Home / Romansa / Takdir Cinta Khairunnisa / Chapter 11 - Chapter 20

All Chapters of Takdir Cinta Khairunnisa : Chapter 11 - Chapter 20

43 Chapters

BAB. 10 SEBUAH PELAMPIASAN

Kubiarkan saat Umi mengetok kamarku, mungkin Umi mengira aku telah terlelap. Aku tidak ingin Umi mendengar isak ini, melihat mataku sembab. Hingga Umi menanyakan apa penyebabnya. Tidak mungkin kan aku menceritakan semua ini pada Umi. Yang ada nanti Umi akan menilaiku sebagai anak yang tidak tahu diri, aku mengira-ngira sendiri reaksi Umi jika beliau tahu tentang perasaan ini.Hingga Subuh menjelang aku belum tidur sama sekali, ternyata begini rasanya patah hati. Benar kata almarhumah Ibu, jangan terlalu berharap pada Mas Iqbal. Mungkin karena Ibu tidak ingin melihatku terluka. Ibu ... seandainya beliau masih hidup, tentu akan kuluapkan tangis ini di pangkuanmu. Mencurahkan keluh kesah padamu dan tanganmu akan mengelus-ngelus pundakku hingga sakit ini sedikit terobati.***Pagi ini aku bangun lebih awal dari biasanya, meski semalam nyaris tidak dapat tidur. Kuselesaikan tugas membersihkan rumah dengan cepat, lalu mandi kemudian segera bergegas ke toko. Aku menolak saat Umi dan Yu Girah
Read more

BAB. 11 RAGU YANG MENDERU

Seperti anjuran Umi, usai makan malam aku mohon restu pada Abah dan Umi. Selain mereka berdua, ada juga Mas Iqbal yang memang beberapa hari ini ada di rumah. Dia menunggu pelaksanaan wisuda bulan depan.Selama di rumah Mas Iqbal lebih sering ke penggilingan padi, dan hanya beberapa kali datang ke toko. Saat musim panen seperti sekarang ini, toko lebih sepi dari biasanya dan gantian penggilingan padi yang ramai."Abah sudah menduga sebelumnya Nis, dari tatapan Nak Ilham saat melihatmu, cara bicaranya padamu, hehehe .... Abah kan juga pernah muda, Nis." Abah terkekeh menanggapi ceritaku. Abah memang sering mengontrol toko dan beliau kerap mengobrol akrab dengan Mas Ilham."Iya, Nis... Umi dan Abah sering membicarakan kalian, sudah dari awal kami menangkap kalau Nak Ilham itu menaruh hati padamu, tapi Umi perhatikan sepertinya kamu sama sekali tidak merespons, adem ayem saja, bahkan terkesan cuek, tidak menanggapi sama sekali. Makanya kami pikir kamu tidak suka sama Nak Ilham, atau meman
Read more

BAB. 12 SESAL YANG MENYERGAP

Loh kamu bilang akan berangkat ke Semarang seminggu sebelum wisuda, kenapa sekarang mendadak mau berangkat?" Aku sedang berkemas untuk berangkat ke toko, saat dari kamar sayup-sayup kudengar suara Umi. Sepertinya Umi sedang berbicara dengan Mas Iqbal."Iya, Mi. Masih ada yang harus Iqbal siapkan, kalau seminggu sebelumnya terlalu mepet." Kini terdengar suara Mas Iqbal menjawab pertanyaan Umi. Aku juga ingat saat Mas Iqbal bicara dengan Umi, katanya satu minggu sebelum hari H dia baru akan ke Semarang, menurutnya semua perlengkapan wisuda sudah siap. Dan rencananya Abah dan Umi akan berangkat menyusul kemudian, sehari sebelum pelaksanaan. Bahkan Umi juga akan mengajakku serta ke Semarang. Tapi kenapa sekarang tiba-tiba Mas Iqbal mengubah rencana semula, ya? Apakah ini ada kaitannya dengan rencana Mas Ilham yang akan mengkhitbahku? Aku bertanya-tanya dalam hati. Ah mungkin memang ada sesuatu yang harus ia siapkan dari sekarang, hati kecilku menghalau pikiran yang bukan-bukan."Tapi nan
Read more

