Semua Bab Hasrat Terlarang dengan Atasan: Bab 41 - Bab 50

129 Bab

BAB 41

Kali ini, Erlangga menepati ucapannya. Hampir setiap Minggu dia datang ke rumah Nina. Tidak peduli bagaimana penolakan dan masamnya wajah Nadia, dia tetap tidak menyerah."Ibu tidak mau melihatnya lagi, Nina. Untuk apa kamu bawa dia ke sini?" ujarnya dengan nada yang tajam, memancarkan ketidaksetujuan yang mendalam saat Erlangga tiba-tiba datang ke rumahnya.Venina, terdiam dan serba salah, mencoba menjelaskan kehadiran Erlangga. "Bukan Nina yang memintanya, Bu. Tapi Mas Angga sendiri yang mau datang," jawabnya dengan ragu."Dia tahu kamu sudah memilih Rio, kan?" desak Nadia dengan nada tajam yang tak terbantahkan.Venina mengangguk perlahan, menghela napas dalam-dalam. "Sudah, Bu. Tapi Mas Angga bilang dia belum mau menyerah. Dia akan memperjuangkan Nina."
Baca selengkapnya

BAB 42

Sudah dua hari Venina memulai kembali pekerjaannya sebagai sekretaris Erlangga. Dia berusaha keras untuk menjaga profesionalisme dan menekan perasaannya yang terpendam. Tetapi, setiap kali dia berada di dekat atasannya itu, gelisah dalam dirinya semakin terasa. Seperti sekarang ini, ketika Erlangga memintanya untuk mengantarkan berkas yang tertinggal ke salah satu restoran. Venina merasa kekesalan menyelinap di dalam dirinya. Entah mengapa, permintaan pria itu selalu membuatnya merasa gelisah dan tak nyaman."Saya tidak akan kembali lagi ke kantor, Nina. Jadi, tolong antarkan berkas itu sekarang juga," suara Erlangga terdengar tenang di seberang telepon, namun pesan yang disampaikannya membuat Venina merasa kesal."Dan nanti ongkos taxi mu akan saya ganti," tambahnya lagi sebelum menutup panggilan dengan singkat.Venina menghela napas berat. Dia merasa terganggu dengan permintaan Erlangga, tetapi dia juga tahu bahwa dia tidak bisa menolak.Setelah beberapa saat, Venina berada di sudu
Baca selengkapnya

BAB 43 Sebuah lamaran

Rio menatap Venina dengan lembut. Hatinya terusik melihat kegelisahan yang terpancar jelas dari wajah wanita yang dicintainya. Di bawah sinar lampu temaram, dia melihat ketidaknyamanan yang terus menghantui wanita itu."Ada apa, Nina? Kenapa akhir-akhir ini kamu kelihatan gelisah sekali?" tanya Rio dengan lembut, tatapannya penuh perhatian seperti biasa.Venina menatap ke bawah, merasa berat untuk mengungkapkan rasa takutnya. "Apa dia masih terus mengganggumu?" Rio bertanya lagi dengan hati-hati, memberikan ruang bagi wanita itu untuk berbagi tanpa tekanan.Venina menghela napas panjang sebelum akhirnya menjawab dengan suara gemetar, "Aku takut, Rio." Suaranya penuh dengan ketidakpastian yang mengganggu pikirannya."Apa yang membuatmu takut?" tanya Rio, suaranya penuh ke
Baca selengkapnya

BAB 44 Jawaban yang diharapkan

Selama beberapa minggu, Venina terus memikirkan lamaran Rio. Setiap malam, dia merenung tentang pilihan yang harus diambil.Dan Rio benar-benar tidak mendesaknya. Dia memberikan ruang dan waktu untuk Venina memutuskan tanpa tekanan. Pengertian dan kesabaran pria itulah yang menggugah hati Venina. Dan perlahan, dia merasa semakin yakin dengan keputusan yang harus diambil.Suatu malam, Venina menghubungi Rio. "Bawa aku ke pantai, Rio," katanya singkat namun penuh makna.Rio tidak membuatnya menunggu lama. Keesokan harinya, dia sudah berdiri di depan rumah Venina dengan senyum hangat di wajahnya. "Sudah siap pergi bersamaku, Nina?" tanyanya dengan penuh perhatian, menyiratkan kesediaannya untuk mengikuti langkah Venina, apapun itu.
Baca selengkapnya

BAB 45 Akibat dari hasrat dan gairah

Venina menunggu hasil tes kehamilan dengan perasaan campur aduk. Jantungnya berdegup kencang, seolah-olah ingin melompat keluar dari dadanya. "Negatif... Negatif... Negatif!" harap Venina dalam hatinya, nyaris seperti mantra yang dia ulangi tanpa henti. Namun, ketakutan yang mengintai di sudut hatinya terus membayangi."Nggak mungkin... Ini nggak mungkin!" gumamnya sambil menggelengkan kepalanya dengan kuat seolah ingin menepis kenyataan yang ada di depannya. Matanya tak lepas dari beberapa alat tes kehamilan yang kini menampilkan hasil yang sama—positif. Garis-garis itu menghantui pikirannya, mengunci setiap harapan yang tersisa.Venina merasa dunianya runtuh. Dia tahu siapa ayah dari janin yang kini tumbuh dalam rahimnya. Anak itu pasti anak Erlangga. Karena dia belum pernah berhubungan dengan pria lain sel
Baca selengkapnya

BAB 46 Aborsi?

