Aku tidak ingin menambah dalam luka ini. Cintaku memang masih utuh untuknya dan kalau kembali kami saling dekat, akan membuat diri ini kembali berharap. Tentu itu akan membuatku semakin terluka, karena jelas, sudah ada Mbak Hanum di sisinya. Sekarang aku hanya ingin menyembuhkan luka hati. Harus menerima kenyataan seperti pepatah lawas bahwa 'Cinta Sejati Tak Harus Memiliki'. Lagi pula aku tidak mau jadi orang ketiga di antara Mas Iqbal dan Mbak Hanum. "Kemarin, Abah sudah cerita sama Iqbal tentang khitbahmu yang tidak jadi. Lalu, abah memintanya untuk mengajakmu refreshing, jalan-jalan. Biar ndak suntuk, Nis .... Kamu belum pernah ke Semarang, kan?" Masyaallah ... ternyata Mas Iqbal sudah mengetahui semuanya. Lalu, bagaimana kalo nanti kami bertemu. Aku benar-benar tidak sanggup. Eh, tapi bukankah kemarin saat tahu rencana khitbahku dia seperti menghindar dan buru-buru pergi ke Semarang. Apakah dia kecewa atas keputusanku itu? Atau ...? Ah, kenapa aku berpikir sejauh i
Khayalanku terhenti saat tangan Mas Iqbal menarik tangan ini, memberi kode agar aku berjalan lebih cepat. Abah dan Umi sedang asyik berbincang dengan laki-laki setengah baya dan seorang wanita yang wajahnya sangat mirip dengan Mbak Hanum. Tidak salah, mereka pasti orang tua Mbak Hanum. Mas Iqbal memperkenalkanku pada mereka. Meski ada nyeri di relung hati, tapi aku berusaha setenang mungkin. Dengan sopan, aku menyalami mereka satu persatu. Mereka sangat ramah menyambutku. Kalau melihat penampilan dan cara bicaranya bisa aku pastikan suami istri ini dari kalangan terpandang. Pantaslah kalau Mas Iqbal memilih Mbak Hanum, bila dibandingkan, aku bukanlah apa-apanya. Aku baru saja akan menanyakan di mana Mbak Hanum. Namun, tiba-tiba kulihat sosoknya yang anggun bersama seorang lelaki gagah berbaju batik, melangkah ke arahku. "Nisaaa ... apa kabar? Akhirnya bisa datang juga di sini." Setengah berteriak Mbak Hanum menghampiriku. Belum sempat aku menjawab pertanyaannya, Mbak Ha
"Aku kasihan padanya, Mas. Dia sama denganku, yatim piatu. Karena senasib itulah aku merasa cocok dengannya, meski tahu itu bukan cinta. Akan tetapi aku berharap lambat laun rasaku akan berubah, bisa mencintainya. Ternyata Allah berkehendak lain." Akhirnya kalimat itu yang keluar dari mulutku. "Nah itu, Nis ... Allah Maha Tahu, Dia tidak mengizinkanmu membohongi diri sendiri" Membohongi diriku sendiri? Maksudnya apa? Belum sempat aku bertanya, Mas Iqbal sudah kembali berucap, “selain membohongi dirimu sendiri kamu juga membohongi Mas Ilham, memberinya harapan. Seolah-olah kamu benar-benar mencintainya. Kamu tahu nggak kalau suka bohong hukumannya apa?" Dengan wajah dibuat-buat serius Mas Iqbal bertanya padaku, layaknya ustadz yang bertanya pada santrinya. "Masuk neraka, Ustadz ....!!!" Aku keraskan suaraku, bergaya seperti anak TK. "Itu sudah pasti kalau di akhirat, ya .... Kalau hukuman langsung di dunia apa coba?" Kembali Mas Iqbal bertingkah konyol. "Apa, ya?" Aku