BAB. 13 KERAGUAN YANG TERJAWAB

Aku baru melewati pintu gerbang kampus dan berniat naik angkutan umum untuk pulang ke rumah, saat terdengar seseorang memanggil namaku. Refleks aku menengok ke arah suara itu. Seorang perempuan berjalan mendekat ke arahku. Usianya mungkin tiga puluhan tahun. Postur tubuhnya sedang, tidak tinggi dan juga tidak terlalu pendek. Wajahnya biasa saja, tapi dandanan dan segala yang ia kenakan di tubuhnya terlihat mewah, hingga terlihat elegan. Belum sempat aku menanyakan siapa dia, wanita itu sudah mengulurkan tangan. "Aku Laila, kamu Khairunnisa, kan?” Kami bersalaman. "Dari mana Mbak tahu nama saya?" Tak bisa kusembunyikan rasa heran. "Tidak penting dari mana aku tahu namamu, yang pasti sekarang aku ingin bicara denganmu." Nada suaranya tegas. "Maaf kita baru kenal--" Aku belum selesai bicara saat dia memotong kalimatku. "Jangan khawatir, aku bukan penjahat yang akan menculikmu. Kita bisa ngobrol di taman seberang jalan itu. Kamu bisa berteriak minta tolong pada orang-orang yang lalu
Read more

BAB. 13 HARUSKAH KU AKHIRI?

Kurasakan udara di sekitarku semakin panas dan pengap, embusan angin pun tak dapat memberikan kesejukan sama sekali. Jelas sudah kini .... Apa maksud dan tujuan Mbak Laila menemuiku. Kuhela napas panjang .... Susah payah mengumpulkan oksigen agar napasku bisa normal kembali. Aku menerima Mas Ilham memang tidak dengan hati, hanya karena emosi, tapi berharap lambat laun bisa mencintai lelaki itu seutuhnya. "Seminggu yang lalu, dia mengabarkan pada orang tuaku, bahwa akan bertunangan dengan gadis yatim piatu dari desa tempatnya bertugas. Orangtuaku yang berhati mulia dengan senang hati merestuinya. Bahkan mereka bersedia akan datang untuk melamarmu." Tidak salah lagi ... benar memang Mas Ilham yang ia maksud. Ya ... Allah apa yang harus kuperbuat? "Aku protes pada mereka, agar jangan merestui Ilham, tapi justru diceramahi habis-habisan. Heran, mereka tetap saja membela Ilham yang jelas-jelas sudah membuat Almira menderita. Lebih heran lagi, saat mereka mengatakan bahwa apa yang
Read more

BAB. 14 HARUS KECEWA ATAU LEGA?

Aku pulang terlambat dari biasanya. Ada mobil Mbak Ainun terparkir di halaman. Jadi ingat, beberapa hari yang lalu saat Umi mengabarkan pada Mbak Ainun tentang rencana khitbahku. "Nis ... Mbakmu mau bicara sebentar ini." Umi mengangsurkan ponsel padaku. "Assalamualaikum, Nis," ucap Mbak Ainun. Suara khasnya yang renyah langsung memenuhi ruang dengarku."Waalaikumsalam, Mbak ...." "Nis, kamu sudah beli baju belum untuk acara khitbahmu besok? Aku bawakan ya, di sini bagus-bagus loh, modelnya." Mbak Ainun memang sangat baik padaku, setiap kali berkunjung ia selalu membelikanku sesuatu. Entah tas, sepatu, kerudung, gamis, atau apa pun. Kebetulan ukuran kami sama, jadi tidak kesulitan mencari yang pas kupakai. Dia juga tahu, biru adalah warna favoritku. "Terima kasih, Mbak .... Tapi, maaf jangan repot-repot .... Baju lamaku banyak dan masih pantas untuk dipakai." Aku buru-buru menolak, tidak enak rasanya terlalu sering mendapat hadiah darinya. Selain itu, aku selalu ingat pesan almarh
Read more

BAB. 15 PUING-PUING HARAPAN

Mas Ilham terpekur, demikian juga denganku, hanya bisa menunduk. Sebelumnya, Abah menanyakan pada Mas Ilham tentang kebenaran cerita Mbak Laila, dan lelaki usia dua puluh delapan tahun itu membenarkannya. Berkali-kali Mas Ilham minta maaf, karena tidak terbuka tentang Almira. Saat itu, dia berpikir semua akan baik-baik saja, karena penolakannya pada Almira sudah dua tahun berlalu. Lagi pula, orang tua angkatnya merestui, saat Mas Ilham menceritakan tentang rencananya mengkhitbahku. Tentang Almira, dia tegaskan padaku bahwa dia menyayangi hanya sebatas antara kakak dan adik. Namun, Almira mengartikannya lain, dia berharap lebih pada Mas Ilham. Lelaki dengan tahi lalat dikening itu sama sekali tidak mengira ternyata Mbak Laila menyimpan dendam yang begitu besar padanya. Kini, dia bingung harus menentukan pilihan, Almira atau Aku. "Belajarlah untuk mencintainya, Mas. Sebagai balas budi atas kasih sayang dan perhatian orang tuanya pada Mas Ilham, hingga Mas Ilham bisa sep
Read more

