บททั้งหมดของ Penjual Bunga itu Ternyata Istri CEO: บทที่ 101 - บทที่ 110

121

Bab 101. Kebenaran yang terungkap

Pagi itu, Pelangi duduk di ruang tamu rumah ayahnya, menatap kosong ke cangkir teh di depannya. Matanya masih sembab akibat tangisan semalam, tetapi ia berusaha untuk terlihat tegar. Ia pikir hari ini ia akan merasa lebih baik, tetapi ternyata luka di hatinya masih terasa segar. Ponselnya yang tergeletak di meja tiba-tiba bergetar. Pelangi menghela napas sebelum meraihnya, lalu alisnya langsung berkerut saat melihat nama yang tertera di layar. Naomi. Untuk sesaat, ia ragu. Tetapi akhirnya ia menjawab panggilan itu dengan suara dingin. “Ada apa?” Di seberang sana, Naomi tertawa kecil. “Kenapa kau terdengar begitu dingin, Pelangi?" Pelangi menggertakkan giginya. “Kalau kau hanya menelepon untuk menyindirku, aku akan menutup telepon ini.” “Tunggu!" Naomi buru-buru berkata. “Aku hanya ingin memberitahumu sesuatu yang penting.” Pelangi diam, menunggu. “Aku dan Akarsana akan menikah,” kata Naomi dengan nada penuh kemenangan. Dunia Pelangi terasa berhenti berputar sejena
last updateปรับปรุงล่าสุด : 2025-03-04
อ่านเพิ่มเติม

Bab 102. Masa lalu yang terungkap

Pelangi masih duduk kaku di sofa, jantungnya berdegup tak beraturan setelah mendengar pengakuan mengejutkan dari Danurdara. Selama ini, ia percaya bahwa pria di hadapannya adalah ayah kandungnya, tetapi kenyataan berkata lain. Danurdara menatap Pelangi dengan penuh rasa bersalah. Tangannya mengepal di atas lututnya, seolah-olah sedang menyiapkan diri untuk mengungkapkan sesuatu yang lebih berat. “Dua puluh empat tahun yang lalu, seorang teman baik Ayah, Winarto, datang kepadaku dengan seorang bayi perempuan dalam pelukannya.” Pelangi mengerjap. “Bayi itu aku?” Danurdara mengangguk pelan. “Winarto berkata bahwa orang tua bayi itu telah tiada. Ibunya, Josefina, berasal dari keluarga kaya dan berpengaruh. Namun, tidak semua orang di keluarganya menginginkan kehadiran bayi itu.” Pelangi merasakan dadanya semakin sesak. “Maksud Ayah?” Danurdara menatapnya dengan mata yang sayu. “Ada seseorang dalam keluargamu yang ingin mencelakakanmu sejak kau lahir. Wanita itu bernama Marien.” Pel
last updateปรับปรุงล่าสุด : 2025-03-05
อ่านเพิ่มเติม

Bab 103. Kehilangan yang tak terduga

Keesokan paginya, suasana rumah terasa lebih tenang dibandingkan biasanya. Namun, ada sesuatu yang berbeda seolah ada sesuatu yang hilang di antara mereka.Di meja makan, Pelangi, Diana, Danurdara, dan Hadyan duduk menikmati sarapan bersama. Bocah sepuluh tahun itu tampak ceria seperti biasa, tidak menyadari beratnya situasi yang sedang terjadi.“Wah, Kak Pelangi buat roti panggang hari ini?” seru Hadyan senang, mengambil sepotong roti dengan selai stroberi favoritnya.Pelangi tersenyum dan mengusap kepala adiknya. “Iya, spesial untuk Hadyan.”Anak laki-laki itu langsung menggigit rotinya dengan lahap, lalu berbicara dengan mulut penuh, “Tapi kenapa semua orang kelihatan sedih? Kak Diana juga nggak marah-marah seperti biasanya.”Diana mendelik. “Hei, aku tidak selalu marah-marah!”Hadyan terkikik. “Iya, tapi kalau sudah ngomel, serem banget.”Pelangi dan Danurdara hanya bisa tertawa kecil melihat interaksi mereka.Namun, suasana ceria itu tidak bertahan lama. Setelah beberapa saat, Ha
last updateปรับปรุงล่าสุด : 2025-03-05
อ่านเพิ่มเติม

