Mobil jenazah melaju pelan memasuki gang. Sirinenya tidak dinyalakan, sesuai permintaan keluarga. Sudah ada seorang lelaki di ujung gang yang memandu mobil tersebut. Tetangga lainnya juga sudah ramai berkerumun di depan rumah yang sedang berduka.Ketika pintu mobil dibuka, Kintan turun terlebih dahulu. Matanya sembab dan pandangannya kosong. Dengan sisa-sisa kekuatan yang ada, dia memegang tangan Bu Ranti untuk membantunya turun. Peti jenazah diturunkan oleh beberapa orang lelaki untuk disalatkan terlebih dahulu.Dinda menghambur dan memeluk Kintan. Berulang kali dia mengucap maaf karena tidak bisa membersamai sang sahabat di titik terendah. Pada saat Pak Surya dirawat di rumah sakit, Dinda tengah berada di Bandung untuk mengurus kasus sengketa tanah keluarga."Aku bersaksi ayahmu orang baik, Tan. Semoga Allah ampuni dosanya, terima seluruh amal baiknya, dan tempatkan di surga," bisik Dinda.Kintan mengangguk dan mengamini doa sahabatnya. Sejujurnya, dia sedih sekaligus bahagia. Bagai
Jalanan macet, pikiran kusut, dan Talita yang seenaknya pergi setelah marah-marah adalah kombinasi memuakkan hingga membuat Devan memukul setirnya berulang kali. Tanpa memedulikan tatapan sinis pengendara lain, dia menekan klakson tidak sabaran. Kepalanya berdenyut nyeri. Semua hal seolah terjadi begitu cepat hingga Devan tak sanggup membendung akibatnya."Haruskah aku datang ke pemakaman?" tanyanya dalam hati, berulang kali.Namun, ada keraguan besar yang menahan langkahnya. Apakah kedatangan Devan bisa diterima oleh keluarga Kintan? Dia khawatir, keributan besar akan terjadi dan mengganggu suasana mereka yang tengah berduka.Selain itu, diam-diam Devan juga takut dilaporkan ke polisi. Bagaimana jika keluarga Kintan menuntutnya dengan pasal pembunuhan yang tidak disengaja? Devan pernah menonton berita televisi, pelaku kejahatan tersebut juga bisa masuk penjara. Jika itu terjadi, tamatlah riwayatnya.Devan mengepalkan tangannya yang gemetaran. Dia berusaha mengatur napas. Tidak. Kinta
"Mas, kamu yakin mau menikah dengan Kintan?" tanya Talita, seorang asisten cantik dengan bulu mata lentik.Devan, seorang manager dengan karir gemilang sekaligus atasan Talita itu tampak berpikir sejenak."Kurasa begitu. Kintan baik dan pengertian. Dia berusaha memahami pekerjaanku yang harus sering kunjungan lapang seperti sekarang."Devan bergeser karena Talita duduk di sebelahnya tanpa menyisakan jarak. Aroma parfum vanila mengusik indra penciuman Devan dan membuat debaran jantungnya tidak beraturan."Meskipun Kintan penyakitan?"Talita mengucapkan itu lirih sambil mencondongkan tubuhnya. Bulu kuduk Devan meremang karena dia dapat merasakan embusan napas Talita di telinganya."Kintan tidak penyakitan. Dia hanya ... Hanya tidak bisa mengenali wajah orang lain," jawab Devan agak terbata-bata."Lalu apa yang bisa Mas Devan harapkan dari perempuan seperti itu?" Talita mulai gusar. "Aku tahu Kintan pintar dan mandiri, tapi coba bayangkan suatu saat nanti dia harus ketemu keluarga besar
Dejan tidak bisa menyembunyikan kekagetannya. Kehadiran Kintan saat Devan sudah berangkat ke bandara menjadi bukti bahwa perempuan itu sama sekali belum mengetahui kabar kepindahan Devan. Gadis itu ada di hadapannya, berdiri sambil tersenyum manis hingga membuat jantungnya berdebar kencang.Kintan mengerutkan kening. "Suara Mas Devan agak beda. Mas lagi sakit?"Kintan yang buta wajah sama sekali tidak menyadari bahwa laki-laki di hadapannya bukanlah Devan. Memang dari segi perawakan, mereka sangat mirip. Namun, nada suara Devan lebih renyah sedangkan suara Dejan cenderung lembut."Em, iya, kecapekan aja mungkin," jawab Dejan sekenanya. Dalam hati dia merutuk, mengapa harus berbohong dan pura-pura menjadi Devan."Silakan masuk, Tan." Dejan mematikan keran dan berjalan terlebih dahulu memasuki rumah.Kintan memasuki halaman dan memperhatikan sekeliling. "Sejak kapan Mas Devan suka berkebun?"Dejan menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Iseng aja, lagi gabut.""Bagus, deh, kalau gitu. Ka
