“Apa maksud kalian? Kenapa Karina harus di bawa?” Aku menarik tangan Rumi yang sudah hendak menggendong tubuh mungil Karina. Nasya berusaha melindungi adiknya dengan memeluk tubuh Karina yang bergetar ketakutan. Walaupun tadi mengatakan ingin membawa Karina, wajah Rumi justru menatap tajam ke arah anak itu. Seolah-olah Rumi sangat membenci Karina. “Jangan ikut campur mbak. Ini masalahku dan Mas Adi.” Kepalaku menoleh pada Mas Adi yang diam saja di belakang tubuh Rumi. Raut wajahnya sangat datar. Berbanding terbalik dengan kemarin saat kami memutuskan untuk mengadopsi Karina menjadi anak kami. Adik maduku itu berhasil mengambil paksa tubuh Rumi dari pelukan Nasya lalu menyerahkannya pada Mas Adi. Rumi dan Mas Adi sudah berjalan menjauh dari tempatku berdiri. Aku berlari mengejar mereka. Tangis Karina yang menyanyat hati terus memanggil namaku. “Ibuuu. Ibuuuu Karina nggak mau pergi. Tolong Karina Bu.” Teriak Karina sambil memukul tubuh Mas Adi dengan tangan kecilnya. Namun, seberap
Rupanya Mas Adi juga punya dugaan yang sama denganku. Entah kenapa Mas Adi bisa berpikir seperti itu. Aku sendiri hanya punya firasat dari wajah Karina yang sangat mirip dengan Mas Adi dan Nasya. Di tambah lagi dengan golongan darah Karina juga sama dengan Mas Adi. Selain itu, tidak ada hal lain yang membuatku curiga. Karena aku sama sekali tidak ingin berprasangka buruk pada adik maduku. Meskipun sudah banyak sekali luka yang Rumi goreskan untukku dan Nasya selama tiga tahun ini. “Aku sendiri punya firasat yang sama mas. Cuma aku lihat dari wajah Karina yang sama seperti kamu dan Nasya. Di banding wajah Rahman yang sama sekali tidak mirip dengan kamu dan Rumi. Maaf jika aku harus mengatakan ini mas. Semakin besar wajah Rahman hanya sekilas saja mirip seperti Rumi. Berbeda saat masih bayi dulu.” Ungkapku jujur. Tapi, tidak ada kekecewaan di mata Mas Adi setelah aku bicara tentang hal itu. “Aku mengerti maksudmu dek.” Mas Adi menghela nafasnya sejenak. “Darimana kamu curiga jika Kar
“Karena aku sudah membawa Ibu Karina kesini, cepat kalian serahkan Karina pada Ibunya. Aku sudah mendengar cerita dari suami wanita ini jika Ayah Karina yang melakukan penganiayaan. Bukan Ibunya.” Ucap Rumi tanpa mempedulikan keberadaan Pak Aris yang menjadi tamu kami. Membuat aku merasa sangat tidak enak karena Pak Aris harus menonton drama keluarga kami di pagi hari. “Kita bicarakan hal ini nanti. Kamu bisa membawa masuk Ibunya Karina ke dalam ruang keluarga dulu Rum. Aku dan Mas Adi masih ada urusan dengan Pak Aris.” Terangku sambil menunjuk tumpukan kertas di atas meja yang sudah di keluarkan Mas Adi. Tanpa menjawab perkataanku, Rumi sudah menarik tangan wanita itu untuk masuk ke dalam ruang keluarga. Aku mengeluarkan hp untuk mengaktikan sesuatu. Setidaknya rumah Papa dan Mama sudah di lengkap dengan peralatan canggih seperti kamera CCTV dan alat perekam. Sehingga kami bisa memantau siapapun yang masuk ke rumah ini. “Maaf jika tadi ada sedikit gangguan Pak Aris.” Kata Mas Adi
