Sepeda usang warna biru sudah aku sandarkan di samping pohon jambu depan rumah. Meski tidak sebagus dan semahal punya Lani atau Dewi, aku sangat bersyukur memilikinya. Sepeda inilah yang setia mengantarku menuntut ilmu, sejak masuk SMP hingga kini duduk di kelas 3 SMK. Bapak membelinya ketika aku diterima di SMP Negeri di Kota Kecamatan. Bukan sepeda baru, hanya sepeda bekas, tetapi aku sangat bersyukur karena memang kemampuan orang tuaku sebatas itu.
Bapak seorang petani penggarap dan bekerja pada sebuah tempat penggilingan padi jika tidak ada pekerjaan di sawah. Aku sadar dengan keadaan ini. Untuk itu, tak pernah menuntut lebih. Selain itu, bapak dan ibu selalu mengajariku falsafah Jawa 'Nrimo Ing Pandum', menerima apa yang Allah SWT berikan pada hamba-Nya."Masih terlalu pagi, Nis. Bagaimana kalo mampir ke rumah Bu Nyai dulu, baju yang tempo hari beliau bawa ke sini sudah selesai ibu jahit." Suara ibu membuyarkan lamunanku."Baik, Bu. Sekalian Nisa bawa," jawabku dengan senang hati. Kebetulan aku melewati rumah Bu Nyai saat berangkat dan pulang sekolah.Ya, ibu membuka jasa menjahit baju di rumah. Ada yang berkenan mengambil saat baju sudah selesai dijahit, ada pula yang meminta diantarkan ke rumah, seperti Bu Nyai Aisyah, langganan setia ibu. Tugasku hanya mengantarkan baju-baju yang telah selesai dijahit ke pelanggan, karena ibu tidak pernah mengizinkan kalau membantu mengerjakan jahitan."Tak usah, Nis ... nanti kalau keliru, biar ibu saja yang mengerjakan. Kita sudah dipercaya, jangan sampai membuat mereka kecewa. Besok saja kalo kamu sudah mahir, ya!"Selalu begitu kata ibu jika aku menawarkan diri untuk membantunya, sekadar memotong kain atau menggantikannya menjahit bagian yang simpel. Bahkan, untuk menyetrika baju yang telah jadi pun ibu tidak membolehkan, takut tidak haluslah, kurang licinlah, apalah-apalah ... hehehe ... kayak lagunya Iis Dahlia, ya?Memang benar alasan ibu. Meski anak ibu satu-satunya, tetapi aku sama sekali tidak menuruni bakat menjahit seperti beliau. Aku justru tertarik pada dunia hitung-menghitung dan mengambil jurusan Akuntansi pada SMK Negeri di kotaku—Cilacap-sebuah kota kecil yang terletak di ujung barat daya Provinsi Jawa Tengah. Ibu sangat hati-hati dan teliti saat menjahit, telaten mengerjakan setiap detailnya. Pantas saja, siapa pun yang pernah menjahitkan baju pada ibu pasti puas dengan hasil jahitannya.Pelanggan ibu lumayan banyak, ini sangat membantu perekonomian kami. Semenjak bapak sakit dan akhirnya meninggalkan kami berdua untuk selamanya, otomatis ibu yang menjadi tulang punggung keluarga. Sering ibu begadang, ngebut menyelesaikan jahitan karena semua pelanggan menginginkan jadi secepatnya. Semakin cepat selesai, itu berarti semakin cepat pula ibu menerima upahnya. Aku paham dan tahu betul pengorbanan ibu untukku, anak semata wayangnya.Untuk itu, aku bertekad akan membahagiakan ibu. Menuruti segala perintah dan keinginan beliau adalah kewajibanku sebagai seorang anak. Selama ini, aku berusaha tidak mengecewakannya dengan tekun belajar dan berusaha menjadi yang terbaik. Alhamdulillah, karena usaha keras dan berkat dukungan ibu, aku selalu menjadi juara di sekolah.Pagi ini, sekalian berangkat sekolah, aku membantu ibu mengantarkan baju Bu Nyai Aisyah, istri Pak Kyai Hambali. Beliau salah satu pelanggan setia ibu. Seingatku dari SD sampai sekarang hampir lulus SMK, Bu Nyai Aisyah selalu menjahitkan bajunya ke ibu. Suatu kebanggaan jika seorang seperti Bu Nyai cocok dengan jahitan ibu."Jahitan Ibumu enak dipakai, Nis, pas di badan," puji Bu Nyai suatu ketika, saat aku mengantarkan