Home / Romansa / Kejutan Suami Lugu / Chapter 31 - Chapter 40

All Chapters of Kejutan Suami Lugu: Chapter 31 - Chapter 40

51 Chapters

Bab 31

Jujur, di antara rasa bahagia. Kini rasa takut mulai bermunculan. Jujur, aku mulai takut kalau Mas Reza viral. Entah kenapa, hati tak rela ketika Mas Reza mulai dikenal.Apakah ini yang disebut virus bucin?Acara berjalan lancar. Usai acara pengajian, semua dipersilakan makan-makan di prasmanan. Lauknya beragam. Menu hidangan utamanya semur sapi, sop sapi, ada juga tetek bengek lauk tambahannya. Usai makan-makan, acara dilanjutkan dengan pembagian sembako. Semua terlihat sumringah. Bagaimana tidak, sembako yang dibagikan cukup membuat semua rebutan. Setiap paketnya ada 5 kg beras, minyak sayur, gula, garam, kopi dan lain-lainnya. Sangat-sangat bisa meringankan uang belanja. Apalagi saat ini sembako pada mahal. Sembako ludes tak bersisa. Satu per satu para warga yang mengikuti acara syukuran pulang. Wajah mereka sumringah. Beberapa warga meminta izin ingin masuk dan melihat-lihat rumah. Mereka berdecak kagum pada interior desain berkelas. Lampu kristal besar menggantung di ruang teng
last updateLast Updated : 2024-04-02
Read more

Bab 32

Usai membuatkan kopi. Aku duduk di lantai sambil merapikan pakaian. Sementara itu, Mas Reza yang menyusunnya ke dalam lemari. “Mas ambil permisalan saja ya, Dek.” “Hmmm.” “Boleh nggak, Dek?” “Boleh, Mas. Masa gak boleh.” “Misal gini … Adek, punya kebun vanili itu dua ratus meter, Dek.” “Iya, Mas.” “Nah itu kita harus nunggu selama tiga tahun, Dek. Panennya ‘kan setelah usia pohon itu tiga tahun.” “Oh lama juga ya, Mas?” “Iya, Dek. Lumayan lah.” “Terus, Mas?”“Nah panen pertama, dari dua ratus meter itu, kalau harga sekarang … kita paling enggak bisa dapat lima puluh jutaan, Dek.”“Wah banyak, ya, Mas? Berarti kalau dibagi per bulan, dapat rata-rata empat jutaan lebih ya, Mas?” “Iya, Dek. Cuman dipotong buat bayar yang jaga kebun juga dikit. Cuma kalau pas masih dikit, bisa diurus sendiri, Dek.” “Terus, tahun kedua panen itu ningkat, Dek. Jadi kita bisa dapat seratus jutaan setahun.” “Wah makin banyak ya, Mas? Berarti sebulan bisa dapat delapan jutaan, ya?” Baru sampai si
last updateLast Updated : 2024-04-06
Read more

Bab 33

"Mas mau ke mana?" Dia hanya menoleh ke arahku. “Mas, Maafin Adek, Mas!” Aku panik. Kusimpan cangkir yang tadi kuangkat. Lekas kuberlari dan kutarik lengannya karena dia tak menjawab apa yang kutanyakan.Dia masih bergeming dan hanya menatapku. “Adek sudah move on, kok. Walau ada seribu sandi, Mas tetap milih Mas Reza. Adek gak mau kehilangan Mas Reza, seriusan, Mas.” Sepasang sorot mata teduh itu menatapku lekat. Ada senyum yang dikulumnya. Kurasa suasana hatinya sudah membaik. Cuma dia tak memberikan tanggapan apapun. “Jadi, sekarang gak jadi pergi ‘kan, Mas?” tanyaku kemudian karena dia hanya diam.“Loh jadi, Dek! Ayo, Adek nggak ikut?” “Ikut ke mana?” “Jenguk Bibinya Adek.” Aku terpegun. Kukira tadi dia cemburu terus mau kabur. Sudah nurunin harga diri. Rupanya salah. Dia malah mau jenguk Bi Icah. “Sekarang?” “Iya, mumpung siang.” “Kenapa gak sore, Mas?” “Sore banyak karyawan sudah pulang. Sekarang saja.” Seketika aku mengulum senyum. Apa yang dia maksud itu kalau sore
last updateLast Updated : 2024-04-06
Read more