BAB. 16 KHAYALAN TERPATAHKAN

Aku tidak ingin menambah dalam luka ini. Cintaku memang masih utuh untuknya dan kalau kembali kami saling dekat, akan membuat diri ini kembali berharap. Tentu itu akan membuatku semakin terluka, karena jelas, sudah ada Mbak Hanum di sisinya. Sekarang aku hanya ingin menyembuhkan luka hati. Harus menerima kenyataan seperti pepatah lawas bahwa 'Cinta Sejati Tak Harus Memiliki'. Lagi pula aku tidak mau jadi orang ketiga di antara Mas Iqbal dan Mbak Hanum. "Kemarin, Abah sudah cerita sama Iqbal tentang khitbahmu yang tidak jadi. Lalu, abah memintanya untuk mengajakmu refreshing, jalan-jalan. Biar ndak suntuk, Nis .... Kamu belum pernah ke Semarang, kan?" Masyaallah ... ternyata Mas Iqbal sudah mengetahui semuanya. Lalu, bagaimana kalo nanti kami bertemu. Aku benar-benar tidak sanggup. Eh, tapi bukankah kemarin saat tahu rencana khitbahku dia seperti menghindar dan buru-buru pergi ke Semarang. Apakah dia kecewa atas keputusanku itu? Atau ...? Ah, kenapa aku berpikir sejauh i
Read more

BAB. 17 SECERCAH CAHAYA

Khayalanku terhenti saat tangan Mas Iqbal menarik tangan ini, memberi kode agar aku berjalan lebih cepat. Abah dan Umi sedang asyik berbincang dengan laki-laki setengah baya dan seorang wanita yang wajahnya sangat mirip dengan Mbak Hanum. Tidak salah, mereka pasti orang tua Mbak Hanum. Mas Iqbal memperkenalkanku pada mereka. Meski ada nyeri di relung hati, tapi aku berusaha setenang mungkin. Dengan sopan, aku menyalami mereka satu persatu. Mereka sangat ramah menyambutku. Kalau melihat penampilan dan cara bicaranya bisa aku pastikan suami istri ini dari kalangan terpandang. Pantaslah kalau Mas Iqbal memilih Mbak Hanum, bila dibandingkan, aku bukanlah apa-apanya. Aku baru saja akan menanyakan di mana Mbak Hanum. Namun, tiba-tiba kulihat sosoknya yang anggun bersama seorang lelaki gagah berbaju batik, melangkah ke arahku. "Nisaaa ... apa kabar? Akhirnya bisa datang juga di sini." Setengah berteriak Mbak Hanum menghampiriku. Belum sempat aku menjawab pertanyaannya, Mbak Ha
Read more

BAB. 18 ROMANTIKA DI KOTA ATLAS

"Aku kasihan padanya, Mas. Dia sama denganku, yatim piatu. Karena senasib itulah aku merasa cocok dengannya, meski tahu itu bukan cinta. Akan tetapi aku berharap lambat laun rasaku akan berubah, bisa mencintainya. Ternyata Allah berkehendak lain." Akhirnya kalimat itu yang keluar dari mulutku. "Nah itu, Nis ... Allah Maha Tahu, Dia tidak mengizinkanmu membohongi diri sendiri" Membohongi diriku sendiri? Maksudnya apa? Belum sempat aku bertanya, Mas Iqbal sudah kembali berucap, “selain membohongi dirimu sendiri kamu juga membohongi Mas Ilham, memberinya harapan. Seolah-olah kamu benar-benar mencintainya. Kamu tahu nggak kalau suka bohong hukumannya apa?" Dengan wajah dibuat-buat serius Mas Iqbal bertanya padaku, layaknya ustadz yang bertanya pada santrinya. "Masuk neraka, Ustadz ....!!!" Aku keraskan suaraku, bergaya seperti anak TK. "Itu sudah pasti kalau di akhirat, ya .... Kalau hukuman langsung di dunia apa coba?" Kembali Mas Iqbal bertingkah konyol. "Apa, ya?" Aku
Read more
PREV
12345
DMCA.com Protection Status