Home / Romansa / Upah Satu Liter Beras / Chapter 41 - Chapter 47

All Chapters of Upah Satu Liter Beras : Chapter 41 - Chapter 47

47 Chapters

Bab 41. Bertemu

Ratih yang mendengar Esih mengancam suaminya, gegas ke luar dari persembunyiannya.”Apa sebenarnya yang bu Esih inginkan? Katakan saja, tidak perlu mengancam suami saya segala.” tanyanya, sinis.“Saya minta pak Lurah bantu saya carikan pengacara untuk membebaskan Anjani dari tahanan.” pinta Esih, lantang.“Apa bu Esih sadar dengan yang bu Esih katakan? Suami saya tidak mungkin membela warganya yang sudah jelas-jelas bersalah seperti Anjani.”“Sudah Bu, jangan didengar. Bapak yakin bu Esih dan Anjani tidak akan berani menyebarkan video itu. Karena video tersebut bukan hanya menyangkut nama baik kita, tapi mereka juga.” Saman tetap dengan keputusannya, tidak bersedia membantu Anjani.“Saya dan Anjani sudah tidak peduli dengan nama baik. Dengan adanya berita Anjani terlibat kejahatan saja, kami sudah dikucilkan warga. Beredarnya video itu, tidak akan berpengaruh apa pun untuk saya dan Anjani.” Esih tampak tidak gentar dengan ancama balik yang dilontarkan Saman.“Sudah lah, Pak. Ibu tidak
Read more

Bab 42. Tes DNA

Tiara menundukkan wajah. Ia tidak berani menatap mata pak Azhar yang terlihat menyimpan duka.“Saya masih ingat dengan baik, tulisan tangan Nurma, sama persis dengan tulisan tangan di surat yang ditinggalkannya saat dia memutuskan pergi.” ujar pak Azhari, masih memandangi surat dari Nurma. “Dan foto ini diambil saat Nurma masih duduk di bangku SMA.” lanjutnya kembali teringat dengan anak semata wayangnya yang dinyatakan hilang.Hening.Untuk beberapa saat, pak Azhari tampak mengamati ketiga kakak beradik di hadapannya.Tatapan matanya yang sudah meredup, tampak berkaca-kaca.”Benarkah kalian bertiga anaknya Nurma? Cucu saya?”Ragu, Tiara mengangguk. Disusul Cahaya dan Hasan.Sementara itu. Pria yang memanggil pak Azhari dengan sebutan Papa, sadari tadi hanya berdiam diri di sampingnya.Pak Azhari menitikkan air mata.”Garis wajahmu mewarisi Nurma.” ucapnya, seraya mengulurkan kedua tangannya.Tiara bangkit, diikuti cahaya juga Hasan.“Mendekatlah.” Pak Azhari berdiri, kemudian merangkul
Read more

Bab 43. Ditagih Utang

Pak Agung mengembuskan napas.”Tenang, Teh. Saya tentu akan berupaya untuk kebebasan teh Anjani. Tapi semua yang saya ikhtiarkan tergantung fakta-fakta yang terungkap di persidangan nanti. Apakah akan meringankan atau malah memperberatkan dakwaan. Berdo’a saja, semoga fakta di persidangan nanti bisa membebaskan teh Anjani dari tuduhan.”“Tapi harus menunggu berapa lama lagi, Pak?”“Bersabarlah, Teh. Kita tinggal menunggu pelimpahan berkas perkara ke kejaksaan, lalu dinyatakan P21, yang artinya berkas perkara telah lengkap dan dinyatakan selesai dan siap dipersidangkan.”“Berapa lama prosesnya, Pak?” tanya Anjani, tampak sudah tidak sabar ingin kembali menghirup udara bebas.“In syaa Allah, paling lama dua sampai tiga Minggu, Teh.”“Apa?” Anjani meninggikan suaranya. “Itu lama sekali, Pak. Beberapa hari di sini saja saya sudah stress, apa lagi harus menunggu selama itu.”Pak Agung menghela napas panjang, melihat tingkah Anjani.“Bu, Tolong lakukan sesuatu. Aku tidak mau lama-lama di sin
Read more

Bab 44. Memelas

"Maaf, selesaikan dulu urusan bu Esih dengan kami. Baru urus yang lain!” Sadim menyela pembicaraan. “Kalau boleh tahu, memangnya Bapak berdua ini ada urusan apa dengan bi Esih?” tanya Tiara, tertuju pada Sadim dan pak Usep. Sejenak, Dua pria dewasa di hadapan Tiara saling berpandangan.”Bu Esih sudah mengambil uang DP pembelian tanah dari kami, tapi dia tidak jadi menjual tanahnya.” ujar pak Usep, mewakili Sadim. “Kami sudah memberi waktu banyak pada bu Esih untuk segera mengembalikan uang yang sudah diterimanya, tapi sampai sekarang belum juga ia kembalikan!” sambung Sadim, kembali emosi. “Benar yang dikatakan mereka berdua, Bi?” tanya Tiara pada Esih. “Bukan hanya aku yang menerima uangnya, tapi Ibu juga.” sanggah Esih, tidak terima jika hanya ia yang ditagih dua makelar tanah itu. “Itu bukan urusan kami, yang kami tahu bu Esih yang menerima uangnya.” ucap Sadim, tidak peduli dengan sanggahan yang dilontarkannya Esih. “Apakah tanah yang dimaksud dua Bapak ini, tanah alamrhumah
Read more

