AsriNama itu muncul pada layar bersama foto profil yang membuat hati berdentum cepat. Itu ‘kan foto Mas Reza tengah memangku anak kecil dan pakaian itu, adalah pakaian yang tadi dia kenakan pas datang. “A—apakah ini alasan Mas Reza pulang telat? Dia mampir ke tempat Asri dan sibuk bermain dengan anaknya?” Seketika, rasa panas, sesak, kesal dan semuanya bercampur baur dalam hati. Perlahan tangan ini mengambil benda pipih itu, lalu mengusap tombol berwarna hijau untuk mengangkat panggilan. Mau apa dia mencari Mas Reza?Tepat ketika kutekan tombol hijau. Panggilan itu malah terputus. Jadinya kubengong menatap layar. Padahal aku sudah siap bicara panjang lebar. Kutunggu-tunggu, tak lagi telepon itu berdering. Ingin rasanya kutelepon balik, tapi aku belum seberani itu menggunakan barang-barang Mas Reza tanpa izin dulu. Aku yang sebal. Kuambil ponsel Mas Reza itu dan kumasukkan ke dalam laci. Lalu, aku bergabung dengan Ibu menonton televisi. Meskipun, pikiran masih berlarian dan sibuk m
“Kok Adek tahu?” tanyanya heran.“Tadi pas nomor Asri nelepon, itu … muncul gambar Mas sama anak kecil di foto profilnya. A—Apa Mas … hmmm … masih ada hubungan sama dia?” tanyaku ragu. Namun, aku benar-benar ingin mendapatkan jawaban dari Mas Reza.“Iya, Dek.” Astaghfirulloh … hatiku mencelos luar biasa ketika mendengar jawaban itu dari dia. Rasanya mataku memanas dan mungkin kini sudah berkaca-kaca.“L—Lalu … Mas anggap aku ini apa, Mas?” lirihku dengan sisa-sisa tenaga. “Loh, Adek ‘kan istrinya, Mas? Kok nanyanya gitu, sih?” Mas Reza menatap wajahku lekat. Alis tebalnya saling bertaut. Wajahnya tampak kaget mendengar pertanyaanku. Ish, dasar cowok! “Buat apa aku dijadikan istri, kalau Mas masih ada hubungan sama Asri.” Aku bicara sambil membuang muka. Aku membelakangi Mas Reza, memberengut dan bersedekap angkuh. “Loh, loh, loh, Dek. Kenapa Adek sangkut-sangkutin status Adek sama hubungan Mas? Asri orang tua tunggal, Dek. Kasihan kalau nggak boleh kerja di kebun Mas.”Aku bergemi
“Kalau nanti Mas ada rejeki, Adek mau dibeliin rumah kayak gimana?” tanyanya. “Gak tahu, Mas. Belum kepikiran. Yang penting nyaman saja ditinggali.” “Oke, Dek.” “Mas mau beliin Adek rumah? Adek gak mau jauh-jauh dari Ibu sama Bapak, Mas.” “Oh gak jauh, kok, Dek.” “Gak jauh? Maksudnya?” “Ahm, anu … maksudnya, nanti nyari rumahnya yang gak jauh, Dek.” Hening lagi. Kami sudah melewati rumah bekas Pak Lurah yang sudah membuat seluruh warga heboh karena, katanya sedang dipasang lift. Hanya saja, tampilan luarnya terlihat biasa saja. Masih sama dengan model rumah yang dulu. Cuma saja terlihat cat dan gentingnya baru, itu saja.“Mas rumahnya kelihatannya biasa ya padahal, Cuma memang luas saja dan dua lantai. Tapi yang pada lihat ke dalam pada heboh, katanya dalemnya mewah. Adek jadi pengen lihat!” tuturku. “Oh, ya sudah siang nanti Mas jemput. Adek mau lihat-lihat?” “Ish, malu lah, Mas.” “Gak apa-apa, Dek. Mia juga sering ke sana. Hampir tiap hari, Dek.” Deg!Hatiku berdentum. Mi
“Oh, kalau ini kami dapatkan borongan satu M lebih, Mbak. Soalnya kayak keramik saja, dirombak total pake marmer yang mahal. Terus kayu-kayu kusen juga diganti semua pakai yang paling bagus!” tuturnya menjelaskan. Aku hampir tergelak ketika melihat ekspresi wajah Mia. Persis seperti orang kehabisan napas ketika mendengar angka yang disebutkan oleh lelaki itu. Hanya saja tepukan pada pundak, membuatku menoleh. “Adek!” “Eh, Mas. Aku cariin dari tadi.” Mia dan lelaki itu menoleh karena suara kami. Aku bisa melihatnya dengan ekor mataku. “Mbak Arin! Tumben ke sini?” tanya Mia. Dia tergesa meninggalkan lelaki yang tadi dan mendekat ke arah kami.“Iya, ini lagi masak banyak. Buat Mas Reza. Kamu lagi ngapain di sini, Mi?” tanyaku.“Ooo … suami kesayangan ceritanya, ampe dibekelin makan kayak anak TK. Aku lagi cari inspirasi, Mbak. Abisnya warga heboh banget katanya rumah bekas Pak Lurah direnov mewah banget.” “Ooo … mau rombak rumah kamu lagi, Mi? Bukannya baru kelar kemarin?” “Iya, M