Bab 104. Rasa sakit yang tak termaafkan

Rumah keluarga Akarsana masih terasa tenang sore itu, hingga suara bentakan tiba-tiba menggema di dalamnya. “Keluar kau, Prita!” Diana melangkah masuk dengan penuh amarah. Matanya membara, tubuhnya bergetar karena emosi yang tertahan. Sofia, yang sedang duduk di ruang tamu, terkejut mendengar suara itu. Ia buru-buru berdiri. “Diana? Ada apa?” Diana tidak memperhatikan Sofia. Ia menatap tajam ke arah Prita yang baru saja keluar dari kamarnya. “Kau! Kau sudah keterlaluan, Prita!” Diana menunjuk wanita itu dengan marah. “Bagaimana bisa kau melakukan itu pada kakakku?!” Prita mendengus. “Aku tidak tahu apa yang kau bicarakan.” Diana tertawa sinis. “Kau tidak tahu? Oh, aku akan mengingatkanmu! Kau mendorong Pelangi! Kau membuatnya jatuh! Dan sekarang dia kehilangan bayinya!” Sofia tertegun, tubuhnya membeku. “A-apa?” Prita masih mencoba bersikap tidak peduli. “Itu bukan urusanku. Pelangi yang lemah.” Diana maju selangkah, wajahnya memerah karena marah. “Bukan urusanmu? Kau sudah
last updateปรับปรุงล่าสุด : 2025-03-05
อ่านเพิ่มเติม

Bab 105. Luka yang tak terlihat

Diana berjalan menjauh dari rumah itu dengan langkah tegas. Angin malam yang dingin menerpa wajahnya, tapi tidak ada yang lebih dingin dari kemarahan yang masih membara di dadanya.Ia berhenti di tepi jalan, meremas ponselnya erat-erat. Pikirannya penuh dengan wajah Pelangi—kakaknya yang selalu mencoba bersikap kuat meskipun dihancurkan berkali-kali.Diana mendongak, menahan air mata yang tiba-tiba menggenang.Sial.Kenapa rasanya sakit sekali melihat Pelangi terluka seperti ini?Sebuah mobil melambat di dekatnya, dan jendela di sisi pengemudi terbuka."Diana?"Diana menoleh dan menemukan Sofia yang duduk di balik kemudi. Wajah adik Akarsana itu dipenuhi kecemasan."Kau mau ke mana?" tanya Sofia, suaranya ragu.Diana menghela napas, melipat tangan di dada. "Pulang. Aku tidak akan menghabiskan waktu lebih lama di rumah itu."Sofia tampak bimbang. "Aku bisa mengantarmu."Diana menatapnya sebentar, lalu akhirnya mengangguk. Ia berjalan mengitari mobil dan masuk ke kursi penumpang.Saat S
last updateปรับปรุงล่าสุด : 2025-03-05
อ่านเพิ่มเติม

Bab 106. Melepaskan segalanya

Keesokan siangnya, Akarsana baru saja kembali dari rapat ketika pintu ruangannya didorong kasar.Seorang pria melangkah masuk dengan wajah marah.Adrian.Tanpa memberi salam, tanpa basa-basi, Adrian langsung berdiri di hadapan Akarsana dengan mata menyala penuh amarah.“Kau bajingan.”Akarsana mengerutkan kening, tidak sempat bereaksi ketika Adrian meraih kerah jasnya dan menariknya kasar.“Adrian, apa—”“Diam!” bentak Adrian, suaranya bergetar menahan emosi. “Kau tidak pantas berbicara sekarang!”Akarsana mengerjapkan mata, masih berusaha memahami situasi.Adrian mengertakkan giginya, napasnya memburu. “Aku sudah tahu semuanya. Aku tahu kau meninggalkan Pelangi, aku tahu kau memilih wanita itu. Aku tahu ibumu mendorong Pelangi hingga keguguran!”Akarsana langsung menegang, hatinya mencelos lagi mengingat peristiwa itu. Luka yang masih segar seakan kembali disayat tanpa ampun.“Aku datang ke rumahnya tadi malam,” lanjut Adrian, suaranya lebih rendah tetapi masih penuh amarah. “Aku mel
last updateปรับปรุงล่าสุด : 2025-03-05
อ่านเพิ่มเติม

Bab 107. Perpisahan yang tak terhindarkam

Pelangi duduk di ruang kerja Pak Andy, penasihat hukum yang selama ini mengurus warisan Kayla. Di hadapannya, pria paruh baya itu menatapnya dengan ekspresi terkejut dan bingung."Kau ingin mengembalikan seluruh harta warisan Kayla kepada mereka?" Pak Andy mengulang kata-kata Pelangi seolah ingin memastikan ia tidak salah dengar.Pelangi mengangguk. "Benar, Pak. Saya ingin melepaskan semuanya."Pak Andy menghela napas panjang. "Pelangi, kau tahu apa yang kau katakan, bukan? Warisan ini bukan hanya sekadar uang dan properti. Ini hak yang sudah diwariskan kepadamu. Kenapa kau tiba-tiba ingin menyerahkannya?"Pelangi menatap pria itu dengan tenang. "Karena saya tidak ingin ada hubungan apa pun lagi dengan mereka, Pak Andy. Jika dengan menyerahkan semua ini saya bisa benar-benar terbebas, saya rela."Pak Andy menatap Pelangi lama, seakan mencari keraguan di wajahnya. Tapi yang ia lihat hanya keteguhan hati."Ini keputusan yang besar," katanya akhirnya. "Kau harus berpikir ulang. Jangan bi
last updateปรับปรุงล่าสุด : 2025-03-05
อ่านเพิ่มเติม

