“Sudah, Ning? Mau ditemani ke mana lagi?” tanya Lina sembari menyerahkan satu botol minuman.
“Ehm, nggak sih. Nggak mau ke mana-mana lagi, kita langsung pulang saja, Mbak.”
“Gimana kalau kita sarapan dulu, Ning. Dari tadi kan Ning Zalfa juga belum makan apa-apa, malah sudah olahrga naik tangga banyak banget,” usul Lina.
“Boleh juga, aku juga kayanya laper, Mbak. Cape nangis dari kemarin,” timpal Zalfa.
“Oke. Yuk aku ajak ke tempat makan favoritku kalau habis ziarah!”
Keduanya masuk ke dalam mobil dan melanjutkan perjalanan menuju rumah makan. Hanya butuh waktu sebentar. Area tempat itu masih dalam kawasan Muntilan.
“Mau pesan apa, Ning? Di sini semua enak, yang aku suka sih Mangutnya, Ning. Dijamin lezat!”
“Mbak sering ke sini ya?”
Perempuan itu mengangguk mantap. Di sini, di warung makan bernama Iwak Kali Idaman, Zalfa dan Lina menghabiskan waktunya. Tempat dengan segala kenyamanan dan makanan desa yang memang dikenal sangat lezat. Gubug makanan idaman ini terlihat sangat sederhana, namun sangat menarik. Zalfa menikmati sarapannya dengan memandang Jembatan Gantung Srowol yang terlihat dari tempatnya duduk.
“Indah banget ya, Mbak pemandangannya. Makanannya juga enak,” ucap Zalfa sangat menikmati.
“Nah kan. Bener enak to?”
Zalfa tersenyum.
“Hmm, lega rasanya lihat Ning Zalfa bisa seneng begini. Aku khawatir banget lho, Ning. Dari kemarin sampeyan nggak mau makan, mengurung diri di kamar lagi.”
“Maaf ya, Mbak. Mbak Lina jadi ikut mikirin aku,”
“Aku bener-bener merasa lagi di ujung jalan, Mbak. Nggak tau harus berbuat apa, menurut Mbak Lina tentang perjodohanku ini gimana, Mbak?”
“Gimana ya, Ning. Mbak sih gak bisa komentar banyak ya, tapi Mbak yakin sih kalau Abah Yahya ini melakukan semuanya untuk kebaikan Ning Zalfa.”
“Walaupun tidak memikirkan bagaimana perasaan anaknya?!”
“Ini menurutku lho ya, Ning. Menurutku saja. Justru Abah ini ya memikirkan kebaikan sampeyan, Ning. Kita kan nggak tau apa yang akan terjadi nanti? Mungkin sekarang ini ya, menikah adalah jalan yang paling baik untuk sampeyan.”
“Kalau masalah perasaan, hmm … memang berat ya, Ning. Apalagi kalau kita ternyata suka sama orang lain.”
Deg.
Ada desir yang bergelayut dalam diri Zalfa. Ucapan Mbak Lina sungguh seperti ujung panah yang tepat sasaran.
“Tapi, Ning. Aku pernah dengar dari seseorang tentang cinta, katanya cinta itu bisa dipelajari. Asal dari kita ada kemauan,” tutur Mbak Lina lembut.
-0-
Sementara di rumah, Kiai Yahya terus memikirkan Zalfa. Meski bisa dibilang tegas dalam mendidik anak, laki-laki sepuh ini sebenarnya amat menyayangi putrinya. Dia yakin Zilal orang yang tepat untuk Zalfa. Firasatnya jarang meleset, terlebih dia sudah mengenal anak sahabatnya itu sudah lama. Tubuh laki-laki itu tiba-tiba gemetar hebat, pandangannya semakin buram.
“Bah…, Abah nggak apa-apa?” tanya Umi Ulfah yang tidak sengaja melihat suaminya pucat.
Namun, tidak sampai satu menit Umi Ulfah bertanya, tiba-tiba…
Bruk!
“Abah…!” teriak Umi Ulfah.
Dengan sigap Umi Ulfah menghampiri Kiai Yahya yang tergeletak lemas.
“Faiz…, Faiz!” jerit Umi Ulfah memenuhi ruangan.
