Beranda / Romansa / Kejutan Suami Lugu / Bab 11 - Bab 20

Semua Bab Kejutan Suami Lugu: Bab 11 - Bab 20

51 Bab

Bab 11

“Ya Allah, kenapa suami kamu bisa punya uang sebanyak itu, Rin?” tanya Ibu menatap heran. “Katanya dia sudah nabung dari usia dua puluh tahunan, Bu.”Aku mengedik dan menjawab seperti yang Mas Reza bicarakan kemarin. Hanya saja, besok adalah kesempatanku untuk mencari tahu, seperti apa sebetulnya kehidupan Mas Reza di gunung sana? Huh, gimana kalau dia ternyata bandar narkoba, kan katanya tanaman ganja itu harganya mahal-mahal, ya? Atau dia pesugihan, kan kalau orang-orang di pegunungan itu biasanya masih kental sama hal-hal mistis. Ya Allah, kenapa aku jadi takut gini, ya? Gimana kalau salah satu tebakanku benar? Soalnya kalau memang dia orang kaya, kenapa harus jadi bujang lapuk segala? Empat puluh tahun gak nikah-nikah karena gak ada yang mau, katanya. “Ya Allah, Rin. Alhamdulilah … Bapak gak salah pilihkan suami buat kamu. Reza sayang banget sama kamu.” “Iya. Bu. Cuma Arin sendiri sebetulnya masih takut … Mas Reza itu sebenernya kerjaannya apa. Kok bisa belanja was wis wus saja
Baca selengkapnya

Bab 12

“Ke kebun? Lama, Mas? Aku boleh ikut?” tanyaku sambil menatap penuh harap. “Hmmm … Mas takut Adek gak nyaman. Kebunnya di lereng gunung rungkingnya, Dek. Jalannya masih jelek. Di sana banyaknya cowok-cowok semua, nggak apa?” tanyanya tampak ingin memastikan. “Gak apa, Mas.” Aku lekas bangun sebelum Ibu Mertua atau kakak iparku melarang. Bisa mati kutu aku di sini. “Ayo, Dek!” tuturnya sambil bergegas menuju sepeda motor. Aku mengangguk, lekas berpamitan pada Mbak Rena dan Ibu. Setelah itu, lekas duduk diboncengan Mas Reza. Sepeda motor butut supra X jadul itu melaju pelan. Semilir angin pegunungan terasa menyapu wajah. Aku tak memakai helm. Mas Reza bilang tak ada polisi di sana. Iya lah, di gunung mana ada polisi. Berkendara sekitar dua puluh menitan dengan medan turun naik, akhirnya Mas Reza tiba di sebuah area datar. Sebuah kaki gunung di balik bukit. Akses mobil sudah bisa, hanya saja jalannya memang masih berbatu. Tadi hanya beraspal sampai area wisatanya saja. Tampak hamp
Baca selengkapnya

Bab 13

Sore harinya, Mas Reza dan Bapak Mertua pergi. Mereka cuma bilang ada urusan. Namun, aku yakin pasti mereka akan lihat tanah yang akan dijual itu. Karena mereka pergi boncengan, terpaksa … aku gak ikut. Rencananya malam ini, kami akan menginap. Jadinya, bakda ashar, aku sibuk membantu Ibu Mertua memasak. Gak banyak yang dimasak. Hanya menghangatkan semur daging dan masakan lainnya yang pagi tadi dimasak. Ibu Mertua masak banyak, jadi sorenya gak masak lagi. Mbak Rena juga duduk manis di dapur sambil membantu mengupas bawang. Kebetulan Ibu Mertua baru beli tadi pagi dari pasar, belum sempat dibuang kulit luarnya. Kami hanya mengobrol ringan saja. Rupanya, keluarga Mas Reza menyenangkan. Meskipun secara ekonomi, Mbak Rena lebih kaya, tapi dia gak sombong. Padahal aku sudah takut, dia seperti ipar-ipar jahat di novel-novel kbm. Julid, nyebelin dan suka ngihena, eh ternyata enggak. “Waktu nikahan itu, kami minta maaf, alakadarnya banget, Neng. Tiba-tiba saja, Bapak sibuk ngajak buru-b
Baca selengkapnya