jahitan."Syukurlah, kalau Bu Nyai berkenan dan cocok dengan jahitan ibu," kataku sambil menunduk takzim.Di desaku, seorang Kyai dan keluarganya sangat dihormati dan disegani. Seperti keluarga Pak Kyai Hambali, terutama Bu Nyai, selain gemrapyak⸺ramah kata orang Jawa. Beliau juga berjiwa sosial tinggi. Bukan tanpa alasan aku menilai demikian karena setiap kali mengantarkan jahitan, beliau selalu memberi ongkos lebih."Buat beli buku, Nis!" Begitu kata beliau.Ternyata, bukan hanya aku⸺anak yatim⸺yang beliau bantu, tetapi banyak tetangga yang kurang mampu juga rutin mendapat santunan. Biasanya saat bulan Ramadhan, kami diundang untuk buka bersama di Masjid Al-Barokah yang berada di samping kiri rumah beliau. Begitu pun saat Idul Fitri tiba, anak-anak yatim piatu dan yang dipandang kurang mampu di kampung ini mereka berikan santunan dengan pantas.Selain memiliki sawah yang luas, Pak Kyai juga mengelola beberapa usaha penggilingan padi di beberapa tempat. Bapak dulu juga bekerja pada salah satu penggilingan padi milik Pak Kyai saat tidak ada orang yang memakai tenaganya untuk menggarap sawah.Tak butuh waktu lama, sepeda yang kukayuh sudah tiba di depan Masjid Al-Barokah. Aku berhenti mengayuh pedal lalu menuntunnya, melewati pintu pagar menuju halaman rumah Bu Nyai. Pintu pagar masjid dan rumah Bu Nyai menjadi satu."Sandarkan di sini saja, Nis!" teriak seseorang dari arah teras.Seketika, dada ini bergetar hebat mendengar suara itu. Suara pemuda dua puluh satu tahun menyadarkanku bahwa orang yang kuhindari mau tak mau harus kutemui pagi ini. Mas Iqbal, nama pemilik suara itu, bangkit dari kursi lalu melangkah. Kurasakan jantungku bertalu-talu seiring semakin dekat pemuda berperawakan jangkung itu ke arahku.Bu Nyai mempunyai tiga orang anak, yang pertama Mbak Ainun. Putri sulung Bu nyai itu menikah dengan seorang dosen mengikuti suaminya tinggal di Yogyakarta. Putra kedua, Mas Irsyad, kira-kira usianya tiga tahun lebih tua dari Mas Iqbal. Aku tidak begitu mengenalnya, selain karena usia kami terpaut jauh dia juga jarang pulang ke rumah. Setahuku, sejak lulus SD dia tinggal di asrama pesantren. Dari desas-desus tetangga, Mas Irsyad sering membuat masalah, berkali-kali kabur dari pesantren hingga salah pergaulan."Makanya dipasang standar, Nis, jadi gampang pas mau parkir," sambung Mas Iqbal sambil memegang setang sepeda, memastikan sepedaku tersandar dengan baik."Belum sempat, Mas," ujarku singkat dengan kepala menunduk.Entahlah, setiap bertemu dengan Mas Iqbal, aku selalu kikuk dan deg-degan. Untuk itu, aku hanya sedikit bicara saat berhadapan dengannya. Padahal, sudah lama kami saling kenal. Usia yang hanya terpaut tiga tahun dan rumah yang berdekatan membuat kami sering bermain bersama waktu kecil.Berbagai permainan sering kami mainkan, seperti Lompat Tali, Tong Pet, Sunda Manda, Gobak Sodor dan segala permainan khas anak-anak desa pada masa itu. Dia sangat lihai memanjat pohon. Oleh karena itu, setiap bermain Petak Umpet atau Tong Pet dalam bahasa daerah kami, dia paling sulit untuk dicari karena nangkring di pohon, bersembunyi di rimbunnya daun-daun. Setelah tamat SD, Mas Iqbal melanjutkan SMP sekaligus mondok di suatu pesantren di luar kota, sama seperti Mas Irsyad kakaknya. Sejak saat itu, kami jarang bertemu, hanya sesekali saat Mas Iqbal liburan atau Idul Fitri tiba."Loh, kok malah bengong? Ada apa nih, pagi-pagi sudah ke sini?” Pertanyaan Mas Iqbal membuatku tergagap."Eh ... emm ... Bu Nyai ada, Mas? Ini saya diutus ibu mengantar baju Bu Nyai yang sudah jadi," jawabku tanpa sanggup menatap wajah Mas Iqbal."Waduh, baru saja