Usai Mas Reza shalat ashar, kami langsung pulang. Namun, tanpa kusangka sepeda motornya berbelok dan memasuki sebuah rumah dengan halaman cukup besar. Rumah itu hampir sama mewahnya dengan milik Mbak Rena. Mas Reza pun memintaku turun dan lekas mengucap salam. Aku belum sempat bertanya ini rumah siapa ketika seorang Perempuan dengan daster rumahan muncul dengan wajah sumringah. Hanya saja, ekspresinya berubah ketika melihatku yang juga berdiri di sisi Mas Reza.“Paman!” Suara anak kecil terdengar. Aku menoleh dan terlihat gadis kecil berlari menyeruak melewati Asri yang tengah mematung di depan pintu.“Aish, sehat?” Mas Reza berjongkok ketika gadis kecil mungkin sekitar empat tahunan itu melompat memburunya.“Cehat, Paman.” Gadis itu mencium punggung tangan Mas Reza, lalu mematung saja di dekatnya. “Kakinya Aish masih sakit?” tanya Mas Reza sambil menggendong tubuh mungilnya. “Macih, Paman. Sedikit." Dia menjawab sambil menunduk malu-malu.“Aish, salim sama Bibi juga!” Suara Asri te
Keesokan harinya, barang-barang bazar dari sekolahan datang. Ibu sudah sibuk mengomeliku karena boros. Namun, saat kujelaskan kalau itu donasi, barulah Ibu paham. “Terus ini barang-barang sebanyak ini mau diapain, Rin?” tanya Ibu sambil menatap berdus-dus kerajinan kesenian yang menumpuk di ruang tengah. “Hmmm … nanti tanya Mas Reza dulu lah, Bu.” Akhirnya sorenya aku brdiskusi dengan Mas Reza. Setelah mencapai kata sepakat. Aku mengambil beberapa yang paling aku suka untuk disimpan. Lalu, sisanya Mas Reza hibahkan untuk kelurahan melalui Pak RT. Nantinya akan dibagikan ke sekolah-sekolah lain untuk dijadikan contoh, katanya. Aku kembali disibukkan dengan kegiatanku di toko. Pergi berangkat kerja di antar Mas Reza, sore pulang dijemput juga. Sementara itu, Mas Reza masih meneruskan pekerjaannya di rumah besar itu.Hidupku terasa damai. Uang banyak, suami baik dan yang penting statusnya aman. Gak ada yang tahu sekaya apa Mas Reza dan penampilannya yang kampungan, membuatnya terhind
Aku pun naik ke atas boncengan sepeda motor Mas Reza. Dia mengantarku pulang. Namun, dia sendiri pamit balik lagi ke rumah itu. “Mas pamit ke sana lagi ya, Dek.” “Sibuk amet si, Mas. Dibayar berapa emang sama yang punya rumah buat urusin?” “Ahm, nggak kok, Dek. Nggak dibayar.” “Apalagi Mas gak dibayar, gak usah segitunya. Oh iya, Adek tuh tadi mau kasih tahu. Itu para tetangga sini pada sibuk mintain lauk ke dapur itu yang masak, loh. Mas tahu gak? Nanti Mas kena omel sama yang punya rumah loh. Tahu-tahu, nanti sapinya habis.” “Oh yang itu, pagi tadi memang dibagiin, Dek. Jatahnya satu paha itu dipisahin sengaja buat bagi-bagi, Dek.” Aku terdiam mendengar penuturannya. Eh, jadi? Sengaja buat dibagiin, ya? Duh, tahu gitu aku minta juga. Lumayan ‘kan ya? “Ya sudah, Dek. Mas pamit dulu. Sore nanti Mas jemput, ya! Adek jangan lupa, dandan yang cantik.” Aku belum menjawab ketika tiba-tiba aroma maskulin semakin dekat. Tanpa aba-aba, satu kecupan mendarat di keningku. Lalu Mas Reza
Jujur, di antara rasa bahagia. Kini rasa takut mulai bermunculan. Jujur, aku mulai takut kalau Mas Reza viral. Entah kenapa, hati tak rela ketika Mas Reza mulai dikenal.Apakah ini yang disebut virus bucin?Acara berjalan lancar. Usai acara pengajian, semua dipersilakan makan-makan di prasmanan. Lauknya beragam. Menu hidangan utamanya semur sapi, sop sapi, ada juga tetek bengek lauk tambahannya. Usai makan-makan, acara dilanjutkan dengan pembagian sembako. Semua terlihat sumringah. Bagaimana tidak, sembako yang dibagikan cukup membuat semua rebutan. Setiap paketnya ada 5 kg beras, minyak sayur, gula, garam, kopi dan lain-lainnya. Sangat-sangat bisa meringankan uang belanja. Apalagi saat ini sembako pada mahal. Sembako ludes tak bersisa. Satu per satu para warga yang mengikuti acara syukuran pulang. Wajah mereka sumringah. Beberapa warga meminta izin ingin masuk dan melihat-lihat rumah. Mereka berdecak kagum pada interior desain berkelas. Lampu kristal besar menggantung di ruang teng