“Jangan bicara sembarangan mbak. tentu saja Mbak Rahmi itu Ibunya Karina. Kenapa kamu malah bicara melantur.” Bukan Rahmi yang bicara. Melainkan Rumi. Aneh sekali karena raut wajah Rumi tampak sangat ketakutan. Kenapa dia tidak bisa sedikit berakting saat berani membawa Rahmi ke rumah ini?“Bisa jadikan. Karena mana ada Ibu kandung yang tega menyiksa anaknya sendiri sampai seperti itu.” Ucapku yang membuat Rumi terdiam. Aku bisa melihat tangan Rumi yang terus menyenggol paha Rahmi.“Nada benar Rum. Kami tidak bisa menyerahkan Karina begitu saja pada Ibu kandungnya karena Karina sudah mengalami penganiayaan. Bahkan Karina sama sekali tidak mau menyebut nama Ibunya sendiri karena takut.” Kata Mas Adi membelaku. “Apa bukti kalian jika saya melakukan penganiayaan pada Karina? Saya akui jika selama ini saya hanya diam saja selama suami saya memukul Karina. Tapi, saya terpaksa diam karena jika saya bergerak, suami saya akan semakin keras memukul anak kami. Setelah Karina kabur saya baru sa
“Kamu keterlaluan sekali mas. Kenapa kamu juga harus melakukan hal ini? Karina itu bukan anak kalian. Apa susahnya sih menyerakah Karina pada Ibu kandungnya.” Lagi-lagi Rumi yang lebih dulu berseru tidak terima. Rahmi ha ya diam saja seolah menunggu intruksi dari Rumi.“Entahlah. Aku hanya merasa sudah menemukan ikatan batin dengan Karina, Rum. Lagian Nada sudah mengatakan jika dia akan menggunakan penghasilannya sendiri untuk biaya hidup Karina. Jadi, kamu tidak perlu khawatir. Apa yang membuat kamu begitu takut seperti itu Rum?” Tanya Mas Adi datar membuat Rumi hanya bisa menggelengkan kepalanya. “Maaf. Saya rasa tidak perlu melakukan hal itu. Karena saya bisa membuktikan jika bukan saya yang sudah menganiaya Karina.” Sela Rahmi memotong percakapan di antara Mas Adi dan Rumi. “Baiklah. Aku ijinkan kamu untuk bertemu dengan Karina. Tapi, jika Karina tidak mau jangan paksa dia lagi. Karena kami akan tetap melaporkan hal ini pada pihak kepolisian.” “Bagaimana jika Karina mau pergi b
Aku masih membalas pesan para pelanggan yang hendak membeli barang dagangan dari pabrik milik Papa dan Mama hingga adzan dhuhur terdengar berkumandang. Mas Adi masih belum pulang ke rumah. Pesan terakhir yang aku terima adalah dia sedang ada di rumah sakit untuk melakukan tes dna. Kakiku melangkah keluar menuju kamar anak-anak. Setelah sholat dhuhur dan makan siang aku ingin mengajak mereka untuk melihatku membungkus barang pesanan pelanggan. Tidak ada suara Nasya dan Karina yang terdengar dari luar. Membuatku sedikit khawatir kenapa tidak ada suara percakapan mereka jika sedang bermain. Tanganku lalu mengetuk pintu kamar mereka pelan. Tok… tok… tok… “Nasya, Karina, Ibu masuk ya.” Tidak ada jawaban dari dalam yang membuatku segera membuka pintu. Cklek Rasa khawatir itu seketika luruh saat melihat tubuh kecil Nasya dan Karina tertidur di atas karpet. Saat ini memang waktunya jam tidur siang untuk Nasya. Biasanya sebelum dhuhur Nasya akan menghabiskan waktunya untuk bermain bersama
POV Adi Sejak menikah dengan Nada, rasanya hidupku sangat bahagia. Walaupun sebelum menikah kami hanya melakukan proses taaruf. Di tambah lagi dengan kehadiran seorang putri yang sangat mirip denganku. Tapi, rambut kriwil Nasya turunan dari Ibunya. Tentu saja ada lika-liku selama tiga tahun membangun biduk rumah tangga. Tapi, semua itu bisa di selesaikan asal kita bisa berkompromi satu sama lain. Menyadari kesalahan masing-masing dan cepat menyelesaikannya. Hari itu, aku keluar dari sekolah yang masih berada di bawah yayasan yang di kelola oleh Abah dan Umi. Aku mengajar sebagai guru Ekonomi untuk siswa madrasah Aliyah. Setiap jam dua siang aku akan pulang dari sekolah lalu pergi ke toko baju yang sudah aku kelola bersama dengan Nada selama tiga tahun ini. Sejak toko ini berdiri, kami sudah membuka dua cabang. Aku bisa mengelola setelah pulang mengajar di sekolah. Sedangkan Nada fokus menjadi Ibu rumah tangga sekaligus mengasuh Nasya. Keputusan ini kami ambil murni karena keinginan
