TDP 74.
"Uang yang banyak?" Aku memutar bola mata. Menatap Kak Sananta yang nampaknya menyerahkan kendali pada Ari."Bukankah katamu aku harus memikirkan masa depanku juga? Nah, apalagi yang bisa kulakukan untuk masa depan di usia begini kalau bukan mencari uang yang banyak?" Ari mengibaskan tangan. "Jangan menatap kami seperti itu. Kami simbiosis mutualisme. Aku tak direpotkan, aku tidak cuma-cuma. Aku dibayar, aku dapat duit. Jadi berhenti berpikir tidak enak dan segala macam."Aku mengembuskan napas frustasi. Bukan masalah uang bahasan intiku. Tapi nampaknya kata-kataku telah menggiring opini mereka. Terutama Ari yang punya kemampuan bicara melebihi wanita. Aku pun tak tahu harus alasan apalagi menolak Ari. Tak mungkin kukatakan kekhawatiranku pada mereka berdua."Terlepas dari semua yang kamu katakan itu, Hara, aku benar-benar tidak mempercayai orang lain sebesar aku mempercayai Ari. Aku memilih Ari pun bukan karena sengaja ingin mengambi"Heem." Aku mengangguk. Aku sudah mengirimkan pesan pada telepon satelit koperasi pulau di mana Riang tinggal. Hanya saja pesanku belum dibalas oleh gadis itu. Untuk mengetes reaksi Ari, kukatakan saja seseorang akan segera datang."Astaga, Hara. Aku tak menyangka kamu senekad ini." Ari nampak kecut. "Batalkan dulu rencanamu ini. Aku hanya akan fokus pada pekerjaanku saja.""Mana bisa?""Ayolah, Hara. Aku serius. Saat ini aku tak punya prioritas selain kamu. Maksudku, pekerjaan ini. Jika seseorang datang dan menuruti keinginanmu itu, bukankah situasi akan sedikit rumit?""Rumit apanya? Temanku cuma datang. Siapa tahu kamu suka. Kalau enggak ya tak dipaksa juga." Kamu mulai memasuki tikungan kedua. Beberapa puluh meter lagi sampai di rumah Ari."Hara ... Hara. Apa ini termasuk pengaruh kehamilan juga?" Kulihat Ari menggaruk rambutnya. Rumah Ari sudah kelihatan. Aku bergegas dan saat menyeberang untuk menuju pagar, dua o
"Bagiku Ibu bukan asisten rumah tangga biasa, Bu. Sejak orang tua kami nggak ada, Ibulah pengganti mereka." Aku menggenggam tangan Bu Sarmiah. Wanita itu mengerjapkan matanya. Bulir bening telah luruh di sana."Terima kasih, Nona, telah memberi wanita tua tak beranak ini penghargaan sebesar ini." Aku ikut menyeka air mata. Lalu memeluk bahu Bu Sarmiah. Wanita ini dicerai suaminya karena mandul lalu dia bekerja di rumah Ari. Sejak saat itu dia memutuskan untuk tidak menikah lagi.Siapa lagi yang kupunya? Tidak ada. Selain perempuan tua ini, Ari, dan Kak Sananta. Hanya itu saja. Semoga mereka tak pernah berubah sampai maut memisahkan kami semua.Lalu aku teringat pesan Tuan Saddil. Dadaku kembali perih. Ari, aku sungguh ingin melindunginya juga, tapi Kak Sananta mempercayakan aku padanya. Bisa saja aku memaksa mengusir Ari, tapi itu akan membuat pekerjaan dan fokus Kak Sananta terganggu karenanya.Aku masih ingin marah atas keput
Hebat sekali Tuan Saddil. Tak diragukan lagi. Bahkan pertambangan dengan resiko besar dia bisa mendapatkan izin. Izin menambang emas biasanya hanya milik pemerintah. Apakah Tuan Saddil bekerja sama dengan pemerintah? Jika iya, kenapa pemerintah sembrono mengeluarkan izin dengan mengabaikan AMDAL?"Terus nggak ada yang mengadu ke pemerintah juga, Bu?""Nona tahu sendiri berurusan dengan mereka. Jawabannya masih berupa wacana sampai sekarang. Mungkin menunggu ada ledakan besar dulu. Semacam korban atau bencana yang lebih besar baru mereka bergerak."Uang. Semuanya tentu kuasa uang. Kurasa, arwah ayahku sedang menggeliat-geliat di alam kubur melihat semua ini. Semua yang dia jaga dan dia titipkan padaku. Nyatanya anak ini tak punya kemampuan apapun selain menjadi budak cinta.Air mataku menetes. Perih sekali rasanya. Menyesal tak ada guna. Semuanya telah lepas dari tangan segampang setangkai ilalang kehilangan bunganya dalam satu hembusan a
