Nafas mereka tersengal-sengal menyaksikan penampakan makhluk itu. Perlahan-lahan mendekat, menunjukkan wajahnya yang pucat."Apa benar dia dikirim orang buat menghancurkan keluarga kita?" Bisik Edwin. "Setan berupa asap itu baru-baru ini menakuti penghuni rumah."Kemudian, makhluk itu berubah menjadi seperti asap putih dan melayang-layang ke arah kamar milik Nenek Diah."Kita ikutin, Mas!" Seru Intan.Terlihat, hantu itu menelusup ke celah-celah lubang udara di atas pintu. Saking kesalnya, sampai Edwin membuka pintu kencang-kencang. Begitu terbuka sosok itu berubah seperti gulungan berwarna hitam lalu masuk ke atap."Dia di sana," gumamnya. "Atapnya masih bolong, katanya mau direnovasi," ucap Intan. "Di kamar nenek jadi panas begini, apa karena AC-nya mati?"Tiba-tiba beberapa ekor kumbang hitam keluar dari atap dan terbang ke luar kamar. "Mungkin target utama si pelaku adalah nenek, karena nenek yang tahu rahasia kelam keluarga Kusumadinata," ucap Edwin. "Ya udah, besok saya panggi
Siang hari yang cerah, Intan baru tiba di rumah neneknya. Masih banyak orang berlalu lalang untuk melayat dan berkerumun di rumah dua lantai yang cukup elit, tempat tinggalnya sewaktu kecil hingga remaja. "Ini rumah orang tuaku. Mereka gak ninggalin surat warisan, ya ujungnya tante yang mengusai semuanya," ungkap Intan. "Ayo, kita masuk saja." Baru saja melangkah, ada seorang lelaki tua menyapa. "Neng Intan, gimana kabarnya?" "Pak Dadang, Alhamdulillah baik," jawab Intan. "Saya merasa bersalah karena gak bisa menemani nenek, padahal beliau nenek yang ngurus saya." "Nenek kamu sudah dimakamkan di tempat pemakaman umum, tante kamu juga masih ada di sana," ucap Pak Dadang. Tanpa pikir panjang, mereka bergegas mengunjungi pemakaman sang nenek. Hanya membutuhkan waktu sepuluh menit saja menuju lokasi. Sampai di sana, tampaklah seorang wanita yang sedang memeluk gundukan tanah segar sambil meringis. "Tante," sapa Intan. Wanita itu menoleh. Dia menjawab," Kamu, kenapa baru pulang, g
Malam yang sunyi, tak biasanya di jam sepuluh malam suasana rumah sudah sepi, semua penghuni telah mendekam di kamar tidur masing-masing. Sementara Edwin masih sibuk membaca artikel tentang keluarganya. Keningnya mengerut. Ia berkata," Ternyata Kusumadinata sudah terkenal di instansi pemerintah, jadi yang melakukan pemujaan iblis itu adalah kakek, tapi kenapa nenek selalu saja menyangkal? Apa maksudnya?" Edwin malah melemparkan koran itu ke meja rias milik istrinya sampai beberapa botol kosmetik berjatuhan. "Mas, belum tidur? Barusan apa yang jatuh?" Tanya Intan yang terbangunkan oleh suara hentakan. "Intan," sapa Edwin. "Kenapa? Aku lagi kurang mood, Mas!" "Sssttt! Saya gak mau kamu jadi tumbal pengantin, tradisi keluarga ini." Lima belas menit kemudian, Edwin memeluk Intan kemudian mengecup berkali-kali hingga gairahnya membuncah dan terpancing, aliran darah membuatnya panas dingin menjalar di sekujur tubuh. "Ini yang kamu tunggu-tunggu, kan?" Bisik Edwin. Awalnya, Intan
