Semua Bab Penyamaran Saudara Kembar: Bab 31 - Bab 40

47 Bab

Bu Dian Mulai Berubah

Welcome to IndonesiaTulisan di Bandara Soekarno-Hatta itu membuat wajah Malia berseri-seri. Meski telah melalui perjalanan panjang selama belasan jam, Malia masih sanggup berfoto-foto dan menggeret kopernya penuh semangat.Wajah Dejan masih seasam perasan jeruk nipis. Kalau saja tidak berhutang budi kepada Malia, sudah pasti dia akan mengusir gadis itu jauh-jauh.Mereka memesan taksi menuju sebuah hotel bintang empat di kawasan Mampang, Jakarta Selatan. Malia sempat menawarkan agar Dejan menumpang mandi dan berganti pakaian, tetapi langsung ditolak mentah-mentah. Tujuan Dejan hanya satu: segera kembali ke rumah untuk menemui Devan dan menyelesaikan semuanya."Ingat, Malia, jangan cari gara-gara! Aku mengizinkanmu ikut sebagai timbal balik atas bantuanmu," tegasnya sebelum meninggalkan hotel."Telingaku masih di sini, Dejan, tidak perlu kau ulangi berkali-kali!"Malia cemberut. Dia memang belum tau tujuan kepulangan Dejan yang sebenarnya, tetapi gelagatnya jelas terlihat marah sekali
Baca selengkapnya

Adu Jotos

"Emm, omong-omong, ke dokter apa kamu akan berobat? Maksudku, apakah cukup ke dokter umum atau perlu ke spesialis?" tanya Dejan saat turun dari mobil.Malia adalah warga negara asing sehingga Dejan perlu membantunya melakukan registrasi di lobi rumah sakit."Spesialis kandungan," jawab Malia tanpa ragu. Dejan terhenyak beberapa detik. Dokter spesialis kandungan? Apa yang sebenarnya terjadi dengan Malia?"Kenapa wajahmu tegang begitu? Kamu pikir aku hamil?" terka Malia tanpa tedeng aling-aling."Ya, emm, tidak ... Maksudku, sedikit saja." Dejan mengacungkan jempol dan telunjuk yang hampir menyatu untuk menegaskan kata 'sedikit' itu. Malia terkekeh. Jawaban Dejan yang terbata-bata itu jelas menunjukkan bahwa dia grogi dan takut salah bicara."Bagaimana kalau nanti dokter bertanya siapa ayahnya? Haruskah kujawab bahwa itu kamu?" Malia semakin merasa di atas angin, ingin mengusilinya.Dejan memasang muka datar dengan lirikan setajam belati. "Kalau kau tidak sesakit itu dan masih bisa b
Baca selengkapnya

Rahasia yang Harus Tetap Menjadi Rahasia

"Anda berdua akan dibebaskan setelah membayar ganti rugi kerusakan dan menandatangani surat pernyataan. Dan sebagai kosekuensi ke depannya, Anda dilarang berobat di rumah sakit ini untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan," ucap kepala keamanan rumah sakit.Tanpa banyak cakap, Dejan dan Devan langsung menyetujui syarat tersebut. Uang bisa dicari. Rumah sakit lain juga masih banyak. Namun, urusan dua bersaudara ini harus segera diselesaikan.Setelah menyelesaikan urusan di kantor keamanan, Dejan meminta sepasang kekasih itu menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. Waktunya tidak banyak, jadi dia langsung menanyai mereka di depan kantor keamanan."Jadi bener, lo hamil anak kakak gue?" Dejan menatap tajam Talita.Wanita berlipstik merah menyala itu mengangguk seraya mengelus perutnya. Masih kempis, Dejan tebak usia kandungannya baru beberapa minggu."Rencana lo apa sekarang?" Lelaki yang matanya masih merah menahan kantuk itu ganti menatap Devan."Bukan urusan lo!" balas Devan sen
Baca selengkapnya

Maukah Kau Memulai Kembali?

