"Oh, begitu ... tapi maaf sebelumnya, rumah saya ndak bagus, kecil pula." Aku mengatakan apa adanya.
"Wah, nggak papa Mbak Nisa, yang penting bisa buat berteduh, karena saya di sini nggak cuma sehari dua hari, jadi memang butuh tempat tinggal, gak masalah besar atau kecil, bagus atau jelek , yang penting bisa ditempati," ujar Mas Ilham jujur."Iya, Nis ... tadi Mas Ilham sudah lihat-lihat rumahmu, dan katanya cocok, selain dekat dengan Balai Desa, rumahmu juga dekat masjid, bukan begitu Mas Ilham ...?" Mak Dijah sepertinya mendukung keinginan Mas Ilham.Mak Dijah benar juga, kalau ada yang menempati otomatis ada yang membersihkan dan merawat rumahku."Iya, Nis .... Lebih baik biar ditempati Mas Ilham selama beliau tugas di sini, sayang kalau terlalu lama kosong, jadi terlihat gimana gitu?" Ujar Bu Nyai sambil melirik Pak Kyai."Benar, Nis ... saran kami kalau ada yang menempati itu sangat bagus. Toh kamu sudah di sini, tidak bisa rutin merawat. Tapi semua kembali sama kamu, membolehkan atau tidak rumahmu ditempati sama Mas Ilham?" Pak Kyai langsung memberikanku pilihan."Jujur saya senang sekali kalau ada yang berkenan menempati, karena saya tinggal di sini dan tidak bisa rutin membersihkan rumah itu, cuma mohon maaf rumahnya kecil dan tidak bagus, tapi kalau memang Mas Ilham berkenan ya silakan ..., saya sangat berterima kasih." Tanpa pikir panjang aku mengizinkan Mas Ilham untuk menempati rumah itu.Mereka semua mendukung keputusanku. Mas Ilham sangat berterima kasih karena aku sudah mengizinkannya tinggal di rumah itu. Atas saran Pak Kyai sebagian uang hasil sewa digunakan untuk membenahi bagian-bagian rumah yang sudah rusak, dan sisanya aku simpan sebagai tabungan.Rencananya selesai renovasi secepatnya Mas Ilham bersama temannya akan pindah ke rumah itu.***Sore ini seperti yang dikatakan Bu Nyai, Mas Iqbal pulang ke rumah. Seperti biasa saat baru pulang, dia langsung mencari Bu Nyai. Kebetulan saat itu aku sedang membantu Bu Nyai di dapur.Aku pangling saat melihat Mas Iqbal, rambut yang biasa tertata rapi dengan potongan cepak kini panjang hampir sebahu. Bahkan jambang dan jenggotnya juga dibiarkan tumbuh tak teratur. Tapi menurutku malah jadi terlihat macho hehe ....Beberapa saat kami saling menanyakan kabar, tak lupa Mas Iqbal menanyakan tentang sekolahku yang tinggal menunggu pengumuman kelulusan. Lalu ia bercerita tentang KKN-nya di pelosok desa, di perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Timur."Di desa tempat aku KKN ndak ada tukang cukur, Mi," kilahnya saat Umi protes dengan penampilan Mas Iqbal yang jauh berbeda dari sebelum berangkat KKN."Halah ... alasan, kalau penampilanmu begini apa ada gadis yang mau dekat-dekat sama kamu to, Bal ...?" gurau Bu Nyai sambil mengacak-ngacak rambut Mas Iqbal."Ya kalau namanya cinta mau model kayak apa juga mau-mau saja, Mi ... hehehe." Mas Iqbal terkekeh menanggapi gurauan Bu Nyai.Sesaat aku yang sedang mengupas pepaya kaget dengan yang Mas Iqbal katakan. Tapi memang benar sih, Mas Iqbal mau model seperti apa tetap ganteng di mataku, tetap menarik di depanku. Cinta memang membutakan mata. Cinta? Ah, Nisa ... Nisa .... Aku merutuki perasaan sendiri.Karena kehadiran Mas Iqbal, sore ini berlalu tidak seperti biasanya, tubuhku layaknya mendapatkan asupan vitamin, seperti ada spirit dalam hidupku. Dan tentunya aku harus siap untuk hari-hariku berikutnya. Aku pastikan harus bisa menjaga sikap di depan mereka semua, agar tidak ada yang tahu dengan apa yang aku rasakan.