umi pergi ke pasar, Nis .... Begini saja, biar bajunya aku yang kasihkan. Nah, pulang sekolah nanti kamu mampir buat ambil ongkos jahitnya, gimana?""Oh ... baik, Mas. Yang penting sudah saya antarkan," ujarku sambil menyerahkan beberapa potong baju yang tadi sudah ibu bungkus rapi dengan kertas koran.Sebenarnya, ingin berlama-lama ngobrol dengan Mas Iqbal. Namun apa daya, yang ada nanti semakin terlihat kalau aku gugup dan salah tingkah di hadapannya. Selain itu, ada alasan kuat yang membuatku terpaksa menghindar darinya meski hati ini sebenarnya menolak."Iya ... jangan lupa nanti pulang sekolah mampir ya, Nis!" pinta Mas Iqbal lagi."Baik, Mas, Insyaallah. Saya permisi dulu," jawabku segera. Susah payah aku mengatur napas agar suara ini terdengar wajar."Kok, buru-buru sih, Nis? Masih pagi loh, paling juga gerbang sekolah belum dibuka," ujar Mas Iqbal sambil terkekeh."Iya, biar bisa markir sepeda di pinggir."Aku menjawab jujur sambil membalikkan badan. Di situasi seperti ini aku tak mampu mengarang alasan. Kenyataannya aku memang selalu berangkat pagi-pagi agar bisa memilih tempat parkir. Maklum, sepedaku tidak ada standarnya, jadi selalu memarkirnya di ujung, agar bisa disandarkan pada tiang penopang atap yang ada di sisi kanan dan kiri tempat parkir.Sambil meraih setang sepeda, sekilas aku melirik Mas Iqbal yang terus mengawasiku sambil tersenyum. Entah apa yang ada di benak pemuda bermata tajam itu."Hati-hati, Nis!" Kembali suara bariton itu menggetarkan hati ini.Aku hanya mampu mengangguk. Tak ada sepatah kata pun mampu terucap. Kalimat terakhirnya telah membuat diri ini merasa mendapat perhatian lebih dari pemuda itu.Sebenarnya yang Mas Iqbal katakan sangat wajar. Namun, entah mengapa terdengar spesial dan terngiang-ngiang terus di telinga.‘Kira-kira dia punya perasaan yang sama atau tidak, ya denganku?’‘Ah, Khairunnisa .... Jangan berlebihan! Itu hal yang lumrah.’Ada dua kubu dalam perasaanku yang bertentangan.Gegas kutuntun sepeda keluar dari halaman rumah besar berarsitektur Jawa itu. Buru-buru mengayuh pedal, menghindari tatapan mata Mas Iqbal yang entah mengapa selalu membuat hati ini berdesir. Ah, ternyata usahaku untuk melupakan teman masa kecilku itu belum berhasil. Nyatanya perasaanku masih kalang-kabut saat bertemu dengannya.Aku jadi ingat saat Mas Iqbal bertandang ke rumah. Dengan santun ia berpamitan padaku dan ibu, bahwa akan melanjutkan kuliah di Ibu Kota Provinsi Jawa Tengah. Setelah melepas kepergian Mas Iqbal di pagar depan rumah, ibu mengingatkanku, agar tidak berharap lebih. Mungkin ibu menangkap sinyal lain pada sikap dan kata-kata Mas Iqbal, atau jangan-jangan ibu memperhatikan tingkahku yang tiba-tiba menjadi aneh karena kepergian Mas Iqbal?Aku yang waktu itu baru lulus SMP sudah tahu maksud dan arah bicara Ibu. Beliau takut aku menaruh hati pada Putra bungsu Pak Kyai itu. Sementara belum tentu Mas Iqbal punya rasa yang sama."Nisa tahu dirilah Bu, siapa Nisa dan siapa Mas Iqbal. Lagian tidak mungkin Mas Iqbal menganggap Nisa lebih dari sekedar teman masa kecilnya," sanggahku saat itu.Sebenarnya aku heran, Mas Iqbal hanya pamit padaku. Padahal ada Lani, Dewi dan Untari yang juga bisa dibilang dekat dengan Mas Iqbal. Aku tahu kalau Mas Iqbal tidak pamit, karena mereka bertiga kaget saat aku menceritakan perihal kepindahan sementara Mas Iqbal untuk kuliah di Kota Lumpia itu. Namun, buru-buru aku singkirkan rasa heranku, menganggap diri ini terlalu gede rasa.Meski di hati ada setitik rasa, tetapi segera aku hapus titik itu agar tidak melebar. Tak ingin mengecewakan ibu, aku hanya fokus pada