Bab 14

Puk! Puk! Puk!“Dek sadar, Dek! Dek!”“Astaghfirulloh!” Aku tiba-tiba merasa benda dingin menempel di pipiku. "Astaghfirullah!" Rupanya tangan Mas Reza. Dia menepuk-nepuk pipiku dengan tangannya yang dingin. Eh, aku kenapa? Kesadaranku seperti baru kembali. Tadi aku kelewat kaget. Pikiranku lari entah ke mana dan rasanya mendadak aku tak mendengar apapun selain melihat bayangan uang yang beterbangan. Ya ampuun, sekatro ini aku. “Adek gak usah shock gitu, dipanggil sampe gak nyahut, Mas gak bakal suruh Adek jadi tukang kebun, kok.” Mas Reza malah terkekeh santai. Dia mengacak pucuk kepalaku sekilas. “Yang urus kebun Reza sudah banyak, kok, Rin. Kamu gak usah cemas,” timpal Bapak Mertua. Sepertinya dia pun berpikiran sama.Lalu, obrolan pun mengalir lagi di antara mereka. Hanya aku saja yang masih sibuk menghitung-hitung, seberapa kira-kira tabungan Mas Reza selama dua puluh tahun ini. Duh, payahnya aku?*** Kunjungan singkat dari rumah Ibu Mertua, cukup memberikan kesan mendalam
Baca selengkapnya

Bab 15

Aku tak habis pikir. Pak RT bisa-bisanya percaya pada aduan Mas Sandi dan Bibiku yang menyebalkan itu.“Pak RT kenapa harus nuduh suami saya?” tanyaku geram. “Karena kami menemukan ini di tempat kejadian!” Suara yang kukenal tederngar. Mas Sandi sudah berdiri sambil menenteng plastik warna hitam. “Apa itu, Mas?”tanyaku sambil menatap tentengan yang Mas Sandi bawa. “Ini bukti telak kalau Mas Reza memang pelakunya!” tutur Mas Sandi sambil membalikkan plastik keresek hitam yang dia bawa dan terjatuhlah isi di dalamnya. Lalu terjatuh sebuah sarung. Aku menatap pada sarung yang tergeletak itu. Lalu mendongak dan menatap suamiku.“Itu ‘kan sarung Mas Reza ….”Aku menautkan alis pada sarung dengan warna sudah pudar itu. “Iya, dan ini ditemukan di tempat babi itu menghilang.” Mas Sandi bicara sambil menyipitkan mata. “Gimana, Mas Reza? Apa ada penjelasan? Jujur, semalam ini warga pada meminta saya langsung menggrebek ke sini. Cuma, ya, kan malem-malem, gak enak ribut-ribut.” Pak RT menat
Baca selengkapnya

Bab 16

“Mas ngomong apa, si? Rumah siapa yang dua lantai?” tanyaku menatap lekat. “Nggak, Dek. Anu itu, kalau misal nanti Mas ada rejeki, terus beli rumahnya dua lantai. Adek mau ‘kan nempatinnya?” tanyanya lagi. “Aduh, Arin, Reza! Bibi pulang dulu, ya! Males banget dengerin halu kalian! Nanti Bibi undang pas acara syukuran rumahnya si Mia. Sembuhin dulu tuh, halunya suami kamu, Rin!” Bi Icah masih tertawa-tawa, seolah perkataan Mas Reza itu penuh kelucuan. Dia pun melenggang pergi dan membawa brosur-brosur gambar rumah yang tadi dia bawa ke sini. Aku baru hendak bicara lagi pada Mas Reza, ketika tiba-tiba Bi Icah menghentikkan langkahnya. Dia memutar tubuh, lalu berjalan mendekat dan menepuk bahu Mas Reza. “Eh, Reza. Kalau kuli bangunan di rumah bekas Pak Lurah itu sudah selesai, boleh nanti kerja bantu-bantu bangun renova rumah Si Mia. Bibi nanti bilangin Sandi, biar sisain satu jatah kuli buat kamu. Kasihan, si Arin. Senggaknya kamu bisa bantuin nyari nafkah juga. Masa iya istri kerja
Baca selengkapnya

Bab 17

“Mia? Ada apa, Mi?” tanyaku. Pandanganku lurus ke arah sepupuku yang sudah berdiri di ambang pintu. “Mau ngundang, Mbak sama Mas Reza. Malam ini bakda Isya, mau ngadain syukuran rumah.” Dia tersenyum lebar, lalu berjalan masuk ke dalam kamar dan mengedarkan pandangan. Lalu berjalan ke arah lemari kayu jati dan mengetuk-ngetuk daun pintunya. “Oh, jadi ini perabotan yang bikin heboh warga sekampung itu, Mbak? Ini kemarin aku juga habis ganti perabotan, persis banget kayak gini.” Mia tersenyum sambil menoleh ke arahku. Entah kenapa, aku merasakan jika tatapannya itu seolah bicara. Aku juga punya lemari kayak gini, bukan kamu saja. “Oh, ya?” “Huum, Mbak. Barang-barang lamaku sudah dikeluarin juga. Ya, sudah waktunya ganti. Meja riasnya juga kayak gini, dipannya juga sama. Rupanya selera kita masih sama,” kekehnya.Aku termangu. Apa maksudnya? Selera kita masih sama? Jangan bilang kalau dia juga diam-diam mau mengganti Mas Sandi dengan Mas Reza? Duh, makin takut aku kalau jati diri Ma
Baca selengkapnya

