"Anda berdua akan dibebaskan setelah membayar ganti rugi kerusakan dan menandatangani surat pernyataan. Dan sebagai kosekuensi ke depannya, Anda dilarang berobat di rumah sakit ini untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan," ucap kepala keamanan rumah sakit.Tanpa banyak cakap, Dejan dan Devan langsung menyetujui syarat tersebut. Uang bisa dicari. Rumah sakit lain juga masih banyak. Namun, urusan dua bersaudara ini harus segera diselesaikan.Setelah menyelesaikan urusan di kantor keamanan, Dejan meminta sepasang kekasih itu menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. Waktunya tidak banyak, jadi dia langsung menanyai mereka di depan kantor keamanan."Jadi bener, lo hamil anak kakak gue?" Dejan menatap tajam Talita.Wanita berlipstik merah menyala itu mengangguk seraya mengelus perutnya. Masih kempis, Dejan tebak usia kandungannya baru beberapa minggu."Rencana lo apa sekarang?" Lelaki yang matanya masih merah menahan kantuk itu ganti menatap Devan."Bukan urusan lo!" balas Devan sen
Sudah tiga hari berlalu sejak Malia menemui Kintan. Selama tiga hari itu juga, Kintan enggan menerima telepon atau membalas pesan Dejan. Sempat terbersit keinginan untuk memblokir nomornya sementara waktu, tapi Kintan tidak sampai hati. Kalau dipikir-pikir, muara semua kesalahpahaman itu adalah Devan. Dialah yang pergi begitu saja tanpa menjelaskan apa pun. Seandainya mereka putus sejak awal, barangkali rasanya tidak sesakit itu. "Nggak ke toko lagi, Tan?" tanya Bu Ranti. Sudah tiga hari dia mendapati anaknya murung dan kurang nafsu makan. Namun, setiap kali ditanya gadis itu mengunci mulutnya rapat-rapat. "Mungkin nanti siangan, Bu." Kintan mengaduk nasi gorengnya tanpa minat. Kegiatannya terhenti karena ada telepon dari Dinda. Dia jadi punya alasan untuk meninggalkan sarapan dan pergi ke balkon untuk menerima telepon. "Halo, Din." "Tan, lagi di mana?" "Di rumah. Kenapa?" "Temani jalan-jalan ke Ancol, yuk!" "Hah?!" Kintan mengernyit karena ajakan itu terasa sangat tiba-tib
Udara di sekitar kedai makanan itu terasa hampa. Harumnya bumbu ayam goreng dan hiruk pikuk suasana sekitar tidak cukup mampu memecah keheningan di antara Dejan dan Kintan. Keduanya menarik napas dalam, mengisi rongga dada yang terasa sesak dengan sebanyak-banyaknya udara. "Aku hargai keputusan kamu, Tan," kata Dejan akhirnya. "Tapi bolehkah aku meminta satu hal?" sambungnya. Kintan mengangkat alis sebagai isyarat agar Dejan melanjutkan ucapannya. "Kita masih bisa temenan, kan?" Kintan tersenyum kecil. Sebuah senyuman yang sulit Dejan artikan. "Menurut Mas Dejan, kita masih bisa temenan? Setelah semua yang aku alami kemarin, aku harus bersikap biasa saja? Jangan kelewatan kalau bercanda!" Intonasinya menjadi lebih berat di ujung kalimat.Baru kali itu Dejan melihat Kintan melempar tatapan sinis. Meski demikian, ucapan gadis itu memang tidak salah. Apa yang dia harapkan dari sebuah pertemanan yang diawali dengan kebohongan? "Iya sih, Tan. Kamu nggak bikin keributan aja udah syuk
