Pov Mia“Mas, kamu dipecat?” tanyaku sambil menatap lurus ke arah wajah Mas Sandi. Dia baru saja pulang setelah kemarin menyeretku dari rumah Mbak Arina, terus menghilang.“Semua ini gara-gara kamu, Mia!” tukasnya dingin. Dia langsung melemparkan kunci mobil sembarang dan duduk menyilang kaki. “Kok gara-gara aku, Mas? Kenapa kamu nyalahin aku?” tanyaku tak terima. Enak saja, tiba-tiba saja menyalahkan aku. “Aku ketahuan korupsi uang pegawai! Puas kamu?!” bentaknya dengan mata melotot. “Ya ampuuun, Mas! Terus kenapa jadi salahku, hah? Aku gak pernah nyuruh kamu korupsi, Mas!” elakku. Enak saja tiba-tiba menuduh kalau semua kesialan yang menimpanya gara-gara aku. Prang!Aku terperanjat. Bukannya menjawab, tapi Mas Sandi malah menarik taplak meja sehingga membuat gelas dan teko keramik mahalku pecah berserakan. “Mas! Gak bisa dong kamu tiba-tiba nyalahin aku gini?” protesku. “Lupa kamu, Mia! Kamu yang nuntut ini itu. Kamu tahu gajiku berapa, tapi kamu ngutang sana sini Cuma buat ge
Ini sudah memasuki hari ketiga Mas Reza gak pulang. Aku sebetulnya ingin menghubungi Ibu Mertuaku atau Mbak Rena. Hanya saja, aku takut mereka akan curiga kalau kami ada masalah. Selama tiga hari ini juga, Ibu selalu ke sini menemaniku menjaga toko. “Bu, kok Mas Reza gak pulang-pulang, ya? Apa Arin susul saja?” “Hmmm, coba telepon dulu.” “Gak aktif, Bu.” “Ibu Mertuamu?” Aku tertegun. Malu dan canggung sebetulnya. “Gak enak, Bu! Hmmm … apa Mbak Rena saja, ya?” gumamku seolah bicara pada diri sendiri. “Ya sudah, Mbak Rena saja coba.” Akhirnya aku memutuskan. Lekas kutelepon, tetapi ternyata Mbak Rena sedang menginap di rumah mertuanya. Sudah satu minggu, orang tuanya Kang Hilman sakit, katanya.“Kalau Ibu ada di rumah, Mbak?” “Ibu ada. Kalau mau main, datang saja. Biasanya juga gitu.” “Iya, Mbak.” Aku pun menutup panggilan. Sepertinya, Mbak Rena tak tahu kalau Mas Reza menginjak hari ketiga ini tak pulang. Akhirnya, mau tak mau aku menelpon nomor Ibu Mertua. Hanya saja, bisa
Aku sudah berada di klinik. Mas Reza membawaku dengan susah payah keluar dari lereng gunung menuju pemukiman. Kini, aku sudah terbaring sambil menyeka air mataku berulang. Pernyataan yang dokter sampaikan membuatku merasa seperti kapas terkna air. Lemas lunglai tak bertenaga. “Pak Reza yang sabar, ya! Bu Arin mengalami keguguran. Kita coba pakai infus dulu ya untuk mengeluarkan sisa-sisa janinnya. Kalau belum bersih, terpaksa harus dikuret,” tutur dokter tadi setelah melakukan pemeriksaan. Mas Reza pun sama, sejak tadi lebih banyak diam. Kami sama-sama merasa terhenyak dengan kenyataan. Gara-gara keegoisanku, kini … aku kehilangan calon janin yang padahal sedang kutunnggu. Sesekali aku menarik napas panjang dan menghembuskannya perlahan. Terasa sesak, benar-benar sesak kenyataan yang kuhadapi sekarang. Ibu Mertua datang ketika kami masih saling diam. Dia menatap kami bergantian. Namun, tak ada komentar apapun. Mas Reza hanya melirik ketika Ibunya menghampiriku dan terlihat cemas.
