Share

Bab 5 Menerima

Penulis: Natadinamit
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

“Abah…,” ucap Zalfa lirih.

Berkali-kali tangan yang tergolek lemah itu dicium dengan penuh takdzim.

“Maafkan Zalfa, Bah. Maafkan semua keegoisan Zalfa, tidak seharusnya kemarin Zalfa bersikap begitu ke Abah,” suara parau Zalfa mengisi ruangan.

Lagi-lagi tangisnya pecah.

“Nggak apa-apa, Nduk. Abah paham, jangan nangis ya. Abah nggak apa-apa kok,” jawab Kiai Yahya.

“Abah ini juga kok sukanya bikin orang rumah cemas, tiba-tiba drop. Umi juga panik loh, Bah.” omel Umi Ulfah setelah melihat suaminya siuman.

“Didoain saja, Nduk. Jangan kamu tangisi terus, lama-lama air matamu kering nanti kalau nangis terus,” cicit Umi Ulfah menatap Zalfa.

“Zalfa mau menurut sama abah, Zalfa mau menikah dengan Gus Zilal. Abah cepat sehat ya, Zalfa nggak bisa melihat abah begini,”

Kiai Yahya hanya tersenyum melihat putri sulungnya. Bola matanya seperti mengalirkan ketenangan.

“Maafkan abah juga, Nduk. Sebenarnya, abah tidak bermaksud untuk memaksa kamu. Tapi, memang sudah waktunya kamu menikah. Firasat abah jarang salah, Nduk.”

Mendengar ucapan abahnya, pikiran Zalfa liar bukan main. Apa yang dimaksud firasat abahnya? Melihat orang tuanya lemah di bangsal rumah sakit membuat daya pikir positif gadis itu hilang. Kecemasan dan ketakutannya terlalu berlebih. Ditambah berita lelayu yang akhir-akhir ini didapatnya dari kerabat dekat membuat hatinya kalang kabut.

“Abah harus sehat, pokoknya Abah nggak boleh lama-lama di sini!” seru Zalfa.

Selang beberapa menit, tiba-tiba pintu ruang kamar Kiai Yahya diketuk.

“Tok… tok…tok…, Assalamualaikum,

Wa… wa’alaikumussalam,” jawab Umi Ulfah.

“Loh, ada Kiai Hamid dan Gus Zilal, Bah!” pekik Umi Ulfah membuat seisi ruangan semakin sunyi.

Zalfa yang mendengar suara sang ibunda justru semakin menunduk. Bibirnya bungkam, pikirannya dengan cepat merespon.

Entah bagaimana dia harus bersikap sekarang. Malu, canggung dan kaku. Gamisnya sudah lusuh, kerudungnya tidak karuan. Intinya, dia amat yakin siapapun ingin buang muka jika melihatnya.

“Iya ini Bu Nyai, maaf datang ke sini malam-malam. Tadi kebetulan habis ada pengajian dekat sini jadi sekalian mampir. Saya dapat kabar dari santri yang ikut pengajian tadi, katanya Mas Yahya di bawa ke sini. Cuma sama Zilal ini, mohon maaf Uminya nggak ikut menjenguk, Mas Yahya.” terang Kiai Hamid.

“Oalah, malah jadi merepotkan ini. Habis pengajian harusnya istirahat malah mampir ke rumah sakit.”

“Nggak apa-apa, aku ditengok sampeyan dan Gus Zilal saja sudah seneng kok. Biasa ini, namanya sudah tua ya. Kadang-kadang penyakit tuanya kambuh,” tutur Kiai Yahya.

Melihat keakraban kedua orang tuannya dengan Kiai Hamid, hati Zalfa berangsur hangat. Namun, pandangan matanya tidak sama sekali melihat ke arah laki-laki muda di seberang sana. Meski sebelumnya sempat menyapa dengan anggukan takdzim untuk kedua tamu itu.