“Ooo … syukurlah, Mbak. Kirain lihat-lihat mau buat rumah kayak gini juga. Secara suami Mbak Arin kadang aneh, tiba-tiba punya duit banyak walau gak kerja. Ini M M an loh, Mbak. Milyar. Mungkin tabungannya gak akan sampe juga, ya? Paling banter punya seratus jutaan ‘kan? Itu pun pasti sudah habis ‘kan buat beli perhiasan sama perabotan kemarin itu? Aku cuma kasihan saja sama kamu, Mbak. Cita-citanya sederhana dulu saja. Mending ngontrak dulu saja, Mbak kalau mau misah sama orang tua. Ada kok kontrakan di dekat jalan raya sana yang kemarin aku baca mau disewakan!”Heran, sesibuk itu Mia mengurusi hidup kami. Aku juga gak peduli dia mau bikin rumahnya seperti apa. Kenapa dia malah sibuk ngatur-ngatur aku harus gini dan gitu. Jadinya aku malah berharap kalau beneran Mas Reza bakal ngasih kejutan lagi, biar mulutnya Mia gak berkutik lagi dan diam.“Iya, makasih, Mia.” Sebelku pun bertambah ketika dia malah berterima kasih pada Mia. Apa sih Mas Reza ini, ish. “Iya, Mas. Sama-sama. Oh iya
Aku hanya menggeleng. Penjaga toko itu menarik napas kasar. Dia lalu menyebutkan total yang harus aku bayar. Lekas aku memberikan uang sejumlah yang dia sebutkan, lalu bergerak pulang. Hanya saja baru aku hendak mendorong pintu kaca, aku terkejut ketika melihat sosok yang begitu familiar sedang berjalan ke arah sini.“F--Firman?” lirihku menggumam. Namun, reflek aku memutar tubuh agar membelekanginya, ketika lelaki bertubuh jangkung itu mendorong pintu kaca. Dia berjalan lurus dan syukurlah tak menoleh ke arahku. Fiuh, selamat. Firman? Kenapa tiba-tiba dia muncul di sini? Bukankah dia sudah pergi ke Kalimantan semenjak aku memutuskan untuk menerima Sandi dan menolaknya. Sejak saat itu, aku tak pernah lagi mendengar kabarnya. Hanya mendengar selentingan jika dia sudah menikah di Kalimantan sana. Masih teringat jelas ketika hari itu dia berpamitan.“Selamat ya, San! Ternyata lo yang dia pilih! Gue titip dia. Jangan pernah sakitin dia atau lo harus berhadapan dengan gue.” “Lo tenang
Pagi itu, kami sudah rapi. Acara reuninya diadakan hari minggu. Mas Reza sudah libur dari tempat kulinya, dia terlihat bersemangat sekali. Dia menurut memakai pakaian apa saja yang kupilih. Kemarin waktu menukar sepatu, aku membelikannya celana jeans dan kaos. Melihat dia memakai kemeja, terlihat terlalu resmi. Akhirnya aku membelikannya baju lainnya lagi. Setelah dari toko pakaian, kami ke tempat pangkas rambut. Rambut ikal Mas Reza yang sudah agak panjang, kini dipangkas rapi. Jadi, hari ini … untuk penampilannya sudah terlihat sempurna. Jadi hari ini, Mas Reza mengenakan sepatu warna hitam, celana jeans warna biru gelap dan kaos warna army. Tubuhnya terlihat gagah dan maskulin. Kenapa jadi makin tampan, ya? Sementara itu, aku mengenakan gamis warna army juga dengan kerudung senada, sengaja kupilih yang warnanya sama biar keliatan kami ini pasangan. Hanya saja memang sikapnya ya tetap sama, seperti malu-malu kucing. Dia pun terlihat gak percaya diri dengan penampilannya saat ini.
