Home / Romansa / TERJEBAK PERNIKAHAN DADAKAN / Chapter 61 - Chapter 70

All Chapters of TERJEBAK PERNIKAHAN DADAKAN: Chapter 61 - Chapter 70

89 Chapters

61. OBROLAN

"Kenapa sudah duduk aja, Kak?" Suara Riang terdengar dari balik selimut. Dia bergelung seperti bola. "Masih pagi sekali. Azan Subuh belum lagi terdengar."Kukira aku tertidur di jam lima, tapi sepertinya jam empat. Karena setelah sempat terpejam nyatanya belum masuk waktu Subuh. Entahlah, tak ada guna juga jam berapa dan berapa menit aku tidur, toh endingnya sering seperti ini. Bangun tiba-tiba sementara orang lain masih asyik tidur."Maaf kalau kakak ganggu kamu, ya," ucapku pelan. Sejak pertama tinggal di sini, kami memang sekamar karena di sini cuma ada dua kamar. Satu milik Kak Ratna, satu lagi Riang. Awalnya gadis itu sungkan karena ingin memberikanku privasi, tapi aku memaksanya dan ikut tidur di luar jika dia tak mau di dalam kamar. Riang setuju dan terlihat baik-baik saja. Bahkan seringkali menjelang tidur, kami bercerita-cerita. Membicarakan hal-hal ringan dan sebagainya."Enggak. Aku memang sudah terbangun juga dari tadi. Dingin banget.
Read more

62. TAK MENYANGKA

Cepat-cepat aku mengucap menyadari pikiranku barusan, lalu segera beranjak ke kamar mandi. Langit masih kelabu dan begitu aku keluar dari kamar mandi yang terpisah dengan rumah utama itu sudah mulai terlihat terang di ufuk timur. Jika lewat dapur, hanya butuh beberapa langkah saja, tapi pagi yang syahdu ini aku mendadak ingin menikmati suasana dengan lewat ke halaman depan.Aku sejenak berhenti di halaman, dengan ember sabun masih terjinjing di tangan. Menghirup udara segar sambil menatap lautan. Pagi yang tenang dengan penerangan beberapa lampu dari teras rumah yang tidak terlalu dekat. Beberapa titik di kejauhan terlihat di atas perairan yang diam. Berkelap-kelip, mungkin itu kapal nelayan, atau motorboat trip pertama. Biasanya motorboat yang datang di Subuh seperti ini bermuatan para pedagang. Riang pernah bilang padaku.Lalu ingatanku kembali pada masalahku. Pada tiga lelaki yang sudah mengetahui keberadaanku. Lalu kecemasan datang, berharap Ari
Read more

63. MAAF

"Aku tidak akan memaafkanmu. Aku akan membunuhmu jika anakku kenapa-napa," desisku tajam. Setelahnya air mataku yang mulai kering kembali merebak."Aku akan menerimanya. Aku akan menerimanya," tangisnya pecah. Aku memalingkan wajah. Berusaha agar air mataku tak terlihat olehnya. Aku lelah. Lelah sekali."Hara," sentuhan lembut terasa di pipiku. Kubuka mata dan wajah Kak Ratna terpampang di sana. Sedari tadi Kak Ratna hanya bersidekap tak jauh dari tempatku berbaring. "Jangan tidur, oke? Sebentar lagi kita sampai. Bertahanlah. Kamu pasti kuat."Aku mengangguk pelan. Tentu saja, aku harus bertahan apapun yang terjadi, agar bayiku juga bisa merasakan tekadku dan berjuang di dalam sana."Dan maaf, Mas. Tolong berhenti mengajaknya bicara. Mungkin itu bagus untuk membuatnya tetap terjaga, tapi sepertinya dia kurang nyaman dengan itu. Kondisinya bisa bertambah buruk nantinya."Aku tak melihat ekspresi dua orang yang membersam
Read more