[Beberapa jam sebelumnya]"Mas, anterin ke mall, yuk! Aku mau beli beberapa perlengkapan buat ibu hamil. Di Jambi susah nyarinya," pinta Talita dengan suara manja.Tangannya mengelus perut yang masih singset. Pakaiannya pun masih ketat sehingga memperlihatkan lekuk tubuhnya yang seksi."Jangan sekarang, Sayang. Aku harus ketemu vendor untuk persiapan proyek baru," tolak Devan sembari membelai lembut rambut kekasih barunya. Kekasih baru yang sudah mengandung benih hasil perselingkuhan mereka.Talita berdecak kesal. Dia melepaskan diri dari pelukan Devan lalu berdiri di dekat jendela. Melihat wanita cantik itu marah, Devan pun menyusul dan memeluknya dari belakang."Ambekan banget sih, Sayang. Bawaan orok, ya?" kelakarnya.Talita pura-pura memberontak. Devan mengeratkan pelukannya. Tangan nakalnya merayap naik membuat Talita diam-diam kegirangan."Lanjut nanti ya, Cantik. Aku mau selesaikan slide presentasi dulu."Devan mengecup pipi Talita lalu kembali berkutat dengan laptopnya di meja
"Jadi, Ayah kambuh gara-gara Mas Devan dan Talita datang ke rumah?" Kintan menarik kesimpulan setelah ibunya selesai menceritakan kronologi kambuhnya Pak Surya."Kamu tahu soal perempuan itu?" Bu Ranti balik bertanya dengan nada geram. Matanya menyipit dan tatapannya tajam.Mau tak mau Kintan mengangguk. Tidak ada lagi celah untuk menutupi fakta."Tega-teganya kamu membiarkan kami mendengarnya dari mulut orang lain, Tan!" Bu Ranti memalingkan wajah.Setetes air mata kembali jatuh ke pipinya. Sakit karena mengetahui kabar itu dari orang lain tidaklah seberapa. Bu Ranti nelangsa karena anak perempuan satu-satunya ternyata dicampakkan dengan cara yang tidak beretika. Awalnya beralasan ibunya tidak setuju, tapi kemudian membawa wanita lain yang sedang mengandung. Kurang sakit apa? Kondisi Pak Surya cukuplah menjadi bukti bahwa Devan bukanlah pria yang baik. Kelak di kemudian hari, seandainya lelaki itu meminta maaf hingga tersungkur di kakinya, Bu Ranti tidak akan memberi restu agar mer
Dejan bangun pagi itu dengan kepala berdenyut hebat. Dia terhuyung-huyung bangkit dari tempat tidur. Pandangan matanya semula gelap, tetapi kemudian berangsur normal. Meski begitu, nyeri di kepalanya tak kunjung membaik setelah dia hanya berdiam diri sekitar 10 menit. Pria itu mengambil botol minum di atas nakas samping tempat tidur. Dia memang terbiasa menyiapkan air putih di sekitar ranjang agar dapat dengan mudah meminumnya ketika terbangun tengah malam. Setelah memijit kepala sebentar, Dejan berdiri dan melakukan peregangan. Otot-otot tubuh, terutama di bagian bahu dan pinggang terasa tertarik. Sekujur badannya pegal dan kurang bertenaga. Setelah diingat-ingat, dia memang belum beristirahat dengan baik sepulang dari Eropa. Bayangkan ... Sekembalinya ke Indonesia--dan dibututi oleh Malia--Dejan justru memergoki Devan yang mengantar Talita ke dokter kandungan. Mereka terlibat perkelahian di rumah sakit sehingga harus membayar ganti rugi dilarang berobat ke sana lagi. Selain itu,
"Nasi sudah menjadi bubur. Meminta maaf sekarang tidak akan mengubah apa pun. Silakan pulang saja!" hardik Bu Ranti. Suaranya bergetar karena menahan tangis. Kintan memegangi bahu ibunya. Di satu sisi, dia tidak sampai hati mengusir keluarga Devan. Namun, di sisi lain, dia juga sangat memahami dan menghormati pilihan sang ibu. Memang tidak mudah membukakan pintu maaf kepada seseorang yang pernah merugikan kita. Apalagi dalam hal ini, nyawa taruhannya. Bu Dian masih belum beranjak. Dia tetap bersimpuh di hadapan Bu Ranti meski wanita itu berkali-kali menyingkirkan tangannya.Dejan memandang Kintan dengan wajah memelas. Melalui isyarat, dia meminta Kintan menjauh untuk membicarakan sesuatu. Dejan berjalan dahulu menuju koridor di sisi kanan ruang operasi. Kintan menyusul setelah terlebih dahulu mohon permisi kepada Bu Dian."Ada apa, Mas?" tanyanya setelah berhadapan dengan Dejan. Mereka leluasa bercakap-cakap karena di lorong itu minim lalu lalang orang lewat."Seperti janjiku kemar