Tidak lama Faiz pun datang bersama salah satu santri putra. Membantu Umi Ulfah membawa Kiai Yahya ke rumah sakit. Ada tiga santri yang ikut menemani Ulfah. Mereka memutuskan membawa Kiai Yahya ke rumah sakit terdekat.
Umi Ulfah memang sudah mewanti-wanti Kiai Yahya agar tidak terlalu memikirkan perjodohan Zalfa, karena memang kondisi fisik suaminya sering drop. Riwayat penyakitnya sering kali menjadi masalah utama dalam kesempatan mendesak seperti ini.
-0-
“Abah! Abah di mana, Mi? bagaimana keadaannya?!” tanya Zalfa beruntun.
“Masih ditangani dokter, Nduk,” jawab Umi Ulfah lemas. Tangannya sejak tadi menghitung dzikir, mencoba tetap tenang namun tidak bisa. Hatinya cemas bukan main melihat suaminya begitu lama ditangani oleh dokter.
“Bagaimana ini bisa terjadi, Mi?!”
“Faiz! Jelaskan! mengapa Abah bisa drop lagi? Tadi kamu bilang Abah cuma pingsan, tapi kenapa dokter nggak keluar-keluar?!” seru Zalfa yang mulai lemas.
Yang ditanya tidak menjawab, laki-laki muda itu hanya mencoba memberi kakaknya tempat duduk. Sepertinya dia tau, saudara perempuannya sedang menahan lelah mati-matian. Mungkin bisa dibilang lelah fisik dan batin. Bagaimanapun juga semua ini berawal dari dirinya yang ingin menikahi seorang gadis.
Faiz tadinya sempat berpikir untuk tidak ingin memberi kabar ini ke Zalfa, namun Umi Ulfah melarang. Baginya kabar abahnya masuk rumah sakit harus didengar Zalfa, agar tidak menjadi bumerang nanti. Dengan segala cara, Faiz mencoba menghubungi kakaknya dengan baik. Tenang dan meyakinkan abahnya baik-baik saja. Tapi, nyatanya reaksi Zalfa tetap saja cemas dan panik akut.
“Tenangkan dirimu dulu, Nduk. Kita doakan abah nggak apa-apa ya!” tutur Umi Ulfah.
“Ta… tapi…”
Belum selesai Zalfa bicara, derit suara pintu terbuka terdengar.
Seorang Dokter dan dua perawat keluar dari ruang kamar Kiai Yahya.
“Keluarga pasien Pak Yahya!” panggil Sang Dokter.
“Iya, Dok. Kami di sini,” jawab Faiz.
Seluruh keluarga menghampiri dokter tersebut. Dengan cemas hati mereka menunggu kabar keadaan laki-laki sepuh yang sedang terbaring di bangsal.
“Bagaimana keadaan abah saya, Dok?” tanya Zalfa menerobos.
“Setelah melalui pemeriksaan, keadaan Pak Yahya saat ini cukup baik. Tidak apa-apa, hanya saja tekanan darahnya terlampau tinggi. Sebaiknya pasien tidak diberatkan dengan masalah-masalah yang berat dulu ya, Kak, Bu,” jelas Dokter.
“Alhamdulillah,”
“Apa saat ini saya sudah bisa ketemu abah, Dok?” ucap Zalfa menggebu.
“Bisa, tapi mohon jangan terlalu banyak orang di ruangan pasien ya. Sepertinya Pak Yahya butuh istirahat yang cukup,”
“Baik, Pak Dokter. Terima kasih,” kata Umi Ulfah.
Tanpa berlama-lama, akhirnya gadis berkulit putih itu menerobos ruang kamar abahnya. Bibirnya kelu, air matanya deras mengucur. Tangannya gemetar menyentuh punggung tangan Kiai Yahya.
“Abah…,” ucap Zalfa lirih.