64. KESEMPATAN?

Ari akhirnya datang, persis saat aku selesai makan dan minum obat. Kehadirannya serta merta mengangkat beban tak kasat mata yang menindih bahu dan kepalaku. Melihatnya, seolah menemukan oase dan memberikan rasa aman.Lalu pikiranku sempat melayang, jika saja masih ada orang tua, tentu aku tak akan setergantung ini pada Ari. Bagaimana jika suatu hari nanti, Ari pun meninggalkanku?"Kamu baik-baik saja, 'kan? Kenapa bisa begini?" Nada khawatir tak mampu disembunyikan Ari. Wajahnya berkeringat dan napasnya sedikit terengah. Mungkin dia menempuh jarak pelabuhan dan puskesmas yang lebih kurang tiga ratus meter dengan berlari."Aku baik-baik saja. Hanya schok dan .... kamu tahu, aku ketakutan melihatnya." Aku mungkin egois. Memberikan seluruh bebanku agar dipikul oleh Ari. Seharusnya pria yang tadi kuusir dari sini yang menanggungnya. Seandainya saja tidak ada drama seperti ini.Aku salah apa, ya, Tuhan?Kukira hidup gersang dan terte
Read more

65. BIMBANG

"Kalian bicarakanlah yang terbaik, Hara. Walaupun Sananta sungguh-sungguh tak terlibat, aku tentu tak akan melepasmu begitu saja. Aku akan meminta Sananta benar-benar menjagamu. Terutama dari ayahnya.""Apa Kak Sananta akan percaya pada apa yang kukatakan? Nanti dia malah tersinggung dan menganggapku memfitnah ayahnya. Apalagi tak ada bukti apapun. Kalau saja aku memfoto sketsa itu, mungkin aku punya sesuatu. Sayang sekali aku lupa melakukannya.""Kurasa masalah kalian bukan lagi mengedepankan tersinggung atau tidak. Kepercayaan yang lebih penting. Tapi jika nanti memang semuanya terbukti, mungkin kamu akan perlu untuk mengambil keputusan yang lebih besar lagi.""Apa kamu menyuruhku berdamai dengan Kak Sananta?" "Aku hanya mencoba menyarankan yang terbaik menurutku, Hara. Bagaimanapun ikatan kalian bukanlah permainan, apalagi sekarang ada bayi di antara kalian. Semua yang mungkin, patut dicoba.""Rasanya aku masih tak sang
Read more

66. KESALAHAN BESAR

"Tidak, Mbak. Pak Bos bilang ini antara dia dan menantunya. Dan saya menghormati privasinya."Aku berusaha keras menyembunyikan keteganganku. Kata-kata Andreas memberitahuku bahwa dia tidak membocorkan apapun pada Kak Sananta. Apa yang ada dalam surat ini?"Tolong diterima, Mbak." Andreas mengangsurkan map berwarna cokelat itu. Aku terpaksa menerima dengan kaku."Saya permisi, Mbak."Aku mengangguk tipis bersama ketakutanku yang kembali merayap. Apa yang coba dikirimkan Tuan Saddil tanpa sepengetahuan Kak Sananta?Ancaman. Mana mungkin dia akan meminta maaf. Suara di kepalaku berbunyi sumbang.Aku kembali, maka perseteruan sebenarnya akan dimulai. Kurasa, Tuan Saddil mengirimkan serangan pendahuluan.Jika saja aku memberikan map ini pada Kak Sananta, dan biarkan dia yang membukanya. Kira-kira, apa yang akan terjadi?Tapi jika benar ini ancaman, tentunya pasti ada sebuah konsekuensi jika aku tidak menur
Read more

67. KEMBALI

Seminggu kemudian. Aku sudah berada di sini lagi, memandang sekeliling dengan seksama. Meja makan dengan hidangan lengkap. Lama tak berada di sini bukannya membuat aku rindu, tapi ketakutan yang sama kembali. Hanya saja, kali ini aku tak ada pilihan lagi."Aku minta maaf, Pa," ujarku pelan pada lelaki di ujung meja. Pertemuan pertama setelah menantunya membuat huru-hara. Jelas, ini bukan dari hatiku, tapi aku harus melakukannya."Tak apa. Aku mengerti. Dan ke depan jangan diulangi lagi." Matanya menyorot datar, tapi aku bisa merasakan ancaman di sana."Ya."Kak Sananta duduk di sampingku, lalu mengambilkan makanan ke piringku. Kemudian kami makan bersama seperti tiga bulan lalu. Aku tak berselera, tapi inilah lakon yang akan aku jalani entah sampai kapan.Tak ada pilihan kecuali mencoba kuat. Kuat dan bertahan dalam situasi ini. Sambil berdoa semoga Tuhan membalas semua yang terjadi padaku ini, suatu hari nanti.Kembali
Read more