sekolah. Tidak ada waktu memikirkan hal yang lain selain belajar dan belajar.Setelah Mas Iqbal kuliah, aku semakin jarang bertemu dengannya. Kesibukan di sekolah yang menyita waktu dan tenaga, membuat rasa itu lambat laun pudar. Bukan pudar sih, tepatnya aku simpan rapi di lubuk hati yang terdalam. Ceileh!Namun, pagi ini tiba-tiba rasa itu hadir lagi. Kalau dulu hanya setitik, kini titik itu semakin lebar dan dalam. Ya Allah ... aku takut dengan rasa ini. Khawatir jika terlalu berharap, sementara Mas Iqbal hanya menganggapku tidak lebih sebagai teman bermainnya dulu, teman masa kecilnya. Aku takut rasa ini bertepuk sebelah tangan. Bukankah kini dia juga mempunyai banyak teman perempuan, yang lebih segalanya dariku. Aku hanya seorang gadis desa, anak yatim yang papa. Tak pantas menaruh hati padanya, seorang anak dari keluarga terpandang di desaku.Mengayuh sepeda sambil memikirkan Mas Iqbal membuat perjalanan ke sekolah yang berjarak kurang lebih dua belas kilo meter begitu singkat. Tak terasa aku sudah sampai di depan gerbang sekolah. Untungnya, jalan ini setiap hari aku lalui, jadi sudah hapal betul setiap jengkalnya. Dengan mata tertutup pun aku jamin tidak akan kesasar! Yah ... Dedy Corbuzier kali!Aku baru saja melipat mukena, saat kudengar pintu depan diketuk dari luar."Assalamualaikum ... Nis .... Buka pintunya, Nis!"Aku hapal benar suara itu, suara Mak Dijah⸺tetangga sebelah rumah yang sudah kuanggap seperti saudara."Waalaikumsalam," jawabku sambil meletakan mukena di atas sajadah. Refleks kuraih kerudung instan yang tergantung di balik pintu kamar, segera memakainya. Lalu setengah berlari menuju pintu depan."Ada apa, Mak?" tanyaku sambil membuka pintu."Ibumu, Nis ... tadi⸺" Mak Dijah tak melanjutkan kalimatnya."Ada apa, Mak? Ibu kenapa?" Aku kembali bertanya sambil menggoyang-goyang lengan Mak Dijah.Menjelang Magrib, ibu pamit untuk menghadiri majelis taklim di masjid. Biasanya, usai pengajian akan dilanjut dengan salat Isya berjamaah, kemudian pulang ke rumah masing-masing. Meski ibu sibuk dengan jahitan yang menumpuk, tetapi beliau berusaha meluangkan waktu dan tidak pernah absen hadir di majelis taklim khusus untuk ibu-ibu di kampung ini."Tidak apa-apa, Nis. Bu N
"Begini Nis, mungkin sebelumnya sudah abah sampaikan, bahwa sebelum ibumu meninggal, ia berwasiat menitipkanmu pada kami. Untuk itu, kedatangan kali ini bermaksud mengajakmu tinggal bersama di rumah kami. Karena bagaimanapun kamu masih butuh bimbingan, meski boleh dibilang telah dewasa, akan tetapi sangat riskan jika seorang gadis tinggal di rumah sendirian. Ya, walaupun berdekatan dengan rumah Mak Dijah, tetapi tidak setiap saat Mak Dijah bisa mengawasimu, kan? Mak Dijah juga punya keluarga yang harus diperhatikan, bukankah begitu Mak Dijah?" tanya Pak Kyai sambil mengalihkan pandangannya ke Mak Dijah. MakDijah yang duduk di sebelahku mengangguk-angguk, mengiyakan kata-kata Pak Kyai."Insyaallah kami akan siap membimbing dan mendampingimu, Nis. Memenuhi segala kebutuhan hidup dan sekolahmu. Anggaplah kami sebagai pengganti ibu dan bapakmu. Ya, meskipun kami paham tidak ada yang bisa menggantikan posisi itu, Nis. Paling tidak kami akan sangat lega karena sudah menunaikan pesan terakh
