Semua Bab TERJEBAK PERNIKAHAN DADAKAN: Bab 71 - Bab 80

89 Bab

71. IRONI

Aku yang semula sengaja menjaga jarak agar Mbak Mira tidak merasa dikintili kembali menoleh. Dia menyebut namaku dan menautkannya dengan kata curiga, itu sedikit mengusikku. Tapi kemudian segera tersenyum.Sepanjang hidup aku terbiasa melayani diri sendiri hingga lupa jika saat ini seseorang telah ditugaskan untuk melayaniku. Mungkin Mbak Mira takut untuk meminta izin keluar nantinya. Apakah pacarnya barusan menyuruhnya berbohong tapi Mbak Mira takut aku curiga?Pemikiran receh itu membuatku tersenyum semakin lebar. Bertepatan dengan itu, Mbak Mira menoleh dan menyadari keberadaanku di belakangnya."No ... Nona?" Dia terkejut.Benar-benar terkejut hingga ponsel yang semula di pegangnya nyaris tergelincir dari tangannya. Membuatku sempat melihat sekilas ke layarnya. Seperti dugaanku, itu seperti wajah seorang lelaki dengan kening licin."Maaf, Non ... saya ...." Dia terbata-bata berbicara. Wajahnya nampak pucat sementara tangannya sedikit
Baca selengkapnya

72. TEKAD

Di hari Andreas menyerahkan map padaku, di situlah aku menyadari telah melakukan kesalahan besar untuk ke dua kalinya. Kesalahan yang dari awal sempat terlintas, tapi karena merasa buntu, aku berharap penuh itu tak akan terjadi.Namun, ternyata, dalam hidup ini tak boleh ada celah apalagi dengan bersandar pada harapan. Seharusnya hari itu aku pergi sendiri, mencari dengan bantuan google map atau apa saja, sebuah kota atau pulau terpencil yang jauh dari jangkauan, kalau perlu ke luar negeri sekalian. Bukannya malah meminta Ari membantuku dan kini dia menjadi senjata dari Tuan Saddil untukku.Jika aku bicara pada Kak Sananta, maka Ari yang harus membayarnya.Maka sejak hari itu, kukemasi lagi hati dan pikiranku. Rasa sayangku pada Ari, mungkin sama besarnya dengan bayi yang ada dalam kandunganku ini. Dia harus menderita hanya karena membantuku, aku sungguh tidak ingin itu terjadi. Sehingga meluncurlah semua cerita palsu itu, meski harus menghindar dari Ari.
Baca selengkapnya

73. TIBA

Udara yang berembus dari jendela kaca terasa lebih dingin. Aku membuka mata dan segera memejamkannya kembali. Cahaya menyerbu pupilku, dan getaran pelan mengingatkanku bahwa saat ini masih dalam di dalam mobil."Sudah bangun saja?" Sapaan Kak Sananta terdengar. Dia masih fokus mengemudi di sebelahku.Tak tahu berapa lama aku tertidur. Kak Sananta memperbaiki posisi bangku yang tadinya kupakai tidur ke setelan semula. Saat sudah melihat sekeliling, aku sangat senang."Wah, sudah hampir sampai."Batang-batang karet di sisi kiri dan kanan jalan memberiku pertanda bahwa kami sudah masuk ke jalan perkampunganku. Tak sampai sepuluh kilometer lagi aku akan sampai di rumahku. Pantaslah udara terasa lebih dingin dari sebelumnya. Matahari juga sudah jauh condong ke barat. Daun-daun karet yang banyak berserakan di sepanjang jalan memberikan sensasi damai setiap kali pulang.Namun, itu hanya bertahan sebentar.Ketika kenyataan
Baca selengkapnya

