Home / Romansa / Takdir Cinta Khairunnisa / Chapter 1 - Chapter 10

All Chapters of Takdir Cinta Khairunnisa : Chapter 1 - Chapter 10

43 Chapters

PROLOG

Aku akan masuk kamar mandi, saat sayup-sayup terdengar pintu samping yang menghubungkan ruang tengah dengan garasi diketuk. Ucapan salam terdengar samar tertimpa suara tetesan air langit yang beradu dengan atap rumah. Sore itu, hujan turun sangat deras disertai kilatan petir dan gelegar halilintar. Gegas diri ini menuju ke arah pintu. Memutar anak kunci yang terpasang di lubangnya, lalu memutar kenopnya sebelum akhirnya pintu terbuka sempurna. Aku terkesiap demi melihat sosok yang kini ada di hadapan. Mas Iqbal? Baju dan celana yang membalut tubuhnya basah kuyup, wajahnya pucat dengan bibir membiru. Tubuh tegap itu menggigil, bergetar menahan dingin.Refleks aku bentangkan handuk yang sejak tadi tersampir di pundak, segera menyelimutkan ke dadanya. Sejenak mata kami bertautan, sorot manik hitam itu masih tetap menggetarkan hati. Aku segera mundur beberapa langkah karena tiba-tiba teringat kata-katanya di gazebo Resto Omah Ndeso kemarin siang."Maaf ... aku tidak bermaksud_" Belum
Read more

BAB 1. KHAIRUNNISA

Sepeda usang warna biru sudah aku sandarkan di samping pohon jambu depan rumah. Meski tidak sebagus dan semahal punya Lani atau Dewi, aku sangat bersyukur memilikinya. Sepeda inilah yang setia mengantarku menuntut ilmu, sejak masuk SMP hingga kini duduk di kelas 3 SMK. Bapak membelinya ketika aku diterima di SMP Negeri di Kota Kecamatan. Bukan sepeda baru, hanya sepeda bekas, tetapi aku sangat bersyukur karena memang kemampuan orang tuaku sebatas itu.Bapak seorang petani penggarap dan bekerja pada sebuah tempat penggilingan padi jika tidak ada pekerjaan di sawah. Aku sadar dengan keadaan ini. Untuk itu, tak pernah menuntut lebih. Selain itu, bapak dan ibu selalu mengajariku falsafah Jawa 'Nrimo Ing Pandum', menerima apa yang Allah SWT berikan pada hamba-Nya."Masih terlalu pagi, Nis. Bagaimana kalo mampir ke rumah Bu Nyai dulu, baju yang tempo hari beliau bawa ke sini sudah selesai ibu jahit." Suara ibu membuyarkan lamunanku."Baik, Bu. Sekalian Nisa bawa," jawabku dengan senang hat
Read more

BAB 2. KEHILANGAN ORANG TERCINTA

Aku baru saja melipat mukena, saat kudengar pintu depan diketuk dari luar."Assalamualaikum ... Nis .... Buka pintunya, Nis!"Aku hapal benar suara itu, suara Mak Dijah⸺tetangga sebelah rumah yang sudah kuanggap seperti saudara."Waalaikumsalam," jawabku sambil meletakan mukena di atas sajadah. Refleks kuraih kerudung instan yang tergantung di balik pintu kamar, segera memakainya. Lalu setengah berlari menuju pintu depan."Ada apa, Mak?" tanyaku sambil membuka pintu."Ibumu, Nis ... tadi⸺" Mak Dijah tak melanjutkan kalimatnya."Ada apa, Mak? Ibu kenapa?" Aku kembali bertanya sambil menggoyang-goyang lengan Mak Dijah.Menjelang Magrib, ibu pamit untuk menghadiri majelis taklim di masjid. Biasanya, usai pengajian akan dilanjut dengan salat Isya berjamaah, kemudian pulang ke rumah masing-masing. Meski ibu sibuk dengan jahitan yang menumpuk, tetapi beliau berusaha meluangkan waktu dan tidak pernah absen hadir di majelis taklim khusus untuk ibu-ibu di kampung ini."Tidak apa-apa, Nis. Bu N
Read more