"Nis, kerudungmu terbalik, benerin dulu sana di toilet." Lemas, letih, lesu, loyo dan entah apalagi yang kurasa saat mendengar apa yang ia bisikkan padaku. Aku seperti terlena di awangawang lalu tiba-tiba tanpa ampun terhempas ke bumi. Tak tahu seperti apa rupaku saat itu. Buru-buru kuteliti kain paris biru yang mentup kepala dan ... dyarrr !!! Ternyata benar, kerudungku terbalik! Secepat kilat aku berlari ke toilet, meninggalkan Mas Iqbal yang tertawa terpingkal-pingkal melihat tingkahku. *** Kupandangi pantulan wajahku di cermin. Pipi ini masih terasa panas dan memerah. Malu, kecewa dan entah apalagi yang kurasa. Astaghfirullahaladzim ... karena terlalu bersemangat untuk menemui Mas Iqbal, sampai-sampai kerudung yang kupakai terbalik. Beruntung Mas Iqbal mengetahui lebih awal, jadi aku bisa segera membetulkannya di toilet. Bayangkan, kalau sudah ke mana- mana baru ketahuan, mau ditaruh di mana muka ini? Aku terlalu berharap pada Mas Iqbal, ternyata dugaanku jauh d
Setelah menempuh perjalanan kira-kira dua setengah jam, akhirnya kami sampai di rumah sakit. Ada dua orang pengurus panti yang menemani Mas Irsyad. Menurut mereka, beberapa hari ini kondisi Mas Irsyad tidak fit, dokter di panti menyarankan Mas Irsyad untuk istirahat. Namun, Mas Irsyad tidak mengindahkan. Ia tetap membantu pengurus panti bekerja. Puncaknya, saat salah seorang temannya mendapati Mas Irsyad tergeletak di kamar mandi. Mungkin karena terlalu capek, ditambah kondisi badan yang drop hingga akhirnya ia terjatuh usai mandi. Setelah diperbolehkan oleh dokter, akhirnya kami masuk ke ruang rawat. Sementara kedua orang tadi minta ijin untuk kembali ke panti. "Abah ... Umi ...," sambut Mas Irsyad dengan suara serak. Ia berusaha bangkit dari tidurnya, namun buru-buru Umi melarang. Selama tinggal di rumah Abah dan Umi, baru kali ini aku bertemu dengan putra tengah keluarga Hambali. Meski bertetangga, tapi Mas Irsyad di pesantren jadi kami jarang bertemu. Terakhir mungkin lima atau
Abah memandang kami bergantian. Lalu, disusul Umi masih dengan sisa kantuknya, menyembulkan kepala dari balik pintu kamar mandi. Mereka pasti terbangun karena mendengar keributan. "Kalian ... ngapain berdua di kamar mandi?" tanya Abah terheran-heran. Kulihat Umi juga tak kalah herannya. Sementara Mas Irsyad malah tersenyum nakal melihatku panik dan malu. Aku bergegas keluar dari kamar mandi, Mas Irsyad otomatis mengikuti, karena kantong infus masih aku angkat. Segera kugantung kembali kantong itu pada tiangnya. Setelah itu Mas Irsyad masuk kembali ke kamar mandi. Kali ini Abah yang membantu membawa tiang infus, memasukkan benda panjang berbahan stainless itu ke dalam kamar mandi. Melihat apa yang Abah lakukan, membuat diri ini tiba-tiba menjadi orang terbodoh di dunia. Kenapa tadi aku melepas kantong infusnya? Seharusnya membiarkan tetap tergantung lalu memasukkan ke kamar mandi dengan tiangnya, seperti yang Abah lakukan. Agar semuanya jelas, dan untuk menghindari salah
Hari ini dua minggu sudah Mas Irsyad tinggal bersama kami. Perlahan kondisinya makin membaik, meski harus tetap rutin berobat jalan ke rumah sakit. Rencananya, malam ini Abah dan Umi akan menggelar tasyakuran atas kepulangan dan kesembuhan Mas Irsyad juga wisuda Mas Iqbal. Sudah pasti seluruh anggota keluarga akan berkumpul. Tak terkecuali Mas Iqbal yang usai wisuda belum sempat pulang. Bahkan Mbak Ainun sudah datang dari tadi pagi bersama Mas Anas. Melalui pesan singkat, Mas Iqbal mengabarkan akan berangkat dari Semarang pagi hari. Berarti siang ini dia akan sampai rumah. Kembali Mas Iqbal berjanji saat sampai rumah nanti akan melanjutkan kalimatnya yang terpotong, karena Abah meneleponku saat di menara masjid. Jujur, aku sangat penasaran dengan apa yang akan Mas Iqbal katakan padaku. Karena itulah, kedatangannya kali ini sangat aku nantikan. Waktu berjalan begitu lambat, sementara degup di dada terasa semakin cepat. Agar lebih rileks aku membantu Umi melipati tisu untuk acara