“Abah…,” ucap Zalfa lirih.Berkali-kali tangan yang tergolek lemah itu dicium dengan penuh takdzim.“Maafkan Zalfa, Bah. Maafkan semua keegoisan Zalfa, tidak seharusnya kemarin Zalfa bersikap begitu ke Abah,” suara parau Zalfa mengisi ruangan.Lagi-lagi tangisnya pecah.“Nggak apa-apa, Nduk. Abah paham, jangan nangis ya. Abah nggak apa-apa kok,” jawab Kiai Yahya.“Abah ini juga kok sukanya bikin orang rumah cemas, tiba-tiba drop. Umi juga panik loh, Bah.” omel Umi Ulfah setelah melihat suaminya siuman.“Didoain saja, Nduk. Jangan kamu tangisi terus, lama-lama air matamu kering nanti kalau nangis terus,” cicit Umi Ulfah menatap Zalfa.“Zalfa mau menurut sama abah, Zalfa mau menikah dengan Gus Zilal. Abah cepat sehat ya, Zalfa nggak bisa melihat abah begini,”Kiai Yahya hanya tersenyum melihat putri sulungnya. Bola matanya seperti mengalirkan ketenangan.“Maafkan abah juga, Nduk. Sebenarnya, abah tidak bermaksud untuk memaksa kamu. Tapi, memang sudah waktunya kamu menikah. Firasat abah
Waktu berlalu begitu cepat, tidak terasa puncak resepsi akan digelar esok hari. Semua persiapan sudah siap, hanya membutuhkan sentuhan akhir saja. Katering yang dipesan juga sedia jika harus menambah porsi. Cukup menunggu aba-aba dari keluarga besar pengantin. Namun, bukan Umi Karimah namanya jika harus santai tanpa bergerak. Dia menyibukkan diri kembali dengan menambah menu resepsi yang cukup tidak biasa. Benar, kali ini wanita itu baru saja lega karena Katering Mangut Beong dan Nasi Lesah siap menerima orderannya.“Umi… habis ini sudah nggak kemana-mana lagi kan?” tanya Zilal yang baru saja duduk setelah kembali menemani Umi Karimah mencari Katering Mangut Beong dan Nasi Lesah.Memang sejak kemarin, Ibundanya sudah meminta izin kepada Kiai Yahya untuk menambah menu makanan di resepsi. Mengingat, resepsi pernikahan kali ini akan digelar hanya sekali. Tidak ada acara ngunduh mantu, sesuai dengan kesepakatan kedua keluarga.“Nggak, Le. Habis ini kamu istirahat saja di rumah.” jawab Umi
Pucuk-pucuk daun nampak masih meneteskan butiran air sisa hujan tadi. Sore ini Magelang diguyur hujan. Hawa dingin dan sejuk juga sangat terasa meski di dalam rumah. Tapi entah mengapa sekarang Zalfa seperti tidak menikmati angin kesegaran ini. Angannya masih menerawang perlakuannya pada Zilal yang seperti di luar kendali.“Sudah benarkah apa yang aku lakukan? Ah, kenapa aku jadi mikirin perasaan dia?” gumam Zalfa.Lama sekali dia duduk di taman kecil rumahnya. Memang, bagian samping rumah Zalfa ada sedikit tanah yang sengaja Umi Ulfah rancang sebagai taman bunga. Ada berbagai jenis tanaman bunga di sana.“Apa mungkin takdirku ini menikah dengan Zilal?” tanya Zalfa menatap Bougenvil putih.Terkadang jika suasana hatinya sedang tidak baik, Zalfa sibuk berdiam diri di sini. Entah sambil murojaah hafalan, baca buku, atau sekedar menulis apa isi hatinya yang tertuang dalam sebuah karya. Gemericik suara air yang sengaja dibuat seperti air terjun di dalam kolam ikan menambah syahdu suasana