Suara dering telpon di rumah Rumi membuatku terbangun. Pandanganku beralih pada Rumi yang masih tidur nyenyak. Di antara kami ada Rahman yang sejak tadi aku peluk sebelum tidur. Aku lalu turun dari tempat tidur dan berjalan menuju ruang tengah. Menuju telpon yang sengaja aku pasang jika ada telpon penting dari toko. Karena hpku sering di pakai Rahman untuk bermain game hingga baterainya habis.“Halo assalamualaikum.” Sapaku sambil menguap. “Waalaikumsalam Di. Kamu ada dimana sekarang sih? Sejak tadi Abah telpon hpmu nggak aktif.” Kedua mataku seketika terbuka begitu mendengar suara Abah. Tumben sekali Abah menghubungiku lewat telpon rumah. Biasanya Abah akan menelpon Rumi jika aku sedang tidak memegang hp.“Aku ada di rumah Rumi, Bah. Mungkin hpku lagi ngedrop karena tadi di pakai main sama Rahman. Kenapa Abah nelpon malam-malam begini? Ibu dan Umi sehatkan?” Tanya ku sedikit khawatir sambil melirik jarum jam yang menunjukkan pukul delapan malam. Aku memang sengaja mengajak Rumi dan
Saat Adi pulang ke rumah, sudah ada Rahman yang datang bersama Bude Sri dan Bu Anisa. Nada menjelaskan jika Rahman sudah tahu semuanya. Rahman menangis dalam pelukan Nada. Mereka tidak menanyakan apapun hingga Rahman akhirnya berhenti menangis."Jangan takut lagi sayang. Mulai sekarang Rahman akan tinggal di rumah ini dengan Ayah, Ibu, Kak Nasya dan Karina. Sejak dulu sampai sekarang, Rahman adalah anak Ibu dan Ayah. " Ucap Nada lembut yang membuat semua orang terharu.Adi sendiri merasa sangat bersyukur bisa kembali bersama Nada yang menerima Rahman dan Karina dengan lapang hati. Juga menganggap mereka sebagai anaknya sendiri. Hari itu, Adi kembali di sibukan untuk menata kamar tamu yang akan di ubah menjadi kamar Rahman. Sedangkan Nada sibuk memasak makan siang di dapur bersama Bude Sri.Mereka memutuskan untuk merawat Rahman bersama serta memberi tahu identitas Rahman dan Karina yang sebenarnya adalah saudara sepersusuan. Berita ini di sampaikan juga pada seluruh keluarga mereka yan
“Tidak mungkin. Anak saya tidak pernah menjebak Adi. Itu semua adalah fitnah.” Bu Anita berdiri di hadapan Galang untuk menghalangi kedua polisi itu yang hendak menangkap sang putra. Alana hanya berdiri dengan tubuh kaku menatap kakaknya dan sekumpulan polisi itu bergantian. “Maaf Bu. Jangan halangi penyelidikan kami. Selain Pak Galang, kami juga harus membawa Bu Rumi sebagai orang yang telah membeli obat-obatan itu. Kami sudah punya bukti yang valid untuk menahan anak dan menantu Ibu.” Kata salah satu polisi yang kepalanya botak dengan wajah datar menatap ke arah mereka. Galang masih terdiam di tempatnya tidak percaya. Jika jebakan yang sudah ia buat dengan matang dapat di ketahui oleh Adi. Dadanya terus berdebar kencang memikirkan semua keanehan yang terjadi selama ini. Adi yang selalu bisa berkelit dari semua jebakannnya. 'Apakah Adi sudah juga mengintaiku dengan menyuruh orang lain? Atau dia memasang kamera CCTV di rumah ini?' Tanya Galang dalam hatinya. Wajah pria itu masih tam