Usai membuatkan kopi. Aku duduk di lantai sambil merapikan pakaian. Sementara itu, Mas Reza yang menyusunnya ke dalam lemari. “Mas ambil permisalan saja ya, Dek.” “Hmmm.” “Boleh nggak, Dek?” “Boleh, Mas. Masa gak boleh.” “Misal gini … Adek, punya kebun vanili itu dua ratus meter, Dek.” “Iya, Mas.” “Nah itu kita harus nunggu selama tiga tahun, Dek. Panennya ‘kan setelah usia pohon itu tiga tahun.” “Oh lama juga ya, Mas?” “Iya, Dek. Lumayan lah.” “Terus, Mas?”“Nah panen pertama, dari dua ratus meter itu, kalau harga sekarang … kita paling enggak bisa dapat lima puluh jutaan, Dek.”“Wah banyak, ya, Mas? Berarti kalau dibagi per bulan, dapat rata-rata empat jutaan lebih ya, Mas?” “Iya, Dek. Cuman dipotong buat bayar yang jaga kebun juga dikit. Cuma kalau pas masih dikit, bisa diurus sendiri, Dek.” “Terus, tahun kedua panen itu ningkat, Dek. Jadi kita bisa dapat seratus jutaan setahun.” “Wah makin banyak ya, Mas? Berarti sebulan bisa dapat delapan jutaan, ya?” Baru sampai si
"Mas mau ke mana?" Dia hanya menoleh ke arahku. “Mas, Maafin Adek, Mas!” Aku panik. Kusimpan cangkir yang tadi kuangkat. Lekas kuberlari dan kutarik lengannya karena dia tak menjawab apa yang kutanyakan.Dia masih bergeming dan hanya menatapku. “Adek sudah move on, kok. Walau ada seribu sandi, Mas tetap milih Mas Reza. Adek gak mau kehilangan Mas Reza, seriusan, Mas.” Sepasang sorot mata teduh itu menatapku lekat. Ada senyum yang dikulumnya. Kurasa suasana hatinya sudah membaik. Cuma dia tak memberikan tanggapan apapun. “Jadi, sekarang gak jadi pergi ‘kan, Mas?” tanyaku kemudian karena dia hanya diam.“Loh jadi, Dek! Ayo, Adek nggak ikut?” “Ikut ke mana?” “Jenguk Bibinya Adek.” Aku terpegun. Kukira tadi dia cemburu terus mau kabur. Sudah nurunin harga diri. Rupanya salah. Dia malah mau jenguk Bi Icah. “Sekarang?” “Iya, mumpung siang.” “Kenapa gak sore, Mas?” “Sore banyak karyawan sudah pulang. Sekarang saja.” Seketika aku mengulum senyum. Apa yang dia maksud itu kalau sore
“Sesuap saja! Biar kenyang, Dek.” Dia memaksa.Aku mengerucutkan bibir, tapi akhirnya malah aku yang minta. Enak juga pake nasi yang disuapkan dari tangannya. Kami menghabiskan hampir separuh malam dengan barbeque berdua. Begini mungkin ya rasanya jadi orang kaya. Makan enak, tinggal beli, maunya apa saja. Rumah bagus, duit banyak, ah indahnya hidupku. Semoga saja Mas Reza tetap seperti ini selamanya. “Ya Rabb! Andai aku boleh minta … aku tak mau waktu bergerak lagi. Aku mau seperti ini saja. Aku terlalu takut … sangat takut … aku takut jika semua ini hanya sekilas saja,” batinku bergumam sambil sibuk memandang wajah tampan mas Reza yang sibuk mengunyah makanan. “Assalamu’alaikum!” Suara salam dari arah luar membuat kami mendongak bersamaan. “Wa’alaikumsalam!” Kami menjawab serempak. “Maaf ganggu, Rin.”“Masuk, Bi! Mari makan, Bi! Tumbenmalem-malem kesini, Bi? Ada apa, ya?” Bi Mae rupanya. Kupikir tadi siapa. Dia tampak sungkan. Dari sorot matanya terlihat keraguan. "Bi Mae suda
