Home / Pernikahan / Derita Istri Pertama / Chapter 11 - Chapter 20

All Chapters of Derita Istri Pertama: Chapter 11 - Chapter 20

89 Chapters

Bab 11 Pelanggaran

Aku sengaja memegang hp itu dengan keadaan masih membuka aplikasi pesan wa. Karena Mas Adi sudah berjanji untuk bersikap adil padaku dan Rumi, aku ingin tahu bagaimana reaksinya saat membaca pesan ini. Beberapa menit kemudian Mas Adi sudah kembali ke dalam kamar. Tanganku mengulurkan hp padanya. “Ada pesan masuk mas.” Kataku pendek. Tidak ingin di ketahui oleh Nasya yang tengah asyik menonton TV. Hatiku sudah bersiap jika Mas Adi langsung pamit untuk pulang ke rumah Rumi. Namun, sikap Mas Adi ternyata di luar dugaanku. Dia duduk di sofa sambil mengotak-atik hpnya. Lalu, Mas Adi menelpon seseorang untuk pergi ke rumah Rumi saat ini juga. Mas Adi bicara jujur jika Rumi mengirimkan pesan ancaman akan minum racun bersama dengan Rahman. Sama sekali tidak ada raut wajah khawatir yang tergambar di wajah suamiku itu. Padahal biasanya dia akan langsung pergi ke rumah istri keduanya dengan alasan yang sepele. Pandanganku kembali teralih pada Nasya. Kuusap rambutnya pelan hingga Nasya menoleh
last updateLast Updated : 2024-10-29
Read more

Bab 12 Pulang

“Tapi, kenapa mas? Bukannya penghasilan kamu yang aku sarankan itu besar ya. Sehingga nggak perlu lagi nyuri uang di brankas. Kamu jadi lebih bisa adil untuk membagi nafkah di antara aku dan Rumi.” Mas Adi terdiam. Raut wajahnya terlihat sangat ragu. “Dulu waktu aku memutuskan poligami, Papa memintaku berjanji untuk tidak memakai uang pabrik karena sebagian besar dari modal toko adalah uang kamu. Karena itulah aku berjanji untuk tidak memakai uang pabrik sebagai nafkah Rumi. Aku tidak hanya melanggar janjiku pada kamu. Tapi, juga pada Papa.” Aku terdiam. Tidak tahu harus bicara apa. Rasa kecewa terhadap Mas Adi kembali menyusup dalam hatiku. Sehebat apa pengaruh Rumi hingga membuat Mas Adi bisa menghianati janji yang sudah ia buat pada Papa? Aku yakin Papa juga sudah menegtahui hal ini. Kenapa Papa tidak pernah cerita padaku jika dia pernah membuat janji seperti itu? Kenapa juga Papa masih memintaku untuk bertahan dengan Mas Adi jika tahu menantu pertamanya ini sudah melanggar janji
last updateLast Updated : 2024-10-29
Read more

Bab 13 Rumah

Bukan hp Mas Adi yang berbunyi. Tapi, justru hpku yang kini berdering nyaring tanda ada rentetan pesan masuk. Aku yakin itu semua pesan itu dari Rumi. Karena sudah puas mengerjai Rumi, aku memilih untuk berganti baju menggunakan daster yang nyaman lalu tidur dengan posisi menghadap dinding seperti tadi. Ternyata rasanya puas juga bisa membalas perlakukan adik maduku itu. Walaupun apa yang aku lakukan tadi sama sekali tidak setimpal dengan semua perbuatan Rumi selama tiga tahun ini. Rasanya baru sebentar aku tertidur, saat suara Mas Adi beserta tangannya yang terus menepuk bahu berhasil membuatku terbangun. Tanganku mengucek mata agar segera terbuka. Adzan subuh sudah berkumandang. Pantas saja jika Mas Adi membangunkan aku. Kebiasaannya yang tidak pernah berubah sejak dulu. “Bangun Nad. Kamu sholat subuh sama Nasya dan Ibu ya. Aku mau pergi ke musola.” Aku menganggukan kepala dengan nyawa yang belum sepenuhnya terkumpul. Tapi, tetap kupaksakan turun dari tempat tidur. Aku menyiapkan
last updateLast Updated : 2024-10-29
Read more