Sore hari, setelah menyampaikan kemantapan hati tinggal di rumah Pak Kyai, aku segera berkemas. Dibantu Mak Dijah aku memasukkan seluruh seragam sekolah dan beberapa stel baju harian ke dalam tas besar. Sedangkan buku-buku dan alat sekolah lainnya aku kemas rapi dengan kardus bekas. Sengaja aku tidak langsung membawa semua barang-barang, agar bisa bolak-balik ke rumah. Bagaimana juga banyak kenangan tercipta di rumah ini. Alhamdulillah Pak Kyai dan Bu Nyai tidak keberatan dengan permintaanku. "Ndak papa, Nis. Kamu bawa saja barang yang dirasa perlu dulu. Lainnya bisa nyicil besok-besok. Toh, rumahmu dekat. Atau mau aku panggilkan Pakde Tono biar diangkut pakai truk? Hehehe ...?" canda Bu Nyai. Pakde Tono adalah sopir truk di tempat penggilingan padi Pak Kyai. "Nggak usah, Bu Nyai, terimakasih ... biar saya boncengkan saja naik sepeda. Wong barang-barang saya cuma dikit. Saya nggak mau merepotkan Pakde Tono," jawabku jujur. "Hehehe ... kamu itu loh, Nis ... kok lugu banget, wong aku
Selain Pak Kyai dan Bu Nyai, ada sepasang suami istri separuh baya yang sehari-hari membantu di rumah ini. Mereka menempati rumah kecil di belakang rumah besar ini. Kang Sarman dan Yu Girah nama suami istri itu. Kang Sarman bertugas membantu membersihkan masjid dan pekarangan sekitar rumah. Sedang Yu Girah membantu Bu Nyai di dapur dan membersihkan rumah, serta pekerjaan rumah tangga lainnya. Sedikit cerita dari Yu Girah, katanya keluarganya sudah turun temurun bekerja pada keluarga ini. Pak Kyai dan Bu Nyai memperlakukan mereka dengan sangat baik, hingga mereka betah bertahun-tahun bekerja di sini. Padahal anak-anak mereka semua sudah hidup berkecukupan dan berkali-kali menawari untuk ikut bersamanya, namun mereka tetap bersikukuh tinggal di sini. Beruntung sejak kecil aku terbiasa bangun sebelum subuh, hingga tidak kaget saat awal-awal tinggal di rumah ini. Sudah menjadi kewajiban dan kebiasaan seluruh penghuni rumah harus menunaikan salat Subuh berjamaah di masjid. Setelah salat
GADIS BERKERUDUNG BIRUHai, Gadis Berkerudung Biru ....Tahukah kau apa yang ada di kalbu?Saat tatap mata kita bertemuSaat senyum tersungging di bibirmuSaat pipimu menjadi merah daduLalu kau tertunduk maluHai, Gadis Berkerudung Biru ....Tahukah kau apa yang ada di kalbu?Saat jarak memisahkanku darimuSaat tak kudengar merdu suaramuAda selaksa rindu yang menggebuEntah kapan tiba waktu itu ?Waktu di mana kan ungkap rasaku padamuHai, Gadis Berkerudung Biru ....Tahukah kau apa yang ada di kalbu?Saat kusebut namamu di untaian doakuHanya satu yang kuminta pada Rabb-kuJadikanlah engkau RatukuDan bersemayam abadi di kalbuM. I. HambaliBerulang kali kubaca tiga bait puisi pada secarik kertas berwarna biru. Aku bisa memastikan kalau puisi itu Mas Iqbal yang membuat, karena di sudut kanan bawah tertera inisial namanya, Muhammad Iqbal Hambali.Gadis Berkerudung
"Oh, begitu ... tapi maaf sebelumnya, rumah saya ndak bagus, kecil pula." Aku mengatakan apa adanya."Wah, nggak papa Mbak Nisa, yang penting bisa buat berteduh, karena saya di sini nggak cuma sehari dua hari, jadi memang butuh tempat tinggal, gak masalah besar atau kecil, bagus atau jelek , yang penting bisa ditempati," ujar Mas Ilham jujur."Iya, Nis ... tadi Mas Ilham sudah lihat-lihat rumahmu, dan katanya cocok, selain dekat dengan Balai Desa, rumahmu juga dekat masjid, bukan begitu Mas Ilham ...?" Mak Dijah sepertinya mendukung keinginan Mas Ilham.Mak Dijah benar juga, kalau ada yang menempati otomatis ada yang membersihkan dan merawat rumahku."Iya, Nis .... Lebih baik biar ditempati Mas Ilham selama beliau tugas di sini, sayang kalau terlalu lama kosong, jadi terlihat gimana gitu?" Ujar Bu Nyai sambil melirik Pak Kyai."Benar, Nis ... saran kami kalau ada yang menempati itu sangat bagus. Toh kamu sudah di sini, tidak bisa rutin merawat. Tapi semua kembali sama kamu, membolehkan