Aku sedang sibuk merekam ketika kudengar suara seseorang menyapa. “Arin? Sehat, Rin?” tanyanya, lalu tanpa aba-aba, satu kursi sudah berpindah ke sisi kiriku yang memang paling tepi. Aku menelan saliva ketika menoleh dan terlihat sosok yang ingin aku hindari, kini sudah ada di sana.“Firman?” Reflek aku menurunkan rekaman pada sang komika. Lalu kutekan tombol matikan. Sudah dapat agak panjang juga. “Aku kira kamu gak datang tadi, Rin? Sempat kaget pas lihat Sandi sama Mia. Ikut sedih, ya!” Dia bertutur sambil tersenyum. “Oh, gak perlu sedih. Aku sudah Ikhlas.” Aku menjawab seperlunya. Kulirik Mas Reza, dia tampak tengah menunduk, diam tanpa kata. “Syukurlah … aku juga lagi sedih. Baru ditinggal almarhum istriku, Rin.” “Wah, turut berduka, Firman.” “Iya, Rin. Sudah gitu, yang bikin aku makin sedih lagi, kami punya anak balita. Dia diurus Ibuku sekarang. Dia selalu nanyain mendiang mamanya. Makanya balik ke sini, sekalian mau nyariin dia mama baru.” “Yang sabar ya, Fir.” Aku mel
Manusia hanya mampu merencanakan, sedangkan Tuhan yang menentukan. Seperti kabar kalau Sandi yang kini ditangkap polisi karena kasus kekerasan, Bi Icah yang terkena stroke dan Mia yang kini nasibnya terkatung-katung tak karuan. Ibunya Sandi yang dulu selalu membangga-banggakan putranya itu pun gaungnya mulai menghilang dan seperti aku, yang masih setia menunggu diberikan keturunan. Perlahan tapi pasti. Garisan nasib bergerak perlahan. Semua bergerak mengikuti ketentuan-Nya, bukan hanya berdasarkan keinginan dan rencana manusia. Kehidupan pernikahanku baik-baik saja. Kondisi ekonomi kami pun melaju pesat. Toko sembakoku, kini sudah mulai membuka cabang. Tika kupercayakan sebagai pengelola di sana. Meskipun awalnya aku menawari Bapak, tetapi dia menolaknya. Katanya, tak ingin hidup bergantung pada menantu. Jadi, Bapak masih menekuni jaga parkiran. Baginya, hidup mewah itu bukan tujuan. Katanya melihat anaknya sudah hidup mapan pun, sudah menjadi kebahagiaan.Ah, bahagianya hidupku pun
Bab 50 – Pov Sandi“Mas tolong anterin pesenan ke meja nomor 57!” tutur Silvi, teman satu shiftku sambil menempelkan catatan pada tepi meja orderan. “Oke.” Aku mengangguk sambil memeriksa apa saja yang dipesannya. Lekas aku menghubungi bagian dapur dan meminta disiapkan menu-menu yang akan kuantar. Sementara itu, Silvi tampak sudah kembali ke depan dan menghampiri meja lainnya.Makanan yang dipesan untuk meja nomor 57 sudah berada di atas nampan. Aku lekas mengayun langkah cepat mengantarnya. Sepertinya hanya makan siang kecil, orderannya pun tak banyak. Bisa aku sekali antar. Dalam jarak beberapa meter, terlihat dua orang yang sedang duduk. Rasanya familiar, tetapi memang para tamu di sini sering datang berulang. Jadi, mungkin salah satu tamu yang datang ke sini. Hanya saja anggapanku langsung terbantah ketika suara yang tak asing itu memanggil namaku. “Sandi?” Pertanyaan spontan itu membuat aku seketika mendongak dan sepasang netra kami saling bertemu. Rasanya dunia berhenti b
“Mbak! Mbak Arin!” Baru saja kami tiba setelah makan siang ketika Aryo tergopoh menghampiri. Wajahnya terlihat pucat seperti orang ketakutan. “Kamu kenapa kayak orang ketakutan gitu, Yo?” “Anu, Mbak Arin! Tadi Pak RT mau pinjam mobil!” “Kenapa gak nelepon saja?” “Sudah, Mbak Arin! Tapi gak diangkat. Ke Mas Reza juga gak diangkat.” Lalu, serempak kami sama-sama mengecheck ponsel. Rupanya benar ada miscall dari Pak RT. “Oh, iya, Yo. Gak keangkat. Kami lagi di jalan kayaknya tadi. Pak RT ada apa, ya? Mas telepon balik, takut penting!” Aku menoleh pada Mas Reza. “Anu, Mbak, Mas! Pak RT mau bawa Mbak Mia ke rumah sakit. Percobaan bunuh diri, katanya!” tutur Aryo. “Astaghfirulloh!” Kompak aku dan Mas Reza beristighfar. Kutatap wajah Aryo lekat-lekat. “Yang bener, Yo?” tanyaku. Aryo mengangguk. Cuma Mas Reza kudengar mulai berbicara di telepon. “Hallo, Pak RT! Maaf, kami lagi diluar tadi!” “Oh, sudah dapat mobilnya … di rumah sakit mana, Pak RT? … Oh syukurlah … Wa’alaikumsalam!
