Seperti anjuran Umi, usai makan malam aku mohon restu pada Abah dan Umi. Selain mereka berdua, ada juga Mas Iqbal yang memang beberapa hari ini ada di rumah. Dia menunggu pelaksanaan wisuda bulan depan.Selama di rumah Mas Iqbal lebih sering ke penggilingan padi, dan hanya beberapa kali datang ke toko. Saat musim panen seperti sekarang ini, toko lebih sepi dari biasanya dan gantian penggilingan padi yang ramai."Abah sudah menduga sebelumnya Nis, dari tatapan Nak Ilham saat melihatmu, cara bicaranya padamu, hehehe .... Abah kan juga pernah muda, Nis." Abah terkekeh menanggapi ceritaku. Abah memang sering mengontrol toko dan beliau kerap mengobrol akrab dengan Mas Ilham."Iya, Nis... Umi dan Abah sering membicarakan kalian, sudah dari awal kami menangkap kalau Nak Ilham itu menaruh hati padamu, tapi Umi perhatikan sepertinya kamu sama sekali tidak merespons, adem ayem saja, bahkan terkesan cuek, tidak menanggapi sama sekali. Makanya kami pikir kamu tidak suka sama Nak Ilham, atau meman
Loh kamu bilang akan berangkat ke Semarang seminggu sebelum wisuda, kenapa sekarang mendadak mau berangkat?" Aku sedang berkemas untuk berangkat ke toko, saat dari kamar sayup-sayup kudengar suara Umi. Sepertinya Umi sedang berbicara dengan Mas Iqbal."Iya, Mi. Masih ada yang harus Iqbal siapkan, kalau seminggu sebelumnya terlalu mepet." Kini terdengar suara Mas Iqbal menjawab pertanyaan Umi. Aku juga ingat saat Mas Iqbal bicara dengan Umi, katanya satu minggu sebelum hari H dia baru akan ke Semarang, menurutnya semua perlengkapan wisuda sudah siap. Dan rencananya Abah dan Umi akan berangkat menyusul kemudian, sehari sebelum pelaksanaan. Bahkan Umi juga akan mengajakku serta ke Semarang. Tapi kenapa sekarang tiba-tiba Mas Iqbal mengubah rencana semula, ya? Apakah ini ada kaitannya dengan rencana Mas Ilham yang akan mengkhitbahku? Aku bertanya-tanya dalam hati. Ah mungkin memang ada sesuatu yang harus ia siapkan dari sekarang, hati kecilku menghalau pikiran yang bukan-bukan."Tapi nan
Aku baru melewati pintu gerbang kampus dan berniat naik angkutan umum untuk pulang ke rumah, saat terdengar seseorang memanggil namaku. Refleks aku menengok ke arah suara itu. Seorang perempuan berjalan mendekat ke arahku. Usianya mungkin tiga puluhan tahun. Postur tubuhnya sedang, tidak tinggi dan juga tidak terlalu pendek. Wajahnya biasa saja, tapi dandanan dan segala yang ia kenakan di tubuhnya terlihat mewah, hingga terlihat elegan. Belum sempat aku menanyakan siapa dia, wanita itu sudah mengulurkan tangan. "Aku Laila, kamu Khairunnisa, kan?” Kami bersalaman. "Dari mana Mbak tahu nama saya?" Tak bisa kusembunyikan rasa heran. "Tidak penting dari mana aku tahu namamu, yang pasti sekarang aku ingin bicara denganmu." Nada suaranya tegas. "Maaf kita baru kenal--" Aku belum selesai bicara saat dia memotong kalimatku. "Jangan khawatir, aku bukan penjahat yang akan menculikmu. Kita bisa ngobrol di taman seberang jalan itu. Kamu bisa berteriak minta tolong pada orang-orang yang lalu