Bab 34

“Sesuap saja! Biar kenyang, Dek.” Dia memaksa.Aku mengerucutkan bibir, tapi akhirnya malah aku yang minta. Enak juga pake nasi yang disuapkan dari tangannya. Kami menghabiskan hampir separuh malam dengan barbeque berdua. Begini mungkin ya rasanya jadi orang kaya. Makan enak, tinggal beli, maunya apa saja. Rumah bagus, duit banyak, ah indahnya hidupku. Semoga saja Mas Reza tetap seperti ini selamanya. “Ya Rabb! Andai aku boleh minta … aku tak mau waktu bergerak lagi. Aku mau seperti ini saja. Aku terlalu takut … sangat takut … aku takut jika semua ini hanya sekilas saja,” batinku bergumam sambil sibuk memandang wajah tampan mas Reza yang sibuk mengunyah makanan. “Assalamu’alaikum!” Suara salam dari arah luar membuat kami mendongak bersamaan. “Wa’alaikumsalam!” Kami menjawab serempak. “Maaf ganggu, Rin.”“Masuk, Bi! Mari makan, Bi! Tumbenmalem-malem kesini, Bi? Ada apa, ya?” Bi Mae rupanya. Kupikir tadi siapa. Dia tampak sungkan. Dari sorot matanya terlihat keraguan. "Bi Mae suda
last updateLast Updated : 2024-04-07
Read more

Bab 35

“Syukurlah kalau memang begitu, Rin. Kemarin Bi Icah pulang dari klinik, eh sibuk nyebar-nyebar gossip katanya suami kamu petanji g*nja.” “Astaghfirulloh, Bu! Bi Icah maunya apa, si? Heran. Biar Arin samperin ke rumahnya! Arin tagih sekalian duit yang Mia pinjem. Sebel!” tuturku naik pitam. “Hush, gak baik main labrak. Gimanapun Bi Icah itu orang tua.” Ibu mendelik ke arahku. “Harusnya kalau memang sudah tua, harus lebih bijak. Bukan suka-suka mengarang-ngarang cerita.” “Iya, kamu tahu sendirilah dari dulu dia memang kayak gitu. Moga nanti dia sadar.” Ibu bicara lagi. Tangannya sudah selesai menjahit baju Bapak yang koyak. Sayang kalau dibuang, katanya. “Hmmm, Bu. Arin kok ngerasa capek ya bolak-balik toko tiap hari. Rasanya pengen punya toko sendiri.” “Buka toko itu bukan modal kecil, Arin. Lagian suami kamu mungkin duitnya sudah habis setelah bangun rumah. Jangan matre kalau jadi istri. Kumpulin dulu pelan-pelan duitnya. Petani itu ‘kan gak setiap bulan panen. Harus berhemat.”
last updateLast Updated : 2024-04-07
Read more

Bab 36

“Mas, Adek penasaran loh. Biasanya orang usaha itu ada jatuh bangunnya. Dengerin Mas kok, kayak mulus saja gitu jalannya. Adek sendiri, nyari kerja saja susah, giliran dapet kerja gajinya dikit.” Aku Mencoba membuka obrolan. Nanti pas udah nyambung akan berbelok ke arah membuka toko. “Oh, itu … ada rahasianya, Dek. Adek mau tahu?” tanyanya sambil menoleh ke arahku. Sepasang netra beningnya terlihat menatap lekat. Teduh dan membuatku betah dipandanginya lama-lama. “Iya, Mas. Hmmm … sebelum cerita, biar Adek buatin kopi dulu, ya!” tawarku. Ya, namanya juga usaha. Kan mau minta dibuatin toko. Biar hatinya seneng dulu. “Boleh, Dek. Mas mau kasih pakan ikan lagi. Kopinya bawa ke sana saja, Dek!” Mas Reza menunjukkan dengan sudut matanya ke arah kolam ikan kecil samping rumah. “Iya, Mas.” Aku mengangguk seraya tersenyum. Lekas kami berpisah. Mas Reza langsung menuju ke kolam ikannya. Koalam itu hanya berukuran satu kali empat meter, bentuknya memanjang. Entah desain dari siapa, tapi mem
last updateLast Updated : 2024-04-09
Read more

Bab 37

“Bapaknya Kang Hilman bilang, Mas mau nggak jadi orang yang Allah kasih rejeki bahkan sebelum orang itu minta. Gitu dia tanynya, Dek. Ya, Mas jawab mau.” Aku menatap dia, masih menunggu kelanjutan ceritanya. Soalnya, aku juga mau. Cuma, kalau aku, sudah minta pun kadang belum dikasih.“Terus disuruh apa, Mas?’ tanyaku penasaran. “Cuma satu kata Dek yang dia bilang.” Mas Reza menatap jauh ke depan. Wah satu doang. Bisalah aku ini.“Apa itu, Mas?” “Takwa, Dek. Satu kata itu adalah takwa.” Seketika aku langsung kehilangan kata-kata. Lalu, aku hanya tersenyum hambar sambil menggaruk kepala. Memang benar, itu cuma satu kata. Namun, butuh waktu, butuh proses dan butuh effort luar biasa. “Berat, Mas.” Aku tertawa sumbang. “Tergantung, Dek.” Mas Reza menyanggah.“Tergantung apa, Mas?” tanyaku lagi.“Tergantung niat dan pikiran Adek. Kalau Adek bilang berat, ya, berat!” kekeh Mas Reza.Seketika aku tersipu. Malu sekali rasanya. Padahal dari tadi udah bahas kalau semua tergantung pikiran
last updateLast Updated : 2024-04-09
Read more