“Syukurlah kalau memang begitu, Rin. Kemarin Bi Icah pulang dari klinik, eh sibuk nyebar-nyebar gossip katanya suami kamu petanji g*nja.” “Astaghfirulloh, Bu! Bi Icah maunya apa, si? Heran. Biar Arin samperin ke rumahnya! Arin tagih sekalian duit yang Mia pinjem. Sebel!” tuturku naik pitam. “Hush, gak baik main labrak. Gimanapun Bi Icah itu orang tua.” Ibu mendelik ke arahku. “Harusnya kalau memang sudah tua, harus lebih bijak. Bukan suka-suka mengarang-ngarang cerita.” “Iya, kamu tahu sendirilah dari dulu dia memang kayak gitu. Moga nanti dia sadar.” Ibu bicara lagi. Tangannya sudah selesai menjahit baju Bapak yang koyak. Sayang kalau dibuang, katanya. “Hmmm, Bu. Arin kok ngerasa capek ya bolak-balik toko tiap hari. Rasanya pengen punya toko sendiri.” “Buka toko itu bukan modal kecil, Arin. Lagian suami kamu mungkin duitnya sudah habis setelah bangun rumah. Jangan matre kalau jadi istri. Kumpulin dulu pelan-pelan duitnya. Petani itu ‘kan gak setiap bulan panen. Harus berhemat.”
Manusia hanya mampu merencanakan, sedangkan Tuhan yang menentukan. Seperti kabar kalau Sandi yang kini ditangkap polisi karena kasus kekerasan, Bi Icah yang terkena stroke dan Mia yang kini nasibnya terkatung-katung tak karuan. Ibunya Sandi yang dulu selalu membangga-banggakan putranya itu pun gaungnya mulai menghilang dan seperti aku, yang masih setia menunggu diberikan keturunan. Perlahan tapi pasti. Garisan nasib bergerak perlahan. Semua bergerak mengikuti ketentuan-Nya, bukan hanya berdasarkan keinginan dan rencana manusia. Kehidupan pernikahanku baik-baik saja. Kondisi ekonomi kami pun melaju pesat. Toko sembakoku, kini sudah mulai membuka cabang. Tika kupercayakan sebagai pengelola di sana. Meskipun awalnya aku menawari Bapak, tetapi dia menolaknya. Katanya, tak ingin hidup bergantung pada menantu. Jadi, Bapak masih menekuni jaga parkiran. Baginya, hidup mewah itu bukan tujuan. Katanya melihat anaknya sudah hidup mapan pun, sudah menjadi kebahagiaan.Ah, bahagianya hidupku pun
Bab 50 – Pov Sandi“Mas tolong anterin pesenan ke meja nomor 57!” tutur Silvi, teman satu shiftku sambil menempelkan catatan pada tepi meja orderan. “Oke.” Aku mengangguk sambil memeriksa apa saja yang dipesannya. Lekas aku menghubungi bagian dapur dan meminta disiapkan menu-menu yang akan kuantar. Sementara itu, Silvi tampak sudah kembali ke depan dan menghampiri meja lainnya.Makanan yang dipesan untuk meja nomor 57 sudah berada di atas nampan. Aku lekas mengayun langkah cepat mengantarnya. Sepertinya hanya makan siang kecil, orderannya pun tak banyak. Bisa aku sekali antar. Dalam jarak beberapa meter, terlihat dua orang yang sedang duduk. Rasanya familiar, tetapi memang para tamu di sini sering datang berulang. Jadi, mungkin salah satu tamu yang datang ke sini. Hanya saja anggapanku langsung terbantah ketika suara yang tak asing itu memanggil namaku. “Sandi?” Pertanyaan spontan itu membuat aku seketika mendongak dan sepasang netra kami saling bertemu. Rasanya dunia berhenti b
“Mbak! Mbak Arin!” Baru saja kami tiba setelah makan siang ketika Aryo tergopoh menghampiri. Wajahnya terlihat pucat seperti orang ketakutan. “Kamu kenapa kayak orang ketakutan gitu, Yo?” “Anu, Mbak Arin! Tadi Pak RT mau pinjam mobil!” “Kenapa gak nelepon saja?” “Sudah, Mbak Arin! Tapi gak diangkat. Ke Mas Reza juga gak diangkat.” Lalu, serempak kami sama-sama mengecheck ponsel. Rupanya benar ada miscall dari Pak RT. “Oh, iya, Yo. Gak keangkat. Kami lagi di jalan kayaknya tadi. Pak RT ada apa, ya? Mas telepon balik, takut penting!” Aku menoleh pada Mas Reza. “Anu, Mbak, Mas! Pak RT mau bawa Mbak Mia ke rumah sakit. Percobaan bunuh diri, katanya!” tutur Aryo. “Astaghfirulloh!” Kompak aku dan Mas Reza beristighfar. Kutatap wajah Aryo lekat-lekat. “Yang bener, Yo?” tanyaku. Aryo mengangguk. Cuma Mas Reza kudengar mulai berbicara di telepon. “Hallo, Pak RT! Maaf, kami lagi diluar tadi!” “Oh, sudah dapat mobilnya … di rumah sakit mana, Pak RT? … Oh syukurlah … Wa’alaikumsalam!