Edwin dan Erwin melirik-lirik ke atap dapur. Selain itu tercium bau busuk yang menyeruak sampai mereka menutup hidung karena tak tahan dengan aroma busuknya. Bahkan, suara kumbang berdenging dan bising, sampai Edwin menoleh ke arah kanan di mana ada tempat sampah yang selalu tertutup."Di sana," gumamnya."Mas, itu dia lubangnya!" Seru Erwin menunjuk ke atap yang sejajar dengan pintu dapur."Erwin, kita buka dulu tempat sampah ini," pintanya. Dia tergesa-gesa membuka tempat pembuangan yang berbentuk bulat.Apa yang terjadi setelah Edwin membuka tempat sampah itu?Sekelompok Kumbang hitam sedang mengerumuni daging sapi yang sudah membusuk. Spontan, Pak Haji mengambil air minum lalu dia menyemburkannya pada serangga menjijikan itu.Seketika, kumbang itu terbang bertebaran dan masuk ke atap yang berlubang, seperti sarang yang baru."Nak Edwin, bisa saja daging ini buat makanan serangga itu. Ada yang ngasih, ya seperti diternak," ungkap Pak haji."Hah! Di rumah gue ada yang ternak serang
Intan menghindar, menolak penjelasan suaminya. Wanita itu menuruni tangga dengan cepat. Sampai di lantai utama tiba-tiba langkahnya berhenti karena menyaksikan seseorang yang tidak disukainya. "Bu Intan, ada tamu, ini tantenya mau nengok," ucap Mang Jajang. "Tante, kenapa datang ke rumah suami aku, gak bilang-bilang dulu," protes Intan yang masih kaget akan kedatangan sosok tantenya yang ketus. Tante Nena mengenakan pakaian glamor, berkacamata hitam dan kalung emas menjuntai hingga perutnya. Setelah menghadap keponakan, ia baru membuka kacamatanya. "Tante cuma pengen tahu kondisi kamu, kan satu-satunya anggota keluarga tante cuma kamu di sini," ucapnya. "Boleh kan, nginep sehari saja di sini, tidur di kolong ranjang juga gak masalah." "Tante bisa tidur di kamar tamu dekat kamar ART," sahut Edwin. "Tapi, istri saya udah kelelahan, saya gak mau dia capek terus, makanya saya mau suruh dia buat istirahat." Edwin tampak tidak suka akan kehadiran Tante Nena di rumahnya, apalagi tanpa
Mang Jajang tertunduk malu. Lalu, wajahnya berubah menjadi merah karena menahan tangis. "Maafkan saya, Bu juragan. Saya gak nyakitin dia, cuma salah faham sedikit," ungkapnya. "Kalau terbukti bersalah, saya siap masuk jeruji besi." "Sebagai hukumannya kamu dapat tugas dari saya nanti sore," tukas Rani. "Bagaimanapun juga wanita itu kan tantenya Intan, mantu saya! Jangan lancang lagi!" Mang Jajang mengangguk pelan, ia meringis setelah Rani berlalu dari hadapannya. "Udah, gak apa-apa, Mang Jajang makan siang dulu gih," pinta Intan. "Urusan Mama biar saya yang beresin." Intan masuk ke rumah lebih dulu. Setelah menyaksikan Tante Nena hengkang, yang lain pun kembali masuk ke rumah. Erwin dan Edwin menyambangi dapur lagi dan langsung mengambil dua buah cangkir kopi. "Mas, mau kopi bikinan gue?" Tanya Erwin. "Kita lupakan sejenak masalah keluarga ini." "Boleh," sahut Edwin singkat. Sembari menuangkan bubuk kopi dan air panas, tiba-tiba saja Nala melintas di depan mereka. ART itu me
Kamar yang cukup luas seharusnya berisi ranjang dan lemari. Namun, yang ada malah sebuah meja kecil beralaskan tikar yang terbuat dari anyaman daun pandan. Di atas meja kecil itu terdapat sebuah wadah berupa mangkuk berwarna silver, berisi setumpuk arang yang hancur dan baunya masih menyengat. Di sampingnya terdapat sebuah boneka kecil yang terbuat dari tanah liat.Intan memungut boneka yang sudah berwarna cokelat kehitaman itu. Ia berkata," Mas, ini boneka buat guna-guna orang, apa tante yang jadi dalang di balik kericuhan di keluarga kita?"Dia lanjut menumpahkan mangkuk berisi arang. Tampaklah seikat gulungan rambut."Rambut siapa?""Mana saya tahu, Intan! Maaf, saya gak yakin tante kamu pelakunya."Intan lantas menginjak boneka sihir itu sampai hancur berlanjut mengacak-acak benda bekas ritual di atas meja. Juga, ditemukan lubang di atap sejajar dengan pintu masuk, ada kabel besar yang menjuntai sekitar 50 cm. "Maaf, Anda siapa? Kenapa di sini?" Tegur seorang Polisi yang tiba-ti