***Hari ini tiba saatnya yang ditunggu, Pengumuman Kelulusanku. Dan benar kata pepatah, Tak ada hasil yang menghianati usaha' Pengorbananku belajar mati-matian siang dan malam terbayar sudah saat hasil ujian diumumkan. Aku mendapatkan nilai yang sangat memuaskan.Alhamdulillah .... Tidak henti-hentinya aku mengucap syukur atas keberhasilan ini. Tak lupa berterima kasih pada seluruh guru-guruku dan tidak ketinggalan pada Pak Kyai dan Bu Nyai.Pak Kyai dan Bu Nyai senang sekali melihat nilai ujianku, bahkan mereka menawariku untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang berikutnya Namun, dengan tidak mengurangi rasa hormat dan terimakasih yang tak terhingga, dengan sopan aku menolaknya.Aku tidak mau membebani mereka, karena aku paham untuk kuliah membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Aku tidak ingin berhutang budi terlalu banyak pada mereka.Awalnya Pak Kyai dan Bu Nyai kecewa karena penolakanku. Mas Iqbal juga menyayangkan keputusanku. Skan tetapi setelah aku ungkapkan alasannya, bahwa aku akan kuliah tapi dengan biayaku sendiri, bekerja sambil kuliah, akhirnya mereka mau menerima keputusan itu tapi dengan satu syarat, aku harus mau bekerja mengelola toko pertanian mereka. Untuk kali ini aku tidak bisa menolaknya.Baru sebulan ini Pak Kyai merambah usaha baru, sebagai penyedia berbagai alat-alat pertanian, pupuk, obat-obatan tanaman dan juga benih. Toko ini ada di salah satu tempat penggilingan padi milik beliau.***Hari berganti hari, dan tak terasa sudah hampir setahun aku mengelola toko Pak Kyai. Beliau mempercayakan sepenuhnya pengelolaan padaku. Aku pun berusaha menjaga sebaik mungkin kepercayaan itu, berusaha tidak membuat Pak Kyai kecewa. ‘Jujur' prinsip itu yang selalu aku pegang.Saat ini aku sangat menikmati aktivitas baru, mengelola toko dan mengambil kelas ekstensi pada sebuah universitas swasta yang membuka kelas jauh di kotaku. Alhamdulillah ... Tidak henti-hentinya aku bersyukur atas nikmat yang sudah Allah limpahkan padaku. Jika Bapak dan Ibu masih hidup, pasti mereka akan sangat senang melihatku bisa bekerja sambil kuliah, ibaratnya pepatah ‘ Berenang Minum Air'.Dari Senin sampai Jumat aku bekerja di toko, sedangkan hari Sabtu dan Ahad aku gunakan untuk kuliah. Pak Kyai dan Bu Nyai sangat mendukung, begitu juga dengan Mas Iqbal. Hal ini membuatku semakin bersemangat menapaki hidup.Toko yang kukelola berjarak kurang lebih setengah kilometer dari rumah Pak Kyai. Aku membukanya dari jam delapan pagi sampai empat sore. Ada satu orang yang membantu di toko ini, Syarif namanya. Dia salah satu anak Mak Dijah yang sudah lama bekerja di penggilingan padi ini. Usianya dua tahun di bawahku. Anaknya kocak