Hujan air mata membasahi pipi Alice. Gelasnya kosong, tergeletak di meja bar, sama kosongnya dengan hatinya. Setiap tetes alkohol yang ditelannya tak mampu meredakan rasa sakit yang mencabik-cabik hatinya. Sudah bertahun-tahun ia menyimpan rasa kepada Daniel, namun hanya kehampaan yang ia dapatkan selama ini. "Daniel, kenapa kamu begitu kejam?" bisiknya, suaranya teredam oleh isak tangis. Kepalanya terasa berat, kesadarannya perlahan memudar, hingga akhirnya terkulai lemas di atas meja.Seorang pria yang sedari tadi memperhatikannya dengan tatapan tajam, akhirnya bangkit dari duduknya. Dia mendekat, wajahnya dihiasi senyum yang penuh kemenangan. "Nona, apakah kau baik-baik saja? Perlukah aku mengantarmu pulang?"Alice tak mendengarnya. Nama Daniel terus terngiang di kepalanya, menyayat hatinya. Pria itu dengan lembut membantu Alice berdiri. "Ayo, kita pulang," ucapnya, suaranya lembut, namun ada sesuatu yang dingin di balik senyumnya. Tatapan matanya menyeramkan, seperti ular yang b
Read more