Tidak berlangsung lama, kedua laki-laki berbeda umur pun pamit pulang. Sepertinya, Gus Zilal yang sejak tadi hanya berdiri di samping ayahnya cukup merasa bahagia. Meski tidak saling bercengkerama, tapi binar mata laki-laki itu terlihat jelas ketika mencuri pandang dengan calon istrinya. Sementara, Zalfa yang amat kelelahan, tidak sengaja tertidur di kursi tunggu rumah sakit. Dia akhirnya terpaksa pulang setelah dibujuk adiknya dengan segala cara. Egonya ingin menemani abahnya, tetapi semua keluarga paham. Saat ini Zalfa lah yang amat lelah dengan keadaan ini.

“Pulang saja yuk, Mbak! Aku antar. Dari pada tidur di sini, nggak nyaman kan? Lagian hari-hari esok Mbak Zalfa akan sibuk sekali,” Begitu bujukan Faiz pada kakaknya.

-0-

Dua hari setelah kepulangan Kiai Yahya dari rumah sakit, persiapan pernikahan Zalfa semakin detil. Tenda terop dan dekorasi pelaminan nampak sedang dibuat. Para santri putra pun ramai ikut membantu. Hiruk pikuk pelataran pondok itu semakin riuh, semua orang seolah ikut bahagia menanti momen hari H. Namun di tempat yang berbeda, perempuan beda generasi itu tidak henti-hentinya berdebat. Entah sudah berapa lama petugas butik itu meladeni keduannya. Tapi, sampai saat ini dua orang itu masih saja berseteru.

“Zalfa, kamu nggak bisa begitu dong. Ini kan Umi sudah pilihkan yang bagus buat kamu, ini dipesan loh. Bukan stok ready tapi harus dijahit dulu,” keluh Umi Ulfah yang sudah lelah debat.

“Umi, modelnya Zalfa kurang suka. Lagian Zalfa maunya pas akad itu pakai putih, terus nggak mau pake pakaian adat. Yang biasa saja, kaya santri gitu. Tapi ya tetap elegan.” jawab Zalfa.

“Tapi model yang kamu mau itu harus dipesan dulu, Zal. Nggak cukup waktunya kalau harus nunggu, kita cuma punya waktu sebentar.”

“Lah, siapa juga yang mau nikahnya buru-buru? Jadi repot kan. Ah, sudahlah, Mi. Zalfa capek, terserah Umi saja!” ketus Zalfa.

“Tau begini, mending dari awal menolak!”

Melihat kedua pelanggannya bersikap dingin, akhirnya Mbak Ratna si pemilik butik itu datang membawa angin segar.

“Ning Zalfa, Bu Nyai… bisa ikut saya sebentar?” sapa Mbak Ratna ramah.

Butik Mbak Ratna memang sudah menjadi langganan keluarga besar Kiai Yahya, bahkan sejak Zalfa kecil. Jadi memang Mbak Ratna sudah hafal selera keluarga ini, dan sedikit banyak hafal perangai Zalfa jika sedang banyak pikiran.

Zalfa dan Uminya dibawa ke ruang kerja khusus Mbak Ratna. Di sana telah berdiri cantik manekin dengan gaun pengantin yang sangat indah. Meski belum selesai dibuat, namun gaun pengantin ini mampu membius banyak pasang mata yang melihatnya. Indah dan sangat elegan.

“Wah… bagus banget, Mbak!” pekik Zalfa. Matanya amat berbinar, wajah masamnya hilang.

“Kamu suka?” tanya Mbak Ratna.

“Ehm, iya. Suka banget, Mbak.”

Umi Ulfah hanya menghela nafas lega melihat putrinya berangsur hangat.

“Sebenarnya ini gaun yang dipesan langgananku, Ning. Ini saya buat sendiri, tapi ternyata pengantin laki-lakinya kurang suka. Jadi ya masih begini, belum sempat diselesaikan. Setelah melihat Ning Zalfa, sepertinya ukurannya pas. Kalau Ning Zalfa mau, saya bisa kasih untuk kamu Ning. Tapi, ini belum selesai ya,”

“Ya Allah, terima kasih banyak, Mbak Ratna sudah banyak direpotkan.” celetuk Umi Ulfah.

“Nggak apa-apa, Bu Nyai. Mungkin dua hari bisa sih kalau dikebut. Tapi, masalahnya baju buat pengantin cowonya juga belum jadi. Sepertinya nggak memungkinkan kalau dikebut, nggak keburu, Bu Nyai.”