Sore ini tanpa memberi tahu terlebih dahulu, Mas Ilham menjemputku kuliah. Aku kaget ketika melihatnya duduk di atas motor matic warna hitam miliknya, menungguku di depan gerbang kampus. Aku tak bisa menolak saat dia mengajak ke pantai yang lokasinya tak jauh dari kampus. Hanya butuh waktu lima menit kami sudah sampai di pantai yang menjadi ikon wisata di kotaku. Mungkin karena akhir pekan, sore ini pantai lumayan ramai. Selain para nelayan, pantai ini banyak dikunjungi para pelancong dari dalam maupun luar kota. Kami duduk di salah satu gazebo, menghadap ke laut lepas melihat pemandangan yang memanjakan mata."Aku mau bicara serius denganmu, Dik." Setelah beberapa saat kami berbasa-basi akhirnya Mas Ilham menyampaikan maksudnya menjemputku lalu mengajakku kesini. Sejak kami akrab, Mas Ilham mengubah panggilannya padaku, kalau sebelumnya dia memanggilku Mbak Nisa sekarang menjadi Dik Nisa. Aku tidak keberatan dengan panggilan itu, toh usiaku memang tujuh tahun lebih muda darinya."Ten
Aku baru keluar dari masjid usai pengajian rutin remaja, saat kulihat mobil sedan warna silver berhenti di halaman. Tak lama kemudian seorang gadis cantik berkerudung keluar dari pintu depan mobil sebelah kanan. pencahayaan yang cukup terang membuat diri ini bisa melihat jelas sosoknya. Penampilannya sangat modis, memakai celana jeans coklat dipadu dengan tunik panjang motif bunga-bunga warna salem dengan kerudung warna senada. Kedua ujung kerudung bagian depan diikat ke belakang memperlihatkan kalung manik-manik besar warna maron di dadanya. Tak ketinggalan tas kulit dengan brand terkenal ia cangklong di pundak. Aku lihat hak sepatunya tinggi dan runcing. Tak terbayang jika aku yang memakainya, pasti akan kerepotan berjalan dan keseleo berkali-kali.Gadis itu tersenyum saat melihatku berdiri mengawasinya. Aku membalas senyumnya."Assalamualaikum ...." Dia berjalan ke arahku, mengulurkan tangannya."Waalaikumsalam ...." Kami berjabat tangan."Saya Hanum, teman kuliah Iqbal, maaf bisa b
POV IrsyadHari ini adalah jadwalku untuk terapi. Meski Nisa sudah sembuh, tapi ia tidak kuperbolehkan mengantar ke rumah sakit. Aku tidak ingin ia terlalu capek dan jatuh sakit lagi seperti kemarin."Mas Irsyad yakin, nggak mau aku antar? "Iya, Nis ... kamu di rumah saja ya, biar Iqbal yang mengantar. Semalam, aku sudah minta tolong, paling sebentar lagi dia menjemputku. Kamu baik-baik di rumah, ya!" Kuelus lembut punggungnya."Suntuk kalau di rumah sendiri, Nisa ke toko saja ya? Ndak papa kan, Mas Irsyad aku tinggal sekarang?""Aduh ... kamu baru sembuh, Nis. Kalau di toko pasti ndak bisa istirahat." "Nisa sudah sehat, Mas. Janji deh di toko ndak ngapa-ngapain, cuma_""Cuma apa? Ketahuan nih, cuma ... cuma ... kangen sama Syarif, ya?" godaku yang membuat Nisa memajukan bibir beberapa centi."Iiih ... Mas Irsyad tega banget sih! Boleh, ya Nisa ke toko?" rajuknya dengan bergelayut di lenganku, kalau sudah begini rasanya tak tega untuk tidak menuruti keinginannya."Ok ... boleh ke
Segera kututup panggilan, dan bergegas pamit pada Syarif. Kukayuh pedal dengan cepat. Saat seperti ini, jarak antara toko ke rumah yang tak sampai satu kilometer tiba-tiba terasa begitu jauh. Dari pintu pagar, kulihat mobil Abah sudah di halaman rumahku. Setelah memarkir sepeda, aku bergegas masuk ke rumah. Di kamar, sudah ada Mas Iqbal bersama kedua temannya, bersiap menggotong Mas Irsyad. "Mas Irsyad ...," pekikku tertahan. Mak Dijah mendekat, mencoba menenangkanku, disusul Umi dengan lembut meraihku dalam pelukannya. Umi tergugu. Tiba-tiba kekhawatiran menyelimuti hati ini. Aku yakin, Mas Irsyad benar-benar pingsan, bukan sedang akting seperti dulu sesaat sebelum kami menikah. Abah memintaku masuk ke dalam mobil terlebih dahulu, agar ada yang menerima Mas Irsyad. Agak kerepotan memasukkan tubuh jangkungnya. Kini, kepala Mas Irsyad ada di pangkuanku. Hanya Abah, aku dan Mas Iqbal yang mengantar ke rumah sakit. Sementara Umi menunggu kabar selanjutnya di rumah. Dari dala
