Semua Bab Istri Tiga Tahun CEO Arrogant: Bab 21 - Bab 30

111 Bab

Rasa bersalah

Setelah mendengar cerita dari Veronica, aku langsung bertolak ke Jepang untuk memastikan keadaan Shilla saat ini. Berbagai pikiran buruk membuatku panik. Jangan sampai kejadian delapan tahun lalu terulang lagi. Rasa bersalah itu selalu mengukungku dalam sesal yang berkepanjangan. Orang yang tak bersalah jadi korban balad dendamku. Dan itu benar-benar sangat menyiksaku. Sore ini begitu menginjakkan kaki di negara yang saat tengah mengalami musim dingin aku langsung menelpon Veronica memintanya datang. Di sebuah kafe kami bertemu. "Sampai hari aku belum bisa bertemu dengannya. Nathan dan Miranda itu sangat over protect sama Shilla. Tidak ada yang bisa menjenguknya." Ceritanya saat aku tanya keadaan Shilla. "Tidak, dia tidak dibawa ke rumah sakit. Entahlah sakit apa? Yang pasti saat itu Nathan sampai menyusul ke ke Jakarta begitu mendapatkan kabar Shila pingsan di jalan dari saudaranya Ardi." "Tiga orang itu begitu panik. Bahkan Miranda sampai histeris dan menangis. Miranda sangat
Baca selengkapnya

Bisakah bersikap layaknya teman?

"Karena orang yang menginginkan pernikahan ini sudah tiada. Apa tidak sebaiknya kita akhiri saja sampai disini." Degh..... Sudah bisa kuduga, tak mungkin semudah itu Shilla memberi maaf. Mahluk yang namanya wanita itu selalu memperbesar masalah. Dan terbukti dengan sikap wanita ini. "Menurutmu itu yang terbaik?" "Iya," "Bagaimana dengan My mom?" Shilla menunduk, wajahnya sedikit tertutupi rambut sehingga aku tak bisa melihat dengan jelas ekspresinya. "Dia sangat menyukaimu. Hampir setiap hari dia menanyakan kapan aku membawamu menemuinya lagi. Katanya dia rindu," Si gadis menghela nafas, wajahnya pucat yang sedikit merona di kedua pipinya. Marahkah? Atau kesal? "Aku tahu kemarin aku sudah sangat keterlaluan. Tapi aku sudah minta maaf. Come on.... Jangan terlalu sensitif. Yang sudah berlalu biarlah berlalu." Karena kesal nada suaraku naik satu oktaf. Kembali terdengar helaan nafas dari bibir tipis yang terlihat pucat itu. Sepertinya dia benar-benar sakit. Mendadak aku mera iba.
Baca selengkapnya

Tidak bisakah aku memiliki privasi?

"Nathan," Kutepuk pelan pundak pria yang dari sejak tadi nampak panik menoleh ke sana kemari. "Ya Tuhan Shila...Dari mana saja kamu?" Nathan langsung memelukku tanpa menghiraukan tatapan orang-orang sekitar kami. "Kamu hampir membuatku kena serangan jantung." Omelnya setelah melerai pelukannya. "Maaf," ucapku. "Bukan kata itu. Tapi jawab, kamu dari mana?" Nampak ekspresi serius di wajah pria berkulit bersih itu. Wajahnya yang putih jadi kemerahan mungkin karna kesal atau lelah mencariku."Kenapa kamu sepanik itu? Aku hanya keluar sebentar saja." jawabku merasa Nathan terlalu berlebihan. Sikapnya itu membuatku sedikit tak nyaman. Pria itu mendengus. "Keluar kemana dan untuk apa? Kenapa tidak menelponku dulu?" cecarnya tak sabar. Aku melirik sekitar, beberapa orang yang lewat melihat kearah kami dengan berbisik- bisik. Membuatku merasa malu, seolah mereka sendang membicarakan kami. Apalagi ada yang dengan terang-terangan menunjuk kearah kami. "Hei..." Nathan mengetukkan jarinya ke
Baca selengkapnya

kami tidak bertengkar hanya saja Nathan marah.