“Pengantin cowonya pakai jaz hitam saja ya, Zal?” tanya Umi Ulfah.

“Jangan dong, Mi. Nanti nggak bagus dong fotonya.”

“Terus kamu maunya modelnya gimana, Nduk? Sudah nggak ada waktu ini,”

Asisten Mbak Ratna tiba-tiba datang membawa setelan pasangan gaun pengantin tadi. Ia mendadak muncul dari sudut belakang ruangan.

“Kalau pengantin laki-lakinya pakai ini bagaimana, Ning?” kata Asisten Mbak Ratna.

Zalfa memindai model dan bahan setelan yang dibawa Sang asisten.

“Oke, Mbak. Kayanya ini juga bagus ya, bahannya juga adem. Nggak gerah dipake seharian,” cicit Zalfa.

Sempat kaget mendengar tuturan Zalfa, tetapi dengan cepat Umi Ulfah sembunyikan.

“Wah, Ning Zalfa perhatian sekali lho sama calon suaminya. Takut dia nggak nyaman ya, Ning? kayanya cinta banget nih sama calonnya,” ledek Mbak Ratna.

Yang diajak bicara hanya diam tanpa bereaksi.

Sementara Mbak Ratna dan Umi Ulfah meninggalkan gadis itu ke ruang tengah, mereka menghitung biaya administrasi gaun seluruhnya yang dibutuhkan.

Di saat Zalfa sibuk melihat-lihat detail model bajunya, mendadak ada pesan masuk dalam gawainya. Dengan cepat dia membuka layar gawai dan membaca pesan tersebut. Bagai disambar petir Zalfa membaca pesan itu, tangannya gemetar. Hatinya kembali bergemuruh, rasa itu bergelayut datang kembali.

[Zalfa, aku kembali untukmu. Ku mohon jangan pergi!]

Bab terkait

  • Dipaksa Menikahi Gus   Bab 6 Surat Perjanjian

    Waktu berlalu begitu cepat, tidak terasa puncak resepsi akan digelar esok hari. Semua persiapan sudah siap, hanya membutuhkan sentuhan akhir saja. Katering yang dipesan juga sedia jika harus menambah porsi. Cukup menunggu aba-aba dari keluarga besar pengantin. Namun, bukan Umi Karimah namanya jika harus santai tanpa bergerak. Dia menyibukkan diri kembali dengan menambah menu resepsi yang cukup tidak biasa. Benar, kali ini wanita itu baru saja lega karena Katering Mangut Beong dan Nasi Lesah siap menerima orderannya.“Umi… habis ini sudah nggak kemana-mana lagi kan?” tanya Zilal yang baru saja duduk setelah kembali menemani Umi Karimah mencari Katering Mangut Beong dan Nasi Lesah.Memang sejak kemarin, Ibundanya sudah meminta izin kepada Kiai Yahya untuk menambah menu makanan di resepsi. Mengingat, resepsi pernikahan kali ini akan digelar hanya sekali. Tidak ada acara ngunduh mantu, sesuai dengan kesepakatan kedua keluarga.“Nggak, Le. Habis ini kamu istirahat saja di rumah.” jawab Umi

  • Dipaksa Menikahi Gus   Bab 7 Pesan Umi

    Pucuk-pucuk daun nampak masih meneteskan butiran air sisa hujan tadi. Sore ini Magelang diguyur hujan. Hawa dingin dan sejuk juga sangat terasa meski di dalam rumah. Tapi entah mengapa sekarang Zalfa seperti tidak menikmati angin kesegaran ini. Angannya masih menerawang perlakuannya pada Zilal yang seperti di luar kendali.“Sudah benarkah apa yang aku lakukan? Ah, kenapa aku jadi mikirin perasaan dia?” gumam Zalfa.Lama sekali dia duduk di taman kecil rumahnya. Memang, bagian samping rumah Zalfa ada sedikit tanah yang sengaja Umi Ulfah rancang sebagai taman bunga. Ada berbagai jenis tanaman bunga di sana.“Apa mungkin takdirku ini menikah dengan Zilal?” tanya Zalfa menatap Bougenvil putih.Terkadang jika suasana hatinya sedang tidak baik, Zalfa sibuk berdiam diri di sini. Entah sambil murojaah hafalan, baca buku, atau sekedar menulis apa isi hatinya yang tertuang dalam sebuah karya. Gemericik suara air yang sengaja dibuat seperti air terjun di dalam kolam ikan menambah syahdu suasana

  • Dipaksa Menikahi Gus   Bab 8 Sah!