68. PERMINTAAN

"Selama itu?" tanyaku tak menyangka."Biasanya juga begitu. Bahkan ada yang lebih lama."Aku terdiam lagi. Tentu saja aku sudah menduga bahwa dengan posisinya sekarang Kak Sananta sering bepergian dan terjun ke lapangan sampai beberapa waktu. Namun, untuk LDR selama tiga bulan dalam keadaan hamil seperti ini, dengan kondisi kehamilan yang membutuhkan obat penguat secara berkala, dan dengan keadaanku yang ...."Lalu ... aku bagaimana?" Aku tak bisa menyembunyikan kengerian. Di rumah ini tanpa ada Kak Sananta? Aku merasa gentar."Aku pasti akan pulang saat kamu akan melahirkan nanti. Kita juga tetap bisa terhubung dengan ponsel.""Tak bisakah aku ikut? Tinggal di barak atau di mana juga tak apa." Ini terdengar konyol. Tapi memang kuakui kekuatanku kembali karena ada Kak Sananta di sisiku. "Tapi kamu sedang hamil, Sayang. Di sana pasti kurang nyaman, terutama untuk fasilitas kesehatan karena lokasinya jauh di pedalaman."D
Read more

69. IZIN

Hatiku mencelos. Tak ada harapan Kak Sananta akan tahu perilaku papanya dalam waktu dekat. Bahkan sangat jelas jika Tuan Saddil tak memberi izin, maka aku harus tetap di sini. Kak Sananta tak akan melakukan apapun untuk melawan kehendak papanya.Wajar. Sangat wajar jika Kak Sananta pergi, maka ayahnya yang akan menjaga menantunya yang sedang hamil. Namun, itu jika keadaan normal, bukan seperti situasiku dengan Tuan Saddil.Aku sangat yakin, Tuan Saddil tidak akan memberikanku izin. Dia pasti sudah merencanakan hal lain lagi untuk memberikan tekanan padaku selama anaknya tak ada."Itu artinya aku akan tetap di sini, 'kan?" Aku gagal mencegah nada getir dalam suaraku. "Permintaanku sia-sia, 'kan?" Lalu air mataku meluncur begitu saja. "Hara, maksudku...." Kak Sananta tampak kelabakan saat aku menangis. Aku tak mencoba berpura-pura. Tangis ini adalah bentuk frustasiku yang ingin lepas dari jerat Tuan Saddil walau untuk sementara saja."Seha
Read more

70. PERJALANAN

Hari yang ditentukan itu tiba. Sehari sebelum Kak Sananta berangkat, dia mengantarku ke kampungku. Perjalanan darat selama lima jam lebih. Untunglah kandunganku sudah lebih kuat lagi daripada bulan kemarin, saat aku dibawa kembali dari pulau. Ketika itu, butuh dua hari barulah aku sampai di rumah, karena setiap kami transit, aku akan istirahat dulu.Perjalanan ini mengingatkanku pada Riang. Apa kabarnya gadis itu? Baru sebulan, tapi aku sudah merindukannya. Aku akan mengabarinya nanti, mengirim surat atau menelepon nomor telepon satelit koperasi pulau. Siapa tahu dia bisa menemaniku nanti.Masih kuingat wajah Tuan Saddil saat kami pamit. Datar dan tenang. Tak nampak riak di wajahnya sehingga aku kesulitan mengira-ngira reaksinya. Sejak kejadian itu, belum ada konfrontasi langsung kami. Dia bungkam seperti tak pernah melakukan apapun, begitupun aku yang meski selalu deg-degan, merasa lebih baik dia tak mengatakan sesuatu. Kami seolah menyimpan api dalam se
Read more
PREV
1
...
456789
DMCA.com Protection Status