Aku pun naik ke atas boncengan sepeda motor Mas Reza. Dia mengantarku pulang. Namun, dia sendiri pamit balik lagi ke rumah itu. “Mas pamit ke sana lagi ya, Dek.” “Sibuk amet si, Mas. Dibayar berapa emang sama yang punya rumah buat urusin?” “Ahm, nggak kok, Dek. Nggak dibayar.” “Apalagi Mas gak dibayar, gak usah segitunya. Oh iya, Adek tuh tadi mau kasih tahu. Itu para tetangga sini pada sibuk mintain lauk ke dapur itu yang masak, loh. Mas tahu gak? Nanti Mas kena omel sama yang punya rumah loh. Tahu-tahu, nanti sapinya habis.” “Oh yang itu, pagi tadi memang dibagiin, Dek. Jatahnya satu paha itu dipisahin sengaja buat bagi-bagi, Dek.” Aku terdiam mendengar penuturannya. Eh, jadi? Sengaja buat dibagiin, ya? Duh, tahu gitu aku minta juga. Lumayan ‘kan ya? “Ya sudah, Dek. Mas pamit dulu. Sore nanti Mas jemput, ya! Adek jangan lupa, dandan yang cantik.” Aku belum menjawab ketika tiba-tiba aroma maskulin semakin dekat. Tanpa aba-aba, satu kecupan mendarat di keningku. Lalu Mas Reza
Jujur, di antara rasa bahagia. Kini rasa takut mulai bermunculan. Jujur, aku mulai takut kalau Mas Reza viral. Entah kenapa, hati tak rela ketika Mas Reza mulai dikenal.Apakah ini yang disebut virus bucin?Acara berjalan lancar. Usai acara pengajian, semua dipersilakan makan-makan di prasmanan. Lauknya beragam. Menu hidangan utamanya semur sapi, sop sapi, ada juga tetek bengek lauk tambahannya. Usai makan-makan, acara dilanjutkan dengan pembagian sembako. Semua terlihat sumringah. Bagaimana tidak, sembako yang dibagikan cukup membuat semua rebutan. Setiap paketnya ada 5 kg beras, minyak sayur, gula, garam, kopi dan lain-lainnya. Sangat-sangat bisa meringankan uang belanja. Apalagi saat ini sembako pada mahal. Sembako ludes tak bersisa. Satu per satu para warga yang mengikuti acara syukuran pulang. Wajah mereka sumringah. Beberapa warga meminta izin ingin masuk dan melihat-lihat rumah. Mereka berdecak kagum pada interior desain berkelas. Lampu kristal besar menggantung di ruang teng
Usai membuatkan kopi. Aku duduk di lantai sambil merapikan pakaian. Sementara itu, Mas Reza yang menyusunnya ke dalam lemari. “Mas ambil permisalan saja ya, Dek.” “Hmmm.” “Boleh nggak, Dek?” “Boleh, Mas. Masa gak boleh.” “Misal gini … Adek, punya kebun vanili itu dua ratus meter, Dek.” “Iya, Mas.” “Nah itu kita harus nunggu selama tiga tahun, Dek. Panennya ‘kan setelah usia pohon itu tiga tahun.” “Oh lama juga ya, Mas?” “Iya, Dek. Lumayan lah.” “Terus, Mas?”“Nah panen pertama, dari dua ratus meter itu, kalau harga sekarang … kita paling enggak bisa dapat lima puluh jutaan, Dek.”“Wah banyak, ya, Mas? Berarti kalau dibagi per bulan, dapat rata-rata empat jutaan lebih ya, Mas?” “Iya, Dek. Cuman dipotong buat bayar yang jaga kebun juga dikit. Cuma kalau pas masih dikit, bisa diurus sendiri, Dek.” “Terus, tahun kedua panen itu ningkat, Dek. Jadi kita bisa dapat seratus jutaan setahun.” “Wah makin banyak ya, Mas? Berarti sebulan bisa dapat delapan jutaan, ya?” Baru sampai si
"Mas mau ke mana?" Dia hanya menoleh ke arahku. “Mas, Maafin Adek, Mas!” Aku panik. Kusimpan cangkir yang tadi kuangkat. Lekas kuberlari dan kutarik lengannya karena dia tak menjawab apa yang kutanyakan.Dia masih bergeming dan hanya menatapku. “Adek sudah move on, kok. Walau ada seribu sandi, Mas tetap milih Mas Reza. Adek gak mau kehilangan Mas Reza, seriusan, Mas.” Sepasang sorot mata teduh itu menatapku lekat. Ada senyum yang dikulumnya. Kurasa suasana hatinya sudah membaik. Cuma dia tak memberikan tanggapan apapun. “Jadi, sekarang gak jadi pergi ‘kan, Mas?” tanyaku kemudian karena dia hanya diam.“Loh jadi, Dek! Ayo, Adek nggak ikut?” “Ikut ke mana?” “Jenguk Bibinya Adek.” Aku terpegun. Kukira tadi dia cemburu terus mau kabur. Sudah nurunin harga diri. Rupanya salah. Dia malah mau jenguk Bi Icah. “Sekarang?” “Iya, mumpung siang.” “Kenapa gak sore, Mas?” “Sore banyak karyawan sudah pulang. Sekarang saja.” Seketika aku mengulum senyum. Apa yang dia maksud itu kalau sore