    Masjid pondok pesantren Kiai Yahya penuh dengan orang-orang yang ingin menyaksikan proses akad nikah Zilal. Pusat akad nikah dihias cantik dengan dekorasi kecil berwarna biru putih. Sesuai dengan warna kesukaan Zalfa. Ada dua meja dan beberapa kursi lesehan yang akan digunakan untuk duduk para Kiai.“Tempat ini akan menjadi saksi aku meminangmu, Ning!” gumam Zilal lirih.Para Kiai dan kedua keluarga sudah siap. Nampak di sana Zilal sudah berhadapan dengan Kiai Yahya. Di sekelilingnya ada kedua keluarga besar, masyarakat, dan para santri yang turut serta ada di area masjid.“Ankahtuka wazawwajtuka makhtubataka binti Zalfa Fitria Nazma alal mahri milyunu rubiyyata hallan.”“Qobiltu nikahaha wa tazwijaha bil mahri milyunu rubiyyata hallan.”“Bagaimana saksi? Sah?!”“Sah!!”Riuh rendah ramai orang berteriak ‘Sah’ membuat hati Zilal bergetar hebat. Saat ini, di tempat ini, Ia berjanji di hadapan penciptanya untuk menjadi seorang laki-laki yang berstatus suami. Di waktu ini, Ia juga berjan

  • Dipaksa Menikahi Gus   Bab 9 Dia Kembali

    “Hei, Zalfa!”Deg.Mendengar panggilan dari suara yang sudah lama Ia nantikan, Zalfa membeku sepersekian detik. Tangannya gemetar. Dingin. Rasa yang telah lama dipendam seperti muncul lagi ke permukaan. Gurat kecewanya silih berganti dengan rindu. Lelaki itu datang kembali setelah dia memutuskan untuk melupakannya.“Halo, Zal. Masih ingat aku?” ucap Zain.Raut mukanya pias. Senyum palsu yang sekian lama Ia latih untuk pertemuan ini nampaknya tidak berjalan mulus.“Eh… Iya. Ma… masih kok, Kak Zain kan?” balas Zalfa setengah bergetar.“Selamat atas pernikahanmu, Zal.”“Aku tidak menyangka, perjuanganku selama ini akan berakhir begini. Andai kamu mau bersabar sedikit lagi. Sekali lagi selamat,” tutur Zain sembari pergi meninggalkan Zalfa.Diam. Membeku. Begitulah Zalfa sekarang. Air matanya lolos setelah mendengar kata selamat dari lelaki itu. Begitukah ucapan selamat?“Mengapa seolah aku yang salah? Bukankah dia yang begitu lama pergi?”Badannya seperti tidak kuasa berdiri. Tubuh yang s

  • Dipaksa Menikahi Gus   Bab 10 Pagi Pertama

    “Huaa! Siapa ini?!” teriak Zalfa keras.Byurr... satu gelas air tanpa sengaja tumpah.Dengan cepat Zilal bangun dengan memasang kuda-kuda. Kaget bukan main. Jiwanya masih dalam alam bawah sadar.“Apa? Ada apa, Ning?!” jawab Zilal amat kaget.Zalfa hanya terperangah melihat laki-laki itu bangun dari tempatnya dengan wajah basah akibat ulahnya. Sementara Zilal masih berusaha memulihkan kendali sadar.“Mas Zilal?!”“Iya, Ning. Ini saya,” kata Zilal lembut. Berusaha meyakinkan Zalfa.“Mas kok tidur di sini sih? Kan aku sudah bilang di dalam perjanjian itu!”“Saya kan cuma tidur, Ning. Di perjanjian nggak ada larangan untuk tidur kan?” tanya Zilal polos.“Huh! Dasar mesum!” ucap Zalfa kesal.Sementara Zilal masih mencoba diam. Jujur saja dia kaget bukan main, bangun tidur wajah dan selimutnya sudah basah. Ditambah masih kena omel Zalfa.“Ning?”Zalfa tidak peduli panggilan itu. Dia langsung masuk ke dalam kamar mandi. Mengatur nafasnya yang tentu saja memburu. Bagaimana mungkin satu malam

