Intan naik pitam. Wanita cantik ini beranjak dari kursinya lalu bertatapan dengan Mirna. "Apa hubungannya pekerjaan sama pernikahan? Lancang kamu, Mirna!" "Kamu masih kerja di sini, seharusnya gak banyak bolos. Lihat semua jadwalnya!" Tukas Mirna sambil melempar absensi mahasiswa ke wajah Intan. "Oh, absensi, mahasiswa banyak yang gak hadir ternyata," gumam Intan. "Jadi siapa yang lancang! Semua aku yang urus pelajaran, emang gak capek ngasih materi kesenian, mereka bentar lagi UTS, dasar dosen kurang ajar!" Hardik Mirna. Di sela-sela perdebatan itu, muncul seorang pria dewasa yang melerai. "Ada apa ini, Bu Mirna, Bu Intan? Masih pagi udah banyak hiburan," sindirnya. "Pak Zayn, saya sudah lelah sama dia, harusnya kita laporkan saja Bu Intan ke rektorat biar dia dipecat sekalian. Di kampus ini aku yang sibuk ngasih materi kesenian, dia sendiri malah asyik bulan madu," gerutu Mirna. Lalu, dia mendelik pada Intan dan berkata. "Emang dasar suka pasang susuk pengasihan buat pelet
"Itu sudah ketentuan di keluarga ini!" Tukas Rani."Artinya dulu Papa sempat menikah dengan wanita lain sebelum menikahi Mama, dan istri pertamanya pasti mati karena tumbal," sahut Edwin. "Jawab jujur, ada apa di keluarga ini? Apa benar Kusumadinata pelaku pesugihan haram, pemuja setan demi kekayaan?"Rani tak berkutik apapun. Dia malah mendorong kursi roda suaminya lalu melengos sambil berkata," Kalian cari sendiri alasannya apa. Mama gak mau terlibat. Ngurus bapak kalian aja udah capek!""Mas." Intan bekedip, meraih tangan Edwin dan mengajaknya ke kamar pribadi. "Mau apa? Maaf, gak bisa," sangkal Edwin."Bukan itu. Aku mau bilang, hantu ART di rumah ini yang rambutnya dikuncir kayak ekor kuda itu ngikutin aku ke kampus. Sumpah, aku lihat dia, udah gitu rekan kerja mulai menjelek-jelekkan aku," ungkap Intan.Edwin memeluknya dengan erat. "Kasihan istriku ini. Apa ini pertanda kamu harus resign jadi dosen?""Aku difitnah pake pelet buat menggaet pria kaya. Salah aku apa, ya?" Gumam I
Intan, Erwin dan Elsa sangat menunggu-nunggu isi dari buku yang sudah lusuh itu. Sampulnya berwarna hitam dan kertasnya berwarna kuning.Perlahan-lahan Edwin membuka bukunya, ia mendapati foto kenangan zaman dahulu yang ditempel di atas kertas. Ada sebuah foto pernikahan adat Sunda, tampilannya sudah lecet dan kotor."Ini Papa waktu muda, dia nikah sama siapa ya? Ini foto pernikahan Papa sama wanita lain," ucap Edwin."Benar dugaan aku. Papa sempat nikah sama wanita lain dan pastinya dia meninggal juga," gumam Intan. "Bentar, kalau aku nikah, kira-kira istri pertama aku bakal mati juga atau enggak, ya? Ini yang bikin aku was-was," keluh Erwin. "Lihat foto nikahan Papa sama cewek lain aja udah gemeteran begini."Edwin kembali membuka lembaran baru. Di halaman berikutnya dia menemukan sebuah alamat. "Tasikmalaya, jalan H. Zaenal Mustafa. Ini tertulis alamat punya siapa ya? Tulisannya udah lecet," ucap Edwin.Lalu, Intan dan Elsa membuka halaman lain yang isinya hanya berupa foto kenan