Sudah tiga hari berlalu sejak Malia menemui Kintan. Selama tiga hari itu juga, Kintan enggan menerima telepon atau membalas pesan Dejan. Sempat terbersit keinginan untuk memblokir nomornya sementara waktu, tapi Kintan tidak sampai hati. Kalau dipikir-pikir, muara semua kesalahpahaman itu adalah Devan. Dialah yang pergi begitu saja tanpa menjelaskan apa pun. Seandainya mereka putus sejak awal, barangkali rasanya tidak sesakit itu. "Nggak ke toko lagi, Tan?" tanya Bu Ranti. Sudah tiga hari dia mendapati anaknya murung dan kurang nafsu makan. Namun, setiap kali ditanya gadis itu mengunci mulutnya rapat-rapat. "Mungkin nanti siangan, Bu." Kintan mengaduk nasi gorengnya tanpa minat. Kegiatannya terhenti karena ada telepon dari Dinda. Dia jadi punya alasan untuk meninggalkan sarapan dan pergi ke balkon untuk menerima telepon. "Halo, Din." "Tan, lagi di mana?" "Di rumah. Kenapa?" "Temani jalan-jalan ke Ancol, yuk!" "Hah?!" Kintan mengernyit karena ajakan itu terasa sangat tiba-tib
Baca selengkapnya

Menjadi yang Selalu Ada

Udara di sekitar kedai makanan itu terasa hampa. Harumnya bumbu ayam goreng dan hiruk pikuk suasana sekitar tidak cukup mampu memecah keheningan di antara Dejan dan Kintan. Keduanya menarik napas dalam, mengisi rongga dada yang terasa sesak dengan sebanyak-banyaknya udara. "Aku hargai keputusan kamu, Tan," kata Dejan akhirnya. "Tapi bolehkah aku meminta satu hal?" sambungnya. Kintan mengangkat alis sebagai isyarat agar Dejan melanjutkan ucapannya. "Kita masih bisa temenan, kan?" Kintan tersenyum kecil. Sebuah senyuman yang sulit Dejan artikan. "Menurut Mas Dejan, kita masih bisa temenan? Setelah semua yang aku alami kemarin, aku harus bersikap biasa saja? Jangan kelewatan kalau bercanda!" Intonasinya menjadi lebih berat di ujung kalimat.Baru kali itu Dejan melihat Kintan melempar tatapan sinis. Meski demikian, ucapan gadis itu memang tidak salah. Apa yang dia harapkan dari sebuah pertemanan yang diawali dengan kebohongan? "Iya sih, Tan. Kamu nggak bikin keributan aja udah syuk
Baca selengkapnya

Wanita Licik untuk Pria Egois

[Beberapa jam sebelumnya]"Mas, anterin ke mall, yuk! Aku mau beli beberapa perlengkapan buat ibu hamil. Di Jambi susah nyarinya," pinta Talita dengan suara manja.Tangannya mengelus perut yang masih singset. Pakaiannya pun masih ketat sehingga memperlihatkan lekuk tubuhnya yang seksi."Jangan sekarang, Sayang. Aku harus ketemu vendor untuk persiapan proyek baru," tolak Devan sembari membelai lembut rambut kekasih barunya. Kekasih baru yang sudah mengandung benih hasil perselingkuhan mereka.Talita berdecak kesal. Dia melepaskan diri dari pelukan Devan lalu berdiri di dekat jendela. Melihat wanita cantik itu marah, Devan pun menyusul dan memeluknya dari belakang."Ambekan banget sih, Sayang. Bawaan orok, ya?" kelakarnya.Talita pura-pura memberontak. Devan mengeratkan pelukannya. Tangan nakalnya merayap naik membuat Talita diam-diam kegirangan."Lanjut nanti ya, Cantik. Aku mau selesaikan slide presentasi dulu."Devan mengecup pipi Talita lalu kembali berkutat dengan laptopnya di meja
Baca selengkapnya

Bukan Sekadar Tanggung Jawab

"Jadi, Ayah kambuh gara-gara Mas Devan dan Talita datang ke rumah?" Kintan menarik kesimpulan setelah ibunya selesai menceritakan kronologi kambuhnya Pak Surya."Kamu tahu soal perempuan itu?" Bu Ranti balik bertanya dengan nada geram. Matanya menyipit dan tatapannya tajam.Mau tak mau Kintan mengangguk. Tidak ada lagi celah untuk menutupi fakta."Tega-teganya kamu membiarkan kami mendengarnya dari mulut orang lain, Tan!" Bu Ranti memalingkan wajah.Setetes air mata kembali jatuh ke pipinya. Sakit karena mengetahui kabar itu dari orang lain tidaklah seberapa. Bu Ranti nelangsa karena anak perempuan satu-satunya ternyata dicampakkan dengan cara yang tidak beretika. Awalnya beralasan ibunya tidak setuju, tapi kemudian membawa wanita lain yang sedang mengandung. Kurang sakit apa? Kondisi Pak Surya cukuplah menjadi bukti bahwa Devan bukanlah pria yang baik. Kelak di kemudian hari, seandainya lelaki itu meminta maaf hingga tersungkur di kakinya, Bu Ranti tidak akan memberi restu agar mer
Baca selengkapnya