Angin masih berhembus di dalam rumah hingga menjatuhkan beberapa pot bunga dan keramik. Intan tersungkur dan saat ini dalam posisi duduk setengah tengkurap. Edwin terjungkal ke kursi sofa. Elsa dan ibunya terdorong ke arah kursi sofa sampai mereka duduk terdiam karena panik. "Gak logis, kenapa di dalam rumah ada angin? Dari mana datangnya?" Tanya Intan. "Nala, Amel!" Teriak Rani. Kemudian kedua ART itu muncul, terburu-buru mereka hendak menolong. Namun, ada satu keanehan yang terjadi, Nala menatap ke atas dan mulutnya menganga, matanya tak berkedip sama sekali, lambat laun keluarlah air mata. "Ap--ap--ap--apa itu!" Ucapnya tersengal-sengal. "Nala, kalau ada setan jangan dilihat terus," suruh Intan. Sayangnya, Nala seperti tidak menghiraukan, tatapan matanya tetap fokus melihat ke atap. Ia tampak ketakutan dan berjalan mundur. "Nala!" Teriak Amel. Nala hampir saja terjatuh. Jika tak ada Amel yang menahan badannya mungkin sudah tersungkur ke lantai. Seketika angin berhenti ber
Saking kagetnya, Edwin sampai menampar wajah Nala karena yang dia lihat adalah sosok hitam berwajah datar."Pak, hentikan! Jangan pukul saya!" Teriak Nala."Kamu setan di rumah ini, pergi kamu!" Teriak Edwin.Suara teriakan Edwin dan Nala sampai menggema di seluruh ruangan, terdengar hingga ke lantai utama. Tak lama kemudian, datang Erwin dan Amel sampai berlari menyambangi lantai dua dan mereka menemukan Edwin sedang menjambak Nala. Erwin bergegas memisahkan mereka berdua. Sampai Erwin terkena hantaman tangan Edwin."Mas, jangan, Mas! Kasihan dia, Mas!" Pinta Erwin."Diam, dia setan. Ngapain juga ada di kamar Mama!" Teriak Edwin."Mas, dia Nala. Hentikan!" Teriak Erwin. Saking emosinya, dia sampai menghantam tangan Edwin yang menjambak rambut Nala.Sejenak, suasana kembali tenang. Namun, rambut Nala sudah gimbal dan wajahnya agak lebam. Amel memeluknya dengan erat dan menahan tubuhnya agar tidak terjatuh.Edwin pun baru sadar bahwa yang baru saja dia jambak adalah Nala. Dia langsung
Kemudian, beberapa warga berkerumun di depan rumah. Mereka hendak menghentikan Rudi yang akan melesatkan peluru. Nahas, Rudi memberontak dan memaki-maki orang sekitarnya."Pergi kalian semua! Jangan diem di depan rumah gue, sialan!"Salah satu warga menghampiri Edwin. Seorang pria berambut putih berkata," Pak, dia memang agak stress, sebaiknya bapak pulang saja."Semua warga yang berkerumun menyuruh Edwin untuk pulang demi keamanan. Namun, langkahnya terhenti oleh wanita gemuk yang bernama Mpok Mia yang baru saja datang."Rud, lo kenapa marah-marah gitu?""Mpok, itu anak-anak Kusumadinata yang dulu jadi majikan anak lo yang mati, itu dia!"Mpok Mia menoleh, tapi seperti ragu mendekat."Bu, boleh kita bicara sebentar saja," pinta Edwin. "Iya, iya, boleh. Tapi jangan di sini, ini rumah adik saya," jawab Mpok Mia. Tiba-tiba Rudi mengerang kesakitan di bagian dada kirinya. Dia melunglai lemas dan memuntahkan darah.Mpok Mia bergegas menolong adiknya yang berteriak-teriak kesakitan. Semu