POV IqbalKejutan pertamaku sukses membuat Nisa tertegun. Gadis pujaanku itu terkaget-kaget, saat Hanum mengenalkan Mas Haris sebagai calon suaminya. Kini, semoga ia menyadari jika dugaannya selama ini--dengan menganggap Hanum sebagai kekasihku--adalah salah besar. Akan kubuat ia makin terkejut, saat kuungkapkan rasaku padanya di menara masjid. Huft! Aku teringat kembali kejadian setengah bulan lalu saat baru selesai diwisuda.Kita bisa saja berencana namun, Allah yang menentukan segalanya. Dulu, aku mengabaikan kata-kata itu, sebelum kejadian di menara Al Husna terjadi. Niat hati ingin memberi kejutan untuk Nisa, tapi sebaliknya, justru aku yang terkejut karena tiba-tiba Abah menelepon dan mengabarkan bahwa Mas Irsyad terjatuh.Tidak hanya itu, kembali kubenarkan kata-kata bijak tadi, saat berencana akan mengungkapkan rasaku--yang terpotong saat di menara. Namun, Allah berkehendak lain.Berawal di Sabtu pagi, saat Mas Irsyad mengantar Nisa ke kampus. Ada nyeri menyusup di relung hati
POV IrsyadHari ini adalah jadwalku untuk terapi. Meski Nisa sudah sembuh, tapi ia tidak kuperbolehkan mengantar ke rumah sakit. Aku tidak ingin ia terlalu capek dan jatuh sakit lagi seperti kemarin."Mas Irsyad yakin, nggak mau aku antar? "Iya, Nis ... kamu di rumah saja ya, biar Iqbal yang mengantar. Semalam, aku sudah minta tolong, paling sebentar lagi dia menjemputku. Kamu baik-baik di rumah, ya!" Kuelus lembut punggungnya."Suntuk kalau di rumah sendiri, Nisa ke toko saja ya? Ndak papa kan, Mas Irsyad aku tinggal sekarang?""Aduh ... kamu baru sembuh, Nis. Kalau di toko pasti ndak bisa istirahat." "Nisa sudah sehat, Mas. Janji deh di toko ndak ngapa-ngapain, cuma_""Cuma apa? Ketahuan nih, cuma ... cuma ... kangen sama Syarif, ya?" godaku yang membuat Nisa memajukan bibir beberapa centi."Iiih ... Mas Irsyad tega banget sih! Boleh, ya Nisa ke toko?" rajuknya dengan bergelayut di lenganku, kalau sudah begini rasanya tak tega untuk tidak menuruti keinginannya."Ok ... boleh ke
Segera kututup panggilan, dan bergegas pamit pada Syarif. Kukayuh pedal dengan cepat. Saat seperti ini, jarak antara toko ke rumah yang tak sampai satu kilometer tiba-tiba terasa begitu jauh. Dari pintu pagar, kulihat mobil Abah sudah di halaman rumahku. Setelah memarkir sepeda, aku bergegas masuk ke rumah. Di kamar, sudah ada Mas Iqbal bersama kedua temannya, bersiap menggotong Mas Irsyad. "Mas Irsyad ...," pekikku tertahan. Mak Dijah mendekat, mencoba menenangkanku, disusul Umi dengan lembut meraihku dalam pelukannya. Umi tergugu. Tiba-tiba kekhawatiran menyelimuti hati ini. Aku yakin, Mas Irsyad benar-benar pingsan, bukan sedang akting seperti dulu sesaat sebelum kami menikah. Abah memintaku masuk ke dalam mobil terlebih dahulu, agar ada yang menerima Mas Irsyad. Agak kerepotan memasukkan tubuh jangkungnya. Kini, kepala Mas Irsyad ada di pangkuanku. Hanya Abah, aku dan Mas Iqbal yang mengantar ke rumah sakit. Sementara Umi menunggu kabar selanjutnya di rumah. Dari dala