74. TAK SETUJU

TDP 74."Nona menangis?" Wanita itu tercengang begitu aku melepaskan pelukan. "Kangen Ibu. Kangen semuanya." Aku mengusap mata dengan suara serak. Rasanya tak pernah seperti ini. Pertemuan ini mengingatkan bahwa dunia baruku sungguhlah sunyi. Ternyata aku merindukan mereka--rumahku dan perempuan tua ini--lebih dari yang kuprediksi."Ibu juga kangen. Nih, ibu buatkan makanan kesukaan Non Hara. Begitu Den Ari sampai dan memberitahu Nona sudah dekat, ibu langsung memasak biar makanannya masih hangat pas Nona sampai.""Ari?" Aku mengangkat wajah begitu nama itu disebut. Seketika aku terpaku tak percaya. Ari.Dia di sana. Di belakang Bu Sarmiah. Bersandar di daun pintu dengan dua tangan berada di saku.***"Jadi, Ari yang akan ...." Aku tak menyelesaikan kata-kataku. Memandang tak percaya pada Ari dan Kak Sananta berganti-ganti."Kamu tidak senang?" Ari melemparkan senyum miringnya. Aku terp
Baca selengkapnya

75. SARAN

TDP 74."Uang yang banyak?" Aku memutar bola mata. Menatap Kak Sananta yang nampaknya menyerahkan kendali pada Ari."Bukankah katamu aku harus memikirkan masa depanku juga? Nah, apalagi yang bisa kulakukan untuk masa depan di usia begini kalau bukan mencari uang yang banyak?" Ari mengibaskan tangan. "Jangan menatap kami seperti itu. Kami simbiosis mutualisme. Aku tak direpotkan, aku tidak cuma-cuma. Aku dibayar, aku dapat duit. Jadi berhenti berpikir tidak enak dan segala macam."Aku mengembuskan napas frustasi. Bukan masalah uang bahasan intiku. Tapi nampaknya kata-kataku telah menggiring opini mereka. Terutama Ari yang punya kemampuan bicara melebihi wanita. Aku pun tak tahu harus alasan apalagi menolak Ari. Tak mungkin kukatakan kekhawatiranku pada mereka berdua."Terlepas dari semua yang kamu katakan itu, Hara, aku benar-benar tidak mempercayai orang lain sebesar aku mempercayai Ari. Aku memilih Ari pun bukan karena sengaja ingin mengambi
Baca selengkapnya

76. PERMINTAAN

"Heem." Aku mengangguk. Aku sudah mengirimkan pesan pada telepon satelit koperasi pulau di mana Riang tinggal. Hanya saja pesanku belum dibalas oleh gadis itu. Untuk mengetes reaksi Ari, kukatakan saja seseorang akan segera datang."Astaga, Hara. Aku tak menyangka kamu senekad ini." Ari nampak kecut. "Batalkan dulu rencanamu ini. Aku hanya akan fokus pada pekerjaanku saja.""Mana bisa?""Ayolah, Hara. Aku serius. Saat ini aku tak punya prioritas selain kamu. Maksudku, pekerjaan ini. Jika seseorang datang dan menuruti keinginanmu itu, bukankah situasi akan sedikit rumit?""Rumit apanya? Temanku cuma datang. Siapa tahu kamu suka. Kalau enggak ya tak dipaksa juga." Kamu mulai memasuki tikungan kedua. Beberapa puluh meter lagi sampai di rumah Ari."Hara ... Hara. Apa ini termasuk pengaruh kehamilan juga?" Kulihat Ari menggaruk rambutnya. Rumah Ari sudah kelihatan. Aku bergegas dan saat menyeberang untuk menuju pagar, dua o
Baca selengkapnya

77. DEMO

"Bagiku Ibu bukan asisten rumah tangga biasa, Bu. Sejak orang tua kami nggak ada, Ibulah pengganti mereka." Aku menggenggam tangan Bu Sarmiah. Wanita itu mengerjapkan matanya. Bulir bening telah luruh di sana."Terima kasih, Nona, telah memberi wanita tua tak beranak ini penghargaan sebesar ini." Aku ikut menyeka air mata. Lalu memeluk bahu Bu Sarmiah. Wanita ini dicerai suaminya karena mandul lalu dia bekerja di rumah Ari. Sejak saat itu dia memutuskan untuk tidak menikah lagi.Siapa lagi yang kupunya? Tidak ada. Selain perempuan tua ini, Ari, dan Kak Sananta. Hanya itu saja. Semoga mereka tak pernah berubah sampai maut memisahkan kami semua.Lalu aku teringat pesan Tuan Saddil. Dadaku kembali perih. Ari, aku sungguh ingin melindunginya juga, tapi Kak Sananta mempercayakan aku padanya. Bisa saja aku memaksa mengusir Ari, tapi itu akan membuat pekerjaan dan fokus Kak Sananta terganggu karenanya.Aku masih ingin marah atas keput
Baca selengkapnya

