Pelangi masih duduk kaku di sofa, jantungnya berdegup tak beraturan setelah mendengar pengakuan mengejutkan dari Danurdara. Selama ini, ia percaya bahwa pria di hadapannya adalah ayah kandungnya, tetapi kenyataan berkata lain. Danurdara menatap Pelangi dengan penuh rasa bersalah. Tangannya mengepal di atas lututnya, seolah-olah sedang menyiapkan diri untuk mengungkapkan sesuatu yang lebih berat. “Dua puluh empat tahun yang lalu, seorang teman baik Ayah, Winarto, datang kepadaku dengan seorang bayi perempuan dalam pelukannya.” Pelangi mengerjap. “Bayi itu aku?” Danurdara mengangguk pelan. “Winarto berkata bahwa orang tua bayi itu telah tiada. Ibunya, Josefina, berasal dari keluarga kaya dan berpengaruh. Namun, tidak semua orang di keluarganya menginginkan kehadiran bayi itu.” Pelangi merasakan dadanya semakin sesak. “Maksud Ayah?” Danurdara menatapnya dengan mata yang sayu. “Ada seseorang dalam keluargamu yang ingin mencelakakanmu sejak kau lahir. Wanita itu bernama Marien.” Pel
Keesokan paginya, suasana rumah terasa lebih tenang dibandingkan biasanya. Namun, ada sesuatu yang berbeda seolah ada sesuatu yang hilang di antara mereka.Di meja makan, Pelangi, Diana, Danurdara, dan Hadyan duduk menikmati sarapan bersama. Bocah sepuluh tahun itu tampak ceria seperti biasa, tidak menyadari beratnya situasi yang sedang terjadi.“Wah, Kak Pelangi buat roti panggang hari ini?” seru Hadyan senang, mengambil sepotong roti dengan selai stroberi favoritnya.Pelangi tersenyum dan mengusap kepala adiknya. “Iya, spesial untuk Hadyan.”Anak laki-laki itu langsung menggigit rotinya dengan lahap, lalu berbicara dengan mulut penuh, “Tapi kenapa semua orang kelihatan sedih? Kak Diana juga nggak marah-marah seperti biasanya.”Diana mendelik. “Hei, aku tidak selalu marah-marah!”Hadyan terkikik. “Iya, tapi kalau sudah ngomel, serem banget.”Pelangi dan Danurdara hanya bisa tertawa kecil melihat interaksi mereka.Namun, suasana ceria itu tidak bertahan lama. Setelah beberapa saat, Ha
Rumah keluarga Akarsana masih terasa tenang sore itu, hingga suara bentakan tiba-tiba menggema di dalamnya. “Keluar kau, Prita!” Diana melangkah masuk dengan penuh amarah. Matanya membara, tubuhnya bergetar karena emosi yang tertahan. Sofia, yang sedang duduk di ruang tamu, terkejut mendengar suara itu. Ia buru-buru berdiri. “Diana? Ada apa?” Diana tidak memperhatikan Sofia. Ia menatap tajam ke arah Prita yang baru saja keluar dari kamarnya. “Kau! Kau sudah keterlaluan, Prita!” Diana menunjuk wanita itu dengan marah. “Bagaimana bisa kau melakukan itu pada kakakku?!” Prita mendengus. “Aku tidak tahu apa yang kau bicarakan.” Diana tertawa sinis. “Kau tidak tahu? Oh, aku akan mengingatkanmu! Kau mendorong Pelangi! Kau membuatnya jatuh! Dan sekarang dia kehilangan bayinya!” Sofia tertegun, tubuhnya membeku. “A-apa?” Prita masih mencoba bersikap tidak peduli. “Itu bukan urusanku. Pelangi yang lemah.” Diana maju selangkah, wajahnya memerah karena marah. “Bukan urusanmu? Kau sudah
Diana berjalan menjauh dari rumah itu dengan langkah tegas. Angin malam yang dingin menerpa wajahnya, tapi tidak ada yang lebih dingin dari kemarahan yang masih membara di dadanya.Ia berhenti di tepi jalan, meremas ponselnya erat-erat. Pikirannya penuh dengan wajah Pelangi—kakaknya yang selalu mencoba bersikap kuat meskipun dihancurkan berkali-kali.Diana mendongak, menahan air mata yang tiba-tiba menggenang.Sial.Kenapa rasanya sakit sekali melihat Pelangi terluka seperti ini?Sebuah mobil melambat di dekatnya, dan jendela di sisi pengemudi terbuka."Diana?"Diana menoleh dan menemukan Sofia yang duduk di balik kemudi. Wajah adik Akarsana itu dipenuhi kecemasan."Kau mau ke mana?" tanya Sofia, suaranya ragu.Diana menghela napas, melipat tangan di dada. "Pulang. Aku tidak akan menghabiskan waktu lebih lama di rumah itu."Sofia tampak bimbang. "Aku bisa mengantarmu."Diana menatapnya sebentar, lalu akhirnya mengangguk. Ia berjalan mengitari mobil dan masuk ke kursi penumpang.Saat S