dan suka bicara ceplas-ceplos. Setamat SMP dia enggan melanjutkan sekolah, dan memilih bekerja. Syarif inilah yang menggantikanku saat hari Sabtu aku kuliah, sedangkan setiap hari Ahad toko tutup.Sejak bekerja di toko, aku sering bertemu dengan Mas Ilham, Petugas Penyuluh Pertanian yang menempati rumahku. Bukan tanpa alasan jika dekat dengannya, ini atas permintaan Pak Kyai, aku diminta konsultasi dan belajar padanya tentang pupuk dan obat-obatan apa saja yang sekiranya banyak dibutuhkan para petani di sini.Mas Ilham pribadi yang sederhana, enak diajak ngobrol, humoris dan perhatian. Selain seputar pertanian dia juga banyak bercerita tentang dirinya, tentang keluarganya. Sejak kecil orang tuanya meninggal, dan dia diangkat anak oleh kerabatnya yang kaya raya. Disekolahkan hingga lulus sarjana.Sebenarnya orang tua angkatnya keberatan dia menjadi PNS, dan sudah menawarinya jabatan yang mentereng pada perusahaan milik keluarga yang bergerak pada bidang perkebunan. Tapi Mas Ilham menolak, tetap kukuh pada keputusannya dan ingin lepas dari bayang-bayang orang tua angkatnya itu.Karena merasa senasib, kami menjadi semakin akrab. Namun lama-kelamaan sebagai perempuan dewasa aku menangkap ada maksud lain di balik perhatiannya padaku, sepertinya Mas Ilham menaruh hati, jatuh cinta padaku. Bahkan para pegawai di penggilingan padi juga sering meledek kami, terutama Syarif. Dia sering menggodaku dan menurut Syarif kami berdua sangat cocok.Lalu bagaimana dengan perasaanku padanya? Entahlah aku sendiri tidak tahu ... Bagiku terlalu dini untuk menganggapnya lebih dari sekedar sahabat. Hatiku masih tertaut pada Mas Iqbal.Sore ini tanpa memberi tahu terlebih dahulu, Mas Ilham menjemputku kuliah. Aku kaget ketika melihatnya duduk di atas motor matic warna hitam miliknya, menungguku di depan gerbang kampus. Aku tak bisa menolak saat dia mengajak ke pantai yang lokasinya tak jauh dari kampus. Hanya butuh waktu lima menit kami sudah sampai di pantai yang menjadi ikon wisata di kotaku. Mungkin karena akhir pekan, sore ini pantai lumayan ramai. Selain para nelayan, pantai ini banyak dikunjungi para pelancong dari dalam maupun luar kota. Kami duduk di salah satu gazebo, menghadap ke laut lepas melihat pemandangan yang memanjakan mata."Aku mau bicara serius denganmu, Dik." Setelah beberapa saat kami berbasa-basi akhirnya Mas Ilham menyampaikan maksudnya menjemputku lalu mengajakku kesini. Sejak kami akrab, Mas Ilham mengubah panggilannya padaku, kalau sebelumnya dia memanggilku Mbak Nisa sekarang menjadi Dik Nisa. Aku tidak keberatan dengan panggilan itu, toh usiaku memang tujuh tahun lebih muda darinya."Ten