Bab 14 Kata Rahman

“Siapa yang datang Nad?” Langkah kaki Mama terdengar berjalan mendekaitku. Saat masuk ke dalam ruang keluarga, Mama juga ikut membeku sepertiku. Tapi, Mama cepat menguasai keadaan lalu mengubah raut wajahnya yang semula datar berubah menjadi tersenyum untuk menghargai tamu yang tidak kami harapkan kedatangannya. Namun, Bu Saroh justru membalas dengan senyum sinis. Padahal dia adalah tamu di rumah ini. “Eh ada Rumi dan Bu Saroh. Silahkan duduk dulu. Mau minum apa?” Tawar Mama dengan suara yang amat ramah. Aku sendiri tidak ingin berpura-pura bersikap ramah pada mereka. Karena aku sudah muak menahan diri selama ini. “Nggak perlu repot-repot Tante. Kami kesini ingin mengajak Mas Adi pergi ke mall. Rahman ingin bermain di time zone dengan Ayahnya.” Jawab Rumi lebih sopan daripada Ibunya. “Duduk dulu lah. Terus kenapa malah diam saja. Adab sopan santun kita kan mengajarkan untuk bertamu dengan baik.” Kata Mama dengan kalimat penuh makna sindiran. Aku berusaha menahan senyum karena meng
last updateLast Updated : 2024-10-29
Read more

Bab 15 Permintaan Maaf

Aku meraih tangan Nasya lalu menuntunnya untuk keluar dari ruang keluarga. Agar Nasya tidak mendengar perkataan Mas Adi jika dia akan menuruti permintaan Rahman. Walaupun Mas Adi sudah berjanji untuk berubah, aku masih belum percaya sepenuhnya. Bisa saja sikapnya kembali seperti dulu lagi dan aku tidak ingin Nasya mendengar hal itu. “Nasya tunggu di ayunan dulu ya. Nanti Ayah akan nyusul kesana. Seperti kata Ayah tadi.” Nasya hanya diam saja. Dia memperhatikan Rahman yang masih memukul-mukul badan Mas Adi karena tidak terima dengan perkataan Ayahnya tadi. Kedua mata Nasya juga sudah mengembun hingga siap meneteskan air mata di pipi gembilnya. “Aku main sendiri saja Bu. Ayah pasti akan pergi lagi sama Rahman.” Kata Nasya acuh tidak mendengar perkataanki tadi.“Tapi, sa…” Belum sempat aku menyelesaikan perkataanku tadi, Nasya sudah keluar dari ruang keluarga. “Diam Rahman. Kamu tidak bisa mendapatkan semua keinginanmu hanya dengan menangis.” Hardik Mas Adi hampir berteriak. Membuat R
last updateLast Updated : 2024-10-29
Read more

Bab 16 Pura-pura

Mas Adi sontak langsung menata tubuh Rumi yang terlihat terkulai lemas ke atas sofa. Terlihat sekali wajah Mas Adi yang tampak cemas karena istri keduanya tiba-tiba pingsan. Aku memanggil Bude Sri yang tengah bermain bersama Nasya di taman. “Ada apa Mbak Nada?” Tanya Bude Sri begitu beliau mendekat ke arah pintu yang sudah aku buka. “Tolong ambilkan minyak fresh buat Rumi ya Bude. Dia lagi pingsan. Setelah itu tolong buatkan teh hangat ya Budhe.” “Iya mbak.” Bude Sri sudah berjalan keluar lagi dari ruangan ini untuk mengambil pesananku tad. Kakiku lalu melangkah menuju sofa. Bu Saroh menangis meraung-raung melihat Rumi yang pingsan. Sementara Mas Adi dengan panik sedang berusaha menyadarkan Rumi. Pandanganku tertuju pada Rahman yang justru dengan asyik bermain hp milik Mamanya. “Bangun Rum. Rumiiii.” Tangan Mas Adi terus menepuk pipi Rumi pelan. “Lebih baik kita bawa Rumi pulang saja nak Adi. Mungkin Rumi hanya kelelahan saja.” Keningku berkerut bingung. Dalam situasi seperti in
last updateLast Updated : 2024-10-29
Read more

Bab 17 Karina

Sedetik kemudian aku sudah sadar dari rasa kaget saat mendengar suara erangan anak itu yangh meringis kesakitan. Dengan segera aku duduk di samping Mas Adi lalu membuka kaos yang menutup perutnya. Ada banyak luka memar yang jelas bukan karena benturan mobil. Luka di tubuh anak ini seperti habis di pukul oleh benda tumpul. Ada yang sudah hampir menghilang. Tapi, ada juga luka baru yang membuat kulitnya berubah menjadi biru dan kemerahan. “Ya Allah mas. Sepertinya anak ini korban kekerasan orang tuanya.” Mas Adi tidak menanggapi perkataanku. Karena dia juga baru menatap wajah anak itu yang sangat mirip dengan wajahnya dan Nasya. “Mas.” Tanganku menepuk bahu Mas Adi beberapa kali hingga membuatnya sadar. “Aku tahu apa yang sedang kamu pikirkan. Sekarang kita harus membawa anak ini ke rumah sakit dulu. Kasihan dia.” Mas Adi menganggukan kepala lalu menggendong anak itu menuju mobil kami. Anak itu di letakan di kursi belakang. Aku memasangkan sabuk pengaman untuknya. Wajah anak itu ter
last updateLast Updated : 2024-10-29
Read more