BAB. 3. WASIAT IBU

"Begini Nis, mungkin sebelumnya sudah abah sampaikan, bahwa sebelum ibumu meninggal, ia berwasiat menitipkanmu pada kami. Untuk itu, kedatangan kali ini bermaksud mengajakmu tinggal bersama di rumah kami. Karena bagaimanapun kamu masih butuh bimbingan, meski boleh dibilang telah dewasa, akan tetapi sangat riskan jika seorang gadis tinggal di rumah sendirian. Ya, walaupun berdekatan dengan rumah Mak Dijah, tetapi tidak setiap saat Mak Dijah bisa mengawasimu, kan? Mak Dijah juga punya keluarga yang harus diperhatikan, bukankah begitu Mak Dijah?" tanya Pak Kyai sambil mengalihkan pandangannya ke Mak Dijah. MakDijah yang duduk di sebelahku mengangguk-angguk, mengiyakan kata-kata Pak Kyai."Insyaallah kami akan siap membimbing dan mendampingimu, Nis. Memenuhi segala kebutuhan hidup dan sekolahmu. Anggaplah kami sebagai pengganti ibu dan bapakmu. Ya, meskipun kami paham tidak ada yang bisa menggantikan posisi itu, Nis. Paling tidak kami akan sangat lega karena sudah menunaikan pesan terakh
Read more

BAB 4. KELUARGA BARU

Sore hari, setelah menyampaikan kemantapan hati tinggal di rumah Pak Kyai, aku segera berkemas. Dibantu Mak Dijah aku memasukkan seluruh seragam sekolah dan beberapa stel baju harian ke dalam tas besar. Sedangkan buku-buku dan alat sekolah lainnya aku kemas rapi dengan kardus bekas. Sengaja aku tidak langsung membawa semua barang-barang, agar bisa bolak-balik ke rumah. Bagaimana juga banyak kenangan tercipta di rumah ini. Alhamdulillah Pak Kyai dan Bu Nyai tidak keberatan dengan permintaanku. "Ndak papa, Nis. Kamu bawa saja barang yang dirasa perlu dulu. Lainnya bisa nyicil besok-besok. Toh, rumahmu dekat. Atau mau aku panggilkan Pakde Tono biar diangkut pakai truk? Hehehe ...?" canda Bu Nyai. Pakde Tono adalah sopir truk di tempat penggilingan padi Pak Kyai. "Nggak usah, Bu Nyai, terimakasih ... biar saya boncengkan saja naik sepeda. Wong barang-barang saya cuma dikit. Saya nggak mau merepotkan Pakde Tono," jawabku jujur. "Hehehe ... kamu itu loh, Nis ... kok lugu banget, wong aku
Read more

BAB. 5 MENGABDI PADA KELUARGA BAIK HATI

Selain Pak Kyai dan Bu Nyai, ada sepasang suami istri separuh baya yang sehari-hari membantu di rumah ini. Mereka menempati rumah kecil di belakang rumah besar ini. Kang Sarman dan Yu Girah nama suami istri itu. Kang Sarman bertugas membantu membersihkan masjid dan pekarangan sekitar rumah. Sedang Yu Girah membantu Bu Nyai di dapur dan membersihkan rumah, serta pekerjaan rumah tangga lainnya. Sedikit cerita dari Yu Girah, katanya keluarganya sudah turun temurun bekerja pada keluarga ini. Pak Kyai dan Bu Nyai memperlakukan mereka dengan sangat baik, hingga mereka betah bertahun-tahun bekerja di sini. Padahal anak-anak mereka semua sudah hidup berkecukupan dan berkali-kali menawari untuk ikut bersamanya, namun mereka tetap bersikukuh tinggal di sini. Beruntung sejak kecil aku terbiasa bangun sebelum subuh, hingga tidak kaget saat awal-awal tinggal di rumah ini. Sudah menjadi kewajiban dan kebiasaan seluruh penghuni rumah harus menunaikan salat Subuh berjamaah di masjid. Setelah salat
Read more

BAB. 6 GADIS BERKERUDUNG BIRU

GADIS BERKERUDUNG BIRUHai, Gadis Berkerudung Biru ....Tahukah kau apa yang ada di kalbu?Saat tatap mata kita bertemuSaat senyum tersungging di bibirmuSaat pipimu menjadi merah daduLalu kau tertunduk maluHai, Gadis Berkerudung Biru ....Tahukah kau apa yang ada di kalbu?Saat jarak memisahkanku darimuSaat tak kudengar merdu suaramuAda selaksa rindu yang menggebuEntah kapan tiba waktu itu ?Waktu di mana kan ungkap rasaku padamuHai, Gadis Berkerudung Biru ....Tahukah kau apa yang ada di kalbu?Saat kusebut namamu di untaian doakuHanya satu yang kuminta pada Rabb-kuJadikanlah engkau RatukuDan bersemayam abadi di kalbuM. I. HambaliBerulang kali kubaca tiga bait puisi pada secarik kertas berwarna biru. Aku bisa memastikan kalau puisi itu Mas Iqbal yang membuat, karena di sudut kanan bawah tertera inisial namanya, Muhammad Iqbal Hambali.Gadis Berkerudung
Read more