Kurasakan udara di sekitarku semakin panas dan pengap, embusan angin pun tak dapat memberikan kesejukan sama sekali. Jelas sudah kini .... Apa maksud dan tujuan Mbak Laila menemuiku. Kuhela napas panjang .... Susah payah mengumpulkan oksigen agar napasku bisa normal kembali. Aku menerima Mas Ilham memang tidak dengan hati, hanya karena emosi, tapi berharap lambat laun bisa mencintai lelaki itu seutuhnya. "Seminggu yang lalu, dia mengabarkan pada orang tuaku, bahwa akan bertunangan dengan gadis yatim piatu dari desa tempatnya bertugas. Orangtuaku yang berhati mulia dengan senang hati merestuinya. Bahkan mereka bersedia akan datang untuk melamarmu." Tidak salah lagi ... benar memang Mas Ilham yang ia maksud. Ya ... Allah apa yang harus kuperbuat? "Aku protes pada mereka, agar jangan merestui Ilham, tapi justru diceramahi habis-habisan. Heran, mereka tetap saja membela Ilham yang jelas-jelas sudah membuat Almira menderita. Lebih heran lagi, saat mereka mengatakan bahwa apa yang
Aku pulang terlambat dari biasanya. Ada mobil Mbak Ainun terparkir di halaman. Jadi ingat, beberapa hari yang lalu saat Umi mengabarkan pada Mbak Ainun tentang rencana khitbahku. "Nis ... Mbakmu mau bicara sebentar ini." Umi mengangsurkan ponsel padaku. "Assalamualaikum, Nis," ucap Mbak Ainun. Suara khasnya yang renyah langsung memenuhi ruang dengarku."Waalaikumsalam, Mbak ...." "Nis, kamu sudah beli baju belum untuk acara khitbahmu besok? Aku bawakan ya, di sini bagus-bagus loh, modelnya." Mbak Ainun memang sangat baik padaku, setiap kali berkunjung ia selalu membelikanku sesuatu. Entah tas, sepatu, kerudung, gamis, atau apa pun. Kebetulan ukuran kami sama, jadi tidak kesulitan mencari yang pas kupakai. Dia juga tahu, biru adalah warna favoritku. "Terima kasih, Mbak .... Tapi, maaf jangan repot-repot .... Baju lamaku banyak dan masih pantas untuk dipakai." Aku buru-buru menolak, tidak enak rasanya terlalu sering mendapat hadiah darinya. Selain itu, aku selalu ingat pesan almarh
Mas Ilham terpekur, demikian juga denganku, hanya bisa menunduk. Sebelumnya, Abah menanyakan pada Mas Ilham tentang kebenaran cerita Mbak Laila, dan lelaki usia dua puluh delapan tahun itu membenarkannya. Berkali-kali Mas Ilham minta maaf, karena tidak terbuka tentang Almira. Saat itu, dia berpikir semua akan baik-baik saja, karena penolakannya pada Almira sudah dua tahun berlalu. Lagi pula, orang tua angkatnya merestui, saat Mas Ilham menceritakan tentang rencananya mengkhitbahku. Tentang Almira, dia tegaskan padaku bahwa dia menyayangi hanya sebatas antara kakak dan adik. Namun, Almira mengartikannya lain, dia berharap lebih pada Mas Ilham. Lelaki dengan tahi lalat dikening itu sama sekali tidak mengira ternyata Mbak Laila menyimpan dendam yang begitu besar padanya. Kini, dia bingung harus menentukan pilihan, Almira atau Aku. "Belajarlah untuk mencintainya, Mas. Sebagai balas budi atas kasih sayang dan perhatian orang tuanya pada Mas Ilham, hingga Mas Ilham bisa sep
Aku tidak ingin menambah dalam luka ini. Cintaku memang masih utuh untuknya dan kalau kembali kami saling dekat, akan membuat diri ini kembali berharap. Tentu itu akan membuatku semakin terluka, karena jelas, sudah ada Mbak Hanum di sisinya. Sekarang aku hanya ingin menyembuhkan luka hati. Harus menerima kenyataan seperti pepatah lawas bahwa 'Cinta Sejati Tak Harus Memiliki'. Lagi pula aku tidak mau jadi orang ketiga di antara Mas Iqbal dan Mbak Hanum. "Kemarin, Abah sudah cerita sama Iqbal tentang khitbahmu yang tidak jadi. Lalu, abah memintanya untuk mengajakmu refreshing, jalan-jalan. Biar ndak suntuk, Nis .... Kamu belum pernah ke Semarang, kan?" Masyaallah ... ternyata Mas Iqbal sudah mengetahui semuanya. Lalu, bagaimana kalo nanti kami bertemu. Aku benar-benar tidak sanggup. Eh, tapi bukankah kemarin saat tahu rencana khitbahku dia seperti menghindar dan buru-buru pergi ke Semarang. Apakah dia kecewa atas keputusanku itu? Atau ...? Ah, kenapa aku berpikir sejauh i
