Beranda / CEO / Sekretarisku Jilbaber / Bab 11 - Bab 20

Semua Bab Sekretarisku Jilbaber : Bab 11 - Bab 20

214 Bab

Bab. 11

Cukup lama juga wanita indo tersebut berada di ruangan Pak Damar, tak lama kemudian ia keluar.     “Heh Mbak, lain kali jangan larang-larang saya untuk ketemu Pak Damar lagi, saya ini calon istrinya Pak Damar Hardana Wijaya, calon istri CEO,” wanita berparas Indo tersebut menjelaskan kepada ku.   Sejenak aku terpaku mendengar ucapannya.     “Baik Bu,” ucapku singkat.     Aduh, aduh, belum juga jadi istri udah begitu, bagaimana kalau sudah jadi istrinya nanti.     Aku masuk ke ruangan Pak Damar setelah ia menghubungiku melalui sambungan telepon, seperti biasa ia langsung ke inti tugasnya tanpa basa basi.    
Baca selengkapnya

Bab. 12

Hari ini aku segera mengerjakan laporan berkala proyek yang sedang dikerjakan oleh perusahaan. Tiba-tiba Pak Lukman datang menghampiriku, “Nisa CEO yang dulu dari perusahaan ini datang, segera sambut kedatangan beliau.” “Baik Pak.” Tak lama kemudian nampak rombongan mereka, ada General manager (manager umum) Pak Heri yang sudah cukup berpengalaman, Manager fungsional Bu Indah dan manager HRD Pak Lukman, mereka dulu yang mengintervieuw aku waktu itu, sepertinya mereka akan bertemu Pak Damar. Aku segera berdiri, menyambut kedatangan mereka. Tampak seorang pria berkacamata yang sudah cukup berumur tapi masih terlihat kharismatik dan berwibawa mengenakan jas dan sepatu pantofel. Di sampingnya berjalan seorang ibu-ibu paruh baya tapi masih terlihat anggun dan cantik. Beliau memakai kebaya dan sangg
Baca selengkapnya

Bab 13

Hari ini, hari libur aku janjian dengan Gendhis ia mengajakku makan, mungkin sebagai balasan karena aku sudah menemukan dan mengembalikan dompetnya, dan katanya lagi dia mau belajar agama, tentu saja aku tak menolaknya. Gendhis menjemputku ke rumah dengan mobil mewahnya, bahkan ia mampir sekedar untuk menyapa Ibu, aku suka pribadi Gendhis yang ramah, rendah hati dan lembut. Aku juga sudah menceritakan kepada Ibu tentang Gendhis. “Nis ... Kenapa Ibu gak sekalian di ajak aja,“ ucapnya menyarankan. “Jangan to, Nduk, Ibu gak biasa pergi ke tempat-tempat seperti itu, nanti bikin malu kalian aja, Ibu dibungkusi aja nanti,” ucap Ibu berkelekar. Gendhis tertawa. “Ya sudah Bu kami pamit dulu, assalamu’alaikum.”  “Wa’alaikumsalam."
Baca selengkapnya

Bab. 14

POV. Damar “Hai Damar, aku disuruh mamamu mengantarkan makan siang, katanya kamu sering lupa makan kalau lagi kerja.”Ucapnya lembut sembari meletakkan makanan di atas meja di dekat sofa.Aku tak menjawab tetap fokus pada laptopku. “Damar kamu kok gitu sih, aku tuh kemari karena perhatian sama kamu lho Damar, butik sampai kutinggalin demi nganterin makanan ke kamu.” Adelia agresif sekali mendekatiku, bahkan kebaikannya seperti dibuat-buat, sungguh aku tak suka, kalau tidak mengingat dia anak teman dari mamaku, mungkin sudah kuusir dari sini. “Ya nanti saya makan, masih kenyang.” “Nah gitu dong, itu baru namanya calon suami yang baik,”ujar Adelia. “Adelia kita tidak punya hubungan apa-apa, hany
Baca selengkapnya

Bab. 15

Malam ini aku duduk di beranda rumah sembari menikmati angin malam, melepas kepenatan setelah seharian bekerja. Ibu tak menemaniku malam ini katanya beliau ingin istirahat setelah makan malam. Ponselku berdering, ku lihat layar ponselku ‘Gendhis’ aku segera mengangkatnya.  “Assalamua’laikum, Ndis.”  [Wa’alaikumsalam Nis, belum tidur kan?] “Belum Ndis, lagi nyantai aja ni.” Seperti biasa Gendhis menanyakan seputar hal-hal dasar agama yang belum dia ketahui, ku jelaskan semuanya sampai dia mengerti.  [Nis, besok aku antar kamu ke kantor ya, biar aku tau kantor kamu dimana]  Aku memang belum perna
Baca selengkapnya