  • Dipaksa Menikahi Gus   Bab 11 Perjalanan

    “Apa memang semua pernikahan itu hanya berujung pada kebutuhan biologis?”“Mana yang katanya akan menemani sampai tua, hidup bersama sampai akhir. Bukankah kalimat itu hanya boleh diucapkan orang-orang tulus tanpa pamrih?”Gadis itu nampak masih diam. Matanya menatap bunga-bunga taman yang diairi aliran air terjun buatan. Mereka tidak semua bermekaran. Ada beberapa yang memang masih kuncup. Duduk dan menatap taman ini sungguh membuat hati Zalfa sedikit tenang.“Ning Zalfa…” panggil Zilal.Zalfa menoleh. Namun tidak beranjak menghampiri sumber suara.Suara derit pintu menuju taman terdengar. Iya, Zilal datang. Duduk di samping Zalfa menatap taman.“Nasib! Punya istri cantik tapi hari pertama sudah dicuekin!” seloroh Zilal.Zalfa tetap diam. Tangannya memainkan jari kukunya, seolah bingung harus bagaimana.Bisakah aku menjadi Kunang-kunang LintangmuMemberi kasih pada setiap helai rambutmuMengaliri kesegaran dalam nadiMemupuk cinta penuh artiDalam setiap langkah kecil yang kau dakiT

  • Dipaksa Menikahi Gus   Bab 12 Rumah Baru

    Jendela di rumah sederhana itu sengaja dibuka oleh Zalfa. Dia seperti sangat menikmati keindahan alam pemandangan yang memanjakan mata. Menghirup nafas dalam-dalam dan menghembuskannya pada udara segar Kejajar.“Maaf ya, Ning. Saya belum bisa buatkan rumah yang bagus buat sampeyan, kita sementara tinggal di sini dulu ya,” ucap Zilal yang mendekat.Benar saja, sesampainnya di Kejajar dua manusia itu langsung beberes dan menata sebagian barang bawaannya. Meskipun sebenarnya masih cukup berantakan, tapi setidaknya rumah ini sudah nyaman ditempati.“Aku suka kok Mas di sini. Udaranya seger banget….,”“Tapi ya rumahnya masih sederhana, Ning. Nggak kaya rumah Abah kan?”“Lho nggak apa-apa lah, malah jadi gampang beberesnya. Nggak cape.” balas Zalfa singkat.“Hahaha, bisa aja nih. Pinter banget bikin suami seneng,”“Dih, siapa yang mau buat seneng? Emang aku suka rumah ini, nggak bohong!” cebik Zalfa.“Iya… iya, gitu aja galak amat!”“Ishh!”Puas memandang hamparan perbukitan dari jendela, g

  • Dipaksa Menikahi Gus   Bab 13 Toko Oleh-oleh

    Malam baru saja datang. Hawa dingin sungguh terasa masuk ke dalam pori-pori insan yang hendak meninggalkan rumahnya. Dengan berbekal jaket tebal dan kerudung pashmina, Zalfa bersikukuh ingin ikut Zilal pergi. Entahlah apa yang terjadi. Lelaki itu masih bingung. Biasanya, gadis itu akan cuek dan tidak peduli apa yang dilakukannya. “Ning, tapi kali ini kita naik motor. Soalnya, jalan utama ke toko sedang masa perbaikan. Apa kamu nggak apa-apa, ini hawanya lagi dingin banget…” “Enggak apa-apa, Mas. Kan aku udah pake jaket,” ucap Zalfa percaya diri. “Hemm… oke. Tapi, kalau nanti kedinginan jangan protes ya,” Zalfa mengangguk mantap. Keduannya menyusuri jalan kecil menuju toko. Memang, perjalanan kali ini sebenarnya tidak cukup jauh. Tapi, biasanya orang pendatang akan tidak tahan dengan hawa dingin di malam hari. Berbeda jika orang asli lokal. “Mas, memangnya mau ke toko siapa sih?” tanya Zalfa. Zilal masih fokus mengendarai motor. Suara angin dan karena memakai helm, pria itu tidak