Pukul setengah lima sore, saat terdengar pintu apartemen terbuka. Kawan satu atapku pulang. Telat dua jam dari biasanya. Aku yang berbaring di atas tempat tidur tak berniat beranjak menyambut. Rasa malas mendominasi otakku saat ini. Selang beberapa menit pintu kamarku diketuk dan detik berikut terbuka dari luar. Miranda berjalan masuk dengan Ardi menyusul dibelakangnya. "Masih pusing" Tangan Miranda terulur menyentuh dahiku."Nggak," kataku masih dengan rebahan. Malas sekali bangun. "Tadi aku sudah beli bakso kesukaan kamu di warung Indonesia, buat kita buka nanti. Di luar sedang turun salju, pasti enak makan bakso dengan sambal yang banyak." Ujarnya dengan senyum lebar. Kutarik sudut bibirku membentuk senyuman, "Makasih," Suasana hening sejenak. "Kamu bertengkar dengan Nathan?" tanyanya tiba-tiba dan aku diam saja, bingung mau jawab apa. Menurutku kami tidak bertengkar hanya saja Nathan marah. "Apa kamu merasa tak nyaman dengan sikap kami?" tanyanya lagi. Kualihkan pandanganku
Baca selengkapnya

Meluapkan emosi

Semalam Nathan tak pulang ke apartemen. Kata Ardi, Nathan di laboratorium untukmu menyelesaikan laporan. Itu pasti tugas laporanku dan Veronica. Selama aku izin Vero mengerjakannya sendiri dan pastinya belum selesai. Sedang Prof Williams hanya memberi waktu kurang dari dua minggu. Begitu sampai kantor aku segera menuju ruang laboratorium kecil yang biasa aku gunakan bersama Veronica. Aku memang sering mendapatkan tugas bersama Veronica. Menurut Miranda hanya aku yang sabar menghadap sikap Vero yang kadang egois dan menang sendiri. "Hai...." Sapa Veronica begitu aku masuk. "Sudah sembuh?" tanya gadis berambut blonde itu dari balik meja. "Alhamdulillah sudah." Aku mendekat, kulihat dia sedang menyusun laporan. "Sudah selesai?" tanyaku merasa sungkan. "Nathan yang mengerjakannya. Aku hanya menyalin saja," jawabnya menunjukkan sebuah kertas yang terdapat tulisan tangan Nathan. "Oh...." Kualihkan pandanganku ke seluruh ruangan. "Dia di halaman belakang. Katanya mau mendinginkan otak
Baca selengkapnya

Putra lagi,

"Makin kesini kok makin aneh ya?" Ardi melirikku. Saat ini kami sedang menunggu waktu berbuka di sebuah kafe dekat apartemen. "Mana ada yang sejak pagi hindar terus," tambah Miranda juga mengarahkan tatapannya padaku. Setelah selesai pertemuan tadi aku memang berusaha menghindar dari ketiga orang ini. Karena tugasku telah seleksi aku pun mencari pekerjaan di tim lain. Sepanjang hari aku mengikuti Devi dan timnya. Mereka juga termasuk dalam proyek penelitian kali ini. Nathan memang tak bersuara namun tatapannya juga mengarah padaku. "Ck.... aku semakin curiga sama si Putra itu." Miranda kembali berbicara. Spontan memutar mataku jengah. Lagi-lagi Putra jadi sasaran. Kecurigaan pada pria itu kembali mencuat setelah tadi Elgar mengatakan kemungkinan dirinya tidak akan bisa datang untuk melihat perkembangan proyek ini dikarenakan kesibukannya dan dia akan menyerahkan segala urusan pada Putra. Dia akan mewakilinya. "Jangan-jangan Putra yang menjadi donatur hanya saja Mr. Elgar yang j
Baca selengkapnya

Menghabiskan waktu berdua.

Tidak, aku harus menghubungi Nathan. "Halo, tadi pagi aku sudah minum obat kan?" tanya saat sambungan tersambung. [Sudah. Kenapa?]"Kurasa aku berhalusinasi."[Abaikan. Minum obatmu dan tidurlah. Bla bla bla........]Aku tidak lagi fokus pada apa yang dikatakan oleh Nathan saat sosok di depanku berjalan mendekat, memangkas jarak diantara kami. Kubiarkan tangannya mengambil alih ponselku. Seketika aku menahan nafas saat wajah tegas itu semakin dekat. "Ini benar kamarmu, dan kamu juga tidak sedang berhalusinasi." Ucapnya tepat di depan wajahku. Satu detik..... dua detik, "Elgar," sentakku mendorong pria itu menjauh. Elgar tertawa. "Apa yang kamu lakukan di sini?" "Menemu istriku," jawabnya santai lalu kembali duduk diatas tempat tidur. Ish.... istri katanya. "Jangan gil* kamu! Cepat keluar," kutarik tangan pria yang sekarang tengah berbaring. "Aku sangat lelah, izinkan aku tidur sebentar." Tak peduli, aku menariknya lebih kuat namun sial tenagaku kalah dan aku malah jatuh diatas
Baca selengkapnya

Seranjang.