Bab 45 – POV RezaPerempuan yang kunikahi beberapa bulan lalu itu, bernama Dek Arin. Gadis yang dulu katanya sempat dijuluki perawan tua. Dia lambat nikah karena gak bisa move on dari mantannya. Sandi, itu yang kutahu. Pernikahan kami tanpa cinta. Namun, dari pandangan pertama aku sudah menyukai Dek Arin. Wajahnya oval dengan kulit kuning langsat, bibir merah muda terlihat mungil dan agak berisi, hidungnya tak terlalu mancung, tapi membuatnya terlihat seimbang dengan komposisi wajahnya. Satu hal yang membuatku betah memandang Dek Arin lama-lama, iris cokelat terang Dek Arin membuat sepasang mata itu terlihat indah. Iris cokelat itu seperti berbicara, meski dia tak mengatakan apa-apa. Jika Dek Arin tersenyum terbentuk lesung pipi di sebelah kiri yang membuat penampilannya semakin cantik saja. Dek Arin itu, intinya cantik, manis dan aku suka. Aku nggak sanggup memandang iris cokelat terang itu lama-lama. Jujur, aku takut tak bisa mengendalikan diri. Biasanya aku lekas-lekas menunduk
“Pak Ustadz, acara syukuran mobilnya dimulai kalau Reza sudah datang, ya! Mobil ini hadiah dari Ibu buat menantu Ibu yang cantik ini. Semoga Arin suka, ya!” Aku masih terbengong-bengong, sesekali kucubit punggung tangan. Ini masih terasa mimpi. Tiba-tiba aku punya mobil? “Tuh Reza, Bu!” Mbak Resa, kakak pertama Mas Reza yang ternyata juga datang, membuka suara. Ini pertemuan pertama kami. Wajahnya sangat mirip Mbak Rena, sebelas dua belas. Bahkan tak terlihat kalau dia lebih tua, mereka seperti sepantaran. “Alhamdulilah, orangnya sudah sampai, Pak Ustadz! Kalau begitu, acaranya dimulai saja Pak Ustadz.” Ibu Mertua bicara sambil menoleh ke arah Mas Reza. Lalu setelah itu dia kembali duduk di sampingku. Pak Ustadz pun menoleh ke arah Mas Reza yang mendekat. Dia mengangguk saja dan tersenyum lalu memulai kajian. Yang diundang tak terlalu ramai. Hanya ada sekitar dua puluh orang, para tetangga yang dekat-sekat saja dan keluarga. Hidangannya nasi kotak, Mbak Resa yang pesan, jadi pagi
Getaran ponsel yang tergeletak membuatku terperanjat. Menarik pikiranku yang sedang jalan-jalan ke masa lalu kini kembali mendekat. Rupanya telepon dari sebuah nomor baru. Siapa, ya? Aku pun lekas mengangkatnya. “Hallo!”“Arin!” Suara itu.“Firman?” “Arin, aku mau bicara, tolong buka blokir nomorku!” Tut!Aku langsung menurunkan ponsel dari telinga dan kututup. Dalam hitungan menit, nomornya sudah kublokir lagi. Maaf, Firman. Kesalahanmu sudah terlalu fatal. Untuk kali ini, aku tak bisa lagi untuk mentolerir hal itu. Bahkan, aku tak sudi lagi memanggilmu dengan embel-embel Mas seperti dulu. Setelah itu, aku kembali melanjutkan aktivitas. Ini nomor ke sekian yang menelponku dan aku pun memblokirnya. Aku tak memberitahu Mas Reza. Aku tak ingin dia teringat kejadian memalukan itu lagi. Bayangan Firman yang melepas pakaiannya, seringainya yang menjatuhkan dan setiap kalimatnya yang membuatku seolah-olah perempuan murahan, aku benci. “Adek, sore nanti Mas mau ajak pergi.” Aku menol
Penjaga toko yang dicarikan Mas Reza sudah mulai bekerja. Aryo namanya. Karena sudah ada yang jaga toko, akhirnya, kami pun punya kesempatan melanjutkan kencan kami yang tertunda beberapa waktu lalu. Kuminta Mas Reza mengenakan lagi pakaian yang sudah kupilihkan. Waktu itu dia pakai dan terlihat keren.“Kenapa Adek beliin Mas baju-baju kayak gini, Dek? Mas nggak nyaman.” Mas Reza tampak celingukan menatap celana tiga perempat yang membuat betisnya yang berbulu lebat itu kelihatan. Baju kaos berkerah yang ukurannya pas badan membuatnya terlihat gagah. Sejak setengah jam lalu dia sudah memakai setelan itu, tapi terlihat tidak percaya diri. “Mas ganteng kalau pake itu.” Aku melirik ke arahnya sambil menyematkan peniti pada ujung kerudung yang kulipat ke dada. “Oh begitu? Cuma memang nggak nyaman loh, Dek.” Dia tersipu, tapi tetap terlihat kikuk dengan setelan yang sudah dia kenakan. “Waktu itu juga Mas pake, tapi makin lama, makin malu. Nggak nyaman pada dilihatin ibu-ibu.” Dia tersip