Tanpa sadar Galang membanting hpnya ke atas meja. Sehingga membuat perhatian para guru yang masih ada di ruangan yang sama dengannya jadi teralih pada Galang. Menyadari jika ia sudah membuat dirinya sebagai pusat perhatian, pria itu hanya bisa minta maaf karena sudah membuar keributan"Ada apa Pak Galang?” Tanya salah satu rekan guru senior yang jauh lebih tua darinya. Galang menggelengkan kepalanya sambil tersenyum kikuk. Menyesal karena sudah kelepasan marah di depan rekan guru yang lain.“Maaf Pak. Tadi ada nomor pinjol yang neror saya karena teman saya berhutang padanya.” Guru itu menganggukan kepalanya mengerti lalu kembali sibuk dengan kertas di tangan. Begitu juga dengan guru-guru lain yang tidak lagi memperhatikan GalangUjian akhir semester seperti ini membuat Galang dan beberapa guru memutuskan untuk bertahan di sekolah sampai sore guna membuat soal ulangan. Sebagian guru lain yang mata pelajarannya sudah di ujikan juga memilih untuk bertahan di sekolah untuk memeriksa lemba
“Selamat ya Bu. Anda di nyatakan positif hamil.” Kata Dokter wanita setelah memeriksa hasil usg di rahim Rumi. Tampak bulatan kecil yang ada di layar. Wanita itu membalas senyum Dokter agar tidak curiga. Padahal hatinya biasa saja saat melihat sudah ada benih dari Galang yang bersemayam dalam rahimnya. “Alhamdulillah. Terima kasih banyak Dok.” “Alhamdulillah dek. Akhirnya kamu hamil juga.” Ujar Galang yang juga bisa berakting dengan sempurna. Walaupun sebagian isi hatinya memang sangat tulus saat menyambut benih yang ada di rahim Rumi. Membuat keraguan di hati Galang tiba-tiba saja semakin kuat. Berbanding terbalik dengan perasaan Rumi. ‘Apakah aku masih harus mengejar Nada jika Rumi memang hamil anakku?’ Batin Galang galau saat ia dan Rumi sudah duduk kembali di hadapan Dokter. Pasangan suami istri itu lalu pulang ke rumah. Galang melangkah lebih dulu hingga masuk ke dalam ruang tengah. Disana sudah menunggu Alana yang tengah menonton TV bersama dengan Bu Anita. Raut wajah Galang
“Apa? Jadi Galang memang benar di pelet sama si Rumi itu? Keterlaluan sekali. Sudah Mama duga kenapa sikap Galang jadi berubah aneh seperti itu setelah menikah dengan Rumi.” Teriak Bu Anita dari sebrang sambungan telpon yang membuat telinga Alana terasa pekak sekali. Sampai perempuan itu mengorek telinganya yang berdenging karena tadi ia menempelkan hp di telinga. Seharusnya ia sudah menggunakan mode loudspeaker sejak tadi. “Iya Ma. Sesuai dengan informasi dari nomor asing itu, aku bisa menemukan dimana Rumi menyimpan kertas dan bubuk aneh ini. Untung saja Bude Sri bisa menulis huruf arab jawa sehingga aku menyuruhnya untuk menyalin tulisan itu. semirip mungkin. Kata Bude Sri dia sedikit mengubah huruf arab dari nama Mas Galang. Padahal aku sama sekali tidak sadar saat membacanya tadi.” Terang Alana mengingat penjelasan wanita paruh baya itu setelah menyapu halaman depan. “Kalau di ubah dan Rumi tahu bagaimana?” Tanya Bu Anita cemas. Dalam hatinya ia berpikir jika rencana Alana bisa
Pesawat yang di tumpangi Alana sudah mendarat di bandara. Ia turun dari pesawat lalu langsung naik ke dalam taksi yang menunggu di dalam bandara dengan membawa dua koper besar. Karena Alana memang berniat untuk tinggal di rumah Galang selama satu minggu. Selain untuk memastikan kebenaran jika Galang memang sudah di pelet oleh Rumi, ada pekerjaan di yayasan yang ingin Alana bicarakan secara langsung dengan kakaknya itu. Ia menyebutkan tujuan alamatnya pada sopir taksi yang sudah melajukan mobilnya keluar dari bandara lalu menuju rumah Galang. Tangannya mengambil hp dari dalam tas untuk membuka pesan dari Bu Anita. Jari Alana dengan cepat mengetikan pesan balasan untuk sang Mama yang terkirim satu setengah jam yang lalu. Itu berarti saat Alana masih berada di dalam pesawat. [Aku sudah turun dari pesawat dan sekarang sedang di dalam taksi menuju rumah Mas Galang, Ma. Tenang saja. Aku akan langsung mengambil kertas itu dari kabinet dapur. Aku akan tetap menjalankan rencanaku agar Rumi t
