All Chapters of Elang Taraka: Lahirnya Pendekar Terhebat: Chapter 41 - Chapter 50

52 Chapters

Bab 41: Melarikan Diri

Kanjeng Senopati Bratasena yang mengangkat dirinya sendiri menjadi Raja Diraja Damar Langit saat ini sedang murka. Di atas tahta, pria garang itu tidak bisa duduk dengan tenang. Tangannya gemetar menahan amarah yang belum menemukan muara.Nyaris tidak ada kabar baik yang dilaporkan oleh para bawahannya. Prajurit dari Desa Kahuripan melaporkan ada seorang pendekar sakti pilih tanding menculik calon permaisurinya ‘Kenes Kirana’. Mereka tidak menemukan jejak Kenes di sekitar Desa Kahuripan hingga hari ini.“Mohon ampun, Gusti Prabu. Kami sudah menyisir semua desa yang ada di sekitar Kahuripan. Namun, tidak ada yang bertemu dengan Gusti Putri,” lapor seorang prajurit yang penampilannya tampak lusuh, menandakan baru saja datang dari perjalanan jauh. “Percuma aku melatih kalian selama ini. Pekerjaan kalian tidak ada yang beres satupun!” Para bawahan yang menghadap di Balairung Istana tak ada yang berani mengangkat wajah. Mereka semua tertunduk ketakutan. Suasana mencekam, udara terasa gera
last updateLast Updated : 2025-01-16
Read more

Bab 42: Desa Sekar Sari

“Kisanak berdua ini berasal dari desa mana?” tanya pemilik kereta yang mereka tumpangi ketika hamparan sawah menghijau menyapa pandangan mata. Matahari senja sudah mulai turun ke peraduan. Perjalanan mereka sudah hampir sampai tujuan.“Kami sudah lama tinggal di Kotaraja, Bopo. Aku dan Simbok sudah lama tidak menengok kampung halaman.” “Perdagangan di Kotaraja memang lebih maju. Tidak heran jika Nakmas betah tinggal di sana,” balas orang itu, mengira Agra bermata pencaharian sebagai pedagang yang merantau ke Kotaraja.“Jika bukan karena Gusti Prabu Maheswara Kamandaka dilengserkan paksa. Kotaraja masih menjadi tempat yang nyaman untuk mencari penghidupan, Bopo.”“Sejak beberapa hari lalu, para prajurit keraton sepertinya berulangkali menyisir pasar dan semua tempat di Kotaraja, sebenarnya apa yang terjadi, Nakmas?” tanya pemilik pedati.“Itu karena Kanjeng Senopati murka karena Prabu dan Gusti Ratu menghilang dari penjara bawah tanah. Sepertinya ada yang menyelamatkan mereka.” Agra m
last updateLast Updated : 2025-01-17
Read more

Bab 43: Gelar Baru

Sebelumnya, jika ada kesempatan untuk melihat Gusti Prabu Maheswara Kamandaka di istana, Raja Damar Langit ini selalu tampil dengan pakaian kebesaran dan mahkota sebagai simbol kekuasaan tertinggi. Kali ini penampilannya jauh berbeda. Tubuhnya lebih kurus kehilangan banyak bobot, hanya dibalut dengan pakaian yang terbuat dari bahan kasar yang biasa digunakan abdi dalem atau pejabat keraton kelas rendah. Alih-alih mengenakan mahkota kebesaran, kepalanya hanya dihias blangkon sederhana. Kendati demikian, pamor kemuliaan Maheswara Kamandaka tetap kuat. Kehadirannya mampu membungkam suasana riuh alun-alun yang sebelumnya pecah. “Aku sampaikan rasa kebanggaanku pada kalian semua, Para Prajurit Damar Langit. Aku yakin, pembelot durjana itu telah menawarkan iming-iming harta yang tidak sedikit untuk membeli kesetiaan kalian. Alih-alih menerima, kalian malah memilih jalan terjal dan berliku bersamaku. Aku telah kehilangan kekuasaanku. Kesetiaan kalian layak untuk mendapatkan penghormatan t
last updateLast Updated : 2025-01-18
Read more