Keesokan siangnya, Akarsana baru saja kembali dari rapat ketika pintu ruangannya didorong kasar.Seorang pria melangkah masuk dengan wajah marah.Adrian.Tanpa memberi salam, tanpa basa-basi, Adrian langsung berdiri di hadapan Akarsana dengan mata menyala penuh amarah.“Kau bajingan.”Akarsana mengerutkan kening, tidak sempat bereaksi ketika Adrian meraih kerah jasnya dan menariknya kasar.“Adrian, apa—”“Diam!” bentak Adrian, suaranya bergetar menahan emosi. “Kau tidak pantas berbicara sekarang!”Akarsana mengerjapkan mata, masih berusaha memahami situasi.Adrian mengertakkan giginya, napasnya memburu. “Aku sudah tahu semuanya. Aku tahu kau meninggalkan Pelangi, aku tahu kau memilih wanita itu. Aku tahu ibumu mendorong Pelangi hingga keguguran!”Akarsana langsung menegang, hatinya mencelos lagi mengingat peristiwa itu. Luka yang masih segar seakan kembali disayat tanpa ampun.“Aku datang ke rumahnya tadi malam,” lanjut Adrian, suaranya lebih rendah tetapi masih penuh amarah. “Aku mel
Pelangi duduk di ruang kerja Pak Andy, penasihat hukum yang selama ini mengurus warisan Kayla. Di hadapannya, pria paruh baya itu menatapnya dengan ekspresi terkejut dan bingung."Kau ingin mengembalikan seluruh harta warisan Kayla kepada mereka?" Pak Andy mengulang kata-kata Pelangi seolah ingin memastikan ia tidak salah dengar.Pelangi mengangguk. "Benar, Pak. Saya ingin melepaskan semuanya."Pak Andy menghela napas panjang. "Pelangi, kau tahu apa yang kau katakan, bukan? Warisan ini bukan hanya sekadar uang dan properti. Ini hak yang sudah diwariskan kepadamu. Kenapa kau tiba-tiba ingin menyerahkannya?"Pelangi menatap pria itu dengan tenang. "Karena saya tidak ingin ada hubungan apa pun lagi dengan mereka, Pak Andy. Jika dengan menyerahkan semua ini saya bisa benar-benar terbebas, saya rela."Pak Andy menatap Pelangi lama, seakan mencari keraguan di wajahnya. Tapi yang ia lihat hanya keteguhan hati."Ini keputusan yang besar," katanya akhirnya. "Kau harus berpikir ulang. Jangan bi
Pelangi tidak menunggu lebih lama lagi. Dalam waktu kurang dari seminggu, ia sudah membereskan semua barang-barangnya dan menyusun rencana untuk pergi dari kota ini. Hanya Diana dan Danurdara yang tahu ke mana tujuannya, karena ia tidak ingin siapa pun mencari atau menghalanginya. Di hari keberangkatannya, suasana rumah terasa begitu hening. Diana duduk di sofa dengan wajah kusut, sementara Danurdara berusaha menahan emosinya. "Hadyan mana?" tanya Pelangi sambil menatap sekeliling, mencari adik bungsunya. "Di kamar," jawab Diana lirih. "Dia marah karena kau pergi." Pelangi menghela napas. Ia tidak ingin meninggalkan Hadyan dalam keadaan seperti ini, tapi ia juga tahu bahwa semakin lama ia bertahan, semakin sulit perpisahan ini. "Aku akan menemuinya dulu," kata Pelangi sebelum berjalan ke kamar adiknya. Di dalam kamar, Hadyan duduk di lantai, memeluk lututnya dengan wajah tertunduk. Saat Pelangi masuk, bocah itu tidak mengangkat kepalanya. "Hadyan " Pelangi berlutut di sam