Devan menarik paksa lengan Talita. Matanya nyalang penuh amarah. Sebenarnya Talita kesakitan karena cengkeraman lelaki itu sangat kuat, tetapi dia tidak berani protes atau meronta. Jantungnya bertalu-talu, menanti kiranya hukuman apa yang akan diberikan Devan atas keributan tersebut. Di satu sisi, dia menyesal karena telah melanggar larangan Devan. Jelas, setelah ini, mereka berdua akan mendapat hukuman dari kantor. Namun, di sisi lain, Talita juga tidak terima dibicarakan di belakang seperti itu. Devan melepas cengkeraman dan bersegera menutup pintu begitu tiba di ruangannya. Dengan kasar, dia setengah mendorong Talita agar duduk di salah satu kursi. "Kamu sudah gila? Hah?!" bentak Devan. Dia mati-matian mengecilkan volume suara agar tidak terdengar dari luar. Devan tahu, pegawai lain pasti sedang berkumpul di depan ruangannya untuk menguping. "Baru kemarin aku tekankan supaya kamu sembunyikan kehamilan dulu. Baru kemarin, Tal. Kamu segitunya butuh pengakuan? Kamu takut aku lari
Kintan menikmati akhir pekan dengan berjalan-jalan di Rue de I'Abreuvoir. Jalanan terkenal di kawasan Montmartre, Paris itu tampak menawan dengan pemandangan bunga wisteria yang bermekaran. Matahari musim panas bersinar cerah, membuat rumah warna-warni di sepanjang jalan lebih semarak."Kintan, Carrot, let's take a selfie!" ajak Yujin dengan aksen Korea yang medok.Ajakan itu pun disambut antusias. Carrot, gadis tinggi semampai asal Thailand, buru-buru mengeluarkan ponsel dan mengarahkan kamera depan ke wajah mereka.Berbagai macam gaya seperti peace, manyun, mengedipkan sebelah mata, dan lainnya mulai memenuhi galeri Carrot. Untuk urusan dokumentasi, gadis itu memang paling bisa diandalkan. Tangannya yang panjang membuat jangkauan tampilan foto selfie mereka lebih luas.Mereka berkenalan di hari pertama sekolah memasak dimulai. Sebagai sesama orang Asia di antara murid Eropa dan Amerika, kedekatan mereka terjalin begitu saja lewat obrolan dan makanan. Kepada mereka jugalah Kintan akh
Pernikahan Devan dan Talita awalnya terasa begitu indah. Mereka menggelar resepsi mewah dan mampu mengundang penyanyi favorit Talita sebagai bintang tamu. Bulan madunya pun tidak main-main, paket perjalanan ke lima negara Eropa selama 10 hari. Semua tampak baik-baik saja hingga kemudian badai menerpa di usia pernikahan yang masih seumur jagung.Pernikahan yang semula terasa manis dan indah, berubah menjadi hari-hari penuh pertengkaran. Curiga, cemburu, dan miskomunikasi adalah makanan sehari-hari. Rumah yang masih dalam cicilan itu menjadi saksi bisu terbongkarnya kebusukan Talita satu demi satu.Di usia kehamilan Talita yang menginjak 7 bulan, Devan harus menjalani serangkaian proses pemeriksaan di kantor. Divisi keuangan melaporkan adanya tindak penggelapan uang proyek pada audit tahunan. Tersangkanya adalah Talita selama mereka bertugas di Jambi.Perusahaan ditaksir mengalami kerugian hingga 200 juta rupiah. Tim Legal awalnya ingin melaporkan kasus tersebut ke polisi, tetapi Devan
