Semua Bab Istri Penebus Utang Kesayangan Pewaris: Bab 71 - Bab 80

263 Bab

Perbincangan di Ruang Gym

Ayesha mengambil beberapa bunga di halaman yang sudah bermekaran dan menatanya di dalam vas. Zain membantu nyonya -nya itu mengambilkan beberapa bunga lagi. Ketika itu, Rahman tampak menghampiri Zain. Mereka terlihat berbicara serius.“Ada apa, Zain?” tanya Ayesha, penasaran.“Pak Rahman mencari Tuan Hillbram, Nyonya. Saya sudah menyampaikan Tuan sedang berolahraga di lantai atas.”Zain membawa bunga-bunga yang baru dipetiknya.“Adakah hal serius?” tanya Ayesha, karena melihat raut Rahman yang tegang dan mendesak. Terlebih, Rahman bertanya pada Zain dan mengabaikannya yang juga ada di sini.“Saya kurang faham, Nyonya,” ujar Zain tidak banyak bicara.Ayesha tidak bertanya lagi. Dia menyelesaikan rangkaian bunganya lalu membawa vas itu ke dalam.“Aku bisa melakukannya sendiri, Zain. Kau bisa melakukan pekerjaan lainnya,” tukas Ayesha, melihat Zain hendak mengukutinya.“Baiklah, Nyonya. Permisi!”Zain melangkah pergi.Ayesha melihat-lihat ruangan dan menilai sudut mana yang bagus untuk m
Baca selengkapnya

Tuduhan Rahman

“Sebagai seorang Nyonya keluarga Al Faruq, hal seperti itu tidak pantas Anda lakukan, Nyonya. Saya berharap Anda belajar lagi menggunakan etika yang baik. Ada sesuatu hal yang bisa jadi tidak bisa di dengar orang lain. Kata permisi adalah hal yang seharusnya sudah anda ketahui dalam sopan santun!”Rahman memberikan sebuah pelajaran etika pada seorang guru seperti Ayesha. Hal demikian bukan sesuatu yang bisa diangggap menasehati, tapi lebih sebagai sebuah sindiran.Ayesha bukan orang yang tidak memahami hal itu. Tapi, sebelumnya dia sudah merasa berbuat kesalahan. Karenanya dia tidak ingin menjadi pemicu masalah lagi, hingga sampai harus ingin tahu apa yang terjadi.Ayesha mengakui dia salah. Dan akan memperbaiki kesalahannya itu.“Baik, Rahman. Aku memang bersalah.” Ayesha tidak menyangkal.“Apa yang Anda ingin sampaikan?” tanya Rahman lagi.“Aku-aku hanya...”“Apa Anda mau mengakui kalau Anda-lah yang membocorkan perjanjian pernikahan itu?”Ayesha terdiam. Rahman sudah tentu mencuri
Baca selengkapnya

Bertemu Hamida

“Bisakah Anda tidak mengganguku?” ujar Ayesha dengan nada lelah.“Ada apa? Kau terlihat tertekan? Apa kau ada masalah?” Gilga justru bertanya dengan sok perhatian.“Maaf!” Ayesha segera menutup ponselnya dan melemparkannya di tempat tidur.Dia suntuk sekali, lalu memutuskan untuk pergi keluar. Tidak lupa, dia mengirim pesan pada Hilbram sekedar memberitahunya kalau dia ingin keluar.[Mas, aku keluar ya?] tulisanya yang sudah terkirim ke nomor Hilbram.Pesan terbalas lima menit kemudian.[Baik, hati-hati!]Ayesha tercenung sesaat, Hilbram tidak bertanya ke mana dia pergi. Ya sudah, mungkin dia sedang sibuk di kantor dan banyak pekerjaan.Hilbram tentu tidak perlu bertanya ke mana istrinya pergi. Ada supir dan juga gps di mobilnya. Jadi dia bisa tahu kemana dan kapan istrinya singgah di suatu tempat.“Ke mana, Nyonya?” tanya Zain, karena sejak tadi Ayesha tidak mengatakan tujuannya. Sementara mereka sudah berputar-putar kota.“Maaf, Nyonya? Kita ke mana?” tanya Zain sekali lagi.Barul
Baca selengkapnya

