Home / Horor / TUMBAL PENGANTIN / Chapter 11 - Chapter 20

All Chapters of TUMBAL PENGANTIN: Chapter 11 - Chapter 20

36 Chapters

Bab 11. Bikin Kaget

Mang Jajang tercekat. "Serem gimana, Pak? Saya mah merasa baik-baik saja di sini. Dan pastinya saya siap jadi pengurus Pak Erik, dia orang yang dulu ngangkat derajat saya yang bodoh ini."Ketika Intan menghampiri, seraya melirik supir yang selalu menyunggingkan bibirnya itu. Mang Jajang mengangguk pelan sambil memandangnya dengan sayu."Siapa wanita ini?""Istri saya."Mang Jajang terbelalak, menelan ludah dan tangannya gemetaran."Pak Edwin sudah menikah lagi ternyata. Selamat ya, mudah-mudahan segera dikasih anak. Saya mau ke kamar dulu, biasa banyak barang pribadi yang mesti diberesin." Mang Jajang tersenyum lebar sambil melengos."Mas, udah dulu dramanya. Aku mau tidur dulu ya, besok kan ada jadwal ngajar, gak enak sama rektor kalau bolos terus," ucap Intan.Dan ketika hendak tidur, sengaja Intan mengenakan baju tidur warna merah bekas Rumi, pakaian mendiang istri pertama Edwin. Wanita yang satu ini terus bercermin, menjuntaikan rambut hitamnya, memamerkan keindahan lekuk badannya
Read more

Bab 12. Rekan Menyebalkan Di Kampus

Intan naik pitam. Wanita cantik ini beranjak dari kursinya lalu bertatapan dengan Mirna. "Apa hubungannya pekerjaan sama pernikahan? Lancang kamu, Mirna!" "Kamu masih kerja di sini, seharusnya gak banyak bolos. Lihat semua jadwalnya!" Tukas Mirna sambil melempar absensi mahasiswa ke wajah Intan. "Oh, absensi, mahasiswa banyak yang gak hadir ternyata," gumam Intan. "Jadi siapa yang lancang! Semua aku yang urus pelajaran, emang gak capek ngasih materi kesenian, mereka bentar lagi UTS, dasar dosen kurang ajar!" Hardik Mirna. Di sela-sela perdebatan itu, muncul seorang pria dewasa yang melerai. "Ada apa ini, Bu Mirna, Bu Intan? Masih pagi udah banyak hiburan," sindirnya. "Pak Zayn, saya sudah lelah sama dia, harusnya kita laporkan saja Bu Intan ke rektorat biar dia dipecat sekalian. Di kampus ini aku yang sibuk ngasih materi kesenian, dia sendiri malah asyik bulan madu," gerutu Mirna. Lalu, dia mendelik pada Intan dan berkata. "Emang dasar suka pasang susuk pengasihan buat pelet
Read more

Bab 13. Kotak Rahasia

"Itu sudah ketentuan di keluarga ini!" Tukas Rani."Artinya dulu Papa sempat menikah dengan wanita lain sebelum menikahi Mama, dan istri pertamanya pasti mati karena tumbal," sahut Edwin. "Jawab jujur, ada apa di keluarga ini? Apa benar Kusumadinata pelaku pesugihan haram, pemuja setan demi kekayaan?"Rani tak berkutik apapun. Dia malah mendorong kursi roda suaminya lalu melengos sambil berkata," Kalian cari sendiri alasannya apa. Mama gak mau terlibat. Ngurus bapak kalian aja udah capek!""Mas." Intan bekedip, meraih tangan Edwin dan mengajaknya ke kamar pribadi. "Mau apa? Maaf, gak bisa," sangkal Edwin."Bukan itu. Aku mau bilang, hantu ART di rumah ini yang rambutnya dikuncir kayak ekor kuda itu ngikutin aku ke kampus. Sumpah, aku lihat dia, udah gitu rekan kerja mulai menjelek-jelekkan aku," ungkap Intan.Edwin memeluknya dengan erat. "Kasihan istriku ini. Apa ini pertanda kamu harus resign jadi dosen?""Aku difitnah pake pelet buat menggaet pria kaya. Salah aku apa, ya?" Gumam I
Read more