Dua minggu sejak acara reuni sudah berlalu. Tidak ada hal yang mencurigakan dari pantauan kamera CCTV dan alat perekam di rumah Galang. Arman juga mengatakan bahwa ia masih memantau semua rekaman itu bersama anak buahnya. Membuat hati Nada menjadi sedikit lebih tenang. Pikirannya selalu teralihkan karena niat jahat Galang dan Rumi. Sehingga Nada sering kali melamun. Fokusnya kini sedang menyusun laporan keuangan akhir bulan untuk kemudian di gabungkan dengan toko Dinada. Ia tidak boleh memikirkan hal itu lagi. Hari senin baru saja di mulai. Namun, waktu terasa sangat cepat berlalu karena semburat jingga yang terlihat dari balik jendela sudah akan turun ke peraduannya. Sudah ada lima pegawai yang sibuk mengepak semua pesanan hijab dan mukena di toko online milik Nada. Bude Sri hanya bisa membantu jika pekerjaan di rumah orang tua Nada sudah selesai. Hanum dan Shanum juga sudah mulai fokus untuk belajar karena sebentar lagi akan menjalani ujian akhir sekolah. Jadi, Nada sudah merekrut
"Gimana caranya kita menjebak Mas Adi sebagai pemakai jika ia tidak memakai obat itu?" Tanya Rumi bingung dengan rencana baru sang suami. Ia sama sekali tidak paham dengan obat-obatan terlarang. Rumi membeli obat itu juga karena perintah Galang. "Mudah saja. Kita bisa mengancam Adi akan melaporkannya dengan dua tuduhan yaitu kemungkinan sebagai pemakai dan sebagai pengedar narkoba. Tapi, bukan itu poin utamanya Rum. Hal itu bertujuan untuk membuat Nada tidak percaya lagi pada Adi. Aku juga tidak ingin melaporkannya ke polisi. Itu hanya sebagai ancaman saja." Rumi menganggukan kepalanya mengerti. "Setelah itu, aku masih harus meminta bantuanmu untuk mendapatkan Nada. Untuk urusan Adi aku serahkan padamu. Lakukan apa saja sesukamu untuk mendapatkan Adi lagi." 'Tidak perlu. Yang penting aku bisa mengabulkan keinginan terbesarmu. Aku sudah tidak mau berurusan dengan dukun itu. Untuk membantumu aku akan cari dukun lain yang metodenya lebih simple Mas.' Batin Rumi dalam hatinya. “Terus
Kelopak mata Galang perlahan terbuka. Kepalanya terasa sangat pusing hingga ia tidak bisa bangun untuk sebentar. Saat melihat langit-langit atap kamarnya yang familiar, pria itu kembali memejamkan kedua matanya. Untuk sesaat Galang seperti sudah melupakan kejadian tadi malam. Pria itu justru kembali melanjutkan tidur dengan badan yang terasa cukup dingin. Padahal ia sudah pakai selimut yang menutupi seluruh badannya. Tubuhnya miring ke kanan. Kelopak matanya mengerjap menatap wajah Rumi yang masih terlelap. Dengan bahu yang polos tanpa tertutup pakaian.Seketika kesadaran itu menghantam Galang. Seharusnya Rumi tidak sedang tidur di kamar ini bersama dengannya. Tapi, istrinya itu harus tidur dengan Adi di kamar hotel yang sudah ia sewa.Seperti yang sudah mereka rencanakan jauh-jauh hari. Hati Galang menjerit marah karena rencana mereka sudah gagal sejak tadi malam. “Ya ampun sial banget.” Pekik pria itu meluapkan emosinya hingga tiba-tiba terbangun. Selimut yang tadi menutup tubuh po