“Mbak! Mbak Arin!” Baru saja kami tiba setelah makan siang ketika Aryo tergopoh menghampiri. Wajahnya terlihat pucat seperti orang ketakutan. “Kamu kenapa kayak orang ketakutan gitu, Yo?” “Anu, Mbak Arin! Tadi Pak RT mau pinjam mobil!” “Kenapa gak nelepon saja?” “Sudah, Mbak Arin! Tapi gak diangkat. Ke Mas Reza juga gak diangkat.” Lalu, serempak kami sama-sama mengecheck ponsel. Rupanya benar ada miscall dari Pak RT. “Oh, iya, Yo. Gak keangkat. Kami lagi di jalan kayaknya tadi. Pak RT ada apa, ya? Mas telepon balik, takut penting!” Aku menoleh pada Mas Reza. “Anu, Mbak, Mas! Pak RT mau bawa Mbak Mia ke rumah sakit. Percobaan bunuh diri, katanya!” tutur Aryo. “Astaghfirulloh!” Kompak aku dan Mas Reza beristighfar. Kutatap wajah Aryo lekat-lekat. “Yang bener, Yo?” tanyaku. Aryo mengangguk. Cuma Mas Reza kudengar mulai berbicara di telepon. “Hallo, Pak RT! Maaf, kami lagi diluar tadi!” “Oh, sudah dapat mobilnya … di rumah sakit mana, Pak RT? … Oh syukurlah … Wa’alaikumsalam!
Manusia hanya mampu merencanakan, sedangkan Tuhan yang menentukan. Seperti kabar kalau Sandi yang kini ditangkap polisi karena kasus kekerasan, Bi Icah yang terkena stroke dan Mia yang kini nasibnya terkatung-katung tak karuan. Ibunya Sandi yang dulu selalu membangga-banggakan putranya itu pun gaungnya mulai menghilang dan seperti aku, yang masih setia menunggu diberikan keturunan. Perlahan tapi pasti. Garisan nasib bergerak perlahan. Semua bergerak mengikuti ketentuan-Nya, bukan hanya berdasarkan keinginan dan rencana manusia. Kehidupan pernikahanku baik-baik saja. Kondisi ekonomi kami pun melaju pesat. Toko sembakoku, kini sudah mulai membuka cabang. Tika kupercayakan sebagai pengelola di sana. Meskipun awalnya aku menawari Bapak, tetapi dia menolaknya. Katanya, tak ingin hidup bergantung pada menantu. Jadi, Bapak masih menekuni jaga parkiran. Baginya, hidup mewah itu bukan tujuan. Katanya melihat anaknya sudah hidup mapan pun, sudah menjadi kebahagiaan.Ah, bahagianya hidupku pun
Bab 50 – Pov Sandi“Mas tolong anterin pesenan ke meja nomor 57!” tutur Silvi, teman satu shiftku sambil menempelkan catatan pada tepi meja orderan. “Oke.” Aku mengangguk sambil memeriksa apa saja yang dipesannya. Lekas aku menghubungi bagian dapur dan meminta disiapkan menu-menu yang akan kuantar. Sementara itu, Silvi tampak sudah kembali ke depan dan menghampiri meja lainnya.Makanan yang dipesan untuk meja nomor 57 sudah berada di atas nampan. Aku lekas mengayun langkah cepat mengantarnya. Sepertinya hanya makan siang kecil, orderannya pun tak banyak. Bisa aku sekali antar. Dalam jarak beberapa meter, terlihat dua orang yang sedang duduk. Rasanya familiar, tetapi memang para tamu di sini sering datang berulang. Jadi, mungkin salah satu tamu yang datang ke sini. Hanya saja anggapanku langsung terbantah ketika suara yang tak asing itu memanggil namaku. “Sandi?” Pertanyaan spontan itu membuat aku seketika mendongak dan sepasang netra kami saling bertemu. Rasanya dunia berhenti b
“Mbak! Mbak Arin!” Baru saja kami tiba setelah makan siang ketika Aryo tergopoh menghampiri. Wajahnya terlihat pucat seperti orang ketakutan. “Kamu kenapa kayak orang ketakutan gitu, Yo?” “Anu, Mbak Arin! Tadi Pak RT mau pinjam mobil!” “Kenapa gak nelepon saja?” “Sudah, Mbak Arin! Tapi gak diangkat. Ke Mas Reza juga gak diangkat.” Lalu, serempak kami sama-sama mengecheck ponsel. Rupanya benar ada miscall dari Pak RT. “Oh, iya, Yo. Gak keangkat. Kami lagi di jalan kayaknya tadi. Pak RT ada apa, ya? Mas telepon balik, takut penting!” Aku menoleh pada Mas Reza. “Anu, Mbak, Mas! Pak RT mau bawa Mbak Mia ke rumah sakit. Percobaan bunuh diri, katanya!” tutur Aryo. “Astaghfirulloh!” Kompak aku dan Mas Reza beristighfar. Kutatap wajah Aryo lekat-lekat. “Yang bener, Yo?” tanyaku. Aryo mengangguk. Cuma Mas Reza kudengar mulai berbicara di telepon. “Hallo, Pak RT! Maaf, kami lagi diluar tadi!” “Oh, sudah dapat mobilnya … di rumah sakit mana, Pak RT? … Oh syukurlah … Wa’alaikumsalam!