Bab 44: Retak

Kendati hanya dibalut pakaian sederhana, tetap saja tidak bisa menyembunyikan tubuh molek Kenes Kirana yang mempunyai aura putri keraton begitu kuat. Hanya dengan sekilas pandang saja, orang jelas melihat perbedaannya dengan para gadis penduduk asli Desa Sekar Sari. Dari arah sungai, gadis cantik itu berjalan cepat dengan wajah kecewa, Elang mengekor di belakang dengan perasaan campur aduk. “Gusti Putri, hati-hati,” panggil Elang lembut disela langkahnya. Yang dipanggil tidak menggubris. Hujan mengguyur semalaman membuat jalanan setapak yang menghubungkan desa dengan sungai itu basah dan licin.“Jangan pedulikan aku!” “Gusti Putri, awas jalannya licin….” Belum usai Elang menyelesaikan kalimatnya, Kenes sudah tergelincir. Elang berusaha secepat mungkin menggapai, tapi terlambat. Kenes jatuh terduduk di tanah. Pada dasarnya, dia takut lancang sembarangan menyentuh Kenes yang merupakan junjungannya.Antara kaget dan malu dengan kesialan yang menimpa dirinya, untuk beberapa saat Kenes
last updateLast Updated : 2025-01-20
Read more

Bab 45: Tumenggung Mahawira

Sejak pagi menjelang, kepala iring-iringan pasukan yang dipimpin oleh Tumenggung Mahawira telah memasuki sebuah desa kecil yang berbatasan dengan hutan. Penduduk desa tak ada yang berani keluar dari rumah. Pintu-pintu rumah mereka ditutup sedemikian rupa. Sepanjang jalan masuk desa, Sang Tumenggung tidak menjumpai seorang pun di sana. Pasukan itu berjumlah sekitar seribu orang. Mungkin para penduduk merasa jeri melihat begitu banyaknya orang yang berbadan tegap bersenjata lengkap.“Kalian dirikan tenda di sebelah sana, malam ini kita istirahat di tempat ini!” titah Tumenggung Mahawira sembari menunjuk ada tempat luas di tengah desa. Sudah berhari-hari mereka berjalan dengan sedikit istirahat. Tumenggung memutuskan untuk menginap di tempat ini memulihkan tenaga. Lapangan yang luas ini mungkin biasa dijadikan tempat berkumpul warganya.Dengan gesit, para prajurit melaksanakan titah junjungannya. Ada yang mendirikan tenda, ada yang mencari air dan memasak. Mereka berbagi tugas secara cer
last updateLast Updated : 2025-01-21
Read more

Bab 46: Mahawira dan Gendhis

Mahawira dengan sabar menunggui Gendhis mencuci di sungai dengan sabar. Bahkan dia membantunya membawakan bakul yang berisi pakaian basah saat mereka beranjak meninggalkan sungai. Wajah gadis itu terlihat tak nyaman dengan perhatian Mahawira. Mereka baru saja berjumpa, perhatian ini terlalu berlebihan.“Kanjeng Tumenggung, terima kasih karena Andika telah membantu saya hari ini. Tidak perlu mengantar, saya tidak enak dilihat penduduk desa. Khawatir mereka akan bicara yang tidak-tidak.” Gendhis mengusir pria itu dengan cara halus. “Bicara tidak-tidak seperti apa contohnya, Nimas?” Dahi pria matang itu mengernyit. Bukan tak paham, dia memang sengaja memancing Gendhis bicara lebih intim.“Ah, anu, maksud saya … mereka mungkin mengira….” Gendhis menjeda kalimatnya. Sungkan untuk melanjutkan.“Mengira aku dan Nimas mempunyai hubungan khusus, begitu?” Sudut bibir Mahawira melengkung. Dia mengujur gadis yang berjalan beriringan dengannya itu. Usianya masih belasan tahun. Sementara dirinya s
last updateLast Updated : 2025-01-22
Read more

Bab 47: Siapa Mereka?

Suara dentang pedang saling beradu memenuhi Alun-alun Desa Sekar Sari. Tak ada kata istirahat, mereka begitu bersemangat menyambut perintah dari Kanjeng Senopati Ing Palaga Elang Taraka. Dengan gelar baru yang disandangnya, bertambahlah kesibukan Elang dalam menyiapkan pasukan untuk perang besar yang sudah pasti akan terjadi. Mengembalikan Damar Langit pada pemilik tahta yang sah telah menjadi misi yang akan diembannya sampai tetes darah terakhir.Tak semua prajurit ini berpengalaman, ada puluhan prajurit baru yang harus dilatih lebih keras supaya mempunyai kemampuan setara dengan yang lainnya. Perang besar ini akan membutuhkan jumlah prajurit yang besar. Siapapun yang bersedia bergabung, Patih Arya Wursita menerimanya. Kendati akan membutuhkan waktu lebih panjang untuk mengajarkan teknik-teknik dasar. Mereka mengambil pilihan tersebut. “Kuda-kudamu kurang kuat, lakukan dengan benar seperti yang kuajarkan!” Dengan tendangan ringan dari Elang, prajurit itu terjengkang. Puluhan prajuri
last updateLast Updated : 2025-01-23
Read more