"Besok aku akan bicara dengan Om dan Tante, Bu. Nggak usah takut, kita nggak salah. Dzolim sekali kalau mereka menuntut warisan sementara Ayah memiliki istri dan anak yang masih hidup!" ucap Kintan tegas.Kintan geram sebab kerabatnya sudah kelewat batas. Warisan yang ditinggalkan Pak Surya memang cukup banyak, meliputi tabungan, rumah, tanah, dan toko kue. Namun, bukan berarti mereka bisa meminta seenaknya. Itu tidak sesuai dengan hukum perdata maupun hukum Islam."Tadi Ibu sudah berusaha menyampaikan pendapat, tapi mereka masih kekeh. Om Yudi merasa berhak mendapatkan bagi hasil toko kue karena dulu ikut menyumbang material. Tante Ira juga merasa berhak dapat warisan tanah karena pembagian dari kakek kamu dulu tidak sama banyak. Ibu sudah capek, Tan.""Mana bisa begitu? Kalau niat awalnya bantu ya bantu. Urusan pembagian warisan dari Kakek juga bukan tanggung jawab kita. Udah, pokoknya Ibu istirahat ya, jangan mikirin hal-hal nggak penting kayak gitu. Sekarang aku yang akan pasang b
Dinda menemui Kintan dan Bu Ranti. Dia harus menjelaskan perihal chef kiriman Dejan sebelum mereka salah paham. Lagi pula, tambahan bantuan itu juga sangat berarti di tengah sibuknya persiapan acara doa bersama. "Jadi, maksud kamu, Mas Dejan sengaja mengirim chef pribadi ke sini untuk menyiapkan konsumsi selama tiga hari ke depan?" Kintan mengulang informasi yang didengarnya. Dinda mengangguk mengiakan. "Kintan, Tante, sebelumnya aku minta maaf kalau terkesan lancang. Tolong jangan menolak dan menyalahartikan niat baiknya. Dejan benar-benar tulus ingin membantu." Dinda menunduk dalam. Dia siap dengan segala konsekuensi yang mungkin akan diterima. "Tapi buat apa, Din?" Intonasi Kintan meninggi. "Aku nggak pernah minta! Bayar chef pribadi itu mahal, apalagi sampai tiga hari. Terus aku harus diam menikmati semua bantuannya dan berpikir dia nggak punya niat tersembunyi? Mana bisa begitu!" "Kintan, pelankan suaramu, Nak. Ada banyak kerabat di luar," tegur Bu Ranti. Dia pun sebenarn
Jalanan macet, pikiran kusut, dan Talita yang seenaknya pergi setelah marah-marah adalah kombinasi memuakkan hingga membuat Devan memukul setirnya berulang kali. Tanpa memedulikan tatapan sinis pengendara lain, dia menekan klakson tidak sabaran. Kepalanya berdenyut nyeri. Semua hal seolah terjadi begitu cepat hingga Devan tak sanggup membendung akibatnya."Haruskah aku datang ke pemakaman?" tanyanya dalam hati, berulang kali.Namun, ada keraguan besar yang menahan langkahnya. Apakah kedatangan Devan bisa diterima oleh keluarga Kintan? Dia khawatir, keributan besar akan terjadi dan mengganggu suasana mereka yang tengah berduka.Selain itu, diam-diam Devan juga takut dilaporkan ke polisi. Bagaimana jika keluarga Kintan menuntutnya dengan pasal pembunuhan yang tidak disengaja? Devan pernah menonton berita televisi, pelaku kejahatan tersebut juga bisa masuk penjara. Jika itu terjadi, tamatlah riwayatnya.Devan mengepalkan tangannya yang gemetaran. Dia berusaha mengatur napas. Tidak. Kinta
Mobil jenazah melaju pelan memasuki gang. Sirinenya tidak dinyalakan, sesuai permintaan keluarga. Sudah ada seorang lelaki di ujung gang yang memandu mobil tersebut. Tetangga lainnya juga sudah ramai berkerumun di depan rumah yang sedang berduka.Ketika pintu mobil dibuka, Kintan turun terlebih dahulu. Matanya sembab dan pandangannya kosong. Dengan sisa-sisa kekuatan yang ada, dia memegang tangan Bu Ranti untuk membantunya turun. Peti jenazah diturunkan oleh beberapa orang lelaki untuk disalatkan terlebih dahulu.Dinda menghambur dan memeluk Kintan. Berulang kali dia mengucap maaf karena tidak bisa membersamai sang sahabat di titik terendah. Pada saat Pak Surya dirawat di rumah sakit, Dinda tengah berada di Bandung untuk mengurus kasus sengketa tanah keluarga."Aku bersaksi ayahmu orang baik, Tan. Semoga Allah ampuni dosanya, terima seluruh amal baiknya, dan tempatkan di surga," bisik Dinda.Kintan mengangguk dan mengamini doa sahabatnya. Sejujurnya, dia sedih sekaligus bahagia. Bagai