Orang tua Dejan kembali dari bandara tak lama setelah Kintan pergi dari sana. Lelaki itu lega karena mereka tidak sempat bertemu. Dia pun mengingatkan Mbok Darmi sekali lagi agar tidak membberitahukan kedatangan Kintan kepada siapa pun."Dek, habis ada tamu? Kok ada gelas di depan?" tanya Bu Dian."Oh, itu ... Tadi Dejan yang minum, Ma. Seger aja gitu minum es sambil baca berita." Dejan makin lihai mencari alasan.Bu Dian manggut-manggut lalu berlalu menuju kamar. Sementara itu, Dejan mengajak ayahnya untuk mengobrol di gazebo belakang karena ada sesuatu yang ingin dia tanyakan. Dia membawa kue dari Kintan untuk dimakan bersama sambil menyesap kopi."Pa, jadi sebenarnya hubungan Devan sama Kintan itu kayak gimana, sih?" tanya Dejan tanpa basa-basi. Dia belum mengatakan bahwa Kintan baru saja berkunjung ke sana."Tumben kamu kepo sama urusan orang. Biasanya yang kamu pikirin cuma kerja, kerja, dan kerja."Dejan hanya terkekeh dan beralasan bahwa dia juga ingin tahu permasalahan saudara
"Jadi, kita mau makan di mana?" tanya Dejan sambil memasang sabuk pengaman."Sebenarnya aku belum ada ide, sih. Ke tempat biasa juga boleh, Mas."Muka Dejan mendadak tegang. Mana dia tahu tempat biasanya mereka itu di mana?"Gimana kalau ganti suasana? Biar enggak bosan aja," usul Dejan. Dia benar-benar cerdik menghindari bahaya."Ikut ke mana Mas Devan suka aja, deh, kalau begitu."Dejan menyalakan mesin kemudian mobil itu mundur perlahan. Jalanan saat itu dipadati oleh berbagai jenis kendaraan. Kerlip lampu di sana-sini. Kintan tersenyum tak henti-henti.Sepanjang perjalanan, Kintan banyak bercerita tentang rencana pembukaan cabang baru. Sudah ada dua investor besar yang membidik pasar Bogor dan Bandung. Selain itu, ada tiga calon investor lain yang ingin membuka outlet di wilayah Jabodetabek."Tan, menurutku, jangan langsung serentak kalau mau membuka cabang. Punya banyak cabang itu kelihatannya memang keren dan menguntungkan. Tapi jangan lupa mempertimbangkan kemungkinan terburuk.
Matahari Jambi sedang terik-teriknya ketika ponsel Devan berdering. Devan sebenarnya malas mengangkat telepon dari mamanya. Selain karena sedang banyak pekerjaan, dia juga bosan ditanya dengan pertanyaan yang selalu sama. Namun, Bu Dian bisa menerornya dengan telepon tak henti-henti sepanjang hari jika lelaki itu sampai tidak menjawab panggilan.Setiap kali menelepon, Bu Dian hanya menanyakan kegiatan, berpesan agar tidak lupa makan, juga berharap agar dirinya segera pulang. Aktivitasnya sehari-hari relatif sama. Jam makannya pun tidak berubah. Apa lagi yang perlu diceritakan? Tubuhnya sudah lelah karena tuntutan pekerjaan.Hari itu pun, Devan menjawab telepon dengan malas-malasan. Matanya masih mengantuk karena hari sebelumnya pulang larut malam. Beruntung, Talita datang ke rumahnya pagi-pagi dan dengan sukarela memijit punggungnya."Kak, hubungan kamu sama Kintan gimana?" tanya Bu Dian tiba-tiba.Mata Devan terbuka lebar dan kantuknya mendadak hilang. Dia menengok kalender yang terp
Wangi kayu manis memenuhi dapur produksi Key and Cake. Bel berbunyi saat tombol pengatur pada oven menunjukkan bahwa waktu pemanggangan telah selesai. Seorang gadis bercelemek membuka penutup kaca dan mengeluarkan rak panggang berisi cinnamon rolls."Sari, jangan lupa cek kematangannya dulu, ya! Kalau bagian dalam masih kurang matang, kamu panggang sebentar lagi," saran Kintan. Dia mengenali karyawan barunya itu dari gelang kaki.Sari mengangguk kemudian memotong salah satu kue dengan pisau khusus. Warnanya yang cokelat keemasan itu terlihat cantik dan menggugah selera. Setelah memastikan bahwa kue buatan Sari sudah matang sempurna, Kintan beranjak dari dapur. Dia menuju ruangan display dan duduk di salah satu kursi yang menghadap ke jalan raya.Jam dinding di toko menunjukkan pukul empat sore. Biasanya, sebentar lagi toko itu akan ramai diserbu pelanggan yang baru pulang dari kantor. Sejak Key and Cake menangani pesanan dari kantor Devan, toko itu mengalami perkembangan yang cukup pe