“Bapaknya Kang Hilman bilang, Mas mau nggak jadi orang yang Allah kasih rejeki bahkan sebelum orang itu minta. Gitu dia tanynya, Dek. Ya, Mas jawab mau.” Aku menatap dia, masih menunggu kelanjutan ceritanya. Soalnya, aku juga mau. Cuma, kalau aku, sudah minta pun kadang belum dikasih.“Terus disuruh apa, Mas?’ tanyaku penasaran. “Cuma satu kata Dek yang dia bilang.” Mas Reza menatap jauh ke depan. Wah satu doang. Bisalah aku ini.“Apa itu, Mas?” “Takwa, Dek. Satu kata itu adalah takwa.” Seketika aku langsung kehilangan kata-kata. Lalu, aku hanya tersenyum hambar sambil menggaruk kepala. Memang benar, itu cuma satu kata. Namun, butuh waktu, butuh proses dan butuh effort luar biasa. “Berat, Mas.” Aku tertawa sumbang. “Tergantung, Dek.” Mas Reza menyanggah.“Tergantung apa, Mas?” tanyaku lagi.“Tergantung niat dan pikiran Adek. Kalau Adek bilang berat, ya, berat!” kekeh Mas Reza.Seketika aku tersipu. Malu sekali rasanya. Padahal dari tadi udah bahas kalau semua tergantung pikiran
Paket yang tadi kuterima, tak lekas kubuka. Takutnya ada pesanan atas nama Arin lain yang nyasar padaku. Kusimpan dulu saja di atas meja rias. Hanya saja, setelah seminggu berlalu, tak ada claim. Jadinya hari ini sambil menjaga toko, aku buka paketannya. Kebetulan Mas Reza sedang pergi, jadi aku leluasa membukanya sendiri. “Jam tangan?” Aku menatap jam tangan cantik tersebut, lalu kuambil dan kucoba. Ternyata tepat sekali ukurannya. Eh, apa ini? Ada tulisan? [Semoga kamu suka.] Tulisannya ketikan komputer dengan bingkai berbentuk hati berwarna pink. Entah mengapa, tiba-tiba saja pikiranku tertaut pada peristiwa puluhan tahun silam. Ingat sekali ketika pertengahan semester dua duduk di SMA. Sering sekali aku mendapat hadiah-hadiah tanpa nama yang diletakkan di atas meja. Firman, dialah orangnya. Kenapa aku jadi ingat Firman, ya? Dulu dia sering sekali memberi kejutan seperti ini. Hanya saja, kemarin waktu reuni kami bertemu. Dia sudah tahu ‘kan kalau aku sudah menikah? Waktu sama
Pov Mia“Mas! Pokoknya aku pengen buka toko!” Mas Sandi yang baru saja menjatuhkan bokongnya pada sofa menoleh. Hanya saja dia masih diam, tak bersuara. Sudah beberapa hari ini aku merengek minta dibuatkan toko. Hanya saja, responnya memang tak sesuai yang aku harapkan. Dia cenderung pasif dan tak menanggapi. Aku membuang napas kasar. Lekas mendekat dan bicara lagi padanya.“Ayolah, Mas! Cuma buka toko doang! Kamu ‘kan kerja di Bank! Ajuin loan lagi saja.” Aku merengek lagi. Lekas duduk di sampingnya sambil menggelayuti tangannya. Namun, lagi-lagi Mas Sandi hanya mematung saja. “Maas, ih!” Aku menyentakkan lengannya dan memberengut. Barulah kudengar dia membuka suara. “Mia, gaji Mas gak cukup lagi. Cicilan mobil sama bekas renov rumah kita ke Bank juga sudah menghabiskan hampir seluruh gajiku. Kalau ditambah lagi pinjaman buat bikin toko, mau bayar pake apa?” sungutnya. Dia tampak menampilkan raut wajah tak ramah.“Ya, usaha lagi dong, Mas! Kamu kerja sudah lama loh! Masa gak bisa
Pov MIA“Mia, apa-apaan ini?” Suara Firman membentak dan tatapannya terlihat marah. Lekas dia meraih kemeja itu lagi dan memakainya.“Ayo arak, Pak RT! Arak mereka! Merusak nama kampung saja!” teriakku dengan seringai penuh kemenangan. Kali ini, hancur sudah namamu, Mbak Arin! Hancur sudah!Jangan pernah bermimpi akan bisa menyaingiku, Mbak Arin! Kulihat Mbak Arin masih mematung di atas pijakan tangga. Dia pasti shock. Kuharap Bapaknya yang dulu sakit jantung itu segera mendengar kabar penggrebekkan ini. Kalau sudah miskin, ya harusnya miskin saja. Gak usah sok-sokan pengen nyaingi aku dan Mas sandi. “Ayo, Pak RT! Arak! Atau perlu divirlakan dalam sosmed!” seringaiku sambil mengeluarkan gawai. Namun, baru saja kuarahkan dan kupijit tombol rekam. Tiba-tiba dengan satu sentakan, tanganku ditepis seseorang. Ponsel yang kupegang, hampir saja terjatuh. “Hentikan, Mia! Ayo pulang!” Mas Sandi sudah berdiri di dekatku dan menepis tangan ini kasar. Aku terkejut. Kenapa Mas Sandi datang, la
Sepeninggalnya para warga dan Pak RT. Kini yang tersisa hanya aku, Mas Reza dan Firman yang sedang mengenakan lagi pakaiannya. Pintu kututup setelah Pak RT dan warga minta maaf dan undur diri. Namun, aku dibuat terkejut ketika terdengar suara debuman disusul suara mengaduh dari arah belakang. “Awwww!” Ketika kumenoleh, Mas Firman sudah terhuyung. Rupanya satu bogeman mentah Mas Reza sudah bersarang di pipinya. “Mas!” Aku terkejut dan hendak memburu mereka. Namun, Mas Reza lagi-lagi menarik kerah baju Mas Firman dan menjatuhkan satu pukulan lagi pada wajahnya. Bruk!Tubuh Firman kembali oleng dan terjerembab pada sofa. Mas Reza sudah merangsek, hendak maju lagi. Namun, aku lekas memeluk punggungnya.“Mas! Hentikan! Adek takut,” pekikku cemas. Kurasakan napas Mas Reza memburu naik turun. Namun, syukurlah, akhirnya dia urung. Mas Firman bangun dan tampak menyeimbangkan tubuhnya. Kali ini aku yang maju dan memandang wajah Firman dengan nyalang.“Mas, kenapa kamu berbuat seperti ini?