78. PERCAYA

Hebat sekali Tuan Saddil. Tak diragukan lagi. Bahkan pertambangan dengan resiko besar dia bisa mendapatkan izin. Izin menambang emas biasanya hanya milik pemerintah. Apakah Tuan Saddil bekerja sama dengan pemerintah? Jika iya, kenapa pemerintah sembrono mengeluarkan izin dengan mengabaikan AMDAL?"Terus nggak ada yang mengadu ke pemerintah juga, Bu?""Nona tahu sendiri berurusan dengan mereka. Jawabannya masih berupa wacana sampai sekarang. Mungkin menunggu ada ledakan besar dulu. Semacam korban atau bencana yang lebih besar baru mereka bergerak."Uang. Semuanya tentu kuasa uang. Kurasa, arwah ayahku sedang menggeliat-geliat di alam kubur melihat semua ini. Semua yang dia jaga dan dia titipkan padaku. Nyatanya anak ini tak punya kemampuan apapun selain menjadi budak cinta.Air mataku menetes. Perih sekali rasanya. Menyesal tak ada guna. Semuanya telah lepas dari tangan segampang setangkai ilalang kehilangan bunganya dalam satu hembusan a
Baca selengkapnya

79. PERUNDINGAN

TPD 79Ari datang bersama empat petugas kepolisian. Wajah pemuda itu nampak tegang dan gusar."Keras kepala," omelnya tanpa mencoba menutupi kemarahan. Mukanya memerah. "Kalau terjadi apa-apa, habislah aku dirujak Sananta." "Maka jalankan tugasmu dengan benar." Aku menanggapinya dengan senyuman.Dadaku berdebar-debar seiring adrenalin yang menderas. Setelah sekian lama merasa terpuruk dan tak berdaya, entah kenapa kali ini aku merasa bersemangat. Semangat juangku mendadak terpantik begitu saja.Kami berhenti tak jauh dari kerumunan, lalu sengaja mengambil jalan ke belakang. Melewati belakang rumah warga yang searah denganku. Mbak Mira telah membukakan pintu dapur dan aku bisa mendengar kehebohan di depan. Rupanya mereka telah menyadari keberadaanku dan tak sabar untuk menerobos masuk.Aku duduk di ruang tamu. Petugas terdengar mengingatkan warga agar tidak melampaui batas atau bisa dipolisikan."Tolong panggil
Baca selengkapnya

80. Kafe Galaxy

TPD 80Sulit untuk mencari keberadaan Bibi Sartika. Aku sudah mencoba bertanya pada beberapa tetangga bahkan mencari informasi ke tempat asalnya, wanita itu tidak ada di sana. Entah di mana dia bersembunyi. Entah di mana lagi dia membeli aset dengan semua uang penjualan kebunku itu.Mengingat Bibi Sartika, serasa ada lahar panas yang menjalari dadaku. Entah harus bagaimana lagi aku menghadapinya."Tidak ada informasi sedikitpun, ya?" tanyaku pada Ari yang sibuk di depan laptop."Tidak. Belum. Tapi aku sedang menghubungi beberapa website perusahaan property dan real estate. Siapa tahu ada info dari sana."Aku mendesah. Semalam aku sulit tidur memikirkan semuanya. "Ayo berangkat," ajakku. Ari segera mematikan laptopnya dan kami meninggalkan rumah dengan mobil milik Ari.Sepanjang perjalanan, aku berusaha meredam gejolak di dada. Kafe Galaxy tempat pertemuan yang dijanjikan oleh nomor yang kuhubungi kemarin. Tempat itu sat
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
456789
DMCA.com Protection Status