"Orang pinter kayak dia mah emang biasa ngibul, jadi gak usah penasaran lagi, gak usah percaya juga sama kata-katanya. Kalau dibohongin gimana? Jadi korban lo!" Sangkal Mang Jajang. "Ya, tapi ada benernya juga apa kata Pak Haji," sambung Intan. Satu jam kemudian, mereka tiba di perumahan golongan menengah yang asri dan dipenuhi orang berlalu lalang. Edwin mengajak Intan untuk menyambangi pagar rumah yang runcing berwarna putih. "Permisi," ucap Edwin. Lantas, Intan menekan tombol bel rumah. Tak berselang lama, terbukalah pagar rumah itu. Muncul seorang wanita dewasa berambut pendek dan matanya terbelalak begitu berpapasan dengan Edwin. "Tante, boleh saya ketemu mantan mertua saya dulu," pinta Edwin. "Buat apa kamu ke rumah ini! Rumi udah mati, gak usah datang lagi ke sini! Dasar pemuja setan terkutuk!" Hardik wanita itu. "Maaf, tante. Suami saya pengen ketemu mantan mertuanya, ini penting," desak Intan. "Oh, udah nikah lagi ya? Jangan-jangan mau jadi tumbal lagi. Asal kalian
Di malam yang mencekam, diiringi hujan deras dan kilatan petir, Intan menjadikan momen tersebut untuk menggelar sprei mewah di atas ranjangnya, mengenakan lingerie warna golden yang anggun, dan menyemprotkan parfum ke lehernya. "Mas Edwin pasti suka," gumamnya. "Baru jam sepuluh, masih ada waktu." Pintu terbuka, tampaklah Edwin yang langsung menutup daun pintu dan bersandar sambil menghela nafas. Seraya menoleh ke arah Intan yang sudah merebahkan diri di atas ranjang. "Mas, kok muka kamu cemberut? Kenapa?" Intan hendak beranjak dan menghampiri sampai tatapan Edwin tak mampu berkedip. "Mas, kita tidur, yuk! Udah malam, jam sepuluh tuh!" Bisik Intan. Edwin membuang tatapannya. Sontak, Intan menyentuh wajah suaminya yang tampak galau itu. "Kenapa? Kayak ada yang--" "Intan, saya gagal geledah kamar Papa. Udahlah, saya capek!" Ucapnya ketus. Intan hanya pasrah menyaksikan amarah suaminya itu. Sementara Edwin sibuk membuka kancing kemejanya lalu melemparkannya ke atas ranjang. "Ma
"Saya mau lihat orangnya, Pak. Saya mohon," pinta Edwin. Sayangnya, Polisi mencegahnya untuk masuk sampai Edwin naik pitam. "Pak! Bisa kasih kesempatan buat saya, rumah ini milik kerabat almarhum istri saya dulu," desaknya. "Sebaiknya Anda keluar, ini urusan Polisi, kami sedang mencari pelakunya," tegas Polisi itu. "Lantas, kenapa Anda bersikeras mau melihat dia? Bisa-bisa saya jadikan Anda saksi." "Silahkan, Pak. Kemarin saya ke rumah ini dan ketemu tante-tante itu," tegas Edwin. Akhirnya, Polisi itu mengizinkan Edwin untuk memasuki rumah. Baru saja membuka pintu, terlihat ada seonggok badan wanita yang terkapar di lantai disertai darah yang sudah mengental berceceran dan sudah berbau menyengat. Seonggok badan wanita itu telah ditutup kain hitam dengan posisi kaki yang mengangkang. "Wanita ini belum diketahui penyebab kematiannya," ucap Polisi. Seraya membukakan kain hitam itu dan tampaklah wajahnya yang sudah lebam. "Apa yang buat dia kehilangan banyak darah sampai bekas
Sore hari yang redup, rasa semangat Nala dan Amel masih berkobar meski suasana sedang gerimis disertai angin sepoi-sepoi yang terasa dingin. Sebentar-sebentar mereka melirik ke ruangan makan yang sudah dihadiri oleh tuan rumah. "Mel, aku mau beresin dulu meja makannya, ya. Aku mau menata hidangan," pinta Nala. "Sayur bayam ini khusus saya bikin buat nyonya kesayangan." "Ya udah. Tuh! Pak Erik udah siap-siap buat makan tapi Mang Jajang ke mana, ya? Masa sibuk nyuci mobil terus. Ini udah sore," gerutu Amel. "Masa kita yang nyuapin." Nala hanya tersenyum tipis, seraya langsung menyambangi meja makan. Namun, langkahnya terhenti ketika mendapati Pak Erik sudah duduk di salah satu kursinya. "Pak, mau makan, ya? Sebentar ya, saya panggil dulu Mang Jajang buat nyuapin," ucap Nala. Di saat Nala menata hidangan, muncul Edwin dan Intan yang baru saja tiba. Mereka berdua lantas menyambangi meja makan dan duduk di kursi masing-masing. "Mama udah pulang, Pah?" Tanya Edwin. Erik geleng-gelen