POV. KhairunnisaAroma minyak kayu putih menusuk indra penciumanku. Susah payah aku membuka netra, tapi pening di kepala memaksa kembali memejamkannya. Samar terdengar orang berbicara. Setelah beberapa saat, akhirnya netra ini dapat terbuka sempurna. Aku seperti orang linglung, tak tahu apa yang terjadi. Ada Mas Irsyad duduk di sampingku. Umi dan Mak Dijah juga ada di dekatku. “Alhamdulillah, akhirnya kamu sadar, Nis,” ujar Mas Irsyad sambil menggenggam tanganku. “Aku kenapa, Mas?” tanyaku kemudian. Lelaki berbaju koko putih itu mengacuhkan pertanyaanku. Ia menerima segelas teh dari Umi lalu membantuku meminumnya. Hanya kucecap beberapa kali. Lidah ini terasa pahit, perut juga rasanya mual. “Tadi, saat pada asyik ngobrol di depan, kamu pingsan di ruang tengah, Nis. Untungnya Iqbal pas lewat, kebetulan dia mau ke belakang,” terang Umi yang membuat hatiku tak menentu. Kuhela napas panjang, sambil mengumpulkan serpihan memori yang berserakan. Perlahan dapat kuingat semuany
Malam ini aku tidak bisa tidur. Entah mengapa rasa kantukku hilang begitu saja, karena tiba-tiba teringat peristiwa dua hari yang laluaa--qbal membopong Nisa. Ingatanku merembet ketika aku melihat langsung Nisa terlihat begitu gugup menerima telepon dari Iqbal beberapa waktu lalu. Bahkan, dengan buru-buru ia menyerahkan ponsel padaku. Adakah kaitannya semua itu dengan kepindahan Nisa ke rumah ini yang terkesan terburu-buru? Tiba-tiba ada ketakutan menyelimuti perasaan. Jika sebelumnya aku takut, karena cepat atau lambat pasti akan meninggalkan Nisa. Kini sebaliknya, khawatir Nisa meninggalkanku.Kupandangi seraut wajah di sampingku, wajah yang mengingatkan akan peristiwa konyol di kamar mandi—saat aku opname di salah satu rumah sakit di Magelang. Wajah dengan semburat merah karena malu bercampur kesal yang menggiringku kembali ke rumah orang tuakuhal--ng sebelumnya tak kuinginkan sama sekali.Bukan tanpa alasan enggan pulang ke rumah, sejak terlibat penggunaan obat-obatan terlarang
POV Irsyad Dari ruang tengah terdengar Iqbal memekik, menyebut nama Nisa. Setengah berlari aku menuju ke arahnya, diikuti Abah Umi dan yang lain. "Nisa pingsan," ujar Iqbal ketika melihatku membuka pintu. Ada kecemasan pada nada suaranya. Aku tak percaya melihat Nisa tergolek di pelukkan Iqbal. Sebelumnya ia tak mengeluh apa pun. Hanya telapak tangannya kurasakan hangat, ketika tadi pagi kami bergandengan dari rumah sampai ke sini. Belum hilang rasa kagetku, kembali aku disuguhi pemandangan yang membuat diri ini tercengang. Tanpa kuduga, Iqbal membopong tubuh Nisa, lalu dengan hati-hati dibawanya masuk ke dalam kamar kamarnya, merebahkannya pelan-pelan di atas tempat tidur. Rasanya seperti ada silet yang tanpa ampun menyayat-nyayat hati, melihat Iqbal dengan sigap menolong Nisa. Ah, betapa kerdilnya pemikiranku. Bukankah Iqbal hanya membantu istriku, yang ambruk bersamaan saat dirinya akan masuk ke ruang tengah. Meski hati kecilku memihak pada Iqbal, tapi tetap saja ada sesuatu