TPD 79Ari datang bersama empat petugas kepolisian. Wajah pemuda itu nampak tegang dan gusar."Keras kepala," omelnya tanpa mencoba menutupi kemarahan. Mukanya memerah. "Kalau terjadi apa-apa, habislah aku dirujak Sananta." "Maka jalankan tugasmu dengan benar." Aku menanggapinya dengan senyuman.Dadaku berdebar-debar seiring adrenalin yang menderas. Setelah sekian lama merasa terpuruk dan tak berdaya, entah kenapa kali ini aku merasa bersemangat. Semangat juangku mendadak terpantik begitu saja.Kami berhenti tak jauh dari kerumunan, lalu sengaja mengambil jalan ke belakang. Melewati belakang rumah warga yang searah denganku. Mbak Mira telah membukakan pintu dapur dan aku bisa mendengar kehebohan di depan. Rupanya mereka telah menyadari keberadaanku dan tak sabar untuk menerobos masuk.Aku duduk di ruang tamu. Petugas terdengar mengingatkan warga agar tidak melampaui batas atau bisa dipolisikan."Tolong panggil
TPD 80Sulit untuk mencari keberadaan Bibi Sartika. Aku sudah mencoba bertanya pada beberapa tetangga bahkan mencari informasi ke tempat asalnya, wanita itu tidak ada di sana. Entah di mana dia bersembunyi. Entah di mana lagi dia membeli aset dengan semua uang penjualan kebunku itu.Mengingat Bibi Sartika, serasa ada lahar panas yang menjalari dadaku. Entah harus bagaimana lagi aku menghadapinya."Tidak ada informasi sedikitpun, ya?" tanyaku pada Ari yang sibuk di depan laptop."Tidak. Belum. Tapi aku sedang menghubungi beberapa website perusahaan property dan real estate. Siapa tahu ada info dari sana."Aku mendesah. Semalam aku sulit tidur memikirkan semuanya. "Ayo berangkat," ajakku. Ari segera mematikan laptopnya dan kami meninggalkan rumah dengan mobil milik Ari.Sepanjang perjalanan, aku berusaha meredam gejolak di dada. Kafe Galaxy tempat pertemuan yang dijanjikan oleh nomor yang kuhubungi kemarin. Tempat itu sat
Sambungan di ujung telepon hening sesaat. Sebelum akhirnya beberapa detik kemudian terdengar lagi suara."Tak ada tanggapan sama sekali?" Suara Kak Sananta terdengar hilang-hilang timbul. Jaringan nampak sekali tidak stabil. "Tidak. Pihak pertambangan menutup akses untuk bertemu dengan masyarakat. Aku tidak tahu akan separah ini. Apakah dunia tambang memang seperti ini?" Aku mengembuskan napas pelan. "Biasanya tidak seperti ini. Tetap ada dana khusus yang dialokasikan untuk kesejahteraan masyarakat setempat. Nanti aku akan mengurusnya lagi. Kamu tenang saja."Percakapan kami kemudian beralih lagi ke hal remeh temeh. Rasanya cukup lega mengetahui Kak Sananta tiba dengan selamat. Dia sudah langsung terjun ke proses pengolahan lahan hingga kami tak memiliki banyak waktu luang untuk bercerita. Kubayangkan jika Kak Sananta yang mengepalai proses pertambangan kebunku. Tapi kemudian andaian itu segera kuenyahkan. Jika Kak Sananta ya