Aku baru keluar dari masjid usai pengajian rutin remaja, saat kulihat mobil sedan warna silver berhenti di halaman. Tak lama kemudian seorang gadis cantik berkerudung keluar dari pintu depan mobil sebelah kanan. pencahayaan yang cukup terang membuat diri ini bisa melihat jelas sosoknya. Penampilannya sangat modis, memakai celana jeans coklat dipadu dengan tunik panjang motif bunga-bunga warna salem dengan kerudung warna senada. Kedua ujung kerudung bagian depan diikat ke belakang memperlihatkan kalung manik-manik besar warna maron di dadanya. Tak ketinggalan tas kulit dengan brand terkenal ia cangklong di pundak. Aku lihat hak sepatunya tinggi dan runcing. Tak terbayang jika aku yang memakainya, pasti akan kerepotan berjalan dan keseleo berkali-kali.Gadis itu tersenyum saat melihatku berdiri mengawasinya. Aku membalas senyumnya."Assalamualaikum ...." Dia berjalan ke arahku, mengulurkan tangannya."Waalaikumsalam ...." Kami berjabat tangan."Saya Hanum, teman kuliah Iqbal, maaf bisa b
Kubiarkan saat Umi mengetok kamarku, mungkin Umi mengira aku telah terlelap. Aku tidak ingin Umi mendengar isak ini, melihat mataku sembab. Hingga Umi menanyakan apa penyebabnya. Tidak mungkin kan aku menceritakan semua ini pada Umi. Yang ada nanti Umi akan menilaiku sebagai anak yang tidak tahu diri, aku mengira-ngira sendiri reaksi Umi jika beliau tahu tentang perasaan ini.Hingga Subuh menjelang aku belum tidur sama sekali, ternyata begini rasanya patah hati. Benar kata almarhumah Ibu, jangan terlalu berharap pada Mas Iqbal. Mungkin karena Ibu tidak ingin melihatku terluka. Ibu ... seandainya beliau masih hidup, tentu akan kuluapkan tangis ini di pangkuanmu. Mencurahkan keluh kesah padamu dan tanganmu akan mengelus-ngelus pundakku hingga sakit ini sedikit terobati.***Pagi ini aku bangun lebih awal dari biasanya, meski semalam nyaris tidak dapat tidur. Kuselesaikan tugas membersihkan rumah dengan cepat, lalu mandi kemudian segera bergegas ke toko. Aku menolak saat Umi dan Yu Girah
Seperti anjuran Umi, usai makan malam aku mohon restu pada Abah dan Umi. Selain mereka berdua, ada juga Mas Iqbal yang memang beberapa hari ini ada di rumah. Dia menunggu pelaksanaan wisuda bulan depan.Selama di rumah Mas Iqbal lebih sering ke penggilingan padi, dan hanya beberapa kali datang ke toko. Saat musim panen seperti sekarang ini, toko lebih sepi dari biasanya dan gantian penggilingan padi yang ramai."Abah sudah menduga sebelumnya Nis, dari tatapan Nak Ilham saat melihatmu, cara bicaranya padamu, hehehe .... Abah kan juga pernah muda, Nis." Abah terkekeh menanggapi ceritaku. Abah memang sering mengontrol toko dan beliau kerap mengobrol akrab dengan Mas Ilham."Iya, Nis... Umi dan Abah sering membicarakan kalian, sudah dari awal kami menangkap kalau Nak Ilham itu menaruh hati padamu, tapi Umi perhatikan sepertinya kamu sama sekali tidak merespons, adem ayem saja, bahkan terkesan cuek, tidak menanggapi sama sekali. Makanya kami pikir kamu tidak suka sama Nak Ilham, atau meman
Loh kamu bilang akan berangkat ke Semarang seminggu sebelum wisuda, kenapa sekarang mendadak mau berangkat?" Aku sedang berkemas untuk berangkat ke toko, saat dari kamar sayup-sayup kudengar suara Umi. Sepertinya Umi sedang berbicara dengan Mas Iqbal."Iya, Mi. Masih ada yang harus Iqbal siapkan, kalau seminggu sebelumnya terlalu mepet." Kini terdengar suara Mas Iqbal menjawab pertanyaan Umi. Aku juga ingat saat Mas Iqbal bicara dengan Umi, katanya satu minggu sebelum hari H dia baru akan ke Semarang, menurutnya semua perlengkapan wisuda sudah siap. Dan rencananya Abah dan Umi akan berangkat menyusul kemudian, sehari sebelum pelaksanaan. Bahkan Umi juga akan mengajakku serta ke Semarang. Tapi kenapa sekarang tiba-tiba Mas Iqbal mengubah rencana semula, ya? Apakah ini ada kaitannya dengan rencana Mas Ilham yang akan mengkhitbahku? Aku bertanya-tanya dalam hati. Ah mungkin memang ada sesuatu yang harus ia siapkan dari sekarang, hati kecilku menghalau pikiran yang bukan-bukan."Tapi nan