Penjaga toko yang dicarikan Mas Reza sudah mulai bekerja. Aryo namanya. Karena sudah ada yang jaga toko, akhirnya, kami pun punya kesempatan melanjutkan kencan kami yang tertunda beberapa waktu lalu. Kuminta Mas Reza mengenakan lagi pakaian yang sudah kupilihkan. Waktu itu dia pakai dan terlihat keren.“Kenapa Adek beliin Mas baju-baju kayak gini, Dek? Mas nggak nyaman.” Mas Reza tampak celingukan menatap celana tiga perempat yang membuat betisnya yang berbulu lebat itu kelihatan. Baju kaos berkerah yang ukurannya pas badan membuatnya terlihat gagah. Sejak setengah jam lalu dia sudah memakai setelan itu, tapi terlihat tidak percaya diri. “Mas ganteng kalau pake itu.” Aku melirik ke arahnya sambil menyematkan peniti pada ujung kerudung yang kulipat ke dada. “Oh begitu? Cuma memang nggak nyaman loh, Dek.” Dia tersipu, tapi tetap terlihat kikuk dengan setelan yang sudah dia kenakan. “Waktu itu juga Mas pake, tapi makin lama, makin malu. Nggak nyaman pada dilihatin ibu-ibu.” Dia tersip
Getaran ponsel yang tergeletak membuatku terperanjat. Menarik pikiranku yang sedang jalan-jalan ke masa lalu kini kembali mendekat. Rupanya telepon dari sebuah nomor baru. Siapa, ya? Aku pun lekas mengangkatnya. “Hallo!”“Arin!” Suara itu.“Firman?” “Arin, aku mau bicara, tolong buka blokir nomorku!” Tut!Aku langsung menurunkan ponsel dari telinga dan kututup. Dalam hitungan menit, nomornya sudah kublokir lagi. Maaf, Firman. Kesalahanmu sudah terlalu fatal. Untuk kali ini, aku tak bisa lagi untuk mentolerir hal itu. Bahkan, aku tak sudi lagi memanggilmu dengan embel-embel Mas seperti dulu. Setelah itu, aku kembali melanjutkan aktivitas. Ini nomor ke sekian yang menelponku dan aku pun memblokirnya. Aku tak memberitahu Mas Reza. Aku tak ingin dia teringat kejadian memalukan itu lagi. Bayangan Firman yang melepas pakaiannya, seringainya yang menjatuhkan dan setiap kalimatnya yang membuatku seolah-olah perempuan murahan, aku benci. “Adek, sore nanti Mas mau ajak pergi.” Aku menol
“Pak Ustadz, acara syukuran mobilnya dimulai kalau Reza sudah datang, ya! Mobil ini hadiah dari Ibu buat menantu Ibu yang cantik ini. Semoga Arin suka, ya!” Aku masih terbengong-bengong, sesekali kucubit punggung tangan. Ini masih terasa mimpi. Tiba-tiba aku punya mobil? “Tuh Reza, Bu!” Mbak Resa, kakak pertama Mas Reza yang ternyata juga datang, membuka suara. Ini pertemuan pertama kami. Wajahnya sangat mirip Mbak Rena, sebelas dua belas. Bahkan tak terlihat kalau dia lebih tua, mereka seperti sepantaran. “Alhamdulilah, orangnya sudah sampai, Pak Ustadz! Kalau begitu, acaranya dimulai saja Pak Ustadz.” Ibu Mertua bicara sambil menoleh ke arah Mas Reza. Lalu setelah itu dia kembali duduk di sampingku. Pak Ustadz pun menoleh ke arah Mas Reza yang mendekat. Dia mengangguk saja dan tersenyum lalu memulai kajian. Yang diundang tak terlalu ramai. Hanya ada sekitar dua puluh orang, para tetangga yang dekat-sekat saja dan keluarga. Hidangannya nasi kotak, Mbak Resa yang pesan, jadi pagi
