**“Ayahnya Axel? Benar nggak, Mama? Mama, benar nggak?”Nyatanya, pertanyaan itu Axel ulang-ulang selama beberapa hari sesudahnya. Membuat Kiran pusing.“Axel ….” Akhirnya, hari ini Kiran berujar dengan lembut. Terpaksa mengalah dengan ego, perempuan itu berjongkok di hadapan sang putra dan tersenyum lembut kepadanya. “Memangnya kalau benar dia ayahnya Axel, Axel mau bagaimana, Nak?”“Mau marah.”Kedua alis Kiran terangkat otomatis. “Kok mau marah?”“Iya. Karena nggak datang-datang. Kan Axel kangen. Terus kemarin cuma datang sebentar, sekarang sudah kembali lagi ke Indonesia. Berarti ayahnya Axel nggak sayang sama Axel.”Ah, Kiran lupa. Putranya kini sudah besar dan semakin pintar mengekspresikan rasa.Perempuan itu tersenyum dan kembali mengusap pucuk kepala sang putra.“Axel, kita cukup hidup bertiga saja di sini, ya. Axel, Mama, dan Obasan. Meski nggak ada ayah, tapi selama ini kita baik-baik saja kan, Nak? Selanjutnya, Mama juga akan pastikan semuanya seperti itu. Kita akan selal
Read more