Bab 45. Bertemu dengan Masa Lalu

Bu Ratna mematung di depan pintu saat mendapati pak Azhari dan Tiara berdiri tepat di depannya.”Kang Azhari?” gumamnya, nyaris tidak terdengar. “Ya, saya Azhari.” ucap pak Azhari, terdengar gugup. “Bagaimana kang Azhari bisa ada di sini? Lalu, Tiara? Bagaimana kalian berdua bisa bertemu?” tanya bu Ratna, masih berdiri di ambang pintu. “Izinkan saya dan Tiara, masuk. Kita bicara di dalam.” Bu Ratna bergeser, lalu mundur beberapa langkah.”Silakan.” ucapnya pelan. “Siapa, Bu?” Parman yang sejak tadi bersembunyi di kamar, turut menemui Tiara dan pak Azahari. Sebelumnya ia mengira Esih yang datang, makanya memilih mengunci diri di kamar bersama Fatma, istri barunya. Bu Ratna tidak menyahut. “Saya Azhari, kakeknya Tiara.” Pak Azhari memperkenalkan diri pada Parman. “Maksudnya?” Parman menautkan kedua alisnya, lalu mengambil posisi duduk di samping bu Ratna. “Saya papanya Ika Nurmala, ibunya Tiara.” jawab pak Azhari, menoleh pada Tiara. Keduanya bersegera duduk, bersisian. Parma
Read more

46. Melepas Aset

“Silakan diminum, Pak.” Ratih meletakkan dua gelas yang dibawanya di atas meja. “Terima kasih, bu Lurah.” balas pak Azhari, seraya meraih minuman yang disajikan untuknya. Tidak banyak berbasa-basi, pak Azhari pun kemudian mengutarakan maksud kedatangannya menemui Ratih.”Tiara sudah menceritakan semuanya pada saya. Dan saya sangat berterima kasih sekali, bu Lurah sudah berkenan membantu cucu saya dengan menerima sertifikat tanah miliknya untuk dijaminkan atas sejumlah uang yang dipinjamnya.” ucapanya, tertuju pada Ratih. “Sama-sama, Pak. Saya hanya melakukan apa yang semestinya saya lakukan.” balas Ratih, terlihat tulus. “Tunggu sebentar, saya ambilkan Sertifikatnya.” sambungnya. Kemudian bergegas menuju kamarnya, untuk mengambil sertifikat tanah milik Tiara yang dititipkan padanya. Tak lama, Ratih kembali menemui Tiara dan kakeknya di ruang tamu. “Ini sertifikatnya, Ra.” ucap Ratih, menyodorkan dokumen kepemilikan tanah milik Tiara. “Terima kasih banyak untuk kebaikan yang suda
Read more

47. Selesai

“Baiklah, Bibi setuju menggadaikan tanah beserta tokonya sama kamu, Ra.” putus Esih. Untuk kebebasan Anjani, juga keamanan dirinya dari kejaran makelar tanah, Esih rela melepas hartanya. “Berapa yang Bibi butuhkan?” tanya Tiara, mengarah pada Esih. “Bibi butuh 200 juta, Ra.” jawab Esih. Tiara membuatkan kedua matanya.“Yang benar saja, Bi? Kalau 200 juta mah bukan digadaikan, tapi dijual.” protesnya. “Tapi bibi perlunya segutu, Ra.” Tiara menggelengkan kepala.”Maaf, Bi. Kalau 200 juta, aku dan Kakek tidak bisa.” “Lalu, berapa yang kamu bisa bantu untuk bibi, Ra?” tanya Esih, terpaksa mengalah. “100 juta. Aku rasa itu harga yang pantas.” jawab Tiara, memberikan penawaran. “Tlong melebihkan, Ra.” Esih masih berupaya mengubah keputusan Tiara. “Baiklah, aku akan minta Kakek untuk membantu Bibi 120 juta. Tidak ada lagi tawar menawar!” tegas Tiara, mengukuhkan keputusannya. Dengan terpaksa, Esih mengangguk setuju. Lalu kemudian, ia bergegas mengambil surat-surat kepemilikan tanah
Read more
PREV
12345
DMCA.com Protection Status