“Abah…,” ucap Zalfa lirih.Berkali-kali tangan yang tergolek lemah itu dicium dengan penuh takdzim.“Maafkan Zalfa, Bah. Maafkan semua keegoisan Zalfa, tidak seharusnya kemarin Zalfa bersikap begitu ke Abah,” suara parau Zalfa mengisi ruangan.Lagi-lagi tangisnya pecah.“Nggak apa-apa, Nduk. Abah paham, jangan nangis ya. Abah nggak apa-apa kok,” jawab Kiai Yahya.“Abah ini juga kok sukanya bikin orang rumah cemas, tiba-tiba drop. Umi juga panik loh, Bah.” omel Umi Ulfah setelah melihat suaminya siuman.“Didoain saja, Nduk. Jangan kamu tangisi terus, lama-lama air matamu kering nanti kalau nangis terus,” cicit Umi Ulfah menatap Zalfa.“Zalfa mau menurut sama abah, Zalfa mau menikah dengan Gus Zilal. Abah cepat sehat ya, Zalfa nggak bisa melihat abah begini,”Kiai Yahya hanya tersenyum melihat putri sulungnya. Bola matanya seperti mengalirkan ketenangan.“Maafkan abah juga, Nduk. Sebenarnya, abah tidak bermaksud untuk memaksa kamu. Tapi, memang sudah waktunya kamu menikah. Firasat abah
Baca selengkapnya