Aku baru melewati pintu gerbang kampus dan berniat naik angkutan umum untuk pulang ke rumah, saat terdengar seseorang memanggil namaku. Refleks aku menengok ke arah suara itu. Seorang perempuan berjalan mendekat ke arahku. Usianya mungkin tiga puluhan tahun. Postur tubuhnya sedang, tidak tinggi dan juga tidak terlalu pendek. Wajahnya biasa saja, tapi dandanan dan segala yang ia kenakan di tubuhnya terlihat mewah, hingga terlihat elegan. Belum sempat aku menanyakan siapa dia, wanita itu sudah mengulurkan tangan. "Aku Laila, kamu Khairunnisa, kan?” Kami bersalaman. "Dari mana Mbak tahu nama saya?" Tak bisa kusembunyikan rasa heran. "Tidak penting dari mana aku tahu namamu, yang pasti sekarang aku ingin bicara denganmu." Nada suaranya tegas. "Maaf kita baru kenal--" Aku belum selesai bicara saat dia memotong kalimatku. "Jangan khawatir, aku bukan penjahat yang akan menculikmu. Kita bisa ngobrol di taman seberang jalan itu. Kamu bisa berteriak minta tolong pada orang-orang yang lalu
Kurasakan udara di sekitarku semakin panas dan pengap, embusan angin pun tak dapat memberikan kesejukan sama sekali. Jelas sudah kini .... Apa maksud dan tujuan Mbak Laila menemuiku. Kuhela napas panjang .... Susah payah mengumpulkan oksigen agar napasku bisa normal kembali. Aku menerima Mas Ilham memang tidak dengan hati, hanya karena emosi, tapi berharap lambat laun bisa mencintai lelaki itu seutuhnya. "Seminggu yang lalu, dia mengabarkan pada orang tuaku, bahwa akan bertunangan dengan gadis yatim piatu dari desa tempatnya bertugas. Orangtuaku yang berhati mulia dengan senang hati merestuinya. Bahkan mereka bersedia akan datang untuk melamarmu." Tidak salah lagi ... benar memang Mas Ilham yang ia maksud. Ya ... Allah apa yang harus kuperbuat? "Aku protes pada mereka, agar jangan merestui Ilham, tapi justru diceramahi habis-habisan. Heran, mereka tetap saja membela Ilham yang jelas-jelas sudah membuat Almira menderita. Lebih heran lagi, saat mereka mengatakan bahwa apa yang
Aku pulang terlambat dari biasanya. Ada mobil Mbak Ainun terparkir di halaman. Jadi ingat, beberapa hari yang lalu saat Umi mengabarkan pada Mbak Ainun tentang rencana khitbahku. "Nis ... Mbakmu mau bicara sebentar ini." Umi mengangsurkan ponsel padaku. "Assalamualaikum, Nis," ucap Mbak Ainun. Suara khasnya yang renyah langsung memenuhi ruang dengarku."Waalaikumsalam, Mbak ...." "Nis, kamu sudah beli baju belum untuk acara khitbahmu besok? Aku bawakan ya, di sini bagus-bagus loh, modelnya." Mbak Ainun memang sangat baik padaku, setiap kali berkunjung ia selalu membelikanku sesuatu. Entah tas, sepatu, kerudung, gamis, atau apa pun. Kebetulan ukuran kami sama, jadi tidak kesulitan mencari yang pas kupakai. Dia juga tahu, biru adalah warna favoritku. "Terima kasih, Mbak .... Tapi, maaf jangan repot-repot .... Baju lamaku banyak dan masih pantas untuk dipakai." Aku buru-buru menolak, tidak enak rasanya terlalu sering mendapat hadiah darinya. Selain itu, aku selalu ingat pesan almarh
