Aku pun naik ke atas boncengan sepeda motor Mas Reza. Dia mengantarku pulang. Namun, dia sendiri pamit balik lagi ke rumah itu. “Mas pamit ke sana lagi ya, Dek.” “Sibuk amet si, Mas. Dibayar berapa emang sama yang punya rumah buat urusin?” “Ahm, nggak kok, Dek. Nggak dibayar.” “Apalagi Mas gak dibayar, gak usah segitunya. Oh iya, Adek tuh tadi mau kasih tahu. Itu para tetangga sini pada sibuk mintain lauk ke dapur itu yang masak, loh. Mas tahu gak? Nanti Mas kena omel sama yang punya rumah loh. Tahu-tahu, nanti sapinya habis.” “Oh yang itu, pagi tadi memang dibagiin, Dek. Jatahnya satu paha itu dipisahin sengaja buat bagi-bagi, Dek.” Aku terdiam mendengar penuturannya. Eh, jadi? Sengaja buat dibagiin, ya? Duh, tahu gitu aku minta juga. Lumayan ‘kan ya? “Ya sudah, Dek. Mas pamit dulu. Sore nanti Mas jemput, ya! Adek jangan lupa, dandan yang cantik.” Aku belum menjawab ketika tiba-tiba aroma maskulin semakin dekat. Tanpa aba-aba, satu kecupan mendarat di keningku. Lalu Mas Reza
Baca selengkapnya