Pak Surya keluar dari ruang ICU sehari pasca operasi. Dokter menyatakan kondisinya sudah cukup stabil. Untuk mempercepat proses pemulihan, lelaki berusia setengah abad tersebut diharuskan menjalani rawat inap selama beberapa waktu. Ada pemantauan rutin untuk memeriksa bekas luka jahit, ritme detak jantung, serta tanda vital lainnya.Pagi itu, Pak Surya minta disuapi oleh Kintan. Gadis itu pun dengan senang hati memenuhi permintaan ayahnya. Rasanya sudah lama sekali mereka tidak quality time. Momen itu pun dimanfaatkan Kintan untuk membahas hal-hal yang menyenangkan demi kesembuhan Pak Surya."Nanti kalau Ayah sudah boleh pulang, kita jalan-jalan ke Lembang, yuk!" katanya seraya meyuapkan sesendok bubur hambar.Pak Surya terkekeh dan mengangguk. Meski bibirnya masih pucat, wajahnya terlihat lebih bersih dan berseri."Nanti aku tanya dokter deh, Ayah boleh makan cake atau nggak. Aku punya resep baru lho yang belum Ayah coba." Kintan terlihat bersemangat. Dia memang sudah cukup lama ingi
Pak Surya masih belum sadarkan diri selepas menjalani operasi pemasangan ring jantung. Lelaki paruh baya itu terkulai lemah di ruang pemulihan. Bibirnya pucat dan tubuhnya sama sekali tidak bergerak. Satu-satunya penanda bahwa dia masih hidup adalah bunyi 'bip' berulang dari alat monitor jantung.Berbagai macam selang terpasang di tubuhnya. Satu selang terhubung ke tabung oksigen. Selang lain untuk mendeteksi detak jantung. Ada pula selang infus dan selang pembuangan. Selang-selang itulah yang menopang tanda vital kehidupannya."Ngapain, sih, dia masih di sini?" tanya Bu Ranti, lebih seperti menggerutu. Matanya melirik Bu Dian yang sepertinya sedang berzikir dengan suara lirih.Pak Doni sedang mengantar Dejan ke bandara. Lelaki itu hanya bisa menunggui operasi Pak Surya sampai separuh jalan. Meskipun ingin berada di sana lebih lama, kewajibannya untuk mengurus bisnis harus menjadi prioritas untuk saat ini."Jangan begitu, Bu. Tante Dian sudah banyak membantu dari tadi." Kintan menging
Devan menarik paksa lengan Talita. Matanya nyalang penuh amarah. Sebenarnya Talita kesakitan karena cengkeraman lelaki itu sangat kuat, tetapi dia tidak berani protes atau meronta. Jantungnya bertalu-talu, menanti kiranya hukuman apa yang akan diberikan Devan atas keributan tersebut. Di satu sisi, dia menyesal karena telah melanggar larangan Devan. Jelas, setelah ini, mereka berdua akan mendapat hukuman dari kantor. Namun, di sisi lain, Talita juga tidak terima dibicarakan di belakang seperti itu. Devan melepas cengkeraman dan bersegera menutup pintu begitu tiba di ruangannya. Dengan kasar, dia setengah mendorong Talita agar duduk di salah satu kursi. "Kamu sudah gila? Hah?!" bentak Devan. Dia mati-matian mengecilkan volume suara agar tidak terdengar dari luar. Devan tahu, pegawai lain pasti sedang berkumpul di depan ruangannya untuk menguping. "Baru kemarin aku tekankan supaya kamu sembunyikan kehamilan dulu. Baru kemarin, Tal. Kamu segitunya butuh pengakuan? Kamu takut aku lari