POV IrsyadHari ini adalah jadwalku untuk terapi. Meski Nisa sudah sembuh, tapi ia tidak kuperbolehkan mengantar ke rumah sakit. Aku tidak ingin ia terlalu capek dan jatuh sakit lagi seperti kemarin."Mas Irsyad yakin, nggak mau aku antar? "Iya, Nis ... kamu di rumah saja ya, biar Iqbal yang mengantar. Semalam, aku sudah minta tolong, paling sebentar lagi dia menjemputku. Kamu baik-baik di rumah, ya!" Kuelus lembut punggungnya."Suntuk kalau di rumah sendiri, Nisa ke toko saja ya? Ndak papa kan, Mas Irsyad aku tinggal sekarang?""Aduh ... kamu baru sembuh, Nis. Kalau di toko pasti ndak bisa istirahat." "Nisa sudah sehat, Mas. Janji deh di toko ndak ngapa-ngapain, cuma_""Cuma apa? Ketahuan nih, cuma ... cuma ... kangen sama Syarif, ya?" godaku yang membuat Nisa memajukan bibir beberapa centi."Iiih ... Mas Irsyad tega banget sih! Boleh, ya Nisa ke toko?" rajuknya dengan bergelayut di lenganku, kalau sudah begini rasanya tak tega untuk tidak menuruti keinginannya."Ok ... boleh ke
Segera kututup panggilan, dan bergegas pamit pada Syarif. Kukayuh pedal dengan cepat. Saat seperti ini, jarak antara toko ke rumah yang tak sampai satu kilometer tiba-tiba terasa begitu jauh. Dari pintu pagar, kulihat mobil Abah sudah di halaman rumahku. Setelah memarkir sepeda, aku bergegas masuk ke rumah. Di kamar, sudah ada Mas Iqbal bersama kedua temannya, bersiap menggotong Mas Irsyad. "Mas Irsyad ...," pekikku tertahan. Mak Dijah mendekat, mencoba menenangkanku, disusul Umi dengan lembut meraihku dalam pelukannya. Umi tergugu. Tiba-tiba kekhawatiran menyelimuti hati ini. Aku yakin, Mas Irsyad benar-benar pingsan, bukan sedang akting seperti dulu sesaat sebelum kami menikah. Abah memintaku masuk ke dalam mobil terlebih dahulu, agar ada yang menerima Mas Irsyad. Agak kerepotan memasukkan tubuh jangkungnya. Kini, kepala Mas Irsyad ada di pangkuanku. Hanya Abah, aku dan Mas Iqbal yang mengantar ke rumah sakit. Sementara Umi menunggu kabar selanjutnya di rumah. Dari dala
POV. KhairunnisaAroma minyak kayu putih menusuk indra penciumanku. Susah payah aku membuka netra, tapi pening di kepala memaksa kembali memejamkannya. Samar terdengar orang berbicara. Setelah beberapa saat, akhirnya netra ini dapat terbuka sempurna. Aku seperti orang linglung, tak tahu apa yang terjadi. Ada Mas Irsyad duduk di sampingku. Umi dan Mak Dijah juga ada di dekatku. “Alhamdulillah, akhirnya kamu sadar, Nis,” ujar Mas Irsyad sambil menggenggam tanganku. “Aku kenapa, Mas?” tanyaku kemudian. Lelaki berbaju koko putih itu mengacuhkan pertanyaanku. Ia menerima segelas teh dari Umi lalu membantuku meminumnya. Hanya kucecap beberapa kali. Lidah ini terasa pahit, perut juga rasanya mual. “Tadi, saat pada asyik ngobrol di depan, kamu pingsan di ruang tengah, Nis. Untungnya Iqbal pas lewat, kebetulan dia mau ke belakang,” terang Umi yang membuat hatiku tak menentu. Kuhela napas panjang, sambil mengumpulkan serpihan memori yang berserakan. Perlahan dapat kuingat semuany