Nafas mereka tersengal-sengal menyaksikan penampakan makhluk itu. Perlahan-lahan mendekat, menunjukkan wajahnya yang pucat."Apa benar dia dikirim orang buat menghancurkan keluarga kita?" Bisik Edwin. "Setan berupa asap itu baru-baru ini menakuti penghuni rumah."Kemudian, makhluk itu berubah menjadi seperti asap putih dan melayang-layang ke arah kamar milik Nenek Diah."Kita ikutin, Mas!" Seru Intan.Terlihat, hantu itu menelusup ke celah-celah lubang udara di atas pintu. Saking kesalnya, sampai Edwin membuka pintu kencang-kencang. Begitu terbuka sosok itu berubah seperti gulungan berwarna hitam lalu masuk ke atap."Dia di sana," gumamnya. "Atapnya masih bolong, katanya mau direnovasi," ucap Intan. "Di kamar nenek jadi panas begini, apa karena AC-nya mati?"Tiba-tiba beberapa ekor kumbang hitam keluar dari atap dan terbang ke luar kamar. "Mungkin target utama si pelaku adalah nenek, karena nenek yang tahu rahasia kelam keluarga Kusumadinata," ucap Edwin. "Ya udah, besok saya panggi
Saking kagetnya, Edwin sampai menampar wajah Nala karena yang dia lihat adalah sosok hitam berwajah datar."Pak, hentikan! Jangan pukul saya!" Teriak Nala."Kamu setan di rumah ini, pergi kamu!" Teriak Edwin.Suara teriakan Edwin dan Nala sampai menggema di seluruh ruangan, terdengar hingga ke lantai utama. Tak lama kemudian, datang Erwin dan Amel sampai berlari menyambangi lantai dua dan mereka menemukan Edwin sedang menjambak Nala. Erwin bergegas memisahkan mereka berdua. Sampai Erwin terkena hantaman tangan Edwin."Mas, jangan, Mas! Kasihan dia, Mas!" Pinta Erwin."Diam, dia setan. Ngapain juga ada di kamar Mama!" Teriak Edwin."Mas, dia Nala. Hentikan!" Teriak Erwin. Saking emosinya, dia sampai menghantam tangan Edwin yang menjambak rambut Nala.Sejenak, suasana kembali tenang. Namun, rambut Nala sudah gimbal dan wajahnya agak lebam. Amel memeluknya dengan erat dan menahan tubuhnya agar tidak terjatuh.Edwin pun baru sadar bahwa yang baru saja dia jambak adalah Nala. Dia langsung
Kemudian, beberapa warga berkerumun di depan rumah. Mereka hendak menghentikan Rudi yang akan melesatkan peluru. Nahas, Rudi memberontak dan memaki-maki orang sekitarnya."Pergi kalian semua! Jangan diem di depan rumah gue, sialan!"Salah satu warga menghampiri Edwin. Seorang pria berambut putih berkata," Pak, dia memang agak stress, sebaiknya bapak pulang saja."Semua warga yang berkerumun menyuruh Edwin untuk pulang demi keamanan. Namun, langkahnya terhenti oleh wanita gemuk yang bernama Mpok Mia yang baru saja datang."Rud, lo kenapa marah-marah gitu?""Mpok, itu anak-anak Kusumadinata yang dulu jadi majikan anak lo yang mati, itu dia!"Mpok Mia menoleh, tapi seperti ragu mendekat."Bu, boleh kita bicara sebentar saja," pinta Edwin. "Iya, iya, boleh. Tapi jangan di sini, ini rumah adik saya," jawab Mpok Mia. Tiba-tiba Rudi mengerang kesakitan di bagian dada kirinya. Dia melunglai lemas dan memuntahkan darah.Mpok Mia bergegas menolong adiknya yang berteriak-teriak kesakitan. Semu