Bab. 16

“Astaghfirullah Ibu ...” Sambil menangis Aku segera mengangkat kepala ibu ke pangkuanku.  “Ibu, bangun Bu?” Ibu tak bergeming.  Ibu jatuh tergeletak di dapur, ketika hendak mencuci piring, padahal sebelum berangkat aku sudah mengatakan istirahat saja jangan melakukan apapun.  Gendhis menyusulku ke dapur. “Nis kita bawa ibumu ke rumah sakit, sebentar aku minta bantuan dulu.”  Tak lama kemudian Gendhis datang bersama dua orang warga sekitar, kami segera mengangkat ibu ke mobil.  Gendhis memacu mobilnya dengan cepat, aku hanya bisa menangis sambil sesekali memanggil Ibu.  
Baca selengkapnya

Bab. 17

Hari ini aku sudah mulai bekerja seperti biasa setelah beberapa hari di rumah sakit, Alhamdulillah kondisi ibu sudah membaik. Aku merasa tidak enak pada Pak Damar, karena terlalu lama libur. Teman-teman kantor juga banyak yang menjenguk ibu di rumah sakit, dulu mereka memandang remeh kepadaku, dan berpikir bahwa aku hanya mau berteman dengan yang berhijab saja. Tidak, aku mematahkan stigma tersebut, aku bisa bergaul dengan siapa saja, bahkan dengan non muslim sekalipun, asal tidak menyalahi aturan agamaku saja. Setelah mengenalku mereka kini bersikap baik kepadaku. Alhamdulillah aku merasa bersyukur, keberadaan penampilanku yang dijaman sekarang sudahlah langka, bisa diterima dengan baik di perusahaan besar ini. Pagi ini Pak Damar memanggilku ke ruangannya.“Bagaimana keadaan Ibumu?” tanya Pak Damar datar.“Alhamdulillah sudah lebih baik Pak.”“Bagus
Baca selengkapnya

Bab. 18

Adelia nampak kesal, karena Pak Damar menolak memakan bubur darinya. Ia melihat ada segelas kopi dan cake di atas meja Pak Damar.  Tanpa kusadari ia menghampiriku.  “Hehh Ibu-ibu pengajian! Aku kan sudah bilang padamu aku calon istri Damar, kenapa sih kamu ganjen banget deketin dia, pakek nyiapin kopi segala buat Damar!”  Aku terkejut dengan reaksi Adelia yang menurutku berlebihan.  Aku hanya sekretaris yang menyiapkan segelas kopi dan cake untuk atasannya, apanya yang salah. Aku diam sambil terus bekerja.  “Heh ... penggoda calon suami orang, luarmu saja yang alim ternyata dalammu sama aja kayak cewek-cewek ganjen lainnya.”  
Baca selengkapnya

Bab. 19

Hari Libur, hufff ... kuhembuskan nafasku sekuatnya. Masya Allah tenangnya, tanpa tekanan dari pak Damar, laporan yang tak pernah kunjung usai, membuat absen, merekap absen, mendata proyek dan masih masih banyak lagi pekerjaan yang seabrek yang tak ada habisnya.Kuhirup udara pagi yang masih segar di halaman rumahku, walaupun di pinggir kota rumah tua ini banyak ditumbuhi pepohonan yang tidak terlalu besar, berbagai aneka macam bunga terdapat di beranda dan halaman rumahku.Aku suka menanam bunga tapi ibulah yang sering merawat tanaman-tanaman tersebut agar tidak terlalu suntuk di rumah kalau aku sedang bekerja katanya.“Eh Nak Nisa, gak kerja, Nak?” sapa Bik Sartinah tetangga di ujung jalan.“Gak Bik, Nisa libur hari ini,”jawabku sopan.“Bagaimana keadaan Ibu kamu?”“Alhamdulillah, Sudah membaik, Bik.”“O ya sudah, Bibik pulang dulu.”“Mampir dulu, Bik,”tawarku.“Gak usah Nis, Pak lekmu di rumah belum sarap
Baca selengkapnya

Bab. 20

“Baik, Pak.”Aku segera menghubungi karyawan yang dimaksud Pak Damar, mereka semua terkejut ketika ku beritahu bahan presentas lui untuk besok ditiru oleh perusahaan rival lain.Pak Damar tak mempermasalahkan lagi siapa yang membocorkan bahan presentasi tersebut, yang penting sekarang bahan presentasinya selesai dan tentunya harus lebih baik dari yang sebelumnya.Angga, Raka, Cellin, Andina, aku dan beberapa karyawan yang lain bekerja keras memutar otak agar menghasilkan desain yang unik, menarik tapi berkualitas bagus dengan budget proyek yang sesuai.Tentunya dengan dibantu ide-ide Pak Damar yang cerdas dan cemerlang.Mengenai jawabanku kepada pak Lukman juga belum tersampaikan kepada Andina. Sudahlah besok atau lusa akan ku beritahu.Hari menjelang magrib, pekerjaan belum selesai juga, aku segera keluar ruangan Pak Damar untuk menunaikan shalat magrib di mushola. Kuhadiahkan Alfatihah untuk ayahku dan berdo’a agar pekerjaan kami se
Baca selengkapnya
Sebelumnya
123456
...
22
DMCA.com Protection Status