Malam ini aku tidak bisa tidur. Entah mengapa rasa kantukku hilang begitu saja, karena tiba-tiba teringat peristiwa dua hari yang laluaa--qbal membopong Nisa. Ingatanku merembet ketika aku melihat langsung Nisa terlihat begitu gugup menerima telepon dari Iqbal beberapa waktu lalu. Bahkan, dengan buru-buru ia menyerahkan ponsel padaku. Adakah kaitannya semua itu dengan kepindahan Nisa ke rumah ini yang terkesan terburu-buru? Tiba-tiba ada ketakutan menyelimuti perasaan. Jika sebelumnya aku takut, karena cepat atau lambat pasti akan meninggalkan Nisa. Kini sebaliknya, khawatir Nisa meninggalkanku.Kupandangi seraut wajah di sampingku, wajah yang mengingatkan akan peristiwa konyol di kamar mandi—saat aku opname di salah satu rumah sakit di Magelang. Wajah dengan semburat merah karena malu bercampur kesal yang menggiringku kembali ke rumah orang tuakuhal--ng sebelumnya tak kuinginkan sama sekali.Bukan tanpa alasan enggan pulang ke rumah, sejak terlibat penggunaan obat-obatan terlarang
POV Irsyad Dari ruang tengah terdengar Iqbal memekik, menyebut nama Nisa. Setengah berlari aku menuju ke arahnya, diikuti Abah Umi dan yang lain. "Nisa pingsan," ujar Iqbal ketika melihatku membuka pintu. Ada kecemasan pada nada suaranya. Aku tak percaya melihat Nisa tergolek di pelukkan Iqbal. Sebelumnya ia tak mengeluh apa pun. Hanya telapak tangannya kurasakan hangat, ketika tadi pagi kami bergandengan dari rumah sampai ke sini. Belum hilang rasa kagetku, kembali aku disuguhi pemandangan yang membuat diri ini tercengang. Tanpa kuduga, Iqbal membopong tubuh Nisa, lalu dengan hati-hati dibawanya masuk ke dalam kamar kamarnya, merebahkannya pelan-pelan di atas tempat tidur. Rasanya seperti ada silet yang tanpa ampun menyayat-nyayat hati, melihat Iqbal dengan sigap menolong Nisa. Ah, betapa kerdilnya pemikiranku. Bukankah Iqbal hanya membantu istriku, yang ambruk bersamaan saat dirinya akan masuk ke ruang tengah. Meski hati kecilku memihak pada Iqbal, tapi tetap saja ada sesuatu
Maaf, Nis ... Umi ada? Aku mau bicara sebentar." Seketika lamunanku buyar, saat suara Mas Iqbal terdengar kembali. "Eh, iya ... maaf, Mas ... Nisa yang terima, emm ... soalnya emm ... Umi sedang ke pasar." Aku terbata-bata menjawab pertanyaan lelaki yang pernah bertakhta di hati, tak bisa kusembunyikan rasa gugup. Ya Allah ... dosakah hamba? Jika cintaku pada Mas Iqbal masih tersisa. Sudah setahun lebih aku menikah dengan Mas Irsyad, tapi kenapa belum bisa lepas dari rasa itu? "Dari siapa, Nis? Kok grogi begitu, kayak ngobrol sama mantan saja ... hehehe ...?" Aku tersentak mendengar kata-kata Mas Irsyad yang ternyata sudah duduk di kursi makan. Mantan? Tentu dia hanya bercanda. Akan tetapi ucapannya seperti anak panah yang melesat tepat mengenai dada, tembus hingga ke jantungku. Masyaallah ... sudah berapa lama dia ada di sini? "Eh, Mas ... bukan ...! Ini dari Mas Iqbal,” jawabku salah tingkah. ”Maaf, dilanjutkan bicara sama Mas Irsyad saja ya, tiba-tiba perut N