Intan bersikeras mendekati Nala. ART itu belum juga menyahut meski majikan sudah meninggikan suara untuk memanggil. Intan pun hendak mencolek punggung Nala. Namun dia ragu. Lantas, Nala tertawa cekikikan dan mulai menengadahkan kepalanya ke atas. "Nala, kamu baik-baik saja, kan?" "Babu kayak saya ini nggak ada artinya buat kalian," sahut Nala lantang. "Apalagi di depan nenek tua yang haus kekayaan." "Maksud kamu apa, Nala?" Tanya Intan. "Dasar majikan bodoh!" Hardik Nala. Amel baru saja masuk kamar, dia tersentak kaget menyaksikan Nala yang bergelagat aneh sampai membuatnya bernafas tersengal-sengal. "Bu, kayaknya Nala kerasukan deh," ucapnya. Kemudian, Nala menoleh, menunjukkan wajah yang pucat dan mata yang putih. Dia menyeringai dan tertawa cekikikan. Tiba-tiba saja, Nala muntah, lehernya seperti tercekik, dia berteriak kesakitan sampai terjatuh dan menggulingkan badannya di lantai. "Astaghfirullah, Nala!" Teriak Intan. Akhirnya, Nala batuk-batuk, memuntahkan cairan hi
Elsa meringis ketika mendapati kedua tangan kakak kandungnya yang berlumuran darah sambil melambaikan tangannya seperti meminta tolong. "Elsa!" Teriak Edwin.Elsa bergegas menolong. Kemudian, menghampiri jendela. Sayangnya, Edwin semakin menjauh sampai Elsa kesulitan meraih tangan kakaknya itu."Elsa! Sadar, Els!" Teriak Dhea.Dalam pandangannya, Elsa menyaksikan Edwin hendak melompat, seperti mau bunuh diri. Di saat itulah, Elsa nekad meraih tangan kakaknya. "Mas, jangan lompat!" "Elsa, jangan lompat!" Teriak mahasiswa yang menolongnya.Elsa terus memberontak ketika semua mahasiswa menahan badannya. "Itu kakak gue jatuh ke bawah! Mas Edwin, jangan lompat, Mas!"Bruk!Akhirnya, Elsa berhasil melompat lalu terjatuh ke atap lantai satu dan tergeletak pingsan.Satu jam kemudian, Elsa baru bisa membuka kedua matanya. Yang dia lihat hanya ruangan serba putih dan lampu neon yang menerangi ruangan."Elsa, syukurlah, kamu udah sadar," ucap Intan. "Kak, mana Mas Edwin? Dia baik-baik saja,
Kamar mendiang Nenek Diah tampak berantakan, kumuh dan bau pesing. Ada air menggenang di lantai dan dikerumuni kumbang. "Mas, ada apa?" Sahut Elsa. Baru saja membuka pintu, dia langsung muntah-muntah. "Bau banget!""Mas, pagi-pagi udah teriak," keluh Intan. "Ada apa--"Intan terbelalak dan langsung menutup hidungnya. Dia bergegas mengambil masker untuk menutupi mulut dan penciumannya."Mas, gue mau ngopi, ngapain manggil gue?""Lihat, perbuatan siapa di sini?" Spontan, Erwin menyemburkan kopi dari mulutnya. "Bau banget!"Tak lama kemudian, Intan menghampiri sambil menyodorkan masker penutup mulut dan hidung. Kendati, agar mereka leluasa memeriksa kondisi di dalam kamar yang sudah kosong itu."Ini bukan air biasa, ini air seni," gumam Edwin. "Masa di sini ada yang pipis," gerutu Elsa. "Jijik banget!"Lalu, mereka mendongak ke atas, mendapati CCTV yang sudah pecah dan serpihannya berhamburan di lantai. "Oh, dia merusak cctv dulu sebelum beraksi, itu pelaku cerdik juga ya," gumam Er
Tiba-tiba saja Elsa memuntahkan cairan berwarna cokelat. Dia batuk-batuk sampai tidak kuat menahan rasa sakitnya. "Kita ke RS sekarang, sambil nengok Papa," ajak Intan. Malam yang gelap, terpaksa mereka bertandang ke RS. Semula, Elsa tampak parah dan pucat pasi, namun ketika di perjalanan dia seperti bukan orang sakit.Setelah diobservasi dan cek laboratorium, hasilnya tidak ditemukan penyakit apapun. "Kalau begini ya enggak usah ke RS," protes Elsa. "Aku mau nengok Papa dulu."Mereka bertiga lantas mengunjungi ruang ICU. Orang tua yang mereka rindukan masih terkapar lemah di atas ranjang, berselimut kain putih dan hidung yang dipasang selang oksigen."Mau sampai kapan Papa kayak gini! Sadar dong, Pa!" Gerutu Elsa. "Papa harus pulang, harus sehat lagi, jangan pergi dulu, Pa! Elsa kangen."Elsa meringis, terisak-isak sampai suara tangisnya menggema di seluruh ruangan."Elsa, udah kita pulang sekarang. Jangan nangis di sini, Papa kan udah ada yang ngurus, kita percayakan urusan sama