Bab 14. Tanah Kuburan

Intan, Erwin dan Elsa sangat menunggu-nunggu isi dari buku yang sudah lusuh itu. Sampulnya berwarna hitam dan kertasnya berwarna kuning.Perlahan-lahan Edwin membuka bukunya, ia mendapati foto kenangan zaman dahulu yang ditempel di atas kertas. Ada sebuah foto pernikahan adat Sunda, tampilannya sudah lecet dan kotor."Ini Papa waktu muda, dia nikah sama siapa ya? Ini foto pernikahan Papa sama wanita lain," ucap Edwin."Benar dugaan aku. Papa sempat nikah sama wanita lain dan pastinya dia meninggal juga," gumam Intan. "Bentar, kalau aku nikah, kira-kira istri pertama aku bakal mati juga atau enggak, ya? Ini yang bikin aku was-was," keluh Erwin. "Lihat foto nikahan Papa sama cewek lain aja udah gemeteran begini."Edwin kembali membuka lembaran baru. Di halaman berikutnya dia menemukan sebuah alamat. "Tasikmalaya, jalan H. Zaenal Mustafa. Ini tertulis alamat punya siapa ya? Tulisannya udah lecet," ucap Edwin.Lalu, Intan dan Elsa membuka halaman lain yang isinya hanya berupa foto kenan
Read more

Bab 15. Misteri Rumi

"Orang pinter kayak dia mah emang biasa ngibul, jadi gak usah penasaran lagi, gak usah percaya juga sama kata-katanya. Kalau dibohongin gimana? Jadi korban lo!" Sangkal Mang Jajang. "Ya, tapi ada benernya juga apa kata Pak Haji," sambung Intan. Satu jam kemudian, mereka tiba di perumahan golongan menengah yang asri dan dipenuhi orang berlalu lalang. Edwin mengajak Intan untuk menyambangi pagar rumah yang runcing berwarna putih. "Permisi," ucap Edwin. Lantas, Intan menekan tombol bel rumah. Tak berselang lama, terbukalah pagar rumah itu. Muncul seorang wanita dewasa berambut pendek dan matanya terbelalak begitu berpapasan dengan Edwin. "Tante, boleh saya ketemu mantan mertua saya dulu," pinta Edwin. "Buat apa kamu ke rumah ini! Rumi udah mati, gak usah datang lagi ke sini! Dasar pemuja setan terkutuk!" Hardik wanita itu. "Maaf, tante. Suami saya pengen ketemu mantan mertuanya, ini penting," desak Intan. "Oh, udah nikah lagi ya? Jangan-jangan mau jadi tumbal lagi. Asal kalian
Read more

Bab 16. Penolakan

Di malam yang mencekam, diiringi hujan deras dan kilatan petir, Intan menjadikan momen tersebut untuk menggelar sprei mewah di atas ranjangnya, mengenakan lingerie warna golden yang anggun, dan menyemprotkan parfum ke lehernya. "Mas Edwin pasti suka," gumamnya. "Baru jam sepuluh, masih ada waktu." Pintu terbuka, tampaklah Edwin yang langsung menutup daun pintu dan bersandar sambil menghela nafas. Seraya menoleh ke arah Intan yang sudah merebahkan diri di atas ranjang. "Mas, kok muka kamu cemberut? Kenapa?" Intan hendak beranjak dan menghampiri sampai tatapan Edwin tak mampu berkedip. "Mas, kita tidur, yuk! Udah malam, jam sepuluh tuh!" Bisik Intan. Edwin membuang tatapannya. Sontak, Intan menyentuh wajah suaminya yang tampak galau itu. "Kenapa? Kayak ada yang--" "Intan, saya gagal geledah kamar Papa. Udahlah, saya capek!" Ucapnya ketus. Intan hanya pasrah menyaksikan amarah suaminya itu. Sementara Edwin sibuk membuka kancing kemejanya lalu melemparkannya ke atas ranjang. "Ma
Read more

Bab 17. Tercekat Dan Penuh Tanya

"Saya mau lihat orangnya, Pak. Saya mohon," pinta Edwin. Sayangnya, Polisi mencegahnya untuk masuk sampai Edwin naik pitam. "Pak! Bisa kasih kesempatan buat saya, rumah ini milik kerabat almarhum istri saya dulu," desaknya. "Sebaiknya Anda keluar, ini urusan Polisi, kami sedang mencari pelakunya," tegas Polisi itu. "Lantas, kenapa Anda bersikeras mau melihat dia? Bisa-bisa saya jadikan Anda saksi." "Silahkan, Pak. Kemarin saya ke rumah ini dan ketemu tante-tante itu," tegas Edwin. Akhirnya, Polisi itu mengizinkan Edwin untuk memasuki rumah. Baru saja membuka pintu, terlihat ada seonggok badan wanita yang terkapar di lantai disertai darah yang sudah mengental berceceran dan sudah berbau menyengat. Seonggok badan wanita itu telah ditutup kain hitam dengan posisi kaki yang mengangkang. "Wanita ini belum diketahui penyebab kematiannya," ucap Polisi. Seraya membukakan kain hitam itu dan tampaklah wajahnya yang sudah lebam. "Apa yang buat dia kehilangan banyak darah sampai bekas
Read more