Cukup lama kami berada di gudang itu. Mungkin sudah lebih satu jam. Aku sudah mendapatkan setumpukan benda yang akan kubawa. Kunaikkan kembali kardus-kardus itu ke tempatnya. Tapi perutku yang besar sedikit membuatku kerepotan. Beban pas mengangkat tidak sama ketika hanya mengambilnya turun.Sementara Bu Sarmiah yang lebih pendek dariku merapikan rak yang lebih rendah."Biar aku saja." Ari mendekat. Aku sedikit bergeser ke samping. Pemuda itu lincah menaikkan beberapa kardus ke atas. Prang.Suara benda bersenggolan terdengar seiring sesuatu menimpa pucuk kepalaku."Aduh." Aku menjengit, sakit dan kaget. Sepertinya sesuatu tersenggol oleh kardus yang dinaikkan Ari hingga isinya berhamburan di lantai disertai suara berisik."Nona!""Kamu tak apa?" Ari tergopoh mendekat. Memeriksa kepalaku dengan raut cemas."Tak apa. Cuma sedikit kaget. Apa sih itu tadi?" Puncak kepalaku terasa panas dan perih. Aku bahk
"Aku menemukannya." Seusai sarapan, aku menghampiri Ari di ruang tengah tempat dia biasa membuka laptop. Di samping pria itu terdapat sepiring cemilan dan cangkir kopi."Apa?" tanggapnya tanpa menoleh."Ini." Kusodorkan foto lama yang bahkan warnanya mulai memudar. Ari mengerutkan keningnya sejenak. Tentu saja dia tak akan mengenali orang itu dengan mudah. Dia tak pernah bertemu langsung dan hanya sempat melihatnya di galeri ponsel fotoku beberapa kali. Lagipula, penampilannya sangat jauh berbeda dengan yang sekarang."Siapa?" Ari menyerah. "Tuan Saddil." Ari membesarkan bola matanya, lantas mengambil foto yang kuletakkan di atas meja dan mendekatkan ke wajahnya. "Kenapa beda sekali?""Tentu saja. Yang ini dia gondrong, yang sekarang botak. Ini juga pakai kumis, sekarang semuanya licin."Di samping Tuan Saddil, ayahku nampak tersenyum lebar. Dan ini bukan hanya foto satu-satunya bersama Tuan Saddil.
"Bayinya perempuan, Mas." Salah seorang suster yang baru saja keluar dari ruang operasi bersama Hara yang didorong dua suster lain tersenyum semringah. "Anaknya cantik. Ayahnya pasti senang. Saat ini sedang dihangatkan di inkubator, ya Mas."Ari tergagap. Tatapan suster itu jelas mengatakan jika dialah ayahnya."Kondisi ibunya juga baik. Untung Anda tiba tepat waktu." Suster itu terus bercerita. Sementara Ari mengikuti langkah mereka ke kamar rawat inap."Makasih, Sus." Hanya itu yang bisa dikatakan Ari. Walau tubuhnya serasa jadi bayang-bayang karena cemas, sekarang dia sudah bisa bernapas lega."Habis ini Mas ke ruang bayi, ya, buat iqamahkan putrinya," ujar suster itu lagi saat mereka semua sudah selesai mengantar Hara dan memastikan kondisinya stabil. Kalimat yang disambut oleh anggukan Ari."Selamat, Ra." Ari menyapa Hara. Wajah perempuan itu pucat, tapi dia terlihat bahagia. Binar di matanya mengatakan itu."Makasih, Ri." Hara tersenyum. "Kak Sananta sudah ada kabar?""Belum, Ra
TPD 88"Jadi, gimana kita pulang?" Setelah beberapa menit berlalu dari keterkejutan itu, pertanyaan Mbak Mira terdengar dari arah belakang. "Sepertinya kita tak bisa pulang malam ini." Ari yang menyahut."Memangnya gak ada jalan memutar gitu, ya, Mas?" Mbak Mira memanggil Ari dengan sebutan Mas walaupun dia lebih tua. Katanya sungkan jika harus panggil nama."Ada, Mbak. Memutar jauh ke atas bukit Tapi sebagian besar masih jalan tanah. Dan hujan begini kita nggak bisa bawa Hara melewatinya.""Jadi ....""Kita putar balik lagi aja. Cari penginapan dulu. Setuju, 'kan, Ra?"Aku yang bersandar ke jok mobil menegakkan kepala perlahan. Mobil masih parkir di pinggir jalan, sementara hujan masih belum menampakkan tanda-tanda akan berhenti. Perutku tak nyaman. Seperti kram, dan aku tak mau berpikiran buruk, tapi saat bergerak, sakit itu terasa lagi."Kamu baik-baik saja?" Suara Ari terdengar menuntut. Mungkin dia melihat rautku yang berkedut."Ti ..." Aku baru saja akan mengatakan tidak, ketik