Masjid pondok pesantren Kiai Yahya penuh dengan orang-orang yang ingin menyaksikan proses akad nikah Zilal. Pusat akad nikah dihias cantik dengan dekorasi kecil berwarna biru putih. Sesuai dengan warna kesukaan Zalfa. Ada dua meja dan beberapa kursi lesehan yang akan digunakan untuk duduk para Kiai.“Tempat ini akan menjadi saksi aku meminangmu, Ning!” gumam Zilal lirih.Para Kiai dan kedua keluarga sudah siap. Nampak di sana Zilal sudah berhadapan dengan Kiai Yahya. Di sekelilingnya ada kedua keluarga besar, masyarakat, dan para santri yang turut serta ada di area masjid.“Ankahtuka wazawwajtuka makhtubataka binti Zalfa Fitria Nazma alal mahri milyunu rubiyyata hallan.”“Qobiltu nikahaha wa tazwijaha bil mahri milyunu rubiyyata hallan.”“Bagaimana saksi? Sah?!”“Sah!!”Riuh rendah ramai orang berteriak ‘Sah’ membuat hati Zilal bergetar hebat. Saat ini, di tempat ini, Ia berjanji di hadapan penciptanya untuk menjadi seorang laki-laki yang berstatus suami. Di waktu ini, Ia juga berjan
“Hei, Zalfa!”Deg.Mendengar panggilan dari suara yang sudah lama Ia nantikan, Zalfa membeku sepersekian detik. Tangannya gemetar. Dingin. Rasa yang telah lama dipendam seperti muncul lagi ke permukaan. Gurat kecewanya silih berganti dengan rindu. Lelaki itu datang kembali setelah dia memutuskan untuk melupakannya.“Halo, Zal. Masih ingat aku?” ucap Zain.Raut mukanya pias. Senyum palsu yang sekian lama Ia latih untuk pertemuan ini nampaknya tidak berjalan mulus.“Eh… Iya. Ma… masih kok, Kak Zain kan?” balas Zalfa setengah bergetar.“Selamat atas pernikahanmu, Zal.”“Aku tidak menyangka, perjuanganku selama ini akan berakhir begini. Andai kamu mau bersabar sedikit lagi. Sekali lagi selamat,” tutur Zain sembari pergi meninggalkan Zalfa.Diam. Membeku. Begitulah Zalfa sekarang. Air matanya lolos setelah mendengar kata selamat dari lelaki itu. Begitukah ucapan selamat?“Mengapa seolah aku yang salah? Bukankah dia yang begitu lama pergi?”Badannya seperti tidak kuasa berdiri. Tubuh yang s
“Huaa! Siapa ini?!” teriak Zalfa keras.Byurr... satu gelas air tanpa sengaja tumpah.Dengan cepat Zilal bangun dengan memasang kuda-kuda. Kaget bukan main. Jiwanya masih dalam alam bawah sadar.“Apa? Ada apa, Ning?!” jawab Zilal amat kaget.Zalfa hanya terperangah melihat laki-laki itu bangun dari tempatnya dengan wajah basah akibat ulahnya. Sementara Zilal masih berusaha memulihkan kendali sadar.“Mas Zilal?!”“Iya, Ning. Ini saya,” kata Zilal lembut. Berusaha meyakinkan Zalfa.“Mas kok tidur di sini sih? Kan aku sudah bilang di dalam perjanjian itu!”“Saya kan cuma tidur, Ning. Di perjanjian nggak ada larangan untuk tidur kan?” tanya Zilal polos.“Huh! Dasar mesum!” ucap Zalfa kesal.Sementara Zilal masih mencoba diam. Jujur saja dia kaget bukan main, bangun tidur wajah dan selimutnya sudah basah. Ditambah masih kena omel Zalfa.“Ning?”Zalfa tidak peduli panggilan itu. Dia langsung masuk ke dalam kamar mandi. Mengatur nafasnya yang tentu saja memburu. Bagaimana mungkin satu malam
“Apa memang semua pernikahan itu hanya berujung pada kebutuhan biologis?”“Mana yang katanya akan menemani sampai tua, hidup bersama sampai akhir. Bukankah kalimat itu hanya boleh diucapkan orang-orang tulus tanpa pamrih?”Gadis itu nampak masih diam. Matanya menatap bunga-bunga taman yang diairi aliran air terjun buatan. Mereka tidak semua bermekaran. Ada beberapa yang memang masih kuncup. Duduk dan menatap taman ini sungguh membuat hati Zalfa sedikit tenang.“Ning Zalfa…” panggil Zilal.Zalfa menoleh. Namun tidak beranjak menghampiri sumber suara.Suara derit pintu menuju taman terdengar. Iya, Zilal datang. Duduk di samping Zalfa menatap taman.“Nasib! Punya istri cantik tapi hari pertama sudah dicuekin!” seloroh Zilal.Zalfa tetap diam. Tangannya memainkan jari kukunya, seolah bingung harus bagaimana.Bisakah aku menjadi Kunang-kunang LintangmuMemberi kasih pada setiap helai rambutmuMengaliri kesegaran dalam nadiMemupuk cinta penuh artiDalam setiap langkah kecil yang kau dakiT