BAB. 7 DI ANTARA DUA PILIHAN

"Oh, begitu ... tapi maaf sebelumnya, rumah saya ndak bagus, kecil pula." Aku mengatakan apa adanya."Wah, nggak papa Mbak Nisa, yang penting bisa buat berteduh, karena saya di sini nggak cuma sehari dua hari, jadi memang butuh tempat tinggal, gak masalah besar atau kecil, bagus atau jelek , yang penting bisa ditempati," ujar Mas Ilham jujur."Iya, Nis ... tadi Mas Ilham sudah lihat-lihat rumahmu, dan katanya cocok, selain dekat dengan Balai Desa, rumahmu juga dekat masjid, bukan begitu Mas Ilham ...?" Mak Dijah sepertinya mendukung keinginan Mas Ilham.Mak Dijah benar juga, kalau ada yang menempati otomatis ada yang membersihkan dan merawat rumahku."Iya, Nis .... Lebih baik biar ditempati Mas Ilham selama beliau tugas di sini, sayang kalau terlalu lama kosong, jadi terlihat gimana gitu?" Ujar Bu Nyai sambil melirik Pak Kyai."Benar, Nis ... saran kami kalau ada yang menempati itu sangat bagus. Toh kamu sudah di sini, tidak bisa rutin merawat. Tapi semua kembali sama kamu, membolehkan
Read more

BAB. 8 ADA HATI YANG BERHARAP

Sore ini tanpa memberi tahu terlebih dahulu, Mas Ilham menjemputku kuliah. Aku kaget ketika melihatnya duduk di atas motor matic warna hitam miliknya, menungguku di depan gerbang kampus. Aku tak bisa menolak saat dia mengajak ke pantai yang lokasinya tak jauh dari kampus. Hanya butuh waktu lima menit kami sudah sampai di pantai yang menjadi ikon wisata di kotaku. Mungkin karena akhir pekan, sore ini pantai lumayan ramai. Selain para nelayan, pantai ini banyak dikunjungi para pelancong dari dalam maupun luar kota. Kami duduk di salah satu gazebo, menghadap ke laut lepas melihat pemandangan yang memanjakan mata."Aku mau bicara serius denganmu, Dik." Setelah beberapa saat kami berbasa-basi akhirnya Mas Ilham menyampaikan maksudnya menjemputku lalu mengajakku kesini. Sejak kami akrab, Mas Ilham mengubah panggilannya padaku, kalau sebelumnya dia memanggilku Mbak Nisa sekarang menjadi Dik Nisa. Aku tidak keberatan dengan panggilan itu, toh usiaku memang tujuh tahun lebih muda darinya."Ten
Read more

BAB. 9 LAKSANA LUKA TERSIRAM AIR GARAM

Aku baru keluar dari masjid usai pengajian rutin remaja, saat kulihat mobil sedan warna silver berhenti di halaman. Tak lama kemudian seorang gadis cantik berkerudung keluar dari pintu depan mobil sebelah kanan. pencahayaan yang cukup terang membuat diri ini bisa melihat jelas sosoknya. Penampilannya sangat modis, memakai celana jeans coklat dipadu dengan tunik panjang motif bunga-bunga warna salem dengan kerudung warna senada. Kedua ujung kerudung bagian depan diikat ke belakang memperlihatkan kalung manik-manik besar warna maron di dadanya. Tak ketinggalan tas kulit dengan brand terkenal ia cangklong di pundak. Aku lihat hak sepatunya tinggi dan runcing. Tak terbayang jika aku yang memakainya, pasti akan kerepotan berjalan dan keseleo berkali-kali.Gadis itu tersenyum saat melihatku berdiri mengawasinya. Aku membalas senyumnya."Assalamualaikum ...." Dia berjalan ke arahku, mengulurkan tangannya."Waalaikumsalam ...." Kami berjabat tangan."Saya Hanum, teman kuliah Iqbal, maaf bisa b
Read more
PREV
12345
DMCA.com Protection Status