Kekecewaan Hamida

Zain menurut saja kala Ayesha memintanya harus mengikuti mobil Hamida. Dia menyampaikan bahwa Hamida ingin mengajaknya sekedar makan malam.Ayesha juga sudah menghubungi Hilbram. Suaminya itu hari ini pulang larut karena harus menghadiri launching produk perusahaannya di sebuah hotel. “Anda yakin, Nyonya?” Zain kembali mengingatkan.Hamida selalu ingin menjahatinya, lalu untuk apa sekarang dia tiba-tiba ingin mengajak Ayesha makan malam.“Ya sudahlah, Zain. Tidak enak juga ‘kan kalau tidak menyanggupi ajakan makan malamnya,” ujar Ayesha terlihat sekali enggan mengikuti kemauan Hamida.Setelah sampai di sebuah tempat, Ayesha pun keluar dari mobil.Zain menawarkan apakah dia perlu ikut? Tapi Ayesha menolak.Lagi pula Zain tidak perlu tahu pembicaraan mereka agar tidak mengadu pada Rahman ataupun Hilbram. Meski Ayesha tahu, Zain bukan orang yang suka mengadu.Dia mengikuti dua wanita itu memasuki lift. Ke tiganya tidak berbicara hingga lift terbuka dan mereka disambut petugas restoran y
Baca selengkapnya

Tidak Ambil Pusing

Ayesha bingung dengan semua kerumitan dalam hidupnya ini. Dia menenggelamkan seluruh tubuhnya dalam bathtub untuk beberapa saat, berharap gelembung-gelembung yang keluar dapat menghempaskan semua beban di kepalanya. Apa yang harus dia lakukan?Apakah harus membicarakan semua ini dengan Hilbram?Hhhahhh! Ayesha kembali muncul dipermukaan merasakan dadanya sesak kehabisan napas. Nyatanya, beban yang bergelanyut di kepalanya masih terasa berat dan menyiksa.“Tuhan, perjanjian apa yang kau serukan padaku sebelum memutuskan meloloskan jiwaku terlahir ke dunia ini” gumamnya sambil menitikan air matanya. Sebentar menguatkan diri, barulah Ayesha bangkit mengambil handuknya.Dia lelah sekali, lalu memutuskan untuk bergegas tidur saja agar tidak malah stress meghadapi masalahnya. Suaminya pasti masih sibuk bekerja. Kasihan dia, sudah sesibuk ini mengurusi perusahaan, tapi malah menghadapi gugatan hak warisnya dicabut.
Baca selengkapnya

Aku Bahagia

[ Nyonya, persiapkan dirimu. Aku akan menjemputmu sebentar lagi ]Pesan dari Hilbram terbaca di layar ponsel Ayesha.Netranya masih juga menatap lekat-lekat layar ponsel itu. Apakah pesan seperti ini masih bisa didapatkannya setelah semua ini berakhir?[ Baik, Tuan! ] Ayesah mengirim balasan beberapa menit kemudian.Dia bangkit untuk mempersiapkan dirinya. Mungkin malam ini dia akan membicarakan masalah itu pada Hilbram. Mereka akan berbicara selayaknya dua orang dewasa. Bukan sebagai dua orang yang sama-sama mencintai. Ayesha berharap dia dan Hilbram  bisa mengesampingkan perasaan masaing-masing untuk kebaikan bersama.“Istriku cantik sekali!” Hilbram mengulurkan tangannya saat menyambut Ayesha dan mengajaknya masuk ke dalam mobil. Dia tidak pernah pelit saat memuji istrinya itu.Ayesha tidak memungkiri, dia memang mempercantik dirinya. Hari-hari menuju perpisahan mereka harus diakhirinya dengan kesan yang indah. Setidaknya
Baca selengkapnya

Berpisah di Bandara

Setelah memesan makanan dan menikmatinya di kamar hotel saja, mereka akhirnya memutuskan untuk menonton di bioskop. Menghabiskan sisa waktu hari ini dengan mengunjungi beberapa tempat.Sepanjang waktu, Ayesha mencoba mencari sela agar bisa membicarakan tentang apa yang dikatakan Rahman. Namun, sepertinya Hilbram tidak sedikitpun memberinya jeda untuk sekedar terlihat bersedih.Ayesha bingung, namun dia juga menikmati kebersamaan bersama suaminya itu. mereka seperti dua pasang anak muda yang sedang kasmaran dan saling bucin. Sehingga ketika sedang bersama dan menikmati kebersamaan, tidak rela menyelipkan hal yang hanya akan merusak suasana romantis itu.   Hilbram bahkan, menonaktifkan ponselnya. Dia tahu, Rahman pasti akan terus mengganggunya dengan banyak sekali agenda pekerjaan yang sudah disusunnya sedemikian rupa. Belum lagi dia akan selalu bawel mengingatkan ini dan itu. Sudah seperti ibu-ibu saja. Batin Hilbram mulai sedikit kesal dengan asistenn
Baca selengkapnya