Bab 48: Berkumpul Kembali dalam Situasi Berbeda

Elang menyipitkan mata. Butuh waktu sedikit lebih lama baginya untuk bisa menyadari sesuatu.“Agra?” Elang mengeja sebuah nama untuk memastikan tebakannya.“Elang, jahat sekali kamu ndak mengenali kami!” Salah satu penumpang pedati yang disebut sebagai Agra itu melompat turun. Belum lepas dari keterkejutan karena suara yang terdengar tidak asing ini makin mengukuhkan tebakannya. Orang itu melepaskan ikatan kepalanya. Rambut palsu yang digunakan oleh Agra untuk menyempurnakan penyamaran kini dilepasnya. “Bagaimana, jangan bilang kamu masih ndak kenal aku, Lang!” dengkus Agra kemudian. Begitu rambut palsu berwarna putih kelabu itu tersingkir, Elang menepuk dahi.“Bagaimana kamu bisa tahu kalau aku ada di sini, Agra?” Senyum Elang mulai terkembang. Keduanya berpelukan, saling menepuk punggung. Terlepas dari sikap Agra yang blak-blakan apa adanya, bahkan kadang menyinggung, mereka telah berteman sejak lama. “Simbok merindukanmu selama ini, Lang,” ucapnya sembari membantu sosok wanita ya
last updateLast Updated : 2025-01-24
Read more

Bab 49: Terkuak

Mbok Sumi mengeluarkan sebuah kotak kayu ukir-ukiran berwarna hitam yang disimpannya dalam buntelan kain batik yang dibawanya dari Kotaraja. Perasaannya berkecamuk tidak karuan terlihat dari tangan yang gemeraran ketika mengulurkan kotak itu pada Elang. Dengan tatapan kosong, Elang menerima.“Bukalah, Le. Hanya itu satu-satunya barang yang bisa kamu gunakan untuk mengungkap identitasmu yang sebenarnya. Simbok sama sekali ndak tahu siapa orang tuamu. Simbok hanya bisa merawatmu sebaik mungkin semampu Simbok.” Masih diiringi isak tangis, Mbok Sumi menumpahkan semua kalimat sakral itu. Selama ini dia terus saja menolak untuk memberitahu, berharap bisa mengubur kenyataan itu sampai kematian datang menjemput. Akan tetapi, takdir berkehendak lain.Elang membuka kotak itu perlahan. Dengan rasa penasaran yang membuncah, dia tetap bisa menahan diri. Sepasang netranya menangkap sebuah gelang emas dengan ukiran naga yang melilit. “Kata Ki Rekso suamiku, gelang itu milikmu. Pesan darinya, aku ha
last updateLast Updated : 2025-01-25
Read more

Bab 50: Malam yang Luar Biasa

Sepertinya, hidup sedang mengajaknya bercanda. Apa mungkin inilah yang disebutkan orang sebagai putaran roda nasib yang kadang di atas, kadang di bawah? Selepas Elang merasakan ujung hidupnya ada di ujung tanduk, dihukum pengasingan di Wono Daksino atas perbuatan yang sengaja direncanakan orang lain. Bahkan orang itu masih mengutus pendekar sakti untuk membunuhnya. Sekonyong-konyong, dia berubah menjadi sosok berbeda. Bukan lagi seorang abdi dalem keraton, melainkan putra seorang raja yang telah mangkat.“Malam ini, kalian semua telah menyaksikan apa yang juga kusaksikan. Aku tidak perlu mengulangnya. Elang Taraka adalah keponakanku.” Bukan hanya satu atau dua orang yang menyaksikan kejadian penyatuan Naga Biru dalam tubuh Elang Taraka. Mereka yang tinggal di desa ini berbondong-bondong mengikuti arah bayangan cahaya biru berbentuk naga itu terbang. Halaman tempat tinggal kini Elang ternyata dipenuhi oleh penduduk desa.“Makin teguh keyakinanku untuk merebut kembali Damar Langit. Ti
last updateLast Updated : 2025-01-26
Read more
PREV
123456
Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status