Jendela di rumah sederhana itu sengaja dibuka oleh Zalfa. Dia seperti sangat menikmati keindahan alam pemandangan yang memanjakan mata. Menghirup nafas dalam-dalam dan menghembuskannya pada udara segar Kejajar.“Maaf ya, Ning. Saya belum bisa buatkan rumah yang bagus buat sampeyan, kita sementara tinggal di sini dulu ya,” ucap Zilal yang mendekat.Benar saja, sesampainnya di Kejajar dua manusia itu langsung beberes dan menata sebagian barang bawaannya. Meskipun sebenarnya masih cukup berantakan, tapi setidaknya rumah ini sudah nyaman ditempati.“Aku suka kok Mas di sini. Udaranya seger banget….,”“Tapi ya rumahnya masih sederhana, Ning. Nggak kaya rumah Abah kan?”“Lho nggak apa-apa lah, malah jadi gampang beberesnya. Nggak cape.” balas Zalfa singkat.“Hahaha, bisa aja nih. Pinter banget bikin suami seneng,”“Dih, siapa yang mau buat seneng? Emang aku suka rumah ini, nggak bohong!” cebik Zalfa.“Iya… iya, gitu aja galak amat!”“Ishh!”Puas memandang hamparan perbukitan dari jendela, g
“Sudah jalan-jalannya, Ning?” tanya Zilal yang melihat Zalfa sudah kembali.“Sudah, Mas. Nih aku bawain sarapan,”“Lha iya, kan aku jadi enak ini. Tiap hari dimasakin, kalau nggak masak dibeliin sarapan. Kamu emangnya nggak bosen jalan-jalan setiap pagi?”Begitu mewahnya pemandangan Kejajar yang menyuguhkan pegunungan dan hamparan perkebunan itu tidak pernah lekang dari manik Zalfa. Waktu cepat sekali berlalu. Sudah dua minggu mereka tinggal di tempat ini. Setiap pagi, Zalfa akan meminta Kinan menemaninya berjalan-jalan mengitari perkebunan Carica. Terkadang Zilal yang inisiatif menemani gadis itu, tapi terkadang pemuda itu sudah sibuk dengan pekerjannya.“Enggak, Mas. Aku seneng banget, perkebunan yang di sebelah barat juga belum tak jelajahi semua.”“Ya jangan semua to, Ning. Kecapekan nanti kamu,”Zalfa menuju ke dapur, mengambil satu nampan Carica yang sudah dingin.“Aku seneng banget, di sini bisa setiap hari makan ini!” pekik Zalfa kegirangan. Persis seperti anak kecil.Pemuda i
Konon cinta bisa datang karena terbiasa. Seseorang juga pernah berpendapat, jika cinta juga bisa dipelajari. Namun, sebenarnya mungkin saja waktu yang berbicara. Waktu yang memupuk jiwa-jiwa kasih itu tumbuh. Waktu yang menyuburkan dahaga romantisme itu tumbuh subur. Tapi, apa benar bisa begitu, jika di dalam ruang yang sama masih ada jiwa yang lain?“Mas, mau berangkat sekarang?” tanya Nindi.“Iya ini, Dik. Besok sudah mulai ngajar. Kontrak ngajarnya juga sudah turun. Kamu baik-baik ya di rumah. Kalau ada apa-apa bisa minta tolong Bude Ida,” jawab Zain yang telah selesai berkemas.Pemuda itu sukses diterima sebagai dosen di Universitas swasta. Entah takdir atau memang kebetulan, dia diterima di kota yang sama dengan masa lalunya tinggal. Wonosobo. Tempat yang justru tidak ingin Ia hampiri. Namun, takdir berkata lain, dulu Ia sempat menaruh lamaran di sana. Biaya untuk menghidupi adiknya masih menjadi tanggungannya. Mau tidak mau dia harus mengambil pekerjaan ini.“Sudah dulu ya, Mas