Penjaga toko yang dicarikan Mas Reza sudah mulai bekerja. Aryo namanya. Karena sudah ada yang jaga toko, akhirnya, kami pun punya kesempatan melanjutkan kencan kami yang tertunda beberapa waktu lalu. Kuminta Mas Reza mengenakan lagi pakaian yang sudah kupilihkan. Waktu itu dia pakai dan terlihat keren.“Kenapa Adek beliin Mas baju-baju kayak gini, Dek? Mas nggak nyaman.” Mas Reza tampak celingukan menatap celana tiga perempat yang membuat betisnya yang berbulu lebat itu kelihatan. Baju kaos berkerah yang ukurannya pas badan membuatnya terlihat gagah. Sejak setengah jam lalu dia sudah memakai setelan itu, tapi terlihat tidak percaya diri. “Mas ganteng kalau pake itu.” Aku melirik ke arahnya sambil menyematkan peniti pada ujung kerudung yang kulipat ke dada. “Oh begitu? Cuma memang nggak nyaman loh, Dek.” Dia tersipu, tapi tetap terlihat kikuk dengan setelan yang sudah dia kenakan. “Waktu itu juga Mas pake, tapi makin lama, makin malu. Nggak nyaman pada dilihatin ibu-ibu.” Dia tersip
Getaran ponsel yang tergeletak membuatku terperanjat. Menarik pikiranku yang sedang jalan-jalan ke masa lalu kini kembali mendekat. Rupanya telepon dari sebuah nomor baru. Siapa, ya? Aku pun lekas mengangkatnya. “Hallo!”“Arin!” Suara itu.“Firman?” “Arin, aku mau bicara, tolong buka blokir nomorku!” Tut!Aku langsung menurunkan ponsel dari telinga dan kututup. Dalam hitungan menit, nomornya sudah kublokir lagi. Maaf, Firman. Kesalahanmu sudah terlalu fatal. Untuk kali ini, aku tak bisa lagi untuk mentolerir hal itu. Bahkan, aku tak sudi lagi memanggilmu dengan embel-embel Mas seperti dulu. Setelah itu, aku kembali melanjutkan aktivitas. Ini nomor ke sekian yang menelponku dan aku pun memblokirnya. Aku tak memberitahu Mas Reza. Aku tak ingin dia teringat kejadian memalukan itu lagi. Bayangan Firman yang melepas pakaiannya, seringainya yang menjatuhkan dan setiap kalimatnya yang membuatku seolah-olah perempuan murahan, aku benci. “Adek, sore nanti Mas mau ajak pergi.” Aku menol
“Pak Ustadz, acara syukuran mobilnya dimulai kalau Reza sudah datang, ya! Mobil ini hadiah dari Ibu buat menantu Ibu yang cantik ini. Semoga Arin suka, ya!” Aku masih terbengong-bengong, sesekali kucubit punggung tangan. Ini masih terasa mimpi. Tiba-tiba aku punya mobil? “Tuh Reza, Bu!” Mbak Resa, kakak pertama Mas Reza yang ternyata juga datang, membuka suara. Ini pertemuan pertama kami. Wajahnya sangat mirip Mbak Rena, sebelas dua belas. Bahkan tak terlihat kalau dia lebih tua, mereka seperti sepantaran. “Alhamdulilah, orangnya sudah sampai, Pak Ustadz! Kalau begitu, acaranya dimulai saja Pak Ustadz.” Ibu Mertua bicara sambil menoleh ke arah Mas Reza. Lalu setelah itu dia kembali duduk di sampingku. Pak Ustadz pun menoleh ke arah Mas Reza yang mendekat. Dia mengangguk saja dan tersenyum lalu memulai kajian. Yang diundang tak terlalu ramai. Hanya ada sekitar dua puluh orang, para tetangga yang dekat-sekat saja dan keluarga. Hidangannya nasi kotak, Mbak Resa yang pesan, jadi pagi
