalam posisi seperti ini.
Read more

54. Permainan Liar

Tamara tersentak kaget. Matanya melebar, tubuhnya membeku. Ia tak menyangka sama sekali bahwa Davis akan menciumnya. Seketika, semua pikiran di kepalanya berhenti berputar, seolah otaknya tak mampu memproses apa yang baru saja terjadi. Tamara hanya bisa diam, terpaku dalam keheningan yang mendadak terasa begitu intens."D-Davis..." Tamara berusaha berbicara, tapi suaranya begitu lemah, nyaris tak terdengar. Ia masih terkejut, tak mengerti kenapa Davis tiba-tiba menciumnya. Tapi yang jelas, ciuman itu membuatnya tak berdaya, dan sama sekali tak mampu melawan.Ciuman itu bukan sekadar sentuhan singkat. Bibir Davis tetap melekat pada bibir Tamara untuk beberapa detik, cukup lama untuk membuat Tamara merasakan kehangatan yang menjalar di tubuhnya. Sensasi itu membuat jantungnya berdegup semakin cepat, membuat seluruh tubuhnya terasa seperti lumpuh di bawah pengaruh ciuman Davis.Ketika Davis akhirnya menarik diri, Tamara masih terdiam, matanya masih terbuka lebar dalam keterkejutan. Ia ta
Read more

55. Pagi Penuh Gairah

“Tamara…” Davis berbisik pelan di telinganya dengan suaranya yang terdengar rendah dan penuh hasrat. Sentuhannya kini tidak lagi tertahan, tangannya bergerak lebih jauh menjelajahi setiap inci tubuh Tamara, mencari titik-titik sensitif yang membuat wanita itu semakin tenggelam dalam permainan ini.Tamara mencoba melawan, tapi setiap upaya untuk mundur terhalang oleh rasa yang mendesak di dalam tubuhnya. Ia tidak bisa berpikir jernih. Semua logika tenggelam dalam panas yang melanda tubuhnya. Hanya ada Davis dan sentuhan-sentuhannya. Tamara memejamkan mata, mencoba menahan diri, tapi setiap kali bibir Davis menyentuh kulitnya, perlawanan itu semakin memudar.Pagi itu, keduanya tenggelam dalam gairah yang selama ini terpendam. Mereka telah lama mengabaikan hubungan fisik mereka, terjebak dalam kesibukan pekerjaan yang tanpa henti selama berminggu-minggu. Davis dan Tamara nyaris melupakan esensi dari pernikahan kontrak mereka—tujuan utama yang mengikat mereka berdua. Mereka menikah bukan
Read more

56. Pikiran Kotor Davis

Tamara terdiam, menghela napas panjang sambil mencoba mengumpulkan tenaga yang tersisa. Tubuhnya terasa lemas, otot-ototnya masih terasa kaku dan pegal setelah permainan liar yang baru saja dilalui bersama Davis. Gara-gara suaminya itu, sekarang Tamara terpaksa mengambil cuti. Permainan penuh gairah Davis tadi benar-benar menguras tenaganya sampai-sampai ia tidak memiliki cukup kekuatan untuk pergi bekerja hari ini.Tamara menyandarkan punggungnya ke kepala ranjang, masih berusaha menenangkan diri. Davis sempat memintanya untuk tetap di rumah dan beristirahat. Tamara sebenarnya ingin marah—mengapa Davis harus begitu bersemangat sampai dirinya tidak bisa bergerak bebas setelah aksinya? Tapi disisi lain, ia tidak bisa sepenuhnya menyalahkan suaminya. Tamara tahu bahwa dirinya juga bersalah. Ia yang akhirnya terbawa suasana, menyerah pada setiap sentuhan menggoda Davis, sampai tanpa sadar ia menikmati momen itu sepenuhnya.Dengan tubuh yang masih terasa lemah dan kulitnya yang berkilau d
Read more