Seketika itu juga, tongkat yang digenggam Ardiyanto terlepas dan jatuh ke lantai dengan suara berdebam.Diana yang berdiri di samping Pelangi merasakan betapa menegangkannya suasana itu. Ia bahkan bisa melihat tubuh tua pria itu sedikit bergetar."Tidak. Ini tidak mungkin." Ardiyanto menggeleng, tapi matanya terus menatap Pelangi seolah mencoba memastikan sesuatu. "Aku… aku sendiri yang menguburkan cucuku. Aku—"Pelangi menggeleng pelan, air matanya jatuh. "Kakek tidak menguburkan saya. Saya tidak pernah mati."Ardiyanto tampak semakin terkejut. Tubuhnya sedikit goyah sebelum ia jatuh terduduk kembali di kursinya. "Jadi yang Ginny katakan benar?"Pelangi terdiam.Ginny?"Kakek," suara Pelangi bergetar. "Saya tidak tahu siapa Ginny, tapi saya memang cucu Kakek. Saya masih hidup. Saya diambil oleh seseorang dan dibesarkan jauh dari keluarga ini."Air mata mulai mengalir di pipi Ardiyanto. Ia masih menatap Pelangi, dan kali ini ekspresinya berubah tidak lagi sekadar keterkejutan, tapi ke
Malam itu, suasana rumah masih dipenuhi ketegangan setelah pengakuan Sofia. Pelangi duduk di sofa dengan ekspresi kosong, sementara Akarsana mondar-mandir, pikirannya kacau."Aku masih tidak percaya " gumam Akarsana, suaranya nyaris berbisik.Sofia menunduk, matanya memerah menahan air mata. "Aku juga tidak ingin mempercayainya. Aku menyesal karena tidak melakukan sesuatu sejak dulu, jika aku berani melawan, mungkin Tante Kayla masih hidup."Pelangi menarik napas dalam-dalam. "Kebenaran akhirnya terungkap. Tapi, lalu apa? Apa kita akan membiarkan ini berlalu begitu saja?"Akarsana menatap adiknya dengan mata berkilat. "Tidak, kita tidak bisa membiarkannya. Apa pun yang terjadi, Ibu harus bertanggung jawab."Sofia menggigit bibirnya, lalu menggeleng. "Tapi Akarsana, Ibu kita... dia bahkan sudah tidak waras sekarang. Dia sudah hidup dalam ketakutan selama enam bulan terakhir. Apa yang bisa kita lakukan selain menyerahkannya pada perawatan?"Akarsana mengepalkan tangannya. Ia marah, kece
Ruangan itu menjadi sunyi. Hanya suara detak jam yang terdengar, seakan menegaskan bahwa ketakutan Prita masih ada, masih mengintai, dan belum benar-benar pergi.Prita masih tersungkur di lantai dengan tubuh gemetar. Air matanya mengalir deras, napasnya tersengal, sementara kedua tangannya mencengkeram kepalanya seolah berusaha menepis suara-suara yang hanya bisa ia dengar."Maafkan aku,Kayla! Maafkan aku!" gumamnya berulang kali, suaranya penuh ketakutan.Akarsana, Sofia, dan Pelangi masih berusaha menenangkannya, tetapi tiba-tiba, suara Prita berubah menjadi jeritan histeris."Aku tidak bermaksud membunuhmu!"Hening.Ketiga orang di ruangan itu membeku, tatapan mereka terpaku pada Prita yang masih terisak. Kata-kata itu menggema di kepala mereka, memenuhi ruangan dengan ketegangan yang mencekam.Akarsana menelan ludah, dadanya berdegup kencang. "Ibu,apa maksudmu?" tanyanya pelan, tetapi suaranya tegas.Prita tidak menjawab. Ia terus meracau, tubuhnya masih bergetar hebat. Seolah kat
Pelangi berdiri di sana, berdampingan dengan seorang pria yang Sofia kenal baik—Akarsana. Namun, perhatiannya langsung terfokus pada Pelangi. Sofia nyaris tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Pelangi, yang dulu selalu tampak sederhana dan jauh dari kesan feminin, kini berubah. Gaun lembut membalut tubuhnya dengan anggun, rambut panjangnya tergerai dengan rapi, dan ada kehangatan baru dalam sorot matanya. Ia tampak begitu cantik, begitu berbeda. Namun, bukan hanya perubahan penampilan Pelangi yang mengejutkan Sofia. Tangannya yang digenggam erat oleh Akarsana seolah menegaskan sesuatu. Sofia mengangkat pandangannya, melihat ekspresi kakaknya—wajah itu, yang selama ini redup dan penuh beban, kini berseri. Akarsana terlihat seperti dirinya yang dulu, sebelum semua kekacauan terjadi. Sofia menelan ludah, masih belum bisa mencerna semuanya. "K-Kak Pelangi?" suaranya bergetar. Pelangi tersenyum lembut. "Hai, Sofia!"" Sofia mengalihkan tatapannya ke Akarsana, mencari jawaban.
