Riani langsung berbalik badan, menggeret koper yang sudah ia siapkan tadi. Tidak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulutnya. Namun, dari wajahnya sudah terlihat jelas amarah yang terpendam. Rasa bersalah merajai hati. Ingin kupeluk ia, tapi takut jika istriku itu menolak. Akhirnya, aku menyusul Riani setelah lebih dulu mengunci pintu. Mobil kami pun sudah tidak ada di garasi karena sudah dijual. Riani berdiri di samping koper sambil mengusap perutnya yang buncit. Tangisnya sudah reda. "Mau ke mana, Mbak Riani?" Mbak Anis, tetangga yang rumahnya berhadapan dengan kami berdua menyapa. Aku tersenyum sambil mengangguk. Wanita itu kulihat baru saja ke luar rumah."Saya titip rumah ya, Mbak. Mau ada urusan dulu di luar beberapa hari," jawab Riani. Napasku sudah tertahan tadinya, takut Riani akan berkata seiya-iyanya karena tengah menahan amarah. "Hati-hati ya, Mbak Riani," kata Mbak Anis.Taksi online sudah datang ke hadapan kami. Aku angkat koper, lalu memasukkan ke bagasi mobil.
Read more