TPD 87"Hei, Hara. Kenapa kau menuduhku seperti itu? Aku tidak berkomplot dengan siapapun apalagi mertuamu seperti tuduhanmu itu. Bukankah kau sendiri yang memberikan surat kuasa itu? Kalau bukan karena surat kuasamu, bagaimana bisa aku melakukannya? Bukankah kau sudah mengamankan semuanya dariku?" Sudah kuduga. Bibi Sartika akan terus mengelak. Entah kenapa pula aku masih terus ingin mendengar pengakuan dari mulutnya. Sesuatu yang tentu saja akan sulit terjadi."Aku mendengar sendiri apa yang Bibi bicarakan dengan Tuan Saddil, hanya saja aku tidak sempat merekamnya." Aku tersenyum kering. "Kau selalu mengada-ada, Hara. Apa sekarang kau merasa menyesal menjualnya, lalu kau ingin mencari gara-gara denganku lagi?" Mata berhiaskan eye liner tebal itu menatapku tajam. "Tidak. Aku tidak mencari gara-gara. Aku hanya ingin bertemu dengan Bibi, melihat kebenaran secara langsung dari wajah kalian. Bukankah ketika itu Bibi meneleponku dan m
"Aku tidak pernah pergi, Hara," jawabnya dengan muka penuh kepalsuan. Matanya jelas memindaiku dan dua orang yang bersamaku."Oh ya? Aku masih ingat seorang perempuan mengaku ibumu menangis minta bantuan karena kau melarikan semua hartanya. Apakah kalian sudah baikan?" "Wah, wah. Sepertinya kau sangat sinis padaku, Hara. Padahal aku benar-benar senang melihatmu lagi. Apakah kau tidak bahagia dengan pernikahanmu? Wajahmu terlihat kuyu.""Di mana ibumu?" tanyaku berusaha tak terprovokasi dengan kata-katanya. "Kenapa kau masih bertanya? Bukankah kau telah membuangnya begitu saja? Ah ya ... kudengar kau akhirnya menjual juga kebunmu itu setelah omong kosongmu yang setinggi langit itu. Sudah kuduga. Siapa sih, yang tak tergoda oleh uang?"Aku mengepalkan tangan mendengar kata-kata tenang tapi menusuk dari Ferdinand. Nampaknya dia berusaha terus membuatku kena mental dengan sikapnya."Eh. Kau menjual atau memberinya secara
Si Ari benar-benar membuat penasaran. Tapi dia kukuh mingkem menjaga rahasianya. Sebal sekali rasanya ketika mengetahui dia menyimpan sesuatu serapat itu dariku.Namun, kemudian aku menyadari jika antara aku dan Ari telah banyak berubah. Kami bukan dua orang anak kecil lagi yang biasa teriak-teriak kalau mau pamit pipis. Ari ada di sini, mungkin memang karena kebutuhan batinnya untuk memastikan aku tetap aman, tapi untuk urusan hati dan pribadinya, kami jelas memiliki jarak. Apalagi dengan statusku yang sudah bersuami.Dan aku tentu harus bersyukur dan berterima kasih, meski ketika terbangun di hening malam, sesuatu selalu saja menyelinap di hatiku. Perasaan was-was dan tak nyaman terkait Ari. Takut dengan ancaman Tuan Saddil tapi mencoba percaya penuh pada Kak Sananta.Waktu berlalu dengan kegelisahan dalam senyap itu. Juga tentang hatiku yang tak jua siap untuk melihat sebentar saja ke kebunku yang telah menjadi area tambang itu. Sementara rind