Nasi Sudah Menjadi Bubur

Dejan bangun pagi itu dengan kepala berdenyut hebat. Dia terhuyung-huyung bangkit dari tempat tidur. Pandangan matanya semula gelap, tetapi kemudian berangsur normal. Meski begitu, nyeri di kepalanya tak kunjung membaik setelah dia hanya berdiam diri sekitar 10 menit. Pria itu mengambil botol minum di atas nakas samping tempat tidur. Dia memang terbiasa menyiapkan air putih di sekitar ranjang agar dapat dengan mudah meminumnya ketika terbangun tengah malam. Setelah memijit kepala sebentar, Dejan berdiri dan melakukan peregangan. Otot-otot tubuh, terutama di bagian bahu dan pinggang terasa tertarik. Sekujur badannya pegal dan kurang bertenaga. Setelah diingat-ingat, dia memang belum beristirahat dengan baik sepulang dari Eropa. Bayangkan ... Sekembalinya ke Indonesia--dan dibututi oleh Malia--Dejan justru memergoki Devan yang mengantar Talita ke dokter kandungan. Mereka terlibat perkelahian di rumah sakit sehingga harus membayar ganti rugi dilarang berobat ke sana lagi. Selain itu,
Baca selengkapnya

Skandal yang Terbongkar

"Nasi sudah menjadi bubur. Meminta maaf sekarang tidak akan mengubah apa pun. Silakan pulang saja!" hardik Bu Ranti. Suaranya bergetar karena menahan tangis. Kintan memegangi bahu ibunya. Di satu sisi, dia tidak sampai hati mengusir keluarga Devan. Namun, di sisi lain, dia juga sangat memahami dan menghormati pilihan sang ibu. Memang tidak mudah membukakan pintu maaf kepada seseorang yang pernah merugikan kita. Apalagi dalam hal ini, nyawa taruhannya. Bu Dian masih belum beranjak. Dia tetap bersimpuh di hadapan Bu Ranti meski wanita itu berkali-kali menyingkirkan tangannya.Dejan memandang Kintan dengan wajah memelas. Melalui isyarat, dia meminta Kintan menjauh untuk membicarakan sesuatu. Dejan berjalan dahulu menuju koridor di sisi kanan ruang operasi. Kintan menyusul setelah terlebih dahulu mohon permisi kepada Bu Dian."Ada apa, Mas?" tanyanya setelah berhadapan dengan Dejan. Mereka leluasa bercakap-cakap karena di lorong itu minim lalu lalang orang lewat."Seperti janjiku kemar
Baca selengkapnya

Konfrontasi

Devan menarik paksa lengan Talita. Matanya nyalang penuh amarah. Sebenarnya Talita kesakitan karena cengkeraman lelaki itu sangat kuat, tetapi dia tidak berani protes atau meronta. Jantungnya bertalu-talu, menanti kiranya hukuman apa yang akan diberikan Devan atas keributan tersebut. Di satu sisi, dia menyesal karena telah melanggar larangan Devan. Jelas, setelah ini, mereka berdua akan mendapat hukuman dari kantor. Namun, di sisi lain, Talita juga tidak terima dibicarakan di belakang seperti itu. Devan melepas cengkeraman dan bersegera menutup pintu begitu tiba di ruangannya. Dengan kasar, dia setengah mendorong Talita agar duduk di salah satu kursi. "Kamu sudah gila? Hah?!" bentak Devan. Dia mati-matian mengecilkan volume suara agar tidak terdengar dari luar. Devan tahu, pegawai lain pasti sedang berkumpul di depan ruangannya untuk menguping. "Baru kemarin aku tekankan supaya kamu sembunyikan kehamilan dulu. Baru kemarin, Tal. Kamu segitunya butuh pengakuan? Kamu takut aku lari
Baca selengkapnya
Sebelumnya
12345
DMCA.com Protection Status