“Sesuap saja! Biar kenyang, Dek.” Dia memaksa.Aku mengerucutkan bibir, tapi akhirnya malah aku yang minta. Enak juga pake nasi yang disuapkan dari tangannya. Kami menghabiskan hampir separuh malam dengan barbeque berdua. Begini mungkin ya rasanya jadi orang kaya. Makan enak, tinggal beli, maunya apa saja. Rumah bagus, duit banyak, ah indahnya hidupku. Semoga saja Mas Reza tetap seperti ini selamanya. “Ya Rabb! Andai aku boleh minta … aku tak mau waktu bergerak lagi. Aku mau seperti ini saja. Aku terlalu takut … sangat takut … aku takut jika semua ini hanya sekilas saja,” batinku bergumam sambil sibuk memandang wajah tampan mas Reza yang sibuk mengunyah makanan. “Assalamu’alaikum!” Suara salam dari arah luar membuat kami mendongak bersamaan. “Wa’alaikumsalam!” Kami menjawab serempak. “Maaf ganggu, Rin.”“Masuk, Bi! Mari makan, Bi! Tumbenmalem-malem kesini, Bi? Ada apa, ya?” Bi Mae rupanya. Kupikir tadi siapa. Dia tampak sungkan. Dari sorot matanya terlihat keraguan. "Bi Mae suda
“Syukurlah kalau memang begitu, Rin. Kemarin Bi Icah pulang dari klinik, eh sibuk nyebar-nyebar gossip katanya suami kamu petanji g*nja.” “Astaghfirulloh, Bu! Bi Icah maunya apa, si? Heran. Biar Arin samperin ke rumahnya! Arin tagih sekalian duit yang Mia pinjem. Sebel!” tuturku naik pitam. “Hush, gak baik main labrak. Gimanapun Bi Icah itu orang tua.” Ibu mendelik ke arahku. “Harusnya kalau memang sudah tua, harus lebih bijak. Bukan suka-suka mengarang-ngarang cerita.” “Iya, kamu tahu sendirilah dari dulu dia memang kayak gitu. Moga nanti dia sadar.” Ibu bicara lagi. Tangannya sudah selesai menjahit baju Bapak yang koyak. Sayang kalau dibuang, katanya. “Hmmm, Bu. Arin kok ngerasa capek ya bolak-balik toko tiap hari. Rasanya pengen punya toko sendiri.” “Buka toko itu bukan modal kecil, Arin. Lagian suami kamu mungkin duitnya sudah habis setelah bangun rumah. Jangan matre kalau jadi istri. Kumpulin dulu pelan-pelan duitnya. Petani itu ‘kan gak setiap bulan panen. Harus berhemat.”
“Mas, Adek penasaran loh. Biasanya orang usaha itu ada jatuh bangunnya. Dengerin Mas kok, kayak mulus saja gitu jalannya. Adek sendiri, nyari kerja saja susah, giliran dapet kerja gajinya dikit.” Aku Mencoba membuka obrolan. Nanti pas udah nyambung akan berbelok ke arah membuka toko. “Oh, itu … ada rahasianya, Dek. Adek mau tahu?” tanyanya sambil menoleh ke arahku. Sepasang netra beningnya terlihat menatap lekat. Teduh dan membuatku betah dipandanginya lama-lama. “Iya, Mas. Hmmm … sebelum cerita, biar Adek buatin kopi dulu, ya!” tawarku. Ya, namanya juga usaha. Kan mau minta dibuatin toko. Biar hatinya seneng dulu. “Boleh, Dek. Mas mau kasih pakan ikan lagi. Kopinya bawa ke sana saja, Dek!” Mas Reza menunjukkan dengan sudut matanya ke arah kolam ikan kecil samping rumah. “Iya, Mas.” Aku mengangguk seraya tersenyum. Lekas kami berpisah. Mas Reza langsung menuju ke kolam ikannya. Koalam itu hanya berukuran satu kali empat meter, bentuknya memanjang. Entah desain dari siapa, tapi mem
“Bapaknya Kang Hilman bilang, Mas mau nggak jadi orang yang Allah kasih rejeki bahkan sebelum orang itu minta. Gitu dia tanynya, Dek. Ya, Mas jawab mau.” Aku menatap dia, masih menunggu kelanjutan ceritanya. Soalnya, aku juga mau. Cuma, kalau aku, sudah minta pun kadang belum dikasih.“Terus disuruh apa, Mas?’ tanyaku penasaran. “Cuma satu kata Dek yang dia bilang.” Mas Reza menatap jauh ke depan. Wah satu doang. Bisalah aku ini.“Apa itu, Mas?” “Takwa, Dek. Satu kata itu adalah takwa.” Seketika aku langsung kehilangan kata-kata. Lalu, aku hanya tersenyum hambar sambil menggaruk kepala. Memang benar, itu cuma satu kata. Namun, butuh waktu, butuh proses dan butuh effort luar biasa. “Berat, Mas.” Aku tertawa sumbang. “Tergantung, Dek.” Mas Reza menyanggah.“Tergantung apa, Mas?” tanyaku lagi.“Tergantung niat dan pikiran Adek. Kalau Adek bilang berat, ya, berat!” kekeh Mas Reza.Seketika aku tersipu. Malu sekali rasanya. Padahal dari tadi udah bahas kalau semua tergantung pikiran