Penjaga toko yang dicarikan Mas Reza sudah mulai bekerja. Aryo namanya. Karena sudah ada yang jaga toko, akhirnya, kami pun punya kesempatan melanjutkan kencan kami yang tertunda beberapa waktu lalu. Kuminta Mas Reza mengenakan lagi pakaian yang sudah kupilihkan. Waktu itu dia pakai dan terlihat keren.“Kenapa Adek beliin Mas baju-baju kayak gini, Dek? Mas nggak nyaman.” Mas Reza tampak celingukan menatap celana tiga perempat yang membuat betisnya yang berbulu lebat itu kelihatan. Baju kaos berkerah yang ukurannya pas badan membuatnya terlihat gagah. Sejak setengah jam lalu dia sudah memakai setelan itu, tapi terlihat tidak percaya diri. “Mas ganteng kalau pake itu.” Aku melirik ke arahnya sambil menyematkan peniti pada ujung kerudung yang kulipat ke dada. “Oh begitu? Cuma memang nggak nyaman loh, Dek.” Dia tersipu, tapi tetap terlihat kikuk dengan setelan yang sudah dia kenakan. “Waktu itu juga Mas pake, tapi makin lama, makin malu. Nggak nyaman pada dilihatin ibu-ibu.” Dia tersip
Getaran ponsel yang tergeletak membuatku terperanjat. Menarik pikiranku yang sedang jalan-jalan ke masa lalu kini kembali mendekat. Rupanya telepon dari sebuah nomor baru. Siapa, ya? Aku pun lekas mengangkatnya. “Hallo!”“Arin!” Suara itu.“Firman?” “Arin, aku mau bicara, tolong buka blokir nomorku!” Tut!Aku langsung menurunkan ponsel dari telinga dan kututup. Dalam hitungan menit, nomornya sudah kublokir lagi. Maaf, Firman. Kesalahanmu sudah terlalu fatal. Untuk kali ini, aku tak bisa lagi untuk mentolerir hal itu. Bahkan, aku tak sudi lagi memanggilmu dengan embel-embel Mas seperti dulu. Setelah itu, aku kembali melanjutkan aktivitas. Ini nomor ke sekian yang menelponku dan aku pun memblokirnya. Aku tak memberitahu Mas Reza. Aku tak ingin dia teringat kejadian memalukan itu lagi. Bayangan Firman yang melepas pakaiannya, seringainya yang menjatuhkan dan setiap kalimatnya yang membuatku seolah-olah perempuan murahan, aku benci. “Adek, sore nanti Mas mau ajak pergi.” Aku menol
“Pak Ustadz, acara syukuran mobilnya dimulai kalau Reza sudah datang, ya! Mobil ini hadiah dari Ibu buat menantu Ibu yang cantik ini. Semoga Arin suka, ya!” Aku masih terbengong-bengong, sesekali kucubit punggung tangan. Ini masih terasa mimpi. Tiba-tiba aku punya mobil? “Tuh Reza, Bu!” Mbak Resa, kakak pertama Mas Reza yang ternyata juga datang, membuka suara. Ini pertemuan pertama kami. Wajahnya sangat mirip Mbak Rena, sebelas dua belas. Bahkan tak terlihat kalau dia lebih tua, mereka seperti sepantaran. “Alhamdulilah, orangnya sudah sampai, Pak Ustadz! Kalau begitu, acaranya dimulai saja Pak Ustadz.” Ibu Mertua bicara sambil menoleh ke arah Mas Reza. Lalu setelah itu dia kembali duduk di sampingku. Pak Ustadz pun menoleh ke arah Mas Reza yang mendekat. Dia mengangguk saja dan tersenyum lalu memulai kajian. Yang diundang tak terlalu ramai. Hanya ada sekitar dua puluh orang, para tetangga yang dekat-sekat saja dan keluarga. Hidangannya nasi kotak, Mbak Resa yang pesan, jadi pagi