Malam baru saja datang. Hawa dingin sungguh terasa masuk ke dalam pori-pori insan yang hendak meninggalkan rumahnya. Dengan berbekal jaket tebal dan kerudung pashmina, Zalfa bersikukuh ingin ikut Zilal pergi. Entahlah apa yang terjadi. Lelaki itu masih bingung. Biasanya, gadis itu akan cuek dan tidak peduli apa yang dilakukannya. “Ning, tapi kali ini kita naik motor. Soalnya, jalan utama ke toko sedang masa perbaikan. Apa kamu nggak apa-apa, ini hawanya lagi dingin banget…” “Enggak apa-apa, Mas. Kan aku udah pake jaket,” ucap Zalfa percaya diri. “Hemm… oke. Tapi, kalau nanti kedinginan jangan protes ya,” Zalfa mengangguk mantap. Keduannya menyusuri jalan kecil menuju toko. Memang, perjalanan kali ini sebenarnya tidak cukup jauh. Tapi, biasanya orang pendatang akan tidak tahan dengan hawa dingin di malam hari. Berbeda jika orang asli lokal. “Mas, memangnya mau ke toko siapa sih?” tanya Zalfa. Zilal masih fokus mengendarai motor. Suara angin dan karena memakai helm, pria itu tidak
Jendela di rumah sederhana itu sengaja dibuka oleh Zalfa. Dia seperti sangat menikmati keindahan alam pemandangan yang memanjakan mata. Menghirup nafas dalam-dalam dan menghembuskannya pada udara segar Kejajar.“Maaf ya, Ning. Saya belum bisa buatkan rumah yang bagus buat sampeyan, kita sementara tinggal di sini dulu ya,” ucap Zilal yang mendekat.Benar saja, sesampainnya di Kejajar dua manusia itu langsung beberes dan menata sebagian barang bawaannya. Meskipun sebenarnya masih cukup berantakan, tapi setidaknya rumah ini sudah nyaman ditempati.“Aku suka kok Mas di sini. Udaranya seger banget….,”“Tapi ya rumahnya masih sederhana, Ning. Nggak kaya rumah Abah kan?”“Lho nggak apa-apa lah, malah jadi gampang beberesnya. Nggak cape.” balas Zalfa singkat.“Hahaha, bisa aja nih. Pinter banget bikin suami seneng,”“Dih, siapa yang mau buat seneng? Emang aku suka rumah ini, nggak bohong!” cebik Zalfa.“Iya… iya, gitu aja galak amat!”“Ishh!”Puas memandang hamparan perbukitan dari jendela, g
“Apa memang semua pernikahan itu hanya berujung pada kebutuhan biologis?”“Mana yang katanya akan menemani sampai tua, hidup bersama sampai akhir. Bukankah kalimat itu hanya boleh diucapkan orang-orang tulus tanpa pamrih?”Gadis itu nampak masih diam. Matanya menatap bunga-bunga taman yang diairi aliran air terjun buatan. Mereka tidak semua bermekaran. Ada beberapa yang memang masih kuncup. Duduk dan menatap taman ini sungguh membuat hati Zalfa sedikit tenang.“Ning Zalfa…” panggil Zilal.Zalfa menoleh. Namun tidak beranjak menghampiri sumber suara.Suara derit pintu menuju taman terdengar. Iya, Zilal datang. Duduk di samping Zalfa menatap taman.“Nasib! Punya istri cantik tapi hari pertama sudah dicuekin!” seloroh Zilal.Zalfa tetap diam. Tangannya memainkan jari kukunya, seolah bingung harus bagaimana.Bisakah aku menjadi Kunang-kunang LintangmuMemberi kasih pada setiap helai rambutmuMengaliri kesegaran dalam nadiMemupuk cinta penuh artiDalam setiap langkah kecil yang kau dakiT
“Huaa! Siapa ini?!” teriak Zalfa keras.Byurr... satu gelas air tanpa sengaja tumpah.Dengan cepat Zilal bangun dengan memasang kuda-kuda. Kaget bukan main. Jiwanya masih dalam alam bawah sadar.“Apa? Ada apa, Ning?!” jawab Zilal amat kaget.Zalfa hanya terperangah melihat laki-laki itu bangun dari tempatnya dengan wajah basah akibat ulahnya. Sementara Zilal masih berusaha memulihkan kendali sadar.“Mas Zilal?!”“Iya, Ning. Ini saya,” kata Zilal lembut. Berusaha meyakinkan Zalfa.“Mas kok tidur di sini sih? Kan aku sudah bilang di dalam perjanjian itu!”“Saya kan cuma tidur, Ning. Di perjanjian nggak ada larangan untuk tidur kan?” tanya Zilal polos.“Huh! Dasar mesum!” ucap Zalfa kesal.Sementara Zilal masih mencoba diam. Jujur saja dia kaget bukan main, bangun tidur wajah dan selimutnya sudah basah. Ditambah masih kena omel Zalfa.“Ning?”Zalfa tidak peduli panggilan itu. Dia langsung masuk ke dalam kamar mandi. Mengatur nafasnya yang tentu saja memburu. Bagaimana mungkin satu malam