Bab terbaru

  • Dipaksa Menikahi Gus   Bab 15 Zain

    “Sudah jalan-jalannya, Ning?” tanya Zilal yang melihat Zalfa sudah kembali.“Sudah, Mas. Nih aku bawain sarapan,”“Lha iya, kan aku jadi enak ini. Tiap hari dimasakin, kalau nggak masak dibeliin sarapan. Kamu emangnya nggak bosen jalan-jalan setiap pagi?”Begitu mewahnya pemandangan Kejajar yang menyuguhkan pegunungan dan hamparan perkebunan itu tidak pernah lekang dari manik Zalfa. Waktu cepat sekali berlalu. Sudah dua minggu mereka tinggal di tempat ini. Setiap pagi, Zalfa akan meminta Kinan menemaninya berjalan-jalan mengitari perkebunan Carica. Terkadang Zilal yang inisiatif menemani gadis itu, tapi terkadang pemuda itu sudah sibuk dengan pekerjannya.“Enggak, Mas. Aku seneng banget, perkebunan yang di sebelah barat juga belum tak jelajahi semua.”“Ya jangan semua to, Ning. Kecapekan nanti kamu,”Zalfa menuju ke dapur, mengambil satu nampan Carica yang sudah dingin.“Aku seneng banget, di sini bisa setiap hari makan ini!” pekik Zalfa kegirangan. Persis seperti anak kecil.Pemuda i

  • Dipaksa Menikahi Gus   Bab 14 Zafina itu kamu!

    Konon cinta bisa datang karena terbiasa. Seseorang juga pernah berpendapat, jika cinta juga bisa dipelajari. Namun, sebenarnya mungkin saja waktu yang berbicara. Waktu yang memupuk jiwa-jiwa kasih itu tumbuh. Waktu yang menyuburkan dahaga romantisme itu tumbuh subur. Tapi, apa benar bisa begitu, jika di dalam ruang yang sama masih ada jiwa yang lain?“Mas, mau berangkat sekarang?” tanya Nindi.“Iya ini, Dik. Besok sudah mulai ngajar. Kontrak ngajarnya juga sudah turun. Kamu baik-baik ya di rumah. Kalau ada apa-apa bisa minta tolong Bude Ida,” jawab Zain yang telah selesai berkemas.Pemuda itu sukses diterima sebagai dosen di Universitas swasta. Entah takdir atau memang kebetulan, dia diterima di kota yang sama dengan masa lalunya tinggal. Wonosobo. Tempat yang justru tidak ingin Ia hampiri. Namun, takdir berkata lain, dulu Ia sempat menaruh lamaran di sana. Biaya untuk menghidupi adiknya masih menjadi tanggungannya. Mau tidak mau dia harus mengambil pekerjaan ini.“Sudah dulu ya, Mas

  • Dipaksa Menikahi Gus   Bab 13 Toko Oleh-oleh

    Malam baru saja datang. Hawa dingin sungguh terasa masuk ke dalam pori-pori insan yang hendak meninggalkan rumahnya. Dengan berbekal jaket tebal dan kerudung pashmina, Zalfa bersikukuh ingin ikut Zilal pergi. Entahlah apa yang terjadi. Lelaki itu masih bingung. Biasanya, gadis itu akan cuek dan tidak peduli apa yang dilakukannya. “Ning, tapi kali ini kita naik motor. Soalnya, jalan utama ke toko sedang masa perbaikan. Apa kamu nggak apa-apa, ini hawanya lagi dingin banget…” “Enggak apa-apa, Mas. Kan aku udah pake jaket,” ucap Zalfa percaya diri. “Hemm… oke. Tapi, kalau nanti kedinginan jangan protes ya,” Zalfa mengangguk mantap. Keduannya menyusuri jalan kecil menuju toko. Memang, perjalanan kali ini sebenarnya tidak cukup jauh. Tapi, biasanya orang pendatang akan tidak tahan dengan hawa dingin di malam hari. Berbeda jika orang asli lokal. “Mas, memangnya mau ke toko siapa sih?” tanya Zalfa. Zilal masih fokus mengendarai motor. Suara angin dan karena memakai helm, pria itu tidak

