“Awi, kiss Kakeknya..” Setelah mendapatkan ciuman dari putranya, Diding memandang lama sang putra. Lengannya yang kurus terulur, membelai pipi bocah yang kini tampak berisi. “A-Awi,” Pria itu memaksakan diri untuk dapat berucap. Meski payah dalam mengusahakan suaranya, ia tetap berkata-kata, meminta Awi untuk menjadi anak yang penurut dan sholeh. “Bilang apa ke Kakek, Wi?” “Akek ati-ati. Telepon Awi..” “Ya, ya, pasti Kakek telepon Awi setiap hari,” jawab Diding cepat dengan pita suaranya yang bergetar karena menahan tangis. Perpisahan ini akan menjadi sangat lama untuk mereka. Meski merasa berat meninggalkan Awi, Diding harus melakukannya demi bisa mengumpulkan banyak uang. Mencari modal agar ia bisa mengasuh dan membesarkan Awi dengan tangannya sendiri. “Pak Diding, sehat-sehat ya.. Jangan khawatirin Awi disini. Bapak fokus kerja saja disana. Insyaallah, kalau Pak Didingnya nggak bisa pulang, nanti kita yang susulin buat anter Awi ketemu Bapak.” Diding pun meraih tangan Khoiro
Read more