Bab 18

Sepulang dari tempat Mia, aku tak bisa tidur lelap. Ketiadaan Mas Reza membuatku merasa ada yang kurang. Berulang kali kutatap layar ponsel. Kuambil benda pipih itu, kuusap, lalu kuletakkan lagi. Aku berharap, Mas Reza menghubungi. Namun hingga waktu sudah menunjukkan pukul dua belas malam. Tak ada lagi panggilan masuk ataupun pesan.[Mas, kamu nginep lagi di sana, ya?]Pesan terkirim, tapi tak ada balasan. Bahkan tampak, Mas Reza belum membacanya. Kuhela napas kasar, lalu kusimpan lagi gawai. Kumiringkan posisi tubuh dan menatap karpet tempat Mas Reza berbaring yang kini kosong. Biasanya ketika kuterjaga, aku suka diam-diam mengamati pahatan wajahnya yang kurasa sempurna. Hidung bangir, alis tebal, rambutnya yang agak ikal. Mas, kamu lagi ngapain sebenernya? Akhirnya meskipun susah payah, rupanya aku tertidur juga. Pas suara adzan terdengar, aku mengerjap. Biasanya punggung lebar Mas Reza masih terduduk di atas sajadah kulihat. Cuma sekarang gak ada. Biasanya, usai shalat malam, di
Baca selengkapnya

Bab 19

AsriNama itu muncul pada layar bersama foto profil yang membuat hati berdentum cepat. Itu ‘kan foto Mas Reza tengah memangku anak kecil dan pakaian itu, adalah pakaian yang tadi dia kenakan pas datang. “A—apakah ini alasan Mas Reza pulang telat? Dia mampir ke tempat Asri dan sibuk bermain dengan anaknya?” Seketika, rasa panas, sesak, kesal dan semuanya bercampur baur dalam hati. Perlahan tangan ini mengambil benda pipih itu, lalu mengusap tombol berwarna hijau untuk mengangkat panggilan. Mau apa dia mencari Mas Reza?Tepat ketika kutekan tombol hijau. Panggilan itu malah terputus. Jadinya kubengong menatap layar. Padahal aku sudah siap bicara panjang lebar. Kutunggu-tunggu, tak lagi telepon itu berdering. Ingin rasanya kutelepon balik, tapi aku belum seberani itu menggunakan barang-barang Mas Reza tanpa izin dulu. Aku yang sebal. Kuambil ponsel Mas Reza itu dan kumasukkan ke dalam laci. Lalu, aku bergabung dengan Ibu menonton televisi. Meskipun, pikiran masih berlarian dan sibuk m
Baca selengkapnya

Bab 20

“Kok Adek tahu?” tanyanya heran.“Tadi pas nomor Asri nelepon, itu … muncul gambar Mas sama anak kecil di foto profilnya. A—Apa Mas … hmmm … masih ada hubungan sama dia?” tanyaku ragu. Namun, aku benar-benar ingin mendapatkan jawaban dari Mas Reza.“Iya, Dek.” Astaghfirulloh … hatiku mencelos luar biasa ketika mendengar jawaban itu dari dia. Rasanya mataku memanas dan mungkin kini sudah berkaca-kaca.“L—Lalu … Mas anggap aku ini apa, Mas?” lirihku dengan sisa-sisa tenaga. “Loh, Adek ‘kan istrinya, Mas? Kok nanyanya gitu, sih?” Mas Reza menatap wajahku lekat. Alis tebalnya saling bertaut. Wajahnya tampak kaget mendengar pertanyaanku. Ish, dasar cowok! “Buat apa aku dijadikan istri, kalau Mas masih ada hubungan sama Asri.” Aku bicara sambil membuang muka. Aku membelakangi Mas Reza, memberengut dan bersedekap angkuh. “Loh, loh, loh, Dek. Kenapa Adek sangkut-sangkutin status Adek sama hubungan Mas? Asri orang tua tunggal, Dek. Kasihan kalau nggak boleh kerja di kebun Mas.”Aku bergemi
Baca selengkapnya
Sebelumnya
123456
DMCA.com Protection Status