Suara ratusan kumbang tiba-tiba saja terdengar bising, serangga itu beterbangan di langit-langit rumah sampai menggulung. "Astaghfirullah," ucap Pak haji. "Ada yang menyerang saya. Tapi gak apa-apa."Kemudian kumbang itu kembali masuk ke sarangnya lewat lubang di dapur.Sementara itu, Intan sudah agak membaik, namun kakinya lemas sampai berdiri pun harus dibantu suaminya. "Pak haji, sebenarnya saya mau bahas tentang keluarga. Ibu kami sering berbohong, dia beralibi sibuk bekerja, nyatanya sudah satu bulan teledor, perusahaan terbengkalai. Kadang saya bertanya-tanya, ke mana dia perginya," terang Edwin."Kalau nak Edwin penasaran, kenapa gak pernah intip beliau? Kan ibu sendiri, harusnya ada yang berani ikutin dia pergi," jawab Pak haji. Sejenak, dia menghela nafas dalam-dalam. "Jujur saja, kasus seperti ini, apalagi kalau berhubungan sama orang yang memuja kepada selain Tuhan, ya agak berat juga.""Pak haji percaya kakek Kusumadinata itu pemuja setan demi kekayaan? Firasat saya seba
Edwin menoleh ke belakang. Tak melihat siapapun selain pintu kamar ibunya. Sementara Intan sudah bernafas tersengal-sengal, panik dan berkeringat. "Mas, makhluk itu ada di sana, dia kayak bayangan hitam, tinggi besar, aku lihat jarinya runcing, dia kayaknya mau menerkam," ungkap Intan. Dia lantas menutup wajah dengan kedua telapak tangan. "Aku takut, Mas. Astagfirullah." Edwin memeluk istrinya agar lebih tenang. Namun, matanya melirik kanan kiri. Ada hembusan angin yang melintas sampai menyibak rambut Intan. Tampaklah, makhluk hitam berdiri di depannya. Edwin menyaksikan pergerakan makhluk itu, mulai dari berdiri lalu menyerupai seorang wanita, berambut panjang dan berwajah pucat. "Mas!" "Ssssttt! Gak ada apa-apa, tenang ya, ternyata pelukan di sini nyaman juga. Mereka bergegas ke balkon lantai dua. Kebetulan, Elsa dan Erwin ternyata sedang melakukan peregangan badan. "Er, Els," sapa Edwin. "Mas, ngapain jalan-jalan sambil pelukan gitu? Kenapa? Norak tahu!" Sindir Elsa. "Gak
Siang hari yang cerah, Edwin dan Intan sengaja pulang ke rumah meskipun perasaan mereka masih tak karuan karena mendapati sang ibu yang selalu berulah. Malahan, Edwin melempar tas kerjanya ke atas kursi tamu. Sampai tas bermerek dan mahal itu menimpa Elsa. "Mas! Apa-apaan sih! Untung aja gak kena muka aku!" "Kamu sama Erwin gak kuliah, ya? Bagus! Kalian sudah belajar bolos, buang-buang uang buat biaya kuliah mahal tapi hasilnya nihil! Kakak kamu ini capek nyari duit buat makan, buat sekolah, buat operasional rumah, tapi kalian enak-enakan nganggur. Keluar kalian semua dari rumah saya!" Elsa tercekat mendapati kakaknya yang naik pitam. Sambil berurai air mata, ia berkata," Mas, kenapa sih! Aku sama Erwin lagi UTS. Kamu, baru aja pulang udah marah begini!" Edwin lantas menghindar, dia menyambangi ruang kerjanya dengan terburu-buru, bahkan membukanya pintu dengan kencang. "Hei, ada apa ini? Siapa yang teriak?" Tanya Erwin yang baru saja menuruni tangga. "Mas Edwin barusan marahin