Khayalanku terhenti saat tangan Mas Iqbal menarik tangan ini, memberi kode agar aku berjalan lebih cepat. Abah dan Umi sedang asyik berbincang dengan laki-laki setengah baya dan seorang wanita yang wajahnya sangat mirip dengan Mbak Hanum. Tidak salah, mereka pasti orang tua Mbak Hanum. Mas Iqbal memperkenalkanku pada mereka. Meski ada nyeri di relung hati, tapi aku berusaha setenang mungkin. Dengan sopan, aku menyalami mereka satu persatu. Mereka sangat ramah menyambutku. Kalau melihat penampilan dan cara bicaranya bisa aku pastikan suami istri ini dari kalangan terpandang. Pantaslah kalau Mas Iqbal memilih Mbak Hanum, bila dibandingkan, aku bukanlah apa-apanya. Aku baru saja akan menanyakan di mana Mbak Hanum. Namun, tiba-tiba kulihat sosoknya yang anggun bersama seorang lelaki gagah berbaju batik, melangkah ke arahku. "Nisaaa ... apa kabar? Akhirnya bisa datang juga di sini." Setengah berteriak Mbak Hanum menghampiriku. Belum sempat aku menjawab pertanyaannya, Mbak Ha
POV IrsyadHari ini adalah jadwalku untuk terapi. Meski Nisa sudah sembuh, tapi ia tidak kuperbolehkan mengantar ke rumah sakit. Aku tidak ingin ia terlalu capek dan jatuh sakit lagi seperti kemarin."Mas Irsyad yakin, nggak mau aku antar? "Iya, Nis ... kamu di rumah saja ya, biar Iqbal yang mengantar. Semalam, aku sudah minta tolong, paling sebentar lagi dia menjemputku. Kamu baik-baik di rumah, ya!" Kuelus lembut punggungnya."Suntuk kalau di rumah sendiri, Nisa ke toko saja ya? Ndak papa kan, Mas Irsyad aku tinggal sekarang?""Aduh ... kamu baru sembuh, Nis. Kalau di toko pasti ndak bisa istirahat." "Nisa sudah sehat, Mas. Janji deh di toko ndak ngapa-ngapain, cuma_""Cuma apa? Ketahuan nih, cuma ... cuma ... kangen sama Syarif, ya?" godaku yang membuat Nisa memajukan bibir beberapa centi."Iiih ... Mas Irsyad tega banget sih! Boleh, ya Nisa ke toko?" rajuknya dengan bergelayut di lenganku, kalau sudah begini rasanya tak tega untuk tidak menuruti keinginannya."Ok ... boleh ke
Segera kututup panggilan, dan bergegas pamit pada Syarif. Kukayuh pedal dengan cepat. Saat seperti ini, jarak antara toko ke rumah yang tak sampai satu kilometer tiba-tiba terasa begitu jauh. Dari pintu pagar, kulihat mobil Abah sudah di halaman rumahku. Setelah memarkir sepeda, aku bergegas masuk ke rumah. Di kamar, sudah ada Mas Iqbal bersama kedua temannya, bersiap menggotong Mas Irsyad. "Mas Irsyad ...," pekikku tertahan. Mak Dijah mendekat, mencoba menenangkanku, disusul Umi dengan lembut meraihku dalam pelukannya. Umi tergugu. Tiba-tiba kekhawatiran menyelimuti hati ini. Aku yakin, Mas Irsyad benar-benar pingsan, bukan sedang akting seperti dulu sesaat sebelum kami menikah. Abah memintaku masuk ke dalam mobil terlebih dahulu, agar ada yang menerima Mas Irsyad. Agak kerepotan memasukkan tubuh jangkungnya. Kini, kepala Mas Irsyad ada di pangkuanku. Hanya Abah, aku dan Mas Iqbal yang mengantar ke rumah sakit. Sementara Umi menunggu kabar selanjutnya di rumah. Dari dala