Bab 45 – POV RezaPerempuan yang kunikahi beberapa bulan lalu itu, bernama Dek Arin. Gadis yang dulu katanya sempat dijuluki perawan tua. Dia lambat nikah karena gak bisa move on dari mantannya. Sandi, itu yang kutahu. Pernikahan kami tanpa cinta. Namun, dari pandangan pertama aku sudah menyukai Dek Arin. Wajahnya oval dengan kulit kuning langsat, bibir merah muda terlihat mungil dan agak berisi, hidungnya tak terlalu mancung, tapi membuatnya terlihat seimbang dengan komposisi wajahnya. Satu hal yang membuatku betah memandang Dek Arin lama-lama, iris cokelat terang Dek Arin membuat sepasang mata itu terlihat indah. Iris cokelat itu seperti berbicara, meski dia tak mengatakan apa-apa. Jika Dek Arin tersenyum terbentuk lesung pipi di sebelah kiri yang membuat penampilannya semakin cantik saja. Dek Arin itu, intinya cantik, manis dan aku suka. Aku nggak sanggup memandang iris cokelat terang itu lama-lama. Jujur, aku takut tak bisa mengendalikan diri. Biasanya aku lekas-lekas menunduk
Aku sudah berada di klinik. Mas Reza membawaku dengan susah payah keluar dari lereng gunung menuju pemukiman. Kini, aku sudah terbaring sambil menyeka air mataku berulang. Pernyataan yang dokter sampaikan membuatku merasa seperti kapas terkna air. Lemas lunglai tak bertenaga. “Pak Reza yang sabar, ya! Bu Arin mengalami keguguran. Kita coba pakai infus dulu ya untuk mengeluarkan sisa-sisa janinnya. Kalau belum bersih, terpaksa harus dikuret,” tutur dokter tadi setelah melakukan pemeriksaan. Mas Reza pun sama, sejak tadi lebih banyak diam. Kami sama-sama merasa terhenyak dengan kenyataan. Gara-gara keegoisanku, kini … aku kehilangan calon janin yang padahal sedang kutunnggu. Sesekali aku menarik napas panjang dan menghembuskannya perlahan. Terasa sesak, benar-benar sesak kenyataan yang kuhadapi sekarang. Ibu Mertua datang ketika kami masih saling diam. Dia menatap kami bergantian. Namun, tak ada komentar apapun. Mas Reza hanya melirik ketika Ibunya menghampiriku dan terlihat cemas.
Ini sudah memasuki hari ketiga Mas Reza gak pulang. Aku sebetulnya ingin menghubungi Ibu Mertuaku atau Mbak Rena. Hanya saja, aku takut mereka akan curiga kalau kami ada masalah. Selama tiga hari ini juga, Ibu selalu ke sini menemaniku menjaga toko. “Bu, kok Mas Reza gak pulang-pulang, ya? Apa Arin susul saja?” “Hmmm, coba telepon dulu.” “Gak aktif, Bu.” “Ibu Mertuamu?” Aku tertegun. Malu dan canggung sebetulnya. “Gak enak, Bu! Hmmm … apa Mbak Rena saja, ya?” gumamku seolah bicara pada diri sendiri. “Ya sudah, Mbak Rena saja coba.” Akhirnya aku memutuskan. Lekas kutelepon, tetapi ternyata Mbak Rena sedang menginap di rumah mertuanya. Sudah satu minggu, orang tuanya Kang Hilman sakit, katanya.“Kalau Ibu ada di rumah, Mbak?” “Ibu ada. Kalau mau main, datang saja. Biasanya juga gitu.” “Iya, Mbak.” Aku pun menutup panggilan. Sepertinya, Mbak Rena tak tahu kalau Mas Reza menginjak hari ketiga ini tak pulang. Akhirnya, mau tak mau aku menelpon nomor Ibu Mertua. Hanya saja, bisa