"Untuk saat ini, berdamai dengan kenyataan adalah yang terbaik, Ra. Ingat apa yang kamu perjuangkan sekarang, lebih besar dari apa yang mungkin telah hilang," ujar Ari mengingatkan. Mungkin dia paham apa yang kurasakan saat melihat tanganku memegangi perut."Setelah kamu melahirkan dan semuanya lancar, barulah kita bisa pikirkan lagi langkah selanjutnya. Okey?""Lalu bagaimana dengan berkas yang kukirimkan pada Tuan Saddil? Bukankah aku sudah memulainya?" Aku putus asa sekarang. Aku tahu maksud Ari baik, tapi aku merasa semua yang akan kulakukan kini terlihat sia-sia."Untuk sementara, kamu bisa tetap berpura-pura. Pura-pura tak tahu apa yang sudah kamu ketahui. Lagipula, itu cuma proposal sedikit ganti rugi untuk warga, 'kan? Aku berani bertaruh, Tuan Saddil akan menyetujuinya begitu membaca namamu tertera di sana.""Atau bisa jadi dia akan ke sini untuk mengancamku." Kepercayaan diriku kemarin telah lenyap tak bersisa. Aku masih selabi
"Aku menemukannya." Seusai sarapan, aku menghampiri Ari di ruang tengah tempat dia biasa membuka laptop. Di samping pria itu terdapat sepiring cemilan dan cangkir kopi."Apa?" tanggapnya tanpa menoleh."Ini." Kusodorkan foto lama yang bahkan warnanya mulai memudar. Ari mengerutkan keningnya sejenak. Tentu saja dia tak akan mengenali orang itu dengan mudah. Dia tak pernah bertemu langsung dan hanya sempat melihatnya di galeri ponsel fotoku beberapa kali. Lagipula, penampilannya sangat jauh berbeda dengan yang sekarang."Siapa?" Ari menyerah. "Tuan Saddil." Ari membesarkan bola matanya, lantas mengambil foto yang kuletakkan di atas meja dan mendekatkan ke wajahnya. "Kenapa beda sekali?""Tentu saja. Yang ini dia gondrong, yang sekarang botak. Ini juga pakai kumis, sekarang semuanya licin."Di samping Tuan Saddil, ayahku nampak tersenyum lebar. Dan ini bukan hanya foto satu-satunya bersama Tuan Saddil.
Cukup lama kami berada di gudang itu. Mungkin sudah lebih satu jam. Aku sudah mendapatkan setumpukan benda yang akan kubawa. Kunaikkan kembali kardus-kardus itu ke tempatnya. Tapi perutku yang besar sedikit membuatku kerepotan. Beban pas mengangkat tidak sama ketika hanya mengambilnya turun.Sementara Bu Sarmiah yang lebih pendek dariku merapikan rak yang lebih rendah."Biar aku saja." Ari mendekat. Aku sedikit bergeser ke samping. Pemuda itu lincah menaikkan beberapa kardus ke atas. Prang.Suara benda bersenggolan terdengar seiring sesuatu menimpa pucuk kepalaku."Aduh." Aku menjengit, sakit dan kaget. Sepertinya sesuatu tersenggol oleh kardus yang dinaikkan Ari hingga isinya berhamburan di lantai disertai suara berisik."Nona!""Kamu tak apa?" Ari tergopoh mendekat. Memeriksa kepalaku dengan raut cemas."Tak apa. Cuma sedikit kaget. Apa sih itu tadi?" Puncak kepalaku terasa panas dan perih. Aku bahk
Sambungan di ujung telepon hening sesaat. Sebelum akhirnya beberapa detik kemudian terdengar lagi suara."Tak ada tanggapan sama sekali?" Suara Kak Sananta terdengar hilang-hilang timbul. Jaringan nampak sekali tidak stabil. "Tidak. Pihak pertambangan menutup akses untuk bertemu dengan masyarakat. Aku tidak tahu akan separah ini. Apakah dunia tambang memang seperti ini?" Aku mengembuskan napas pelan. "Biasanya tidak seperti ini. Tetap ada dana khusus yang dialokasikan untuk kesejahteraan masyarakat setempat. Nanti aku akan mengurusnya lagi. Kamu tenang saja."Percakapan kami kemudian beralih lagi ke hal remeh temeh. Rasanya cukup lega mengetahui Kak Sananta tiba dengan selamat. Dia sudah langsung terjun ke proses pengolahan lahan hingga kami tak memiliki banyak waktu luang untuk bercerita. Kubayangkan jika Kak Sananta yang mengepalai proses pertambangan kebunku. Tapi kemudian andaian itu segera kuenyahkan. Jika Kak Sananta ya