Bab 18. Fenomena Muntah-Muntah

Sore hari yang redup, rasa semangat Nala dan Amel masih berkobar meski suasana sedang gerimis disertai angin sepoi-sepoi yang terasa dingin. Sebentar-sebentar mereka melirik ke ruangan makan yang sudah dihadiri oleh tuan rumah. "Mel, aku mau beresin dulu meja makannya, ya. Aku mau menata hidangan," pinta Nala. "Sayur bayam ini khusus saya bikin buat nyonya kesayangan." "Ya udah. Tuh! Pak Erik udah siap-siap buat makan tapi Mang Jajang ke mana, ya? Masa sibuk nyuci mobil terus. Ini udah sore," gerutu Amel. "Masa kita yang nyuapin." Nala hanya tersenyum tipis, seraya langsung menyambangi meja makan. Namun, langkahnya terhenti ketika mendapati Pak Erik sudah duduk di salah satu kursinya. "Pak, mau makan, ya? Sebentar ya, saya panggil dulu Mang Jajang buat nyuapin," ucap Nala. Di saat Nala menata hidangan, muncul Edwin dan Intan yang baru saja tiba. Mereka berdua lantas menyambangi meja makan dan duduk di kursi masing-masing. "Mama udah pulang, Pah?" Tanya Edwin. Erik geleng-gelen
Read more

Bab 19. Jejak Orang Di Atap Kamar

Nafas mereka tersengal-sengal menyaksikan penampakan makhluk itu. Perlahan-lahan mendekat, menunjukkan wajahnya yang pucat."Apa benar dia dikirim orang buat menghancurkan keluarga kita?" Bisik Edwin. "Setan berupa asap itu baru-baru ini menakuti penghuni rumah."Kemudian, makhluk itu berubah menjadi seperti asap putih dan melayang-layang ke arah kamar milik Nenek Diah."Kita ikutin, Mas!" Seru Intan.Terlihat, hantu itu menelusup ke celah-celah lubang udara di atas pintu. Saking kesalnya, sampai Edwin membuka pintu kencang-kencang. Begitu terbuka sosok itu berubah seperti gulungan berwarna hitam lalu masuk ke atap."Dia di sana," gumamnya. "Atapnya masih bolong, katanya mau direnovasi," ucap Intan. "Di kamar nenek jadi panas begini, apa karena AC-nya mati?"Tiba-tiba beberapa ekor kumbang hitam keluar dari atap dan terbang ke luar kamar. "Mungkin target utama si pelaku adalah nenek, karena nenek yang tahu rahasia kelam keluarga Kusumadinata," ucap Edwin. "Ya udah, besok saya panggi
Read more

Bab 20. Kepedihan Di Rumah Masa Kecil

Siang hari yang cerah, Intan baru tiba di rumah neneknya. Masih banyak orang berlalu lalang untuk melayat dan berkerumun di rumah dua lantai yang cukup elit, tempat tinggalnya sewaktu kecil hingga remaja. "Ini rumah orang tuaku. Mereka gak ninggalin surat warisan, ya ujungnya tante yang mengusai semuanya," ungkap Intan. "Ayo, kita masuk saja." Baru saja melangkah, ada seorang lelaki tua menyapa. "Neng Intan, gimana kabarnya?" "Pak Dadang, Alhamdulillah baik," jawab Intan. "Saya merasa bersalah karena gak bisa menemani nenek, padahal beliau nenek yang ngurus saya." "Nenek kamu sudah dimakamkan di tempat pemakaman umum, tante kamu juga masih ada di sana," ucap Pak Dadang. Tanpa pikir panjang, mereka bergegas mengunjungi pemakaman sang nenek. Hanya membutuhkan waktu sepuluh menit saja menuju lokasi. Sampai di sana, tampaklah seorang wanita yang sedang memeluk gundukan tanah segar sambil meringis. "Tante," sapa Intan. Wanita itu menoleh. Dia menjawab," Kamu, kenapa baru pulang, g
Read more
PREV
1234
DMCA.com Protection Status