Pagi menjelang siang, saat kami sampai di rumah sakit tempat Mas Irsyad rutin terapi dan memeriksakan kesehatannya. Usai kontrol, Dokter Ikhsan menyampaikan hasil pemeriksaan, anjuran juga pantangan apa saja yang harus dipatuhi. Menurut beliau, perkembangan luar biasa terjadi pada Mas Irsyad. Ia sudah melewati batas prediksi usia yang dokter sampaikan dulu. Nyatanya, keadaan Mas Irsyad malah membaik. Dari pemeriksaan tadi, sel kanker yang ada di hati Mas Irsyad telah menyusut. Dokter juga yakin, jika pola hidup dan pola makan terus dijaga serta emosi yang tetap stabil, Mas Irsyad bisa bertahan lebih lama lagi. Meski untuk sembuh total sepertinya mustahil, tapi kami yakin kuasa Allah tiada batas. Allah telah menunjukkan keajaiban itu. Dulu, Mas Irsyad divonis usianya hanya tinggal beberapa hari. Namun, setahun lebih telah berlalu, karena kuasa-Nya, dia masih bisa menikmati indahnya dunia, menghirup segarnya udara. Sesampainya di rumah, kuceritakan hasil pemeriksaan pada Abah dan Umi.
"Aku bukakan ya, Sayang .... Kamu itu lucu banget sih, masa buka kotak saja pakai gemetar begitu, nggak usah drama, ah!” Mas Irsyad meledekku, mungkin dikiranya aku sedang akting. Kupejamkan mata rapat-rapat, saat Mas Irsyad menyentuh tutup kotak itu. Jantungku berdetak keras sekali. "Ayo ... buka matanya ...! Taraaa ...!” pekiknya seperti ABG yang memberi kejutan pada kekasihnya.Masih dengan perasaan tak menentu, kubuka mata pelan-pelan. Sementara degup di dada makin menjadi. Dalam hati aku berdoa. Berserah diri dan mengharap Allah mengulur atau menghentikan waktu saat ini juga Apa pun yang terjadi, aku harus siap. Meski hati ini diliputi kekhawatiran luar biasa, jika Mas Irsyad mengetahui semuanya saat ini. Aku tertegun, tak percaya ketika melihat isi kotak itu. Sebuah novel romantis karya novelis idolaku. Untuk apa Mas Iqbal memintaku membukanya setelah ia pergi, kalau isinya sebuah novel? Kuteliti kotak biru itu, mengecek masih adakah sesuatu di dalamnya? Ternyata tak ada ap
“Apa yang Mas Irsyad takutkan?” “Aku ... aku ... takut akan membuatmu sengsara, Nis. Apa lagi jika kita sampai punya anak. Sedangkan tak tahu sampai kapan bisa bertahan di dunia ini. Aku tak ingin menambah beban hidupmu, Nis,” terang Mas Irsyad dengan air mata berderai. Terjawab sudah apa penyebabnya. Aku sangat mengerti dengan perasaannya. “Anak itu anugerah, Mas. Amanah dari Allah. Aku siap untuk merawat seorang diri, jika kemungkinan buruk terjadi,” “Tidak, Nis. Aku akan merasa bersalah, sudah menghadirkannya di dunia, tapi tak sanggup mendampingi tumbuh kembangnya dan menyaksikan hingga dewasa,” sanggahnya. “Iya, Mas, aku paham ... tapi, bagaimana dengan Abah dan Umi? Mereka sangat mendambakan kita memberinya cucu.” Tak ada jawaban, hanya bahu Mas Irsyad yang berguncang hebat. Aku tak mau hanya karena masalah anak, kesehatannya menjadi drop. Akhirnya, dengan lembut kukatakan tak mempermasalahkannya. Mungkin itu hanya salah satu alasan yang ia kemukakan. Efek