  • Dipaksa Menikahi Gus   Bab 12 Rumah Baru

    Jendela di rumah sederhana itu sengaja dibuka oleh Zalfa. Dia seperti sangat menikmati keindahan alam pemandangan yang memanjakan mata. Menghirup nafas dalam-dalam dan menghembuskannya pada udara segar Kejajar.“Maaf ya, Ning. Saya belum bisa buatkan rumah yang bagus buat sampeyan, kita sementara tinggal di sini dulu ya,” ucap Zilal yang mendekat.Benar saja, sesampainnya di Kejajar dua manusia itu langsung beberes dan menata sebagian barang bawaannya. Meskipun sebenarnya masih cukup berantakan, tapi setidaknya rumah ini sudah nyaman ditempati.“Aku suka kok Mas di sini. Udaranya seger banget….,”“Tapi ya rumahnya masih sederhana, Ning. Nggak kaya rumah Abah kan?”“Lho nggak apa-apa lah, malah jadi gampang beberesnya. Nggak cape.” balas Zalfa singkat.“Hahaha, bisa aja nih. Pinter banget bikin suami seneng,”“Dih, siapa yang mau buat seneng? Emang aku suka rumah ini, nggak bohong!” cebik Zalfa.“Iya… iya, gitu aja galak amat!”“Ishh!”Puas memandang hamparan perbukitan dari jendela, g

  • Dipaksa Menikahi Gus   Bab 11 Perjalanan

    “Apa memang semua pernikahan itu hanya berujung pada kebutuhan biologis?”“Mana yang katanya akan menemani sampai tua, hidup bersama sampai akhir. Bukankah kalimat itu hanya boleh diucapkan orang-orang tulus tanpa pamrih?”Gadis itu nampak masih diam. Matanya menatap bunga-bunga taman yang diairi aliran air terjun buatan. Mereka tidak semua bermekaran. Ada beberapa yang memang masih kuncup. Duduk dan menatap taman ini sungguh membuat hati Zalfa sedikit tenang.“Ning Zalfa…” panggil Zilal.Zalfa menoleh. Namun tidak beranjak menghampiri sumber suara.Suara derit pintu menuju taman terdengar. Iya, Zilal datang. Duduk di samping Zalfa menatap taman.“Nasib! Punya istri cantik tapi hari pertama sudah dicuekin!” seloroh Zilal.Zalfa tetap diam. Tangannya memainkan jari kukunya, seolah bingung harus bagaimana.Bisakah aku menjadi Kunang-kunang LintangmuMemberi kasih pada setiap helai rambutmuMengaliri kesegaran dalam nadiMemupuk cinta penuh artiDalam setiap langkah kecil yang kau dakiT

  • Dipaksa Menikahi Gus   Bab 10 Pagi Pertama

    “Huaa! Siapa ini?!” teriak Zalfa keras.Byurr... satu gelas air tanpa sengaja tumpah.Dengan cepat Zilal bangun dengan memasang kuda-kuda. Kaget bukan main. Jiwanya masih dalam alam bawah sadar.“Apa? Ada apa, Ning?!” jawab Zilal amat kaget.Zalfa hanya terperangah melihat laki-laki itu bangun dari tempatnya dengan wajah basah akibat ulahnya. Sementara Zilal masih berusaha memulihkan kendali sadar.“Mas Zilal?!”“Iya, Ning. Ini saya,” kata Zilal lembut. Berusaha meyakinkan Zalfa.“Mas kok tidur di sini sih? Kan aku sudah bilang di dalam perjanjian itu!”“Saya kan cuma tidur, Ning. Di perjanjian nggak ada larangan untuk tidur kan?” tanya Zilal polos.“Huh! Dasar mesum!” ucap Zalfa kesal.Sementara Zilal masih mencoba diam. Jujur saja dia kaget bukan main, bangun tidur wajah dan selimutnya sudah basah. Ditambah masih kena omel Zalfa.“Ning?”Zalfa tidak peduli panggilan itu. Dia langsung masuk ke dalam kamar mandi. Mengatur nafasnya yang tentu saja memburu. Bagaimana mungkin satu malam