“Hei, Zalfa!”Deg.Mendengar panggilan dari suara yang sudah lama Ia nantikan, Zalfa membeku sepersekian detik. Tangannya gemetar. Dingin. Rasa yang telah lama dipendam seperti muncul lagi ke permukaan. Gurat kecewanya silih berganti dengan rindu. Lelaki itu datang kembali setelah dia memutuskan untuk melupakannya.“Halo, Zal. Masih ingat aku?” ucap Zain.Raut mukanya pias. Senyum palsu yang sekian lama Ia latih untuk pertemuan ini nampaknya tidak berjalan mulus.“Eh… Iya. Ma… masih kok, Kak Zain kan?” balas Zalfa setengah bergetar.“Selamat atas pernikahanmu, Zal.”“Aku tidak menyangka, perjuanganku selama ini akan berakhir begini. Andai kamu mau bersabar sedikit lagi. Sekali lagi selamat,” tutur Zain sembari pergi meninggalkan Zalfa.Diam. Membeku. Begitulah Zalfa sekarang. Air matanya lolos setelah mendengar kata selamat dari lelaki itu. Begitukah ucapan selamat?“Mengapa seolah aku yang salah? Bukankah dia yang begitu lama pergi?”Badannya seperti tidak kuasa berdiri. Tubuh yang s
Masjid pondok pesantren Kiai Yahya penuh dengan orang-orang yang ingin menyaksikan proses akad nikah Zilal. Pusat akad nikah dihias cantik dengan dekorasi kecil berwarna biru putih. Sesuai dengan warna kesukaan Zalfa. Ada dua meja dan beberapa kursi lesehan yang akan digunakan untuk duduk para Kiai.“Tempat ini akan menjadi saksi aku meminangmu, Ning!” gumam Zilal lirih.Para Kiai dan kedua keluarga sudah siap. Nampak di sana Zilal sudah berhadapan dengan Kiai Yahya. Di sekelilingnya ada kedua keluarga besar, masyarakat, dan para santri yang turut serta ada di area masjid.“Ankahtuka wazawwajtuka makhtubataka binti Zalfa Fitria Nazma alal mahri milyunu rubiyyata hallan.”“Qobiltu nikahaha wa tazwijaha bil mahri milyunu rubiyyata hallan.”“Bagaimana saksi? Sah?!”“Sah!!”Riuh rendah ramai orang berteriak ‘Sah’ membuat hati Zilal bergetar hebat. Saat ini, di tempat ini, Ia berjanji di hadapan penciptanya untuk menjadi seorang laki-laki yang berstatus suami. Di waktu ini, Ia juga berjan
Pucuk-pucuk daun nampak masih meneteskan butiran air sisa hujan tadi. Sore ini Magelang diguyur hujan. Hawa dingin dan sejuk juga sangat terasa meski di dalam rumah. Tapi entah mengapa sekarang Zalfa seperti tidak menikmati angin kesegaran ini. Angannya masih menerawang perlakuannya pada Zilal yang seperti di luar kendali.“Sudah benarkah apa yang aku lakukan? Ah, kenapa aku jadi mikirin perasaan dia?” gumam Zalfa.Lama sekali dia duduk di taman kecil rumahnya. Memang, bagian samping rumah Zalfa ada sedikit tanah yang sengaja Umi Ulfah rancang sebagai taman bunga. Ada berbagai jenis tanaman bunga di sana.“Apa mungkin takdirku ini menikah dengan Zilal?” tanya Zalfa menatap Bougenvil putih.Terkadang jika suasana hatinya sedang tidak baik, Zalfa sibuk berdiam diri di sini. Entah sambil murojaah hafalan, baca buku, atau sekedar menulis apa isi hatinya yang tertuang dalam sebuah karya. Gemericik suara air yang sengaja dibuat seperti air terjun di dalam kolam ikan menambah syahdu suasana