Setelah mendengar ketulusan dari kata-kata Rio, akhirnya Venina tidak dapat menahan kegelisahannya lagi. Perasaan yang bercampur aduk di hatinya mendorongnya untuk mengunjungi seorang dokter kandungan. Ketika pintu ruang konsultasi terbuka, Venina disambut oleh sorot tajam dari Dokter Prapti. Wajahnya yang serius dan tatapannya yang tajam seolah memperlihatkan bahwa dia tahu apa yang terjadi sebelum Venina bahkan mengucapkannya."Kenapa?" tanya Dokter Prapti, suaranya terdengar tegas, membuat Venina bergidik. "Belum siap punya anak?"Venina tergagap, mencoba menemukan kata-kata yang tepat untuk menjawab. "Saya... Saya belum menikah, Dok," jawabnya gemetar.Dokter Prapti mengangkat alisnya, tatapannya menyelidiki. "Ayah dari bayi ini tidak mau bertanggung jawab?" Su
Baca selengkapnya

BAB 47 Kecemasan yang menghantui

Venina melangkah masuk ke ruang kerja Erlangga dengan langkah yang tergesa-gesa. Matanya berusaha menyembunyikan kecemasan yang menghantui pikirannya. Tapi, begitu dia berdiri di depan meja Erlangga, tatapan dinginnya langsung melesat ke arahnya."Terlambat lagi?" Erlangga menyampaikan kalimatnya dengan nada yang menusuk."Maaf, Pak, saya...." Venina mencoba untuk meminta maaf, tetapi ucapannya terpotong ketika Erlangga menyela dengan cepat, tanpa memberikannya kesempatan untuk menjelaskan."Saya ada pertemuan sebentar lagi. Lebih baik kamu bersiap-siap," potong Erlangga tanpa menoleh lagi. Nada suaranya dingin dan tanpa kompromi, menambah beban yang sudah menekan bahu Venina.Venina hanya bisa mengangguk pasrah, berbalik untuk keluar dari ruangan. Namun, seruan Erlangga yang tiba-tiba membuatnya terhenti di tempatnya."Jangan pikir karena semua yang terjadi di antara kita... Kamu jadi bisa terus bertingkah seenaknya seperti ini, Nina!" serunya den
Baca selengkapnya

BAB 48 Seperti terhempas ke dalam jurang

 Kecurigaan dalam diri Erlangga terhadap Venina tumbuh semakin besar, seperti serangkaian kabut tebal yang menyelimuti pikirannya. Setiap gerak dan tingkah lakunya Venina menjadi bahan pertimbangan yang membuatnya semakin gelisah.Duduk di ruang kerjanya yang megah, Erlangga mendengarkan laporan dari Regi, orang yang dipekerjakannya untuk mengawasi Venina. Suara telepon yang bergema di ruangan itu memecah keheningan yang tegang."Sejauh ini tidak ada yang beliau lakukan setelah pulang bekerja, Pak," kata Regi dengan nada yang serius. "Beliau jarang sekali pergi keluar."Erlangga menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri sejenak sebelum mengambil keputusan selanjutnya. "Terus awasi dia dan juga pria itu," perintah Erlangga dengan tegas sebelum menutup sambungan teleponnya.
Baca selengkapnya

BAB 49 Benih yang kutitipkan di rahimmu

Venina membuka pintu rumahnya dengan wajah yang pucat pasi. Malam yang seharusnya tenang berubah menjadi penuh ketegangan saat matanya bertemu dengan sosok yang tidak asing di depannya. "Mas Angga? Apa yang Mas lakukan di sini?" tanyanya dengan suara yang hampir berbisik.Erlangga berdiri tegap, dengan mata penuh tekad yang menyala-nyala. “Ada yang perlu kita bicarakan, Nina,” suaranya terdengar tegas namun ada kelembutan yang tersirat di sana.Venina menggelengkan kepala dengan cepat, mencoba menutup pintu kenyataan yang kini berdiri di hadapannya. "Saya tidak bisa. Saya tidak mau membahas apa pun di luar jam kerja."Namun, Erlangga tidak mundur. Dia menatap Venina dengan mata yang penuh keteguhan.  "Tidak masalah. Saya akan menunggu di sini sampai kamu mau bicara dengan saya," ujarnya tanpa ragu.
Baca selengkapnya

BAB 50 Kegelisahan yang membabi buta

Sepanjang malam itu, Venina didera oleh gelombang perasaan cemas dan gelisah. Kata-kata Erlangga terus terngiang di dalam benaknya, bergema seperti sebuah mantra yang tak kunjung berhenti. "Kita akan menikah, Nina. Anak itu akan menjadi anak kita yang sah. Kita bisa memperbaiki semuanya, Nina. Demi anak kita."Rasa takut tiba-tiba menerjang hatinya dengan membabi buta, menghancurkan segala ketenangan yang pernah dia miliki. Seketika Venina merasa kehilangan arah dan tumpuannya, seperti layangan yang terlepas dari benangnya.Mungkin, jika Erlangga benar-benar ingin menikahinya, dia tidak perlu melenyapkan anaknya sendiri. Mereka bisa menjadi keluarga bahagia yang saling mencintai, membangun kembali apa yang telah hilang. 
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
34567
...
13
DMCA.com Protection Status