Maaf, Nis ... Umi ada? Aku mau bicara sebentar." Seketika lamunanku buyar, saat suara Mas Iqbal terdengar kembali. "Eh, iya ... maaf, Mas ... Nisa yang terima, emm ... soalnya emm ... Umi sedang ke pasar." Aku terbata-bata menjawab pertanyaan lelaki yang pernah bertakhta di hati, tak bisa kusembunyikan rasa gugup. Ya Allah ... dosakah hamba? Jika cintaku pada Mas Iqbal masih tersisa. Sudah setahun lebih aku menikah dengan Mas Irsyad, tapi kenapa belum bisa lepas dari rasa itu? "Dari siapa, Nis? Kok grogi begitu, kayak ngobrol sama mantan saja ... hehehe ...?" Aku tersentak mendengar kata-kata Mas Irsyad yang ternyata sudah duduk di kursi makan. Mantan? Tentu dia hanya bercanda. Akan tetapi ucapannya seperti anak panah yang melesat tepat mengenai dada, tembus hingga ke jantungku. Masyaallah ... sudah berapa lama dia ada di sini? "Eh, Mas ... bukan ...! Ini dari Mas Iqbal,” jawabku salah tingkah. ”Maaf, dilanjutkan bicara sama Mas Irsyad saja ya, tiba-tiba perut N
Pagi menjelang siang, saat kami sampai di rumah sakit tempat Mas Irsyad rutin terapi dan memeriksakan kesehatannya. Usai kontrol, Dokter Ikhsan menyampaikan hasil pemeriksaan, anjuran juga pantangan apa saja yang harus dipatuhi. Menurut beliau, perkembangan luar biasa terjadi pada Mas Irsyad. Ia sudah melewati batas prediksi usia yang dokter sampaikan dulu. Nyatanya, keadaan Mas Irsyad malah membaik. Dari pemeriksaan tadi, sel kanker yang ada di hati Mas Irsyad telah menyusut. Dokter juga yakin, jika pola hidup dan pola makan terus dijaga serta emosi yang tetap stabil, Mas Irsyad bisa bertahan lebih lama lagi. Meski untuk sembuh total sepertinya mustahil, tapi kami yakin kuasa Allah tiada batas. Allah telah menunjukkan keajaiban itu. Dulu, Mas Irsyad divonis usianya hanya tinggal beberapa hari. Namun, setahun lebih telah berlalu, karena kuasa-Nya, dia masih bisa menikmati indahnya dunia, menghirup segarnya udara. Sesampainya di rumah, kuceritakan hasil pemeriksaan pada Abah dan Umi.
"Aku bukakan ya, Sayang .... Kamu itu lucu banget sih, masa buka kotak saja pakai gemetar begitu, nggak usah drama, ah!” Mas Irsyad meledekku, mungkin dikiranya aku sedang akting. Kupejamkan mata rapat-rapat, saat Mas Irsyad menyentuh tutup kotak itu. Jantungku berdetak keras sekali. "Ayo ... buka matanya ...! Taraaa ...!” pekiknya seperti ABG yang memberi kejutan pada kekasihnya.Masih dengan perasaan tak menentu, kubuka mata pelan-pelan. Sementara degup di dada makin menjadi. Dalam hati aku berdoa. Berserah diri dan mengharap Allah mengulur atau menghentikan waktu saat ini juga Apa pun yang terjadi, aku harus siap. Meski hati ini diliputi kekhawatiran luar biasa, jika Mas Irsyad mengetahui semuanya saat ini. Aku tertegun, tak percaya ketika melihat isi kotak itu. Sebuah novel romantis karya novelis idolaku. Untuk apa Mas Iqbal memintaku membukanya setelah ia pergi, kalau isinya sebuah novel? Kuteliti kotak biru itu, mengecek masih adakah sesuatu di dalamnya? Ternyata tak ada ap
“Apa yang Mas Irsyad takutkan?” “Aku ... aku ... takut akan membuatmu sengsara, Nis. Apa lagi jika kita sampai punya anak. Sedangkan tak tahu sampai kapan bisa bertahan di dunia ini. Aku tak ingin menambah beban hidupmu, Nis,” terang Mas Irsyad dengan air mata berderai. Terjawab sudah apa penyebabnya. Aku sangat mengerti dengan perasaannya. “Anak itu anugerah, Mas. Amanah dari Allah. Aku siap untuk merawat seorang diri, jika kemungkinan buruk terjadi,” “Tidak, Nis. Aku akan merasa bersalah, sudah menghadirkannya di dunia, tapi tak sanggup mendampingi tumbuh kembangnya dan menyaksikan hingga dewasa,” sanggahnya. “Iya, Mas, aku paham ... tapi, bagaimana dengan Abah dan Umi? Mereka sangat mendambakan kita memberinya cucu.” Tak ada jawaban, hanya bahu Mas Irsyad yang berguncang hebat. Aku tak mau hanya karena masalah anak, kesehatannya menjadi drop. Akhirnya, dengan lembut kukatakan tak mempermasalahkannya. Mungkin itu hanya salah satu alasan yang ia kemukakan. Efek