Bab 38

Paket yang tadi kuterima, tak lekas kubuka. Takutnya ada pesanan atas nama Arin lain yang nyasar padaku. Kusimpan dulu saja di atas meja rias. Hanya saja, setelah seminggu berlalu, tak ada claim. Jadinya hari ini sambil menjaga toko, aku buka paketannya. Kebetulan Mas Reza sedang pergi, jadi aku leluasa membukanya sendiri. “Jam tangan?” Aku menatap jam tangan cantik tersebut, lalu kuambil dan kucoba. Ternyata tepat sekali ukurannya. Eh, apa ini? Ada tulisan? [Semoga kamu suka.] Tulisannya ketikan komputer dengan bingkai berbentuk hati berwarna pink. Entah mengapa, tiba-tiba saja pikiranku tertaut pada peristiwa puluhan tahun silam. Ingat sekali ketika pertengahan semester dua duduk di SMA. Sering sekali aku mendapat hadiah-hadiah tanpa nama yang diletakkan di atas meja. Firman, dialah orangnya. Kenapa aku jadi ingat Firman, ya? Dulu dia sering sekali memberi kejutan seperti ini. Hanya saja, kemarin waktu reuni kami bertemu. Dia sudah tahu ‘kan kalau aku sudah menikah? Waktu sama
last updateLast Updated : 2024-04-12
Read more

Bab 39

Pov Mia“Mas! Pokoknya aku pengen buka toko!” Mas Sandi yang baru saja menjatuhkan bokongnya pada sofa menoleh. Hanya saja dia masih diam, tak bersuara. Sudah beberapa hari ini aku merengek minta dibuatkan toko. Hanya saja, responnya memang tak sesuai yang aku harapkan. Dia cenderung pasif dan tak menanggapi. Aku membuang napas kasar. Lekas mendekat dan bicara lagi padanya.“Ayolah, Mas! Cuma buka toko doang! Kamu ‘kan kerja di Bank! Ajuin loan lagi saja.” Aku merengek lagi. Lekas duduk di sampingnya sambil menggelayuti tangannya. Namun, lagi-lagi Mas Sandi hanya mematung saja. “Maas, ih!” Aku menyentakkan lengannya dan memberengut. Barulah kudengar dia membuka suara. “Mia, gaji Mas gak cukup lagi. Cicilan mobil sama bekas renov rumah kita ke Bank juga sudah menghabiskan hampir seluruh gajiku. Kalau ditambah lagi pinjaman buat bikin toko, mau bayar pake apa?” sungutnya. Dia tampak menampilkan raut wajah tak ramah.“Ya, usaha lagi dong, Mas! Kamu kerja sudah lama loh! Masa gak bisa
last updateLast Updated : 2024-04-12
Read more

Bab 40

Pov MIA“Mia, apa-apaan ini?” Suara Firman membentak dan tatapannya terlihat marah. Lekas dia meraih kemeja itu lagi dan memakainya.“Ayo arak, Pak RT! Arak mereka! Merusak nama kampung saja!” teriakku dengan seringai penuh kemenangan. Kali ini, hancur sudah namamu, Mbak Arin! Hancur sudah!Jangan pernah bermimpi akan bisa menyaingiku, Mbak Arin! Kulihat Mbak Arin masih mematung di atas pijakan tangga. Dia pasti shock. Kuharap Bapaknya yang dulu sakit jantung itu segera mendengar kabar penggrebekkan ini. Kalau sudah miskin, ya harusnya miskin saja. Gak usah sok-sokan pengen nyaingi aku dan Mas sandi. “Ayo, Pak RT! Arak! Atau perlu divirlakan dalam sosmed!” seringaiku sambil mengeluarkan gawai. Namun, baru saja kuarahkan dan kupijit tombol rekam. Tiba-tiba dengan satu sentakan, tanganku ditepis seseorang. Ponsel yang kupegang, hampir saja terjatuh. “Hentikan, Mia! Ayo pulang!” Mas Sandi sudah berdiri di dekatku dan menepis tangan ini kasar. Aku terkejut. Kenapa Mas Sandi datang, la
last updateLast Updated : 2024-04-13
Read more
PREV
123456
DMCA.com Protection Status