Di kamar yang sama, namun terpisah di ranjang masing-masing, Ayrin dan Reygan tenggelam dalam pikiran mereka sendiri. Ayrin menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya mengumpulkan keberanian untuk berbicara."Mulai besok aku akan pindah, Mas," desah Ayrin dengan suara parau. Dia menatap langit-langit kamar, mencoba menahan gejolak perasaan yang menghimpit dadanya.Reygan, yang juga terperangkap dalam pikirannya sendiri, menoleh pelan. "Biar saya saja yang pergi, Rin," sahutnya dengan tenang yang dipaksakan. "Sejak awal ini rumahmu. Jadi, kamu yang lebih berhak."Ayrin tersenyum pahit. Bagaimana mungkin dia bisa tinggal di rumah ini, di mana setiap sudutnya menyimpan bayang-bayang masa lalu yang menyakitkan, kenangan yang tak bisa dia hapus begitu saja? "Aku nggak bisa tinggal di sini," katanya dengan suara getir. "Rasanya terlalu menyakitkan."Reygan terdiam, hatinya teriris mendengar kepahitan dalam suara istrinya. Dia tahu luka yang dia berikan terlalu dalam. "Maafkan saya, Rin. Kar
Baca selengkapnya