Intan bersikeras mendekati Nala. ART itu belum juga menyahut meski majikan sudah meninggikan suara untuk memanggil. Intan pun hendak mencolek punggung Nala. Namun dia ragu. Lantas, Nala tertawa cekikikan dan mulai menengadahkan kepalanya ke atas. "Nala, kamu baik-baik saja, kan?" "Babu kayak saya ini nggak ada artinya buat kalian," sahut Nala lantang. "Apalagi di depan nenek tua yang haus kekayaan." "Maksud kamu apa, Nala?" Tanya Intan. "Dasar majikan bodoh!" Hardik Nala. Amel baru saja masuk kamar, dia tersentak kaget menyaksikan Nala yang bergelagat aneh sampai membuatnya bernafas tersengal-sengal. "Bu, kayaknya Nala kerasukan deh," ucapnya. Kemudian, Nala menoleh, menunjukkan wajah yang pucat dan mata yang putih. Dia menyeringai dan tertawa cekikikan. Tiba-tiba saja, Nala muntah, lehernya seperti tercekik, dia berteriak kesakitan sampai terjatuh dan menggulingkan badannya di lantai. "Astaghfirullah, Nala!" Teriak Intan. Akhirnya, Nala batuk-batuk, memuntahkan cairan hi
Elsa meringis ketika mendapati kedua tangan kakak kandungnya yang berlumuran darah sambil melambaikan tangannya seperti meminta tolong. "Elsa!" Teriak Edwin.Elsa bergegas menolong. Kemudian, menghampiri jendela. Sayangnya, Edwin semakin menjauh sampai Elsa kesulitan meraih tangan kakaknya itu."Elsa! Sadar, Els!" Teriak Dhea.Dalam pandangannya, Elsa menyaksikan Edwin hendak melompat, seperti mau bunuh diri. Di saat itulah, Elsa nekad meraih tangan kakaknya. "Mas, jangan lompat!" "Elsa, jangan lompat!" Teriak mahasiswa yang menolongnya.Elsa terus memberontak ketika semua mahasiswa menahan badannya. "Itu kakak gue jatuh ke bawah! Mas Edwin, jangan lompat, Mas!"Bruk!Akhirnya, Elsa berhasil melompat lalu terjatuh ke atap lantai satu dan tergeletak pingsan.Satu jam kemudian, Elsa baru bisa membuka kedua matanya. Yang dia lihat hanya ruangan serba putih dan lampu neon yang menerangi ruangan."Elsa, syukurlah, kamu udah sadar," ucap Intan. "Kak, mana Mas Edwin? Dia baik-baik saja,
Kamar mendiang Nenek Diah tampak berantakan, kumuh dan bau pesing. Ada air menggenang di lantai dan dikerumuni kumbang. "Mas, ada apa?" Sahut Elsa. Baru saja membuka pintu, dia langsung muntah-muntah. "Bau banget!""Mas, pagi-pagi udah teriak," keluh Intan. "Ada apa--"Intan terbelalak dan langsung menutup hidungnya. Dia bergegas mengambil masker untuk menutupi mulut dan penciumannya."Mas, gue mau ngopi, ngapain manggil gue?""Lihat, perbuatan siapa di sini?" Spontan, Erwin menyemburkan kopi dari mulutnya. "Bau banget!"Tak lama kemudian, Intan menghampiri sambil menyodorkan masker penutup mulut dan hidung. Kendati, agar mereka leluasa memeriksa kondisi di dalam kamar yang sudah kosong itu."Ini bukan air biasa, ini air seni," gumam Edwin. "Masa di sini ada yang pipis," gerutu Elsa. "Jijik banget!"Lalu, mereka mendongak ke atas, mendapati CCTV yang sudah pecah dan serpihannya berhamburan di lantai. "Oh, dia merusak cctv dulu sebelum beraksi, itu pelaku cerdik juga ya," gumam Er
Tiba-tiba saja Elsa memuntahkan cairan berwarna cokelat. Dia batuk-batuk sampai tidak kuat menahan rasa sakitnya. "Kita ke RS sekarang, sambil nengok Papa," ajak Intan. Malam yang gelap, terpaksa mereka bertandang ke RS. Semula, Elsa tampak parah dan pucat pasi, namun ketika di perjalanan dia seperti bukan orang sakit.Setelah diobservasi dan cek laboratorium, hasilnya tidak ditemukan penyakit apapun. "Kalau begini ya enggak usah ke RS," protes Elsa. "Aku mau nengok Papa dulu."Mereka bertiga lantas mengunjungi ruang ICU. Orang tua yang mereka rindukan masih terkapar lemah di atas ranjang, berselimut kain putih dan hidung yang dipasang selang oksigen."Mau sampai kapan Papa kayak gini! Sadar dong, Pa!" Gerutu Elsa. "Papa harus pulang, harus sehat lagi, jangan pergi dulu, Pa! Elsa kangen."Elsa meringis, terisak-isak sampai suara tangisnya menggema di seluruh ruangan."Elsa, udah kita pulang sekarang. Jangan nangis di sini, Papa kan udah ada yang ngurus, kita percayakan urusan sama