Pov Elgar. "Kau membunuhnya?" tanya Shila mengangkat kepalanya. Rautnya menunjukkan keterkejutan. "Ck.... aku tak sekejam itu." Kataku mendelik padanya. Gemas sekali aku lihat ekspresi yang polos itu. "Ah.....Syukurlah," gumamnya kembali rebahan. Sepertinya dia sudah sangat mengantuk sampai-sampai terlihat berat mengangkat kepalanya lama-lama.Matanya yang sesekali berkedip dengan bulu mata lentik itu membuatku tak bisa berpaling. Manis sekali. Kuakui gadis ini cukup cantik. Kulitnya putih, matanya bulat dan hidungnya bangir. Ditambah lagi bibirnya yang berwarna pink alami dan sedikit bervolume. Entah nyaman atau apa, masih dengan menatap wajah polos tanpa make up itu aku pun kembali bercerita. "Pria itu bunuh diri karena tak sanggup kehilangan karir dan jabatannya. Dan si wanita karena Shock mengalami keguguran." Dadaku kembali bergemuruh mengingat kejadian itu. "Jujur, aku yang menghancurkan karir laki-laki itu sebagai balasan pengkhianatan yang dia lakukan padaku dan adikku."
Baca selengkapnya

Postingan Nathan.

Pov Shila. Seminggu berlalu dengan kelegaan. Sedikit tenang karena si Pria arrogant tak muncul lagi. Jujur aku juga tidak yakin dengan malam itu. Benarkah Elgar datang ke kamarku? Atau aku sedang berhalusinasi. Namun yang pasti kami bangun di ranjang yang sama. Aku begitu panik ketika membuka mata yang kulihat adalah sosok Elgar yang tertidur pulas. Sedang di depan pintu kamar Nathan dengan gedoran pintunya. Kugoyangkan tubuh besarnya namun seolah menjelma jadi putri tidur pria itu tak merespon. Kucubit saja lengannya dengan kuku-kuku panjangku sembari Melampiaskan rasa kesal bercampur gemas. Dan ternyata itu berhasil si tukang tidur terbangun juga. Sangat menyebalkan, dia sempat mengomel di tengah situasi yang bisa dikatakan genting. Mungkin tidak baginya tapi iya, bagiku. Aku tidak bisa membayangkan respon Nathana melihatku bersama Elgar di jam 2 pagi. Namun seminggu ini berlalu tanpa drama dan tanpa kepanikan. Entah kemana si pria arrogant? Kurasa pekerjaan yang membuatnya ta
Baca selengkapnya

"Terima kasih juga sudah mau berteman."

[Kamu pilih pergi dengan Putra atau aku sendiri yang menjemputmu.]"Kamu ja..." Kalimatku tetelan kembali di tenggorokan begitu sambungan telpon diputuskan sepihak oleh si pria egois. Satu panggilan baru yang satu detik lalu tercetus dalam pikiranku untuk Elgar. Tok...tok.... Baru beberapa detik pintu sudah di ketuk dari luar. Nampak Putra berdiri dengan sopan begitu pintu kubuka. "Silahkan mobil sudah menunggu di luar," ucapnya mempersilahkan aku berjalan lebih dulu. Saat melewati lobby Nathan sempat menghampiri dengan ponsel di telinganya. "Hati-hati dan jangan pulang terlalu malam." Katanya sambil melambaikan tangan lalu pergi begitu saja. Pria itu seperti sedang membicarakan hal penting dengan lawan bicaranya. "Apa yang kamu katakan pada Nathan?" tanyaku setelah kami masuk mobil. Putra duduk di sebelah sopir dan aku di kursi penumpang bagian belakang. "Saya beralasan mengajak Nona Shila untuk bertemu teman sekolah." Putra menjawab dengan kalimat formal. Asisten pribadi Elg
Baca selengkapnya
Sebelumnya
123456
...
12
DMCA.com Protection Status