POV. KhairunnisaAroma minyak kayu putih menusuk indra penciumanku. Susah payah aku membuka netra, tapi pening di kepala memaksa kembali memejamkannya. Samar terdengar orang berbicara. Setelah beberapa saat, akhirnya netra ini dapat terbuka sempurna. Aku seperti orang linglung, tak tahu apa yang terjadi. Ada Mas Irsyad duduk di sampingku. Umi dan Mak Dijah juga ada di dekatku. “Alhamdulillah, akhirnya kamu sadar, Nis,” ujar Mas Irsyad sambil menggenggam tanganku. “Aku kenapa, Mas?” tanyaku kemudian. Lelaki berbaju koko putih itu mengacuhkan pertanyaanku. Ia menerima segelas teh dari Umi lalu membantuku meminumnya. Hanya kucecap beberapa kali. Lidah ini terasa pahit, perut juga rasanya mual. “Tadi, saat pada asyik ngobrol di depan, kamu pingsan di ruang tengah, Nis. Untungnya Iqbal pas lewat, kebetulan dia mau ke belakang,” terang Umi yang membuat hatiku tak menentu. Kuhela napas panjang, sambil mengumpulkan serpihan memori yang berserakan. Perlahan dapat kuingat semuany
Malam ini aku tidak bisa tidur. Entah mengapa rasa kantukku hilang begitu saja, karena tiba-tiba teringat peristiwa dua hari yang laluaa--qbal membopong Nisa. Ingatanku merembet ketika aku melihat langsung Nisa terlihat begitu gugup menerima telepon dari Iqbal beberapa waktu lalu. Bahkan, dengan buru-buru ia menyerahkan ponsel padaku. Adakah kaitannya semua itu dengan kepindahan Nisa ke rumah ini yang terkesan terburu-buru? Tiba-tiba ada ketakutan menyelimuti perasaan. Jika sebelumnya aku takut, karena cepat atau lambat pasti akan meninggalkan Nisa. Kini sebaliknya, khawatir Nisa meninggalkanku.Kupandangi seraut wajah di sampingku, wajah yang mengingatkan akan peristiwa konyol di kamar mandi—saat aku opname di salah satu rumah sakit di Magelang. Wajah dengan semburat merah karena malu bercampur kesal yang menggiringku kembali ke rumah orang tuakuhal--ng sebelumnya tak kuinginkan sama sekali.Bukan tanpa alasan enggan pulang ke rumah, sejak terlibat penggunaan obat-obatan terlarang
POV Irsyad Dari ruang tengah terdengar Iqbal memekik, menyebut nama Nisa. Setengah berlari aku menuju ke arahnya, diikuti Abah Umi dan yang lain. "Nisa pingsan," ujar Iqbal ketika melihatku membuka pintu. Ada kecemasan pada nada suaranya. Aku tak percaya melihat Nisa tergolek di pelukkan Iqbal. Sebelumnya ia tak mengeluh apa pun. Hanya telapak tangannya kurasakan hangat, ketika tadi pagi kami bergandengan dari rumah sampai ke sini. Belum hilang rasa kagetku, kembali aku disuguhi pemandangan yang membuat diri ini tercengang. Tanpa kuduga, Iqbal membopong tubuh Nisa, lalu dengan hati-hati dibawanya masuk ke dalam kamar kamarnya, merebahkannya pelan-pelan di atas tempat tidur. Rasanya seperti ada silet yang tanpa ampun menyayat-nyayat hati, melihat Iqbal dengan sigap menolong Nisa. Ah, betapa kerdilnya pemikiranku. Bukankah Iqbal hanya membantu istriku, yang ambruk bersamaan saat dirinya akan masuk ke ruang tengah. Meski hati kecilku memihak pada Iqbal, tapi tetap saja ada sesuatu
Maaf, Nis ... Umi ada? Aku mau bicara sebentar." Seketika lamunanku buyar, saat suara Mas Iqbal terdengar kembali. "Eh, iya ... maaf, Mas ... Nisa yang terima, emm ... soalnya emm ... Umi sedang ke pasar." Aku terbata-bata menjawab pertanyaan lelaki yang pernah bertakhta di hati, tak bisa kusembunyikan rasa gugup. Ya Allah ... dosakah hamba? Jika cintaku pada Mas Iqbal masih tersisa. Sudah setahun lebih aku menikah dengan Mas Irsyad, tapi kenapa belum bisa lepas dari rasa itu? "Dari siapa, Nis? Kok grogi begitu, kayak ngobrol sama mantan saja ... hehehe ...?" Aku tersentak mendengar kata-kata Mas Irsyad yang ternyata sudah duduk di kursi makan. Mantan? Tentu dia hanya bercanda. Akan tetapi ucapannya seperti anak panah yang melesat tepat mengenai dada, tembus hingga ke jantungku. Masyaallah ... sudah berapa lama dia ada di sini? "Eh, Mas ... bukan ...! Ini dari Mas Iqbal,” jawabku salah tingkah. ”Maaf, dilanjutkan bicara sama Mas Irsyad saja ya, tiba-tiba perut N