Diana masih berdiri di tempatnya, dadanya naik-turun seiring napasnya yang tidak beraturan. Tatapan Damar yang begitu dalam tadi masih terbayang di benaknya, mengusik perasaannya yang bahkan belum ia sadari sepenuhnya. Ia menggeleng pelan, mencoba mengabaikan semuanya, lalu menghembuskan napas panjang. Saat itu juga, suara musik dan tawa dari para tamu pesta kembali menyadarkannya akan kenyataan. Malam ini adalah malam pertunangan Pelangi dan Akarsana. Diana melangkah masuk ke dalam ruangan, tepat saat Ardiyanto menaiki podium kecil di tengah aula, mengambil mikrofon dan mengetuknya pelan. Semua tamu segera menghentikan obrolan mereka dan mengalihkan perhatian ke pria tua itu. "Ladies and gentlemen," Ardiyanto memulai dengan suara penuh wibawa. "Terima kasih telah menghadiri acara malam ini. Malam ini adalah malam yang istimewa bagi keluarga kami, karena cucu saya, Pelangi, akan bertunangan dengan pria yang telah mendapatkan hatinya kembali, Akarsana." Tepuk tangan menggema di
Pelangi mencoba kembali menenangkan pikirannya setelah pertemuannya dengan Akarsana. Hatinya masih berdebar tidak menentu, tapi kali ini bukan karena keraguan, melainkan karena keputusan besar yang sudah ia buat.Suara langkah kaki tergesa-gesa mendekat, disusul suara yang penuh amarah."Pelangi!" suara Diana menggema di ruangan, membuat Pelangi dan Ardiyanto menoleh.Diana berdiri di ambang pintu dengan ekspresi penuh kemarahan dan di belakangnya, Danurdara—ayahnya—menyusul dengan tatapan yang lebih tenang tapi tak kalah tegas."Kau serius, Pelangi?!" Diana mendekat dengan cepat. "Kau lebih memilih pria yang sudah menghancurkanmu, yang sudah membuatmu menangis selama ini, daripada Damar yang jelas-jelas pria baik?"Pelangi menghela napas. Ia sudah menduga ini akan terjadi."Diana, dengarkan aku—""Tidak!" Diana memotong dengan suara penuh emosi. "Aku tidak bisa diam saja melihatmu kembali ke dalam lingkaran yang sama! Apa kau tidak takut akan terluka lagi? Apa kau tidak ingat bagaima
"Kalian berdua," suara Damar terdengar datar, tapi ada sesuatu dalam tatapannya yang membuat Pelangi merasa bersalah. Akarsana tidak mundur. Ia justru menatap Damar dengan pandangan penuh keyakinan. "Aku tidak akan menyerah," kata Akarsana tegas. "Aku mencintai Pelangi, dan aku yakin dia masih mencintaiku." Pelangi mengerjapkan mata, dadanya berdebar kencang. Damar menatap Pelangi. "Apa yang dikatakannya benar?" Pelangi tercekat. Ia tidak tahu harus menjawab apa. Pelangi menatapnya, perasaan bersalah semakin menyesakkan dadanya. "Damar, aku...." Damar mengangkat tangannya, menghentikan ucapan Pelangi. "Kau tidak perlu mengatakan apa-apa. Aku hanya ingin kau jujur pada dirimu sendiri." Pelangi menatap Damar dengan mata berkaca-kaca. Ia tahu, pria ini benar-benar baik. Damar tersenyum lembut. "Jangan memaksakan diri, Pelangi. Aku ingin kau bahagia, dengan atau tanpa aku." Pelangi terisak pelan. Damar menghela napas panjang lalu menatap Akarsana. "Aku harap kau tidak