POV. KhairunnisaAroma minyak kayu putih menusuk indra penciumanku. Susah payah aku membuka netra, tapi pening di kepala memaksa kembali memejamkannya. Samar terdengar orang berbicara. Setelah beberapa saat, akhirnya netra ini dapat terbuka sempurna. Aku seperti orang linglung, tak tahu apa yang terjadi. Ada Mas Irsyad duduk di sampingku. Umi dan Mak Dijah juga ada di dekatku. “Alhamdulillah, akhirnya kamu sadar, Nis,” ujar Mas Irsyad sambil menggenggam tanganku. “Aku kenapa, Mas?” tanyaku kemudian. Lelaki berbaju koko putih itu mengacuhkan pertanyaanku. Ia menerima segelas teh dari Umi lalu membantuku meminumnya. Hanya kucecap beberapa kali. Lidah ini terasa pahit, perut juga rasanya mual. “Tadi, saat pada asyik ngobrol di depan, kamu pingsan di ruang tengah, Nis. Untungnya Iqbal pas lewat, kebetulan dia mau ke belakang,” terang Umi yang membuat hatiku tak menentu. Kuhela napas panjang, sambil mengumpulkan serpihan memori yang berserakan. Perlahan dapat kuingat semuany
Malam ini aku tidak bisa tidur. Entah mengapa rasa kantukku hilang begitu saja, karena tiba-tiba teringat peristiwa dua hari yang laluaa--qbal membopong Nisa. Ingatanku merembet ketika aku melihat langsung Nisa terlihat begitu gugup menerima telepon dari Iqbal beberapa waktu lalu. Bahkan, dengan buru-buru ia menyerahkan ponsel padaku. Adakah kaitannya semua itu dengan kepindahan Nisa ke rumah ini yang terkesan terburu-buru? Tiba-tiba ada ketakutan menyelimuti perasaan. Jika sebelumnya aku takut, karena cepat atau lambat pasti akan meninggalkan Nisa. Kini sebaliknya, khawatir Nisa meninggalkanku.Kupandangi seraut wajah di sampingku, wajah yang mengingatkan akan peristiwa konyol di kamar mandi—saat aku opname di salah satu rumah sakit di Magelang. Wajah dengan semburat merah karena malu bercampur kesal yang menggiringku kembali ke rumah orang tuakuhal--ng sebelumnya tak kuinginkan sama sekali.Bukan tanpa alasan enggan pulang ke rumah, sejak terlibat penggunaan obat-obatan terlarang
POV Irsyad Dari ruang tengah terdengar Iqbal memekik, menyebut nama Nisa. Setengah berlari aku menuju ke arahnya, diikuti Abah Umi dan yang lain. "Nisa pingsan," ujar Iqbal ketika melihatku membuka pintu. Ada kecemasan pada nada suaranya. Aku tak percaya melihat Nisa tergolek di pelukkan Iqbal. Sebelumnya ia tak mengeluh apa pun. Hanya telapak tangannya kurasakan hangat, ketika tadi pagi kami bergandengan dari rumah sampai ke sini. Belum hilang rasa kagetku, kembali aku disuguhi pemandangan yang membuat diri ini tercengang. Tanpa kuduga, Iqbal membopong tubuh Nisa, lalu dengan hati-hati dibawanya masuk ke dalam kamar kamarnya, merebahkannya pelan-pelan di atas tempat tidur. Rasanya seperti ada silet yang tanpa ampun menyayat-nyayat hati, melihat Iqbal dengan sigap menolong Nisa. Ah, betapa kerdilnya pemikiranku. Bukankah Iqbal hanya membantu istriku, yang ambruk bersamaan saat dirinya akan masuk ke ruang tengah. Meski hati kecilku memihak pada Iqbal, tapi tetap saja ada sesuatu
Maaf, Nis ... Umi ada? Aku mau bicara sebentar." Seketika lamunanku buyar, saat suara Mas Iqbal terdengar kembali. "Eh, iya ... maaf, Mas ... Nisa yang terima, emm ... soalnya emm ... Umi sedang ke pasar." Aku terbata-bata menjawab pertanyaan lelaki yang pernah bertakhta di hati, tak bisa kusembunyikan rasa gugup. Ya Allah ... dosakah hamba? Jika cintaku pada Mas Iqbal masih tersisa. Sudah setahun lebih aku menikah dengan Mas Irsyad, tapi kenapa belum bisa lepas dari rasa itu? "Dari siapa, Nis? Kok grogi begitu, kayak ngobrol sama mantan saja ... hehehe ...?" Aku tersentak mendengar kata-kata Mas Irsyad yang ternyata sudah duduk di kursi makan. Mantan? Tentu dia hanya bercanda. Akan tetapi ucapannya seperti anak panah yang melesat tepat mengenai dada, tembus hingga ke jantungku. Masyaallah ... sudah berapa lama dia ada di sini? "Eh, Mas ... bukan ...! Ini dari Mas Iqbal,” jawabku salah tingkah. ”Maaf, dilanjutkan bicara sama Mas Irsyad saja ya, tiba-tiba perut N