57. Pesan Masuk

Letta menaruh secangkir teh hangat di atas meja dengan penuh hati-hati. Aroma teh yang khas segera memenuhi ruangan. Tamara, yang tengah duduk di kursi dekat jendela, mendongak saat wanita paruh baya itu datang. Letta tersenyum ramah kepadanya sambil berkata, "Saya buatkan teh untuk Anda, Bu Tamara."Tamara tersenyum, meski sedikit lelah, dan balas berkata, "Terima kasih, bi, tapi seharusnya tidak perlu repot-repot."Letta hanya menggeleng lembut. "Tidak apa-apa, Bu. Saya yang ingin membuatkan teh untuk Anda. Ini sebagai ungkapan terima kasih karena sudah memberikan saya pekerjaan di sini."Tamara mendesah pelan, lalu meneguk sedikit teh yang diberikan Letta. Kehangatan teh itu terasa menenangkan di tenggorokannya. "Tidak perlu berterima kasih pada saya. Bibi bisa bekerja di sini itu berkat suami saya. Saya bahkan tidak tahu apa-apa soal perekrutan," katanya sambil tersenyum simpul.Letta tetap tersenyum hangat. "Tapi tetap saja, saya sangat berterima kasih, Bu. Ini pertama kalinya sa
Read more

58. Ajakan Makan Siang

Carson duduk di meja kerjanya, matanya tertuju pada layar ponsel yang masih menyala. Pesan dari Tamara baru saja masuk, menjelaskan bahwa dirinya hanya kelelahan dan butuh istirahat. Dia membaca kalimat itu berulang kali, memastikan tidak ada hal yang lebih serius terjadi."Ternyata baik-baik saja, dan hanya kelelahan hingga membuat kondisinya menurun," gumam Carson pelan.Carson tahu, akhir-akhir ini beban kerja di kantor semakin bertambah, terutama bagi Tamara yang masih baru bergabung di perusahaan. Dia masih harus beradaptasi dengan ritme kerja yang cepat dan tekanan dari berbagai proyek yang sedang mereka kerjakan bersama. Maka tak heran jika kondisi Tamara bisa sampai drop.Pria itu menghela napas panjang, dia merasa sedikit lega setelah tahu Tamara tidak mengalami sakit yang serius. Setidaknya, rasa cemas yang sempat menghantui pikirannya kini berkurang. Kelelahan memang wajar, terutama untuk seseorang yang baru bergabung di perusahaan mereka seperti Tamara.Carson meletakkan p
Read more

59. Makan Siang Dengan Matilda

Wanita itu duduk di kursi kosong yang ada. Menunggu sosok lelaki yang mengajaknya bertemu sepulang kerja. Sambil menunggunya, Serena termangu. Dia terhanyut dalam pikirannya sendiri saat berbagai kenangan tiba-tiba menghampiri ingatannya. Wajahnya mendadak berubah murung, dan hatinya mulai gelisah. Jantungnya sejak tadi terus berdebar. Ada sebuah perasaan dilema yang dirasakan Serena sejak beberapa waktu terakhir. Ini terkait hubungannya dengan Rhys. Serena harus mengakhiri hubungan mereka, tapi dia sungguh tidak tahu harus bagaimana mengatakannya pada Rhys.Ketika ingat tujuan utamanya menerima ajakan Rhys untuk bertemu hari ini, Serena jadi teringat bahwa dia harus menyusun kalimat untuk mengatakan bahwa dia ingin mengakhiri hubungan mereka secara baik-baik. Dia juga harus mempersiapkan diri dan hatinya karena bisa saja setelah bertemu dengan Rhys hatinya akan goyah.Lamunannya mendadak buyar saat seorang pria mendadak muncul dari arah belakang. “Hey, cantik! Apakah kursi ini kosong
Read more

60. Pesan yang Tidak Terduga

Future City, Scienetopia, lima tahun kemudian.Pria itu membuka pintu kamarnya perlahan. Begitu pintunya terbuka, Hugh bisa melihat putranya yang terbaring di ranjang masih dalam keadaan tertidur lelap. Senyuman terukir di wajahnya begitu dia melihat wajah tenang putranya yang bagaikan malaikat. Dia sungguh merasa tidak tega untuk membangunkannya, tapi hari sudah pagi, dan dia benar-benar harus pergi ke sekolah.Hugh berjalan menghampiri ranjang, dan mulai membangunkan Shawn yang masih tertidur pulas. Dengan mengguncang tubuh mungilnya pelan, Hugh mencoba membangunkannya dengan cara yang lembut. “Sweetheart, sudah waktunya bagun. Ini sudah pagi, dan kalau kau tidak bangun, maka kau akan terlambat untuk pergi ke sekolah.”Shawn membuka kedua matanya perlahan, karena Hugh membangunkannya. Begitu membuka mata, dia bisa langsung melihat sosok lelaki tampan yang kini berjongkok di samping ranjang sambil menatapnya dengan senyuman. “Selamat pagi, malaikatku.”“Selamat pagi, dad.” Shawn menj
Read more
PREV
1
...
345678
DMCA.com Protection Status