"Dan kau gagal." Akarsana menatapnya dalam, suaranya tenang tapi penuh keyakinan. "Aku tahu kau masih mencintaiku, Pelangi. Aku bisa melihatnya di matamu." Pelangi menggeleng dengan cepat, air matanya mulai jatuh tanpa bisa ia tahan. "Tidak," bisiknya, lebih kepada dirinya sendiri daripada kepada Akarsana. Akarsana mengulurkan tangannya, ingin menghapus air mata itu, tapi Pelangi mundur selangkah, membuat jarak di antara mereka. "Aku akan bertunangan dengan Damar," katanya dengan suara yang lebih tegas, seakan ia mengatakannya bukan hanya untuk Akarsana, tapi juga untuk dirinya sendiri. Akarsana terdiam, dadanya terasa sesak. "Lalu kenapa kau menangis?" tanyanya dengan suara lirih. Pelangi menggigit bibirnya. Ia ingin berteriak bahwa ia tidak ingin bertunangan dengan Damar, bahwa hatinya masih terikat pada Akarsana, tapi ia tidak bisa. Ia tidak boleh. Tanpa menjawab, ia berbalik dan membuka pintu, meninggalkan Akarsana yang masih berdiri di sana dengan ekspresi hancur.
Dengan tatapan yang tidak bisa ia artikan. Pelangi membeku di tempat. Hatinya berdebar begitu kencang saat matanya bertemu dengan mata Akarsana. Pria itu berdiri di antara kerumunan, mengenakan jas hitam yang tampak sedikit longgar di tubuhnya seperti seseorang yang kehilangan berat badan. Wajahnya lebih tirus dari yang terakhir kali Pelangi lihat. Namun, sorot matanya tetap sama. Penuh luka. Akarsana tidak bergerak, hanya menatapnya dalam diam. Pelangi mengeraskan hatinya dan segera mengalihkan pandangan. Ini tidak seharusnya terjadi. Akarsana tidak seharusnya ada di sini. Tapi pertanyaannya adalah siapa yang mengundangnya? Di tengah kebingungan, Diana tiba-tiba muncul di sampingnya dan berbisik pelan, "Aku tidak mengundangnya, Pelangi. Aku juga terkejut dia datang." Pelangi menelan ludah. Ia tidak ingin menunjukkan kegugupannya. "Aku akan pura-pura tidak melihatnya," katanya lirih. Diana menatapnya ragu, tetapi tidak berkata apa-apa lagi. Namun, masalahnya adalah
Malam itu, Akarsana tidak bisa tidur. Kata-kata Sofia terus terngiang di kepalanya."Jika kau masih mencintainya, pergilah cari dia!"Akarsana tidak bisa menahan keinginan untuk mencari tahu. Ia bangkit dari tempat tidurnya, mengambil ponselnya, dan membuka kontak lama yang tak pernah ia hapus.Pelangi.Jari-jarinya gemetar saat hendak menekan tombol panggil.Namun, ia ragu."Bagaimana jika dia tidak mau bicara denganku?""Bagaimana jika dia sudah bersama pria lain?"Pikiran itu membuat dadanya terasa sesak.Akhirnya, ia hanya menatap nama itu di layar ponselnya, sebelum akhirnya menghela napas dan memasukkan ponselnya kembali ke dalam saku.Mungkin, Sofia benar. Ia harus menemui Pelangi. Bukan hanya untuk memohon kesempatan kedua, tetapi untuk mengatakan hal yang selama ini tidak sempat ia katakan, bahwa ia mencintainya.Bahwa ia menyesali semuanya. Dan bahwa ia ingin memperbaikinya.Keesokan paginya, Akarsana mendatangi rumah sakit dimana Ardian bekerja. Ardian adalah satu-satunya o