Bab 45 – POV RezaPerempuan yang kunikahi beberapa bulan lalu itu, bernama Dek Arin. Gadis yang dulu katanya sempat dijuluki perawan tua. Dia lambat nikah karena gak bisa move on dari mantannya. Sandi, itu yang kutahu. Pernikahan kami tanpa cinta. Namun, dari pandangan pertama aku sudah menyukai Dek Arin. Wajahnya oval dengan kulit kuning langsat, bibir merah muda terlihat mungil dan agak berisi, hidungnya tak terlalu mancung, tapi membuatnya terlihat seimbang dengan komposisi wajahnya. Satu hal yang membuatku betah memandang Dek Arin lama-lama, iris cokelat terang Dek Arin membuat sepasang mata itu terlihat indah. Iris cokelat itu seperti berbicara, meski dia tak mengatakan apa-apa. Jika Dek Arin tersenyum terbentuk lesung pipi di sebelah kiri yang membuat penampilannya semakin cantik saja. Dek Arin itu, intinya cantik, manis dan aku suka. Aku nggak sanggup memandang iris cokelat terang itu lama-lama. Jujur, aku takut tak bisa mengendalikan diri. Biasanya aku lekas-lekas menunduk
Aku sudah berada di klinik. Mas Reza membawaku dengan susah payah keluar dari lereng gunung menuju pemukiman. Kini, aku sudah terbaring sambil menyeka air mataku berulang. Pernyataan yang dokter sampaikan membuatku merasa seperti kapas terkna air. Lemas lunglai tak bertenaga. “Pak Reza yang sabar, ya! Bu Arin mengalami keguguran. Kita coba pakai infus dulu ya untuk mengeluarkan sisa-sisa janinnya. Kalau belum bersih, terpaksa harus dikuret,” tutur dokter tadi setelah melakukan pemeriksaan. Mas Reza pun sama, sejak tadi lebih banyak diam. Kami sama-sama merasa terhenyak dengan kenyataan. Gara-gara keegoisanku, kini … aku kehilangan calon janin yang padahal sedang kutunnggu. Sesekali aku menarik napas panjang dan menghembuskannya perlahan. Terasa sesak, benar-benar sesak kenyataan yang kuhadapi sekarang. Ibu Mertua datang ketika kami masih saling diam. Dia menatap kami bergantian. Namun, tak ada komentar apapun. Mas Reza hanya melirik ketika Ibunya menghampiriku dan terlihat cemas.
Ini sudah memasuki hari ketiga Mas Reza gak pulang. Aku sebetulnya ingin menghubungi Ibu Mertuaku atau Mbak Rena. Hanya saja, aku takut mereka akan curiga kalau kami ada masalah. Selama tiga hari ini juga, Ibu selalu ke sini menemaniku menjaga toko. “Bu, kok Mas Reza gak pulang-pulang, ya? Apa Arin susul saja?” “Hmmm, coba telepon dulu.” “Gak aktif, Bu.” “Ibu Mertuamu?” Aku tertegun. Malu dan canggung sebetulnya. “Gak enak, Bu! Hmmm … apa Mbak Rena saja, ya?” gumamku seolah bicara pada diri sendiri. “Ya sudah, Mbak Rena saja coba.” Akhirnya aku memutuskan. Lekas kutelepon, tetapi ternyata Mbak Rena sedang menginap di rumah mertuanya. Sudah satu minggu, orang tuanya Kang Hilman sakit, katanya.“Kalau Ibu ada di rumah, Mbak?” “Ibu ada. Kalau mau main, datang saja. Biasanya juga gitu.” “Iya, Mbak.” Aku pun menutup panggilan. Sepertinya, Mbak Rena tak tahu kalau Mas Reza menginjak hari ketiga ini tak pulang. Akhirnya, mau tak mau aku menelpon nomor Ibu Mertua. Hanya saja, bisa