Suara ratusan kumbang tiba-tiba saja terdengar bising, serangga itu beterbangan di langit-langit rumah sampai menggulung. "Astaghfirullah," ucap Pak haji. "Ada yang menyerang saya. Tapi gak apa-apa."Kemudian kumbang itu kembali masuk ke sarangnya lewat lubang di dapur.Sementara itu, Intan sudah agak membaik, namun kakinya lemas sampai berdiri pun harus dibantu suaminya. "Pak haji, sebenarnya saya mau bahas tentang keluarga. Ibu kami sering berbohong, dia beralibi sibuk bekerja, nyatanya sudah satu bulan teledor, perusahaan terbengkalai. Kadang saya bertanya-tanya, ke mana dia perginya," terang Edwin."Kalau nak Edwin penasaran, kenapa gak pernah intip beliau? Kan ibu sendiri, harusnya ada yang berani ikutin dia pergi," jawab Pak haji. Sejenak, dia menghela nafas dalam-dalam. "Jujur saja, kasus seperti ini, apalagi kalau berhubungan sama orang yang memuja kepada selain Tuhan, ya agak berat juga.""Pak haji percaya kakek Kusumadinata itu pemuja setan demi kekayaan? Firasat saya seba
Edwin menoleh ke belakang. Tak melihat siapapun selain pintu kamar ibunya. Sementara Intan sudah bernafas tersengal-sengal, panik dan berkeringat. "Mas, makhluk itu ada di sana, dia kayak bayangan hitam, tinggi besar, aku lihat jarinya runcing, dia kayaknya mau menerkam," ungkap Intan. Dia lantas menutup wajah dengan kedua telapak tangan. "Aku takut, Mas. Astagfirullah." Edwin memeluk istrinya agar lebih tenang. Namun, matanya melirik kanan kiri. Ada hembusan angin yang melintas sampai menyibak rambut Intan. Tampaklah, makhluk hitam berdiri di depannya. Edwin menyaksikan pergerakan makhluk itu, mulai dari berdiri lalu menyerupai seorang wanita, berambut panjang dan berwajah pucat. "Mas!" "Ssssttt! Gak ada apa-apa, tenang ya, ternyata pelukan di sini nyaman juga. Mereka bergegas ke balkon lantai dua. Kebetulan, Elsa dan Erwin ternyata sedang melakukan peregangan badan. "Er, Els," sapa Edwin. "Mas, ngapain jalan-jalan sambil pelukan gitu? Kenapa? Norak tahu!" Sindir Elsa. "Gak
Siang hari yang cerah, Edwin dan Intan sengaja pulang ke rumah meskipun perasaan mereka masih tak karuan karena mendapati sang ibu yang selalu berulah. Malahan, Edwin melempar tas kerjanya ke atas kursi tamu. Sampai tas bermerek dan mahal itu menimpa Elsa. "Mas! Apa-apaan sih! Untung aja gak kena muka aku!" "Kamu sama Erwin gak kuliah, ya? Bagus! Kalian sudah belajar bolos, buang-buang uang buat biaya kuliah mahal tapi hasilnya nihil! Kakak kamu ini capek nyari duit buat makan, buat sekolah, buat operasional rumah, tapi kalian enak-enakan nganggur. Keluar kalian semua dari rumah saya!" Elsa tercekat mendapati kakaknya yang naik pitam. Sambil berurai air mata, ia berkata," Mas, kenapa sih! Aku sama Erwin lagi UTS. Kamu, baru aja pulang udah marah begini!" Edwin lantas menghindar, dia menyambangi ruang kerjanya dengan terburu-buru, bahkan membukanya pintu dengan kencang. "Hei, ada apa ini? Siapa yang teriak?" Tanya Erwin yang baru saja menuruni tangga. "Mas Edwin barusan marahin