Pagi menjelang siang, saat kami sampai di rumah sakit tempat Mas Irsyad rutin terapi dan memeriksakan kesehatannya. Usai kontrol, Dokter Ikhsan menyampaikan hasil pemeriksaan, anjuran juga pantangan apa saja yang harus dipatuhi. Menurut beliau, perkembangan luar biasa terjadi pada Mas Irsyad. Ia sudah melewati batas prediksi usia yang dokter sampaikan dulu. Nyatanya, keadaan Mas Irsyad malah membaik. Dari pemeriksaan tadi, sel kanker yang ada di hati Mas Irsyad telah menyusut. Dokter juga yakin, jika pola hidup dan pola makan terus dijaga serta emosi yang tetap stabil, Mas Irsyad bisa bertahan lebih lama lagi. Meski untuk sembuh total sepertinya mustahil, tapi kami yakin kuasa Allah tiada batas. Allah telah menunjukkan keajaiban itu. Dulu, Mas Irsyad divonis usianya hanya tinggal beberapa hari. Namun, setahun lebih telah berlalu, karena kuasa-Nya, dia masih bisa menikmati indahnya dunia, menghirup segarnya udara. Sesampainya di rumah, kuceritakan hasil pemeriksaan pada Abah dan Umi.
"Aku bukakan ya, Sayang .... Kamu itu lucu banget sih, masa buka kotak saja pakai gemetar begitu, nggak usah drama, ah!” Mas Irsyad meledekku, mungkin dikiranya aku sedang akting. Kupejamkan mata rapat-rapat, saat Mas Irsyad menyentuh tutup kotak itu. Jantungku berdetak keras sekali. "Ayo ... buka matanya ...! Taraaa ...!” pekiknya seperti ABG yang memberi kejutan pada kekasihnya.Masih dengan perasaan tak menentu, kubuka mata pelan-pelan. Sementara degup di dada makin menjadi. Dalam hati aku berdoa. Berserah diri dan mengharap Allah mengulur atau menghentikan waktu saat ini juga Apa pun yang terjadi, aku harus siap. Meski hati ini diliputi kekhawatiran luar biasa, jika Mas Irsyad mengetahui semuanya saat ini. Aku tertegun, tak percaya ketika melihat isi kotak itu. Sebuah novel romantis karya novelis idolaku. Untuk apa Mas Iqbal memintaku membukanya setelah ia pergi, kalau isinya sebuah novel? Kuteliti kotak biru itu, mengecek masih adakah sesuatu di dalamnya? Ternyata tak ada ap
“Apa yang Mas Irsyad takutkan?” “Aku ... aku ... takut akan membuatmu sengsara, Nis. Apa lagi jika kita sampai punya anak. Sedangkan tak tahu sampai kapan bisa bertahan di dunia ini. Aku tak ingin menambah beban hidupmu, Nis,” terang Mas Irsyad dengan air mata berderai. Terjawab sudah apa penyebabnya. Aku sangat mengerti dengan perasaannya. “Anak itu anugerah, Mas. Amanah dari Allah. Aku siap untuk merawat seorang diri, jika kemungkinan buruk terjadi,” “Tidak, Nis. Aku akan merasa bersalah, sudah menghadirkannya di dunia, tapi tak sanggup mendampingi tumbuh kembangnya dan menyaksikan hingga dewasa,” sanggahnya. “Iya, Mas, aku paham ... tapi, bagaimana dengan Abah dan Umi? Mereka sangat mendambakan kita memberinya cucu.” Tak ada jawaban, hanya bahu Mas Irsyad yang berguncang hebat. Aku tak mau hanya karena masalah anak, kesehatannya menjadi drop. Akhirnya, dengan lembut kukatakan tak mempermasalahkannya. Mungkin itu hanya salah satu alasan yang ia kemukakan. Efek