Pagi menjelang siang, saat kami sampai di rumah sakit tempat Mas Irsyad rutin terapi dan memeriksakan kesehatannya. Usai kontrol, Dokter Ikhsan menyampaikan hasil pemeriksaan, anjuran juga pantangan apa saja yang harus dipatuhi. Menurut beliau, perkembangan luar biasa terjadi pada Mas Irsyad. Ia sudah melewati batas prediksi usia yang dokter sampaikan dulu. Nyatanya, keadaan Mas Irsyad malah membaik. Dari pemeriksaan tadi, sel kanker yang ada di hati Mas Irsyad telah menyusut. Dokter juga yakin, jika pola hidup dan pola makan terus dijaga serta emosi yang tetap stabil, Mas Irsyad bisa bertahan lebih lama lagi. Meski untuk sembuh total sepertinya mustahil, tapi kami yakin kuasa Allah tiada batas. Allah telah menunjukkan keajaiban itu. Dulu, Mas Irsyad divonis usianya hanya tinggal beberapa hari. Namun, setahun lebih telah berlalu, karena kuasa-Nya, dia masih bisa menikmati indahnya dunia, menghirup segarnya udara. Sesampainya di rumah, kuceritakan hasil pemeriksaan pada Abah dan Umi.
"Aku bukakan ya, Sayang .... Kamu itu lucu banget sih, masa buka kotak saja pakai gemetar begitu, nggak usah drama, ah!” Mas Irsyad meledekku, mungkin dikiranya aku sedang akting. Kupejamkan mata rapat-rapat, saat Mas Irsyad menyentuh tutup kotak itu. Jantungku berdetak keras sekali. "Ayo ... buka matanya ...! Taraaa ...!” pekiknya seperti ABG yang memberi kejutan pada kekasihnya.Masih dengan perasaan tak menentu, kubuka mata pelan-pelan. Sementara degup di dada makin menjadi. Dalam hati aku berdoa. Berserah diri dan mengharap Allah mengulur atau menghentikan waktu saat ini juga Apa pun yang terjadi, aku harus siap. Meski hati ini diliputi kekhawatiran luar biasa, jika Mas Irsyad mengetahui semuanya saat ini. Aku tertegun, tak percaya ketika melihat isi kotak itu. Sebuah novel romantis karya novelis idolaku. Untuk apa Mas Iqbal memintaku membukanya setelah ia pergi, kalau isinya sebuah novel? Kuteliti kotak biru itu, mengecek masih adakah sesuatu di dalamnya? Ternyata tak ada ap
“Apa yang Mas Irsyad takutkan?” “Aku ... aku ... takut akan membuatmu sengsara, Nis. Apa lagi jika kita sampai punya anak. Sedangkan tak tahu sampai kapan bisa bertahan di dunia ini. Aku tak ingin menambah beban hidupmu, Nis,” terang Mas Irsyad dengan air mata berderai. Terjawab sudah apa penyebabnya. Aku sangat mengerti dengan perasaannya. “Anak itu anugerah, Mas. Amanah dari Allah. Aku siap untuk merawat seorang diri, jika kemungkinan buruk terjadi,” “Tidak, Nis. Aku akan merasa bersalah, sudah menghadirkannya di dunia, tapi tak sanggup mendampingi tumbuh kembangnya dan menyaksikan hingga dewasa,” sanggahnya. “Iya, Mas, aku paham ... tapi, bagaimana dengan Abah dan Umi? Mereka sangat mendambakan kita memberinya cucu.” Tak ada jawaban, hanya bahu Mas Irsyad yang berguncang hebat. Aku tak mau hanya karena masalah anak, kesehatannya menjadi drop. Akhirnya, dengan lembut kukatakan tak mempermasalahkannya. Mungkin itu hanya salah satu alasan yang ia kemukakan. Efek