Bab 18 Aneh

“Bu, bukan apa-apa mas. Tadi aku hanya kaget karena ada kecoak jadi nggak sengaja menjatuhkan gelas. Siapa anak yang sedang bermain bersama Nasya mas? Apa dia keponakannya Mbak Nada? Kok aku nggak pernah lihat ya.” Aneh sekali suara Rumi terdengar sangat khawtir. Seolah-olah dia ketakutan melihat Karina dari layar hp. “Bukan. Ceritanya panjang Rum. Nama anak itu Karina. Aku dan Nada tadi menolongnya saat dia jatuh di depan mobil kami. Karena Karina akan kami ang..” Aku segera menggelengkan kepala pada Mas Adi agar tdak menceritakan hal ini lebih dulu pada Rumi. “Kenapa kamu berhenti mas? Karina akan di apakan?” Tanya Rumi lagi. “Ehm. Kami akan menanggung biaya rawat Karina. Kasihan dia badannya sampai luka-luka.” Terang Mas Adi tidak menjelaskan semuanya pada Rumi. Melihat sikap Rumi yang seperti itu aku hanya khawatir jika dia akan menghalang-halangi proses adopsi Karina. Pada Nasya yang merupakan anak kandung Mas Adi saja dia cemburu. Apalagi pada Karina? Bisa mencak-mencak tida
last updateLast Updated : 2024-10-29
Read more

Bab 19 Dugaan

“Apa maksud kalian? Kenapa Karina harus di bawa?” Aku menarik tangan Rumi yang sudah hendak menggendong tubuh mungil Karina. Nasya berusaha melindungi adiknya dengan memeluk tubuh Karina yang bergetar ketakutan. Walaupun tadi mengatakan ingin membawa Karina, wajah Rumi justru menatap tajam ke arah anak itu. Seolah-olah Rumi sangat membenci Karina. “Jangan ikut campur mbak. Ini masalahku dan Mas Adi.” Kepalaku menoleh pada Mas Adi yang diam saja di belakang tubuh Rumi. Raut wajahnya sangat datar. Berbanding terbalik dengan kemarin saat kami memutuskan untuk mengadopsi Karina menjadi anak kami. Adik maduku itu berhasil mengambil paksa tubuh Rumi dari pelukan Nasya lalu menyerahkannya pada Mas Adi. Rumi dan Mas Adi sudah berjalan menjauh dari tempatku berdiri. Aku berlari mengejar mereka. Tangis Karina yang menyanyat hati terus memanggil namaku. “Ibuuu. Ibuuuu Karina nggak mau pergi. Tolong Karina Bu.” Teriak Karina sambil memukul tubuh Mas Adi dengan tangan kecilnya. Namun, seberap
last updateLast Updated : 2024-10-29
Read more

Bab 20 Curahan Hati

Rupanya Mas Adi juga punya dugaan yang sama denganku. Entah kenapa Mas Adi bisa berpikir seperti itu. Aku sendiri hanya punya firasat dari wajah Karina yang sangat mirip dengan Mas Adi dan Nasya. Di tambah lagi dengan golongan darah Karina juga sama dengan Mas Adi. Selain itu, tidak ada hal lain yang membuatku curiga. Karena aku sama sekali tidak ingin berprasangka buruk pada adik maduku. Meskipun sudah banyak sekali luka yang Rumi goreskan untukku dan Nasya selama tiga tahun ini. “Aku sendiri punya firasat yang sama mas. Cuma aku lihat dari wajah Karina yang sama seperti kamu dan Nasya. Di banding wajah Rahman yang sama sekali tidak mirip dengan kamu dan Rumi. Maaf jika aku harus mengatakan ini mas. Semakin besar wajah Rahman hanya sekilas saja mirip seperti Rumi. Berbeda saat masih bayi dulu.” Ungkapku jujur. Tapi, tidak ada kekecewaan di mata Mas Adi setelah aku bicara tentang hal itu. “Aku mengerti maksudmu dek.” Mas Adi menghela nafasnya sejenak. “Darimana kamu curiga jika Kar
last updateLast Updated : 2024-10-29
Read more
PREV
123456
...
9
DMCA.com Protection Status