Bab 45 – POV RezaPerempuan yang kunikahi beberapa bulan lalu itu, bernama Dek Arin. Gadis yang dulu katanya sempat dijuluki perawan tua. Dia lambat nikah karena gak bisa move on dari mantannya. Sandi, itu yang kutahu. Pernikahan kami tanpa cinta. Namun, dari pandangan pertama aku sudah menyukai Dek Arin. Wajahnya oval dengan kulit kuning langsat, bibir merah muda terlihat mungil dan agak berisi, hidungnya tak terlalu mancung, tapi membuatnya terlihat seimbang dengan komposisi wajahnya. Satu hal yang membuatku betah memandang Dek Arin lama-lama, iris cokelat terang Dek Arin membuat sepasang mata itu terlihat indah. Iris cokelat itu seperti berbicara, meski dia tak mengatakan apa-apa. Jika Dek Arin tersenyum terbentuk lesung pipi di sebelah kiri yang membuat penampilannya semakin cantik saja. Dek Arin itu, intinya cantik, manis dan aku suka. Aku nggak sanggup memandang iris cokelat terang itu lama-lama. Jujur, aku takut tak bisa mengendalikan diri. Biasanya aku lekas-lekas menunduk
Aku sudah berada di klinik. Mas Reza membawaku dengan susah payah keluar dari lereng gunung menuju pemukiman. Kini, aku sudah terbaring sambil menyeka air mataku berulang. Pernyataan yang dokter sampaikan membuatku merasa seperti kapas terkna air. Lemas lunglai tak bertenaga. “Pak Reza yang sabar, ya! Bu Arin mengalami keguguran. Kita coba pakai infus dulu ya untuk mengeluarkan sisa-sisa janinnya. Kalau belum bersih, terpaksa harus dikuret,” tutur dokter tadi setelah melakukan pemeriksaan. Mas Reza pun sama, sejak tadi lebih banyak diam. Kami sama-sama merasa terhenyak dengan kenyataan. Gara-gara keegoisanku, kini … aku kehilangan calon janin yang padahal sedang kutunnggu. Sesekali aku menarik napas panjang dan menghembuskannya perlahan. Terasa sesak, benar-benar sesak kenyataan yang kuhadapi sekarang. Ibu Mertua datang ketika kami masih saling diam. Dia menatap kami bergantian. Namun, tak ada komentar apapun. Mas Reza hanya melirik ketika Ibunya menghampiriku dan terlihat cemas.
Ini sudah memasuki hari ketiga Mas Reza gak pulang. Aku sebetulnya ingin menghubungi Ibu Mertuaku atau Mbak Rena. Hanya saja, aku takut mereka akan curiga kalau kami ada masalah. Selama tiga hari ini juga, Ibu selalu ke sini menemaniku menjaga toko. “Bu, kok Mas Reza gak pulang-pulang, ya? Apa Arin susul saja?” “Hmmm, coba telepon dulu.” “Gak aktif, Bu.” “Ibu Mertuamu?” Aku tertegun. Malu dan canggung sebetulnya. “Gak enak, Bu! Hmmm … apa Mbak Rena saja, ya?” gumamku seolah bicara pada diri sendiri. “Ya sudah, Mbak Rena saja coba.” Akhirnya aku memutuskan. Lekas kutelepon, tetapi ternyata Mbak Rena sedang menginap di rumah mertuanya. Sudah satu minggu, orang tuanya Kang Hilman sakit, katanya.“Kalau Ibu ada di rumah, Mbak?” “Ibu ada. Kalau mau main, datang saja. Biasanya juga gitu.” “Iya, Mbak.” Aku pun menutup panggilan. Sepertinya, Mbak Rena tak tahu kalau Mas Reza menginjak hari ketiga ini tak pulang. Akhirnya, mau tak mau aku menelpon nomor Ibu Mertua. Hanya saja, bisa