Pov Mia“Mas, kamu dipecat?” tanyaku sambil menatap lurus ke arah wajah Mas Sandi. Dia baru saja pulang setelah kemarin menyeretku dari rumah Mbak Arina, terus menghilang.“Semua ini gara-gara kamu, Mia!” tukasnya dingin. Dia langsung melemparkan kunci mobil sembarang dan duduk menyilang kaki. “Kok gara-gara aku, Mas? Kenapa kamu nyalahin aku?” tanyaku tak terima. Enak saja, tiba-tiba saja menyalahkan aku. “Aku ketahuan korupsi uang pegawai! Puas kamu?!” bentaknya dengan mata melotot. “Ya ampuuun, Mas! Terus kenapa jadi salahku, hah? Aku gak pernah nyuruh kamu korupsi, Mas!” elakku. Enak saja tiba-tiba menuduh kalau semua kesialan yang menimpanya gara-gara aku. Prang!Aku terperanjat. Bukannya menjawab, tapi Mas Sandi malah menarik taplak meja sehingga membuat gelas dan teko keramik mahalku pecah berserakan. “Mas! Gak bisa dong kamu tiba-tiba nyalahin aku gini?” protesku. “Lupa kamu, Mia! Kamu yang nuntut ini itu. Kamu tahu gajiku berapa, tapi kamu ngutang sana sini Cuma buat ge
Ini sudah memasuki hari ketiga Mas Reza gak pulang. Aku sebetulnya ingin menghubungi Ibu Mertuaku atau Mbak Rena. Hanya saja, aku takut mereka akan curiga kalau kami ada masalah. Selama tiga hari ini juga, Ibu selalu ke sini menemaniku menjaga toko. “Bu, kok Mas Reza gak pulang-pulang, ya? Apa Arin susul saja?” “Hmmm, coba telepon dulu.” “Gak aktif, Bu.” “Ibu Mertuamu?” Aku tertegun. Malu dan canggung sebetulnya. “Gak enak, Bu! Hmmm … apa Mbak Rena saja, ya?” gumamku seolah bicara pada diri sendiri. “Ya sudah, Mbak Rena saja coba.” Akhirnya aku memutuskan. Lekas kutelepon, tetapi ternyata Mbak Rena sedang menginap di rumah mertuanya. Sudah satu minggu, orang tuanya Kang Hilman sakit, katanya.“Kalau Ibu ada di rumah, Mbak?” “Ibu ada. Kalau mau main, datang saja. Biasanya juga gitu.” “Iya, Mbak.” Aku pun menutup panggilan. Sepertinya, Mbak Rena tak tahu kalau Mas Reza menginjak hari ketiga ini tak pulang. Akhirnya, mau tak mau aku menelpon nomor Ibu Mertua. Hanya saja, bisa
Aku sudah berada di klinik. Mas Reza membawaku dengan susah payah keluar dari lereng gunung menuju pemukiman. Kini, aku sudah terbaring sambil menyeka air mataku berulang. Pernyataan yang dokter sampaikan membuatku merasa seperti kapas terkna air. Lemas lunglai tak bertenaga. “Pak Reza yang sabar, ya! Bu Arin mengalami keguguran. Kita coba pakai infus dulu ya untuk mengeluarkan sisa-sisa janinnya. Kalau belum bersih, terpaksa harus dikuret,” tutur dokter tadi setelah melakukan pemeriksaan. Mas Reza pun sama, sejak tadi lebih banyak diam. Kami sama-sama merasa terhenyak dengan kenyataan. Gara-gara keegoisanku, kini … aku kehilangan calon janin yang padahal sedang kutunnggu. Sesekali aku menarik napas panjang dan menghembuskannya perlahan. Terasa sesak, benar-benar sesak kenyataan yang kuhadapi sekarang. Ibu Mertua datang ketika kami masih saling diam. Dia menatap kami bergantian. Namun, tak ada komentar apapun. Mas Reza hanya melirik ketika Ibunya menghampiriku dan terlihat cemas.