Ditolong Gilga

Kepala Ayesha sangat pusing, tapi dia masih dalam kesadarannya. Dia harus segera keluar dari toilet. Zain pasti sudah mencarinya.  Kalaupun nanti dia pingsan, setidaknya Zain mengetahuinya.Langkahnya terhuyung dan sampai butuh berpegangan pada dinding. Toilet sedang sepi dan Ayesha tidak bisa meminta tolong pada  siapapun.  Hingga setelah berhasil keluar dari toilet, sebuah tangan besar memapahnya.“Hei, kau tidak apa?” tanya pria itu pada Ayesha yang sudah nampak pucat itu.“Astaga, tanganmu dingin sekali. Sini aku bantu kau duduk!”Ayesha tidak menolak bantuan pria itu karena memang tubuhnya sudah begitu lemah. Sudah ingin pingsan saja. Dan benar, sebelum sampai di tempat duduk dia sudah tidak mengingat apapun lagi...“Di mana aku?”  Ayesha membuka matanya dan tidak tahu sedang ada di mana.Dia bangkit dan baru menyadari bahwa sepertinya sedang berada di rumah sakit.
Baca selengkapnya

Demi Cinta

Rahman sengaja meminta Ayesha menemuinya di suatu tempat dengan diantar Zain. Dia cemas Hilbram bisa mengetahuinya saat memeriksa CCTV rumahnya. Rahman tahu, Hilbram sangat mencintai istrinya itu. Jika ke depan ada hal yang tidak beres, maka Hilbram akan dengan mudah menyalahkan Rahman. Dalam pandangan Rahman, inilah yang terbaik untuk tuannyaa itu. Oleh sebab itu, Rahman merasa harus membicarakan semua ini pada Ayesha. Dia tahu Ayesha wanita yang penuh pengertian. Karenanya, dia akan mencoba dengan cara baik-baik terlebih dahulu. Meminta pemahaman darinya, demi kebaikan Hilbram. Jika memang Ayesha mencintai Hilbram, Rahman berpikir Ayesha akan mau berkorban untuknya. “Nyonya, Tuan Hilbram memiliki tanggung jawab yang besar. Dia tidak boleh mendahulukan ego-nya karena banyak orang yang bergantung di pundaknya.” Ayesha memahami hal itu. Dia juga tidak menampik bahwa banyak kepentingan yang bergantung pada keputusan suaminya itu. “Benar, Rahman. Apa yang kau inginkan dariku untuk se
Baca selengkapnya

Kemarahan Hilbram

Ayesha tidak melihat Zain saat mereka membawanya dengan mobil yang biasa dipakai Zain mengantarnya kemanapun pergi.Ketika mobil itu perlahan keluar dari rumah keluarga Al Faruq, ada rasa yang begitu kehilangan.Tatapannya menoleh ke belakang dan melihat rumah itu mulai menjauh. Semua cinta dan kenangannya harus dia tinggalkan di sana. Hatinya pilu dan sedih. Dia bahkan terisak harus menyadari semua sudah berakhir.Dua pengawal yang duduk di kursi depan saling melirik, namun tidak bereaksi apapun mendengar isakan sang Nyonya. Mungkin, mereka merasa kasihan padanya tapi tidak punya daya untuk melakukan apapun.Semua berjalan begitu saja hingga sampai di bandara. Ayesha masih dikawal hingga dipastikan benar-benar  masuk ke pesawat dengan baik. Setelah itu semuanya sudah menjadi masing-masing. Ayesha bukanlah lagi Nyonya mereka.  Dan tugas untuk mengawal sudah selesai.Sepanjang di udara, hatinya sudah tidak bisa digambarkan. Dia tahu, Hilbr
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
678910
...
27
DMCA.com Protection Status