  • Dipaksa Menikahi Gus   Bab 9 Dia Kembali

    “Hei, Zalfa!”Deg.Mendengar panggilan dari suara yang sudah lama Ia nantikan, Zalfa membeku sepersekian detik. Tangannya gemetar. Dingin. Rasa yang telah lama dipendam seperti muncul lagi ke permukaan. Gurat kecewanya silih berganti dengan rindu. Lelaki itu datang kembali setelah dia memutuskan untuk melupakannya.“Halo, Zal. Masih ingat aku?” ucap Zain.Raut mukanya pias. Senyum palsu yang sekian lama Ia latih untuk pertemuan ini nampaknya tidak berjalan mulus.“Eh… Iya. Ma… masih kok, Kak Zain kan?” balas Zalfa setengah bergetar.“Selamat atas pernikahanmu, Zal.”“Aku tidak menyangka, perjuanganku selama ini akan berakhir begini. Andai kamu mau bersabar sedikit lagi. Sekali lagi selamat,” tutur Zain sembari pergi meninggalkan Zalfa.Diam. Membeku. Begitulah Zalfa sekarang. Air matanya lolos setelah mendengar kata selamat dari lelaki itu. Begitukah ucapan selamat?“Mengapa seolah aku yang salah? Bukankah dia yang begitu lama pergi?”Badannya seperti tidak kuasa berdiri. Tubuh yang s

  • Dipaksa Menikahi Gus   Bab 8 Sah!

    Masjid pondok pesantren Kiai Yahya penuh dengan orang-orang yang ingin menyaksikan proses akad nikah Zilal. Pusat akad nikah dihias cantik dengan dekorasi kecil berwarna biru putih. Sesuai dengan warna kesukaan Zalfa. Ada dua meja dan beberapa kursi lesehan yang akan digunakan untuk duduk para Kiai.“Tempat ini akan menjadi saksi aku meminangmu, Ning!” gumam Zilal lirih.Para Kiai dan kedua keluarga sudah siap. Nampak di sana Zilal sudah berhadapan dengan Kiai Yahya. Di sekelilingnya ada kedua keluarga besar, masyarakat, dan para santri yang turut serta ada di area masjid.“Ankahtuka wazawwajtuka makhtubataka binti Zalfa Fitria Nazma alal mahri milyunu rubiyyata hallan.”“Qobiltu nikahaha wa tazwijaha bil mahri milyunu rubiyyata hallan.”“Bagaimana saksi? Sah?!”“Sah!!”Riuh rendah ramai orang berteriak ‘Sah’ membuat hati Zilal bergetar hebat. Saat ini, di tempat ini, Ia berjanji di hadapan penciptanya untuk menjadi seorang laki-laki yang berstatus suami. Di waktu ini, Ia juga berjan

  • Dipaksa Menikahi Gus   Bab 7 Pesan Umi

    Pucuk-pucuk daun nampak masih meneteskan butiran air sisa hujan tadi. Sore ini Magelang diguyur hujan. Hawa dingin dan sejuk juga sangat terasa meski di dalam rumah. Tapi entah mengapa sekarang Zalfa seperti tidak menikmati angin kesegaran ini. Angannya masih menerawang perlakuannya pada Zilal yang seperti di luar kendali.“Sudah benarkah apa yang aku lakukan? Ah, kenapa aku jadi mikirin perasaan dia?” gumam Zalfa.Lama sekali dia duduk di taman kecil rumahnya. Memang, bagian samping rumah Zalfa ada sedikit tanah yang sengaja Umi Ulfah rancang sebagai taman bunga. Ada berbagai jenis tanaman bunga di sana.“Apa mungkin takdirku ini menikah dengan Zilal?” tanya Zalfa menatap Bougenvil putih.Terkadang jika suasana hatinya sedang tidak baik, Zalfa sibuk berdiam diri di sini. Entah sambil murojaah hafalan, baca buku, atau sekedar menulis apa isi hatinya yang tertuang dalam sebuah karya. Gemericik suara air yang sengaja dibuat seperti air terjun di dalam kolam ikan menambah syahdu suasana

DMCA.com Protection Status