Bab 108. Kembalinya sang cucu

Pelangi tidak menunggu lebih lama lagi. Dalam waktu kurang dari seminggu, ia sudah membereskan semua barang-barangnya dan menyusun rencana untuk pergi dari kota ini. Hanya Diana dan Danurdara yang tahu ke mana tujuannya, karena ia tidak ingin siapa pun mencari atau menghalanginya. Di hari keberangkatannya, suasana rumah terasa begitu hening. Diana duduk di sofa dengan wajah kusut, sementara Danurdara berusaha menahan emosinya. "Hadyan mana?" tanya Pelangi sambil menatap sekeliling, mencari adik bungsunya. "Di kamar," jawab Diana lirih. "Dia marah karena kau pergi." Pelangi menghela napas. Ia tidak ingin meninggalkan Hadyan dalam keadaan seperti ini, tapi ia juga tahu bahwa semakin lama ia bertahan, semakin sulit perpisahan ini. "Aku akan menemuinya dulu," kata Pelangi sebelum berjalan ke kamar adiknya. Di dalam kamar, Hadyan duduk di lantai, memeluk lututnya dengan wajah tertunduk. Saat Pelangi masuk, bocah itu tidak mengangkat kepalanya. "Hadyan " Pelangi berlutut di sam
last updateปรับปรุงล่าสุด : 2025-03-05
อ่านเพิ่มเติม

Bab 109. Pertemuan

Seketika itu juga, tongkat yang digenggam Ardiyanto terlepas dan jatuh ke lantai dengan suara berdebam.Diana yang berdiri di samping Pelangi merasakan betapa menegangkannya suasana itu. Ia bahkan bisa melihat tubuh tua pria itu sedikit bergetar."Tidak. Ini tidak mungkin." Ardiyanto menggeleng, tapi matanya terus menatap Pelangi seolah mencoba memastikan sesuatu. "Aku… aku sendiri yang menguburkan cucuku. Aku—"Pelangi menggeleng pelan, air matanya jatuh. "Kakek tidak menguburkan saya. Saya tidak pernah mati."Ardiyanto tampak semakin terkejut. Tubuhnya sedikit goyah sebelum ia jatuh terduduk kembali di kursinya. "Jadi yang Ginny katakan benar?"Pelangi terdiam.Ginny?"Kakek," suara Pelangi bergetar. "Saya tidak tahu siapa Ginny, tapi saya memang cucu Kakek. Saya masih hidup. Saya diambil oleh seseorang dan dibesarkan jauh dari keluarga ini."Air mata mulai mengalir di pipi Ardiyanto. Ia masih menatap Pelangi, dan kali ini ekspresinya berubah tidak lagi sekadar keterkejutan, tapi ke
last updateปรับปรุงล่าสุด : 2025-03-05
อ่านเพิ่มเติม

Bab 110. Hidup baru

Dua hari setelah keputusan untuk melakukan tes DNA, Pelangi dan Ardiyanto akhirnya pergi ke rumah sakit untuk menjalani prosedur tersebut. Diana tetap menemani kakaknya, memastikan semuanya berjalan dengan lancar.Saat darah Pelangi diambil, ia merasakan jantungnya berdebar lebih cepat dari biasanya. Seharusnya ia merasa yakin bahwa hasilnya akan membuktikan bahwa dirinya adalah cucu Ardiyanto, tapi di lubuk hatinya, tetap ada rasa takut.“Jangan cemas!” kata Diana pelan, menggenggam tangan kakaknya. “Apapun yang terjadi, kau tetap saudaraku.”Pelangi tersenyum kecil. “Terima kasih, Diana!"Setelah sampel mereka diambil, dokter mengatakan bahwa hasil akan keluar dalam waktu dua Minggu. Dua Minggu yang terasa seperti seumur hidup bagi Pelangi.Dua Minggu kemudian,Di ruang tamu rumah Ardiyanto, suasana terasa begitu tegang. Semua orang berkumpul—Pelangi, Diana, Ardiyanto, dan tentu saja Marien, yang masih memasang ekspresi penuh kecurigaan.Dokter yang membawa amplop berisi hasil tes D
last updateปรับปรุงล่าสุด : 2025-03-06
อ่านเพิ่มเติม
ก่อนหน้า
1
...
8